• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Hubungan Kekuasaan Dalam Struktur

BAB 7 Pergeseran Arah Perkembangan Gerakan Petani

7.4. Pola Hubungan Kekuasaan Dalam Struktur

nal ah ukup h n i an

masing-masing elemen aktor semakin tidak dapat disatukan lagi

dalam suatu struktur gerakan yang solid dan integrated seperti

yang terjadi sebelumnya.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebab

dan konsekuensi terjadinya destrukturasi internal (disintegrated)

gerakan dan organisasi gerakan petani, paling tidak dapat dijelaskan dari dua aspek. Pertama, karena tindakan para elit aktor yang cenderung saling mempertajam kontradiksi dan saling menegasikan. Kondisi ini jelas berkonsekuensi pada kecil kemungkinan dapat dikembangkan unsur mediasi. Kedua, akibatnya adalah terjadi degradasi struktur sumberdaya mobilisasi dalam gerakan petani. Organisasi tani semakin kehilangan karakternya sebagai organisasi

gerakan yang legitimate dan credible dalam mengemban amanah

mengentaskan nasib petani miskin.

7.4. Pola Hubungan Kekuasaan Dalam Struktur Gerakan Petani

Strukturasi internal gerakan petani tidak terlepas dari konsistensi perspektif dan keyakinan di antara pihak-pihak yang terlibat dalam struktur makna kekuasaan dalam dinamika organisasi gerakan petani. Gangguan struktur gerakan muncul ketika makna kekuasaan tidak lagi berhimpitan dengan makna pembelaan dan pemberdayaan petani. Ini terjadi di dalam kompleksitas hubungan konfliktual antar kelompok aktor gerakan, yakni antar aktor petani, antar aktor non petani, dan antara aktor petani dan non petani.

Praktik hubungan kekuasaan di antara pihak-pihak yang berperan aktif dalam penguatan struktur gerakan yang tadinya

mengarah pada pola ”generative power” kemudian berubah mengarah

pada pola ”distributive power”. Perubahan ini menunjukkan bahwa

dalam proses penguatan struktur gerakan di mana masing-masing pihak memandang pihak lain sebagai elemen penting dalam suatu bangunan atau struktur gerakan. Kemudian, struktur gerakan tersebut berubah di mana masing-masing pihak menganggap bahwa pihak lain sebagai lawan yang dapat menghambat pencapaian kepentinganya, dan oleh karena itu, mereka harus ditundukkan atau bahkan disingkirkan. Mendominasi struktur gerakan merupakan cara utama agar pihak lain yang dianggap sebagai lawan tersebut dapat mengikuti atau berjalan sesuai dengan kemauannya.

Kekuasaan dalam struktur hubungan tersebut di atas dimaknai sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak pada pihak lain. Karena itu, makna kekuasaan dalam perkembangan gerakan sejalan dengan konflik kepentingan, saling memaksakan garis perjuangan, dan terjadi benturan kepentingan. Kepentingan masing-masing pihak

dibalut dengan ideologi yang berbeda secara diametral. Masing-masing memiliki garis perjuangan yang berbeda, tetapi orientasi tindakannya

adalah sama, yakni lebih berorientasi karikatif (developmentalism)

daripada berjuang untuk melakukan perubahan struktur sosial agraria. Perbedaan garis perjuangan yang semakin dipertajam dan semakin menutup ruang bermediasi, sehingga semakin sulit mencari titik temu guna memperkuat kembali struktur gerakan yang sudah

terbelah. Ini berarti bahwa pola hubungan kekuasaan cenderung ”

zero-sum” atau saling bernegasi. Artinya, jika kelompok yang satu memiliki

atau memperoleh tambahan kekuasaan berarti kelompok yang lain tidak memiliki atau kehilangan derajat kekuasaannya. Sehingga masing-masing pihak saling mencegah pihak lain dan tindakannya cenderung berjarak dari upaya bermediasi, karena akan mengurangi derajat kekuasaan yang dimiliki.

Sifat ambivalensi peran elemen aktor pendukung dalam gerakan petani selain memperkuat juga melemahkan ketika terjadi disorientasi tindakan. Pengaruh negatifnya adalah, pertama, keputusan organisasi gerakan syarat campur tangan luar, sehingga tidak independen; kedua, organisasi gerakan menjadi tidak bebas mengatur diri sendiri, sehingga tidak otonom dan semakin berjarak dengan basisnya; dan ketiga, terjadi benturan kepentingan yang mengganggu stabilitas organisasi tani sebagai organisasi gerakan. Kuatnya unsur-unsur bernegasi tersebut berakibat antar elemen struktur gerakan (antar petani, antar non petani, dan antara petani dan non petani) menjadi terpisah dan sulit disatukan kembali.

