• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 Gerakan Petani: Sintesis Teori-Teori Gerakan Sosial

3.5. Perkembangan Kesadaran Sosial Petani

3.5.1. Kesadaran Proaktif

Kesadaran proaktif menunjuk pada derajat penerimaan petani terhadap keberlakuan sistem sosial agraria. Pada tahapan ini kesadaran petani tidak dikonstruksi mengarah pada suatu kondisi bahwa dirinya menerus termarginalkan dan mengalami tekanan-tekanan struktural. Petani yang masuk pada kesadaran ini masih kuat memiliki pandangan proaktif terhadap keberlakuan sistem sosial agraria. Atau, justru secara ekstrim petani memelihara dan mempertahankan pandangan fatalistis, sehingga mengalahkan daya

kritisnya dalam memahami situasi tekanan struktutal yang dihadapi. Contohnya, tindakan yang dilakukan oleh penguasa dan pengusaha terhadap diri petani merupakan sesuatu yang harus diterima begitu saja dan apa adanya. Jadi, apa yang dilakukan petani konsisten dengan yang diketahuinya, tetapi tidak konsisten dengan pengetahuan untuk mengubahnya. Petani tidak memiliki gambaran strategis yang mengarah pada upaya untuk merubah situasi yang dihadapi yang melawan arus keberlakuan sistem sosial agraria.

Karena pengetahuan petani tentang situasi yang dihadapi lebih tertuju pada keterkaitannya dengan sesuatu yang berada di luar kemampuannya, maka tindakanya cenderung sekedar menerimanya secara pasif dan menyesuaikan diri dengan realitas yang ada. Petani menurut saja mengikuti apa yang telah dianggap sebagai “kebijakan pemerintah”. Sikap ini diambil guna menunjukkan atau sebagai tanda ketataan dalam melaksanakan kewajiban sebagai warga negara dengan tujuan mempertahankan ketenangan dan ketenteraman hidup. Petani mengakui dan dapat menerima perlakuan kasar, berbagai simbol represif dan stigma politik hasil konstruksi penguasa yang ditujukan terhadap dirinya. Dalam bebarapa kasus, stigma politik seperti anggota BTIatau PKI sering ditujukan kepada petani-petani yang dianggap menentang kebijakan pemerintah dan dalam melaksanakan program-program pembangunan, termasuk pembangunan pertanian. Petani juga tidak tahu dan tidak mau tahu bahwa di balik keberlakuan sistem sosial agraria itu telah terjadi tindakan penyimpangan yang luar biasa (termasuk pembohongan, pembodohan, ingkar janji, dan sebagainya) baik yang dilakukan oleh para penguasa maupun oleh para pengusaha.

Struktur pengetahuan (schemata) petani tentang kehidupan

pada tahapan ini banyak digambarkan berada dalam suatu romantisme kehidupan. Romantisme kehidupan petani diwujudkan dalam ciri-cirinya yang sangat khas seperti lemah, tidak terbiasa mengkoordinir diri, tidak memiliki perencanaan yang jelas dan sistematis, meminimalisir kerugian yang dialami, tidak mau bertindak konfrontatif, cenderung kooperatif, berupaya tetap hidup dengan sistem sosial yang mapan, bergerak karena terancam secara fisik dan benar-benar terhimpit, lekat dengan ekonomi moral (mendahulukan selamat), menganut gaya hidup kolektif dan pemerataan, bersifat homogen (terstratifikasi secara horizontal), dan menganut pola hubungan yang tunduk pada pemimpin, hubungan patron-klien, lebih mengedepankan kompromi daripada perlawanan.

Sifat-sifat struktural dasar tersebut terlekat dalam schemata petani dan di antara mereka tetap melakukan tindakan yang sama ketika berhubungan dengan penguasa dan pengusaha. Sebagai

implimentasi dari rasa percaya terhadap pihak lain, maka para petani tidak mau mengembangkan pikiran dan prasangka negatif tentang apa yang akan terjadi terhadap dirinya ke depan sebagai konsekuensi yang tidak diharapkan.

