• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petani Menggugat Kebijakan Agraria

BAB 1 Pendahuluan

1.5. Petani Menggugat Kebijakan Agraria

Suatu hal yang wajar ketika petani terancam kelangsungan hidupnya dan diperlakukan tidak adil, kemudian mereka berjuang melakukan perlawanan menggugat kebijakan agraria. Akan tetapi, kekuatan perjuangan petani melalui wadah organisasi tani pada masa Orde Baru tidak dapat berkembang karena dikontrol ketat oleh negara. Kebijakan politik yang mengarah pada sentralisasi birokrasi terus

dilakukan untuk memperkuat program ‘deideologisasi’ dan ‘depolitisasi’

serta diperkuat dengan ‘floating mass’ yang dapat menekan

berkembangnya kekuatan perjuangan petani (Burhanuddin dan Subhan, 1999:21). Pada sisi lain negara mengarahkan petani

berorganisasi melalui disain state corporatism, yakni hanya

mengalirkan aspirasi ke dalam kanal-kanal lembaga sosial dan politik

bentukan pemerintah.15 Partisipasi politik petani kemudian menjadi

semu, karena kepentingan mereka telah diarahkan dan disalurkan lewat organisasi tani yang dianggap mewakili yang dibentuk dan dikontrol ketat oleh negara. Pada posisinya yang demikian itu, maka

petani secara nyata tidak berdaya, tertekan oleh otoriterianism, dan

sistem politik yang dibangun cenderung sebagai alat dominasi para pemegang otoritas dan berfungsi sebagai penekan kebebasan.

Tidak heran, jika sistem politik seperti itu berasosiasi sebagai pentas mobilisasi, menumbuhkembangkan kesadaran palsu, sebagai ajang represi, praktik kooptasi dan manipulasi. Ruang gerak petani dibatasi dan diawasi dengan berbagai cara. Stigma politik sebagai pengacau keamanan dan berideologi kiri (PKI, BTI) sering diberikan kepada mereka yang dianggap membangkang, dan cara ini lebih efektif dalam membungkam suara-suara kritis dan menekan aktivitas petani dan segenap pendukungnya. Organisasi tani yang dibuat oleh pemerintah diposisikan ibarat boneka yang dapat dimainkan oleh para penguasa yang bertindak sebagai dalang selama episode kekuasaan rezim Orde Baru. Pada situasi ini orientasi nafsu kekuasaan adalah bagaimana menjinakkan kesadaran petani, bukan pada peningkatan kesejahtaraan petani secara berdaulat. Petani menjadi rebutan sebagai sumberdaya mobilisasi dalam memperoleh kekuasaan; dikontrol secara ketat melalui wadah organisasi tani yang diciptakan, disalurkan aspirasinya melalui “Klompencapir” dan dibius kesadarannya melalui

15

Korporatisme negara dalam konteks pembingkaian kepentingan kaum tani disini menunjuk pada organisasi tani seperti Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang menjadi derivasi institusi negara di tingkat informal, yakni sebagai agen kepentingan negara (Nasikun, 1997: 58-67).

lagu “Modernisasi Desa”, yang terus menerus dikumandangkan melalui media radio dan televisi negara.

Pada satu sisi, yakni dalam perspektif teori struktural fungsional, bahwa sosialisasi dan kontrol ketat yang dilakukan oleh negara terhadap pandangan, sikap dan perilaku petani, yang lekat dengan ideologi pembangunanisme tersebut merupakan bagian dari proses pembangunan menuju mencapaian kesejahtaraan masyarakat ke depan yang lebih baik. Tetapi, menurut perspektif teori kritis, upaya negara tersebut merupakan bentuk penekanan kesadaran kritis petani dan upaya mengekang aktivitas petani agar tidak keluar dari jalur institusional dan menjadi “duri dalam daging” dalam pelaksanaan pembangunan. Praktek-praktek pembangunanisme justru semakin kontraproduktif terhadap makna hakiki dari pembangunan itu sendiri yang mengabaikan makna substantif kehidupan petani.

Pendekatan keamanan yang digunakan dan pencitraan sistemik yang dibangun oleh rezim Orde Baru juga semakin mengaburkan akar persoalan petani. Oleh karena itu, sangat wajar jika gerak perjuangan petani pada masa itu meskipun tetap muncul tetapi menemui banyak kesulitan. Perjuangan mereka banyak mengalami tekanan seperti intimidasi, teror, pembabatan atau pembakaran tanaman, pembakaran atau perusakan rumah, penangkapan, penculikan, penembakan, pembunuhan, penganiayaan, dan tekanan lainnya (Soetarto, 2005: 17-18). Pada situasi ini, perjuangan petani dengan mengandalkan bantuan jejaring pada lokus nasional saja tidak cukup, mereka harus memanfaatkan isu-isu global dan berjejaring dengan lembaga-lembaga transnasional (Rochman, 2002).

Bersamaan dengan tumbangnya kekuatan politik otoritarian Orde Baru maka lembaga-lembaga kenegaraan juga sedang mengalami krisis dan goncangan yang kuat. Ini juga berarti bahwa struktur peluang politik pusat telah terbuka secara paksa terhadap tuntutan-tuntutan perubahan. Lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif yang seharusnya mengakomodir tuntutan masyarakat, semua sedang mengalami krisis legitimasi. Lembaga-lembaga negara tersebut tidak mampu merespon dinamika masyarakat yang sedang berkembang sangat cepat, dan menanggung beban moral yang begitu berat akibat peran mereka selama rezim Orde Baru, sehingga kehilangan orientasi dan daya adaptasinya (Wijardjo dan Perdana, 2001: 3-4).

Kompleksitas persoalan yang dialami petani dalam penguasan tanah pertanian yang kemudian menyebabkan mereka menggugat negara sebenarnya sudah terjadi sejak lama, bersifat akumulatif dan menyebar. Selama 32 tahun (1970-2001) telah terjadi sebanyak 1.753 kasus konflik pertanahan dengan jumlah korban sebanyak 257.686

jiwa (Leonela dan Zakaria, 2002:25). Hingga 2003 di sektor perkebunan saja terdapat 575 kasus konflik tanah baik di PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) maupun di perkebunan besar swasta (PBS) dengan luas sekitar 330.000 hektar. Sampai akhir tahun 2014 konflik lahan di Register 45 Provinsi Lampung antara petani dengan perusahaan masih belum terselesaikan secara tuntas. Petani dengan organisasi taninya masih kuat dalam mempertahankan tanah pertanian yang berhasil didudukinya.

Pasca tumbangnya rezim Orde Baru yang berarti masuknya era reformasi tahun 1998 maka peluang politik terbuka bagi petani untuk melakukan aksi-aksinya guna merubah kebijakan agraria yang merugikan mereka. Suatu yang wajar jika tuntutan kaum tani terhadap perubahan sistem sosial agraria yang setara dan adil dalam kerangka demokrasi muncul sebagai agenda penting untuk segera diperjuangkan bersama dengan segenap elemen pendukungnya. Aksi-aksi protes petani kemudian terjadi di mana-mana, ke atas dengan gencar mendesakkan tuntutan-tuntutannya dan ke bawah melakukan aksi-aksi reklaiming. Sebagian besar analis menilai bahwa maraknya protes petani pada awal-awal reformasi merupakan kelanjutan atau efek dari gerakan demokrasi yang dimainkan oleh unsur-unsur masyarakat sipil seperti kelompok mahasiswa, cendekiawan, dan Organisasi Non-Pemerintrah (Ornop) dalam menumbangkan otoriterianisme rezim Orde Baru.

Seperti yang terjadi di Lampung dalam kurun waktu lima tahun

(1998-2002) tercatat ratusan kasus konflik pertanahan16 yang tersebar

di seluruh wilayah kabupaten dan kota,17 sebagian besar (327

kasus/90,8%) diikuti dengan aksi-aksi reklaiming.18 Status tanah yang

paling banyak berkonflik adalah lahan usaha agro industri, yakni seluas 159.640 Hektar (40,07%). Lahan tersebut terutama yang berada di bawah penguasaan dan pengelolaan perusahaan swasta dan BUMN atau BUMS. Kemudian lahan yang berstatus sebagai kawasan hutan lindung seluas 121.250 Hektar (30,43%), dan lahan usaha tambak moderen seluas 78.650 Hektar (19,74%) (Sunarto, 2007:183).

16

Menurut Surat Kabar Mingguan “Koridor”, Edisi 178/Th. IV. Tanggal 13 Oktober 2002, halaman 4, tercatat sebanyak 360 kasus, sedangkan menurut catatan BPN Provinsi Lampung pada tahun 2002 terdapat sebanyak 445 kasus.

17

Dari 327 kasus reklaiming tersebut sebanyak 80 kasus terjadi Kabupaten Tulang Bawang, 50 kasus di Kabupaten Lampung Selatan, 46 kasus di Kota Bandar Lampung, 33 kasus di Kabupaten Lampung Tengah, 32 kasus di Kabupaten Way Kanan, 24 kasus di Kabupaten Lampung Timur, 23 kasus di Kabupaten Lampung Utara, 19 kasus di Kabupaten Tanggamus, 18 kasus di Kabupaten Lampung Barat, dan 2 kasus di Kota Metro (Surat Kabar Mingguan “Koridor”, 2002).

18

Biro Tata Pemerintahan Provinsi Lampung, Bandar Lampung, 2001. Menurut harian Radar Lampung hingga tahun 2000 tercatat sebanyak 385 kasus konflik pertanahan di Lampung (Harian Radar Lampung, edisi Kamis, 17 September 2000).

aksi reklaiming sebagian dilakukan secara terorganisir dalam skala provinsi. Diperkirakan selama lima tahun (1998-2002) terdapat puluhan ribu hektar lahan yang berhasil diduduki oleh petani secara sistematis.19

Dalam perkembangan kemudian berdiri berbagai organisasi tani sebagai organisasi gerakan pada skala provinsi dan berjejaring dengan organisasi gerakan skala nasional. Bahkan dalam spektrum yang lebih

luas berjejaring dengan organisasi gerakan transnasional.20 Gelombang

timbal balik antara gerakan lokal dan global tersebut, kemudian di dalam wacana gerakan masyarakat sipil berkembang dua slogan, yakni: “think globally act locally” atau “think locally act globally” (Widjajanto, dkk., 2007). Meskipun pada skala mikro-lokal gerakan