Dari penjelasan di atas dapat dinyatakan bahwa beragamnya organisasi gerakan petani yang berkembang terutama bukan sebagai akibat dari keterbatasan jangkauan kontrol masing-masing tetapi lebih sebagai produk fragmentasi akibat konflik internal, yang pada tataran wilayah provinsi lebih diwarnai oleh tindakan-tindakan elemen aktor pendukung daripada oleh elemen aktor petani itu sendiri. Oleh karena itu, selain masing-masing organisasi tani mengalami penurunan derajat perannya sebagai organisasi gerakan, interaksi di antara

mereka juga tidak dilandasi common platform dalam memperjuangkan

kepentingan substantif petani.

7.5. Kuatnya Keberlakuan Sistem Sosial Agraria Dominan

Srukturasi eksternal menunjuk pada integrasi gerakan petani di dalam lingkungan organisasionalnya. Pada tataran meso dapat dilihat hubungannya dengan jaringan pendukung, dengan aliansinya, dan dengan para pemegang otoritas. Realitas menunjukkan bahwa semakin terkonsentrasinya struktur sumberdaya gerakan pada komunitas

petani basis ternyata sejalan dengan semakin renggang hubungannya dengan jaringan pendukung. Realitas ini difahami berbeda antara sisi

petani dan non petani.71 Perbedaan pandangan tersebut menyebabkan

terjadi trauma jejaring antara elemen petani dan pendukungnya. Selain itu, dalam perjalanannya memang pernah terjadi tindakan para elit aktor pendukung yang menodai perjuangan petani untuk mencapai kepentingan sesaat, sedangkan kepentingan substantif petani menjadi terabaikan.

Semakin memudarnya jaringan (networks) pendukung sejalan

dengan memudarnya hubungan aliansi dengan berbagai pihak, karena aksi-aksi kolektif petani non institusional sudah tidak dilakukan lagi. Momentumnya sudah terlewati dan biaya yang harus ditanggung untuk membangun kembali struktur gerakan seperti dulu terlalu besar, terlalu beresiko dan tidak sebanding dengan hasil-hasil yang akan dicapai terutama yang menguntungkan bagi elemen aktor pendukung. Sementara itu menurut para aktor pendukung, bahwa para petani sekarang ini sudah menjadi “borjuis kecil” (sudah mendapatkan tanah yang cukup) sehingga susah untuk diajak berjuang lagi. Ritme kehidupan petani kembali pada karakternya yang mengarah pada pola (pandangan, sikap dan perilaku) yang cenderung konservatif.

Demikian juga hubungan antara organisasi gerakan petani dengan para pemegang otoritas semakin melemah (kehilangan legitimasi dan kredibilitas) dan kembali berada pada posisi subordinat dalam struktur sosial agraria. Selain terkesan ada sikap “pembiaran” oleh pemerintah dalam penyelesaian persoalan pertanahan, aspirasi petani secara politik juga semakin tidak mampu lagi terartikulasikan melalui wadah organisasi tani. Bercerai-berainya elemen struktur gerakan juga berarti bahwa kekuatan perjuangan petani kembali terkonsentrasi pada struktur sumberdaya petani di tingkat basis.

Dilihat dari dimensi makro struktural juga menunjukkan bahwa strukturasi eksternal gerakan petani berhubungan dengan kekuatan sistem sosial agraria dominan. Ketegangan struktural di Lampung yang berbasis pada akumulasi dan persebaran persoalan pertanahan berakar pada sistem agraria antagonistik, dan kondisi ini sudah

berlangsung lama sejak masa kolonial Belanda.72 Kondisi ini tetap

71

Menurut kalangan petani, mereka tidak mau lagi “diatur-atur” oleh pihak lain seperti yang dialami ketika masih gencar melakukan aksi-aksi kolektif. Sekarang posisi petani adalah sejajar dan sudah waktunya untuk mengatur diri sendiri, tidak tergantung pada siapapun dan dengan organisasi manapun. Sedangkan menurut kalangan non petani bahwa sikap petani seperti itu karena mereka merasa sudah menjadi “borjuis kecil” sehingga sulit disatukan lagi dalam struktur sumberdaya gerakan yang lebih besar.

72

Sistem agraria “antagonistik” adalah kebalikan dari “simbiosis mutualisme”. Dimaksud dengan sistem agraria simbiosis mutualisme menunjuk pada pola hubungan antar elemen sistem (negara,

terkonsentrasi pada dimensi politik-ekonomi dan eksis dalam setiap

episode kekuasaan rezim.73 Fakta historis membuktikan bahwa selama

sistem sosial agraria terkonsetrasi pada dimensi politik-ekonomi dan mengabaikan dimensi sosio-kultural, maka institusi ekonomi moderen (swasta) akan tetap berkolaborasi kuat dengan institusi politik (negara). Realitas ini sekaligus menunjukkan bahwa dimensi sosio-kultural tradisional yang melekat pada petani akan terus-menerus terpinggirkan atau terus terperangkap masuk dalam putaran arus utama sistem sosial agraria dominan yang antagonistik terhadap eksistensi petani.

Gerakan petani pada awal jatuhnya rezim Orde Baru hanya berpengaruh sementara (sesaat) dalam menggoncang sistem sosial agraria dominan yang antagonis terhadap petani. Katakanlah iklim gerakan tersebut bersifat momental yang terjadi pada lima tahun pertama setelah era reformasi bergulir (1998-2002). Gerakan petani pada masa ini mampu mempengaruhi para pemegang otoritas untuk memenuhi sebagian klaim-klaim yang diperjuangkan. Pada lima tahun kemudian (2003-2007), hingga saat ini (2008-2014), di mana struktur politik negara semakin stabil, ternyata peluang politik gerakan di daerah terasa semakin tertutup sejalan dengan semakin melemahnya kekuatan sosiopolitik organisasi gerakan petani.

Peluang politik pasca jatuhnya rezim Orde Baru oleh para elit aktor cenderung dimaknai sebagai suatu ruang yang secara struktural menjanjikan penyelesaian persoalan agraria yang responsif terhadap kepentingan petani, tanpa harus diikuti dengan aksi-aksi kolektif. Ini sebenarnya merupakan kesadaran palsu yang tertanam di dalam schemata para aktor gerakan petani. Pada kenyataannya sistem sosial agraria dominan kembali pada jalannya sendiri dan tetap tidak responsif terhadap eksistensi dan kepentingan petani.

Melemahnya aksi-aksi kolektif dalam gerakan petani di Lampung selain berarti melemahnya kekuatan posisi tawar petani juga berarti terbuka kembali ruang gerak bagi pihak swasta bersinergi dengan negara. Sikap pemerintah yang dianggap mengambangkan persoalan pertanahan yang dialami petani jelas tampak antara lain karena sulitnya untuk merubah pola hubungan agraria dengan pihak swasta

perusahaan, dan masyarakat petani) dengan meminimalisir sifat-sifat struktural kontradiktif dan mengembangkan unsur bermediasi. Sedangkan dimaksud dengan sistem agraria antagonistik menunjuk pada pola hubungan antar elemen sistem agraria dengan mengembangkan sifat-sifat struktual kontradiktif dan mengembangkan unsur bernegasi.

73

Pada episode: 1) rezim kolonial Belanda dapat dilihat dari hasil penelitian Kartodirdjo (1973; 1984); 2) rezim imperialisme Jepang dapat dilihat dari hasil penelitian Kurasawa (1993); dan 3) rezim orde lama dapat dilihat dari hasil penelitian Padmo ( 2000).

dan belum terselesaikannya persoalan pertanahan secara tuntas terkait dengan penguasaan petani atas tanah pertanian.

Dengan demikian, gerakan petani selama ini nampak lebih sebagai luapan ungkapan ketidakpuasan kolektif petani (dengan segenap elemen aktor pendukungnya) secara terorganisir terhadap keberlakuan sistem sosial agraria dominan yang sudah kokoh. Perkembangan gerakan agraria semakin tidak menunjukkan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang dalam mengontrol konstruksi dan keberlakuan sistem sosial agraria dominan yang masih antagonis. Gerakan-gerakan agraria tetap saja tidak mampu menembus (merubah) sifat-sifat struktural sistem sosial agraria dominan menjadi

lebih responsif terhadap persoalan substantif petani.74