Beberapa contoh kasus, pertama, petani mudah percaya tanahnya dipinjam (diganti rugi tanam tumbuh) oleh pejabat daerah untuk dikelola perusahaan dan dijanjikan akan dikembalikan setelah ijin operasi perusahaan tersebut habis. Kedua, mereka sangat senang mendapat kepercayaan dari kepala Dinas Kehutanan untuk membuka areal kawasan hutan dijadikan lahan garapan, dan percaya surat ijinya diminta pejabat dengan janji akan dibuat sertifikat hak milik. Ketiga, mereka percaya SKT yang dimiliki diminta seorang tokoh adat (kaki tangan perusahaan) dan petani diberi uang sewa. Keempat, mereka juga percaya atas janji perusahaan untuk mensejahterakan warga, melalui cara persuasif dengan merangkul pemimpinnya. Rasa percaya terhadap pihak lain tersebut masuk pada ranah kesadaran proaktif petani yang di dalamnya mengandung makna harapan, yakni sikapnya itu diharapkan berkonsekuensi pada kehidupan yang aman (dari gangguan pihak lain), tenteram (tidak terjadi keributan) dan nyaman (kehidupan yang layak).

Pada situasi ini para petani menyadari bahwa mereka tetap tidak bisa lepas dari lahan garapan sebagai penyangga kehidupan, tetapi keinginan itu mereka kalahkan dengan kerangka referensi tujuan bersama yang mereka buat. Misalnya, demi mencapai kesejahteraan bersama, maka mereka harus taat mengikuti apa yang menjadi kemauan pemerintah. Kerangka referensi petani tersebut pada titik rendah dibuktikan dengan tingkat kepasrahannya. Misalnya, terkait dengan persoalan pertanahan dengan pemerintah daerah, maka petani menyadari bahwa dirinya dikatakan sebagai “perambah hutan”, “perusak hutan”, “penduduk liar”, “takut kuwalat hidupnya tidak berkah menentang program pemerintah”, dan sebagainya. Mereka kemudian banyak yang rela diusir dan dipindahkan ke tempat lain yang baru, meskipun dengan kondisi yang jauh dari memadai, seperti lahan masih belukar, kering, gersang dan tidak subur. Mereka banyak yang rela dan dengan mudah menyerahkan lahan garapannya untuk kepentingan pemerintah dan juga untuk dikelola perusahaan dengan di sewa, diberi ganti rugi tanam tumbuh. Mereka kemudian beralih pekerjaan menjadi buruh perusahaan atau mencari pekerjaan di luar sektor pertanian. Mereka juga rela membayar “uang retribusi (pungli)” atau uang sewa atau bagi hasil dengan oknum aparat pemerintah dan pihak lain yang mau menjamin keamanan atas lahan garapanya meskipun hanya sekedar menumpang. Semuanya itu mereka lakukan

dalam mendukung keberhasilan pembangunan (sebagaimana yang sering dikatakan oleh para penguasa), dan dalam memelihara keamanan ontologisnya.

Pada tahapan ini para petani masih belum menyadari kalau ruang geraknya semakin lama semakin dibatasi. Mereka semakin tidak leluasa berusaha dan dikondisikan tidak aman dalam menguasai lahannya. Bahkan sebelum lahan mereka diambil alih oleh penguasa maupun pengusaha sudah hadir serangkaian praktek intimidasi dan ancaman. Petani yang mencoba melawan atau tidak mengetahui (beda pandangan) bahwa dirinya melakukan pelanggaran sudah dilancarkan aksi penangkapan, didenda, dihukum dan dianiaya. Kebanyakan patani pada tahap kesadaran ini tidak memiliki niat untuk melakukan perlawanan dan mereka juga tidak tahu harus berbuat apa untuk merubah nasibnya. Bahkan banyak petani yang kemudian mampu mereproduksi kesadaran proaktifnya, mereka dengan cepat merubah strategi bertahan hidup dari sebagai petani menjadi pekerja di luar sektor petanian. Perubahan dimensi kesadaran dalam bidang kehidupan yang berbeda ini masih tetap berada pada garis sifat-sifat sistem keamanan dasar petani tersebut.

Akan tetapi, pengetahuan dan pengalaman bertani yang bermasalah dengan pemerintah dan juga dengan pihak perusahaan, serta kesadaran mereka terhadap pentingnya tanah pertanian bagi kelangsungan hidupnya tidak bisa hilang begitu saja. Keterlekatan perilaku bertani tetap menjadi bagian penting dari kelangsungan hisupnya, meskipun mereka ada yang sudah lama beralih pada pekerjaan lain. Bagi petani, tanah pertanian merupakan sumberdaya yang menjadi andalan utama dalam kehidupan keluarga dan dalam mempertahankan sosiokultural masyarakatnya. Semua tidak dihilang di dalam memori, dan tetap aktif di dalam proses-proses interaksi, baik di lingkungan keluarga, di lingkungan kerabat maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas.