• Tidak ada hasil yang ditemukan

Taufiqqurrahman

Pascasarjana,Universitas Negeri Malang E-mail:rahmantaufik8878@gmail.com

ABSTRAK

Kurikulum rekonstruksi soasial berbasis kearifan budaya sasak adalah serangkaian kegiatan menyusun kembali Nilai-nilai budaya yang telah rusak yang dipengaruhi modernisasi yang terjadi secara dramatis,realitaslaju perkembangan pariwisata yang terjadi membawa dampak langsung kepada masyarakat sebagai pelaku budaya seperti pola pikir,cara berpakain,dll. hal tersebut berdampak pada pergeseran kandungan nilai budaya yang ada pada budaya sasak itu sendiri, kemudian kurikulum rekonstruksi sosial memodifikasi kembali sistem nilai yang adapada budaya tersebut sesuai dengan kebutuhan masa kini tanpa mengurangi dan melebihkan nilai yang terkandung dalam budayasasak. Untuk mencapai tujuan tersebut maka langkah yang pertama yang harus dilakukan adalah menganalisi kebutuhan (perda,organiasi kebudayaan),tujuannya harus jelas, hasil dapat diukur,dapat diamati,mengidentifikasi keadaan lingkungan dan adanya bahan ajar.

Kata kunci : kurikulum rekonstruksi sosial, budaya sasak

PENDAHULUAN

Ditengah kerasnya laju arus globalisasi yang kian lama kian tak terbendung, melahirkan berbagai permasalahan yang siap melumat apa saja termasuk nilai-nilai budaya yang selama ini nenek moyang kita pertahankan termasuk didalamnya budaya sasak. Masyarakat sebagai pelaku dari budaya sendiri menyadari bahwa perkembangan tersebut telah merusak sendi-sendi dari budayanya mulai dari cara berpakaian,cara bersikap dan lain sebagainya.

Perkembangan yang terjadi ditengah masyarakat tentu ada cepat dan ada juga masyarakat lain yang agak lambat dalam perkembangannya, dalam situasi yang demikian perubahan-perubahan yang terjadi dengan cepat, mobilitas manusia dan barang sangat tinggi , komunikasi, cepat, lancer, dan akurat. Perubahan demikianlah yang kemudian membawa dampak dalam semua aspek kehidupan, sosial budaya, ekonomi, politik, idiologi, nilai-nilai etika dan estetika. Dalam hal perubahan inilah, yang kemudian yang menjadi pusat dari pada pradigma baru yang muncul seperti kecakapan, sikap, aspirasi, minat, semangat, kebiasaan bahkan pola-pola hidup mereka (Nana Syaodih 2014:61).

155

Sebagai konsekuensi dari fenomena tersebut adanya perubahan sosial yang terjadi baik di masyarakat sasak secara hususnya maupun Nusa Tenggara Barat secara umumnya, Merespon akan hal tersebut diatas maka kurikulum rekonstruk sosial diharapkan akan mampu mengembalikan niai-nilai etika dan estetika yang terkadung didalam setiap budaya utamanya budaya sasak yang memang akhir- akhir ini mendapat respon dari pengembangan parawisatanya yang luar biasa menakjubkan bagi sebagaian orang.

Lombok sendiri Dalam buku Lalu Lukman (2003:11) menjelaskan bahwa kata Lombok pada zaman dahulu konon berasal dari orang yang pertama kali datang sebagai penghuni pulau Lombok kedatangnya ke pulau tersebut dengan menumpang sebuah rakit yang berarti ―Sasak‖ yang kemudian nama sasak tersebut dijadikan sebagai nama suku yang ada dilombok Nusa Tenggara Barat dari versi yang lain juga menamakan suku sasak berasal sari Sang Saka. Dari tulisan lain yakni seorang pujangga zaman majapahit yaitu prapanca menulis kata nama Lombok ini, ―Lombo‟‖ yang berarti lurus. Kemudian di pertegas oleh Dr. R. goris beknopt Sasaksch-Nederlandsch Woordenboek dalam buku yang sama, terdapat kata ―Lombo‟‖ ditulis dengan menggunkan tanda hamzah („) yang berarti Recht atau Lurus.

PEMBAHASAN

Budaya dan Perkembangan Globalisasi

Hampir setiap lingkungan masyarakat mempunyai kebiasaan-kebiasaan yang berbeda-berda, kebaisaan-kebiasaan tersebut seringkali kita tafsirkan dengan memberi penafsiran sebagai sebuah kebudayaan, sistem sosial yang kemudian lahir tidak akan pernah sama yang dimiliki oleh satu daerah satu dengan daerah lainnya, inilah kemudian yang dinamakan dengan kearifan budaya lokal, adapun sistem sosial budaya yang dimaksdu diatas yakni yang mengatur pola kehidupan dan pola hubungan intraksi antara anggota masyarakat, antara anggota dan lembaga masyarakat.

Masyarkat kita sekarang ini berada pada zaman peradaban Era Digital yang hampir semua pola seolah-olah dibentuk pada pembiasaan yang bersifat instan, tidak jarang, dari kita tidak mampu beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan fenomena ini, kadang pula sebagian dari kita tidak bisa menerima fenomena Era Digital tersebut dengan utuh.Malah sebaliknya, disebagian tempat

156

ia masih kukuh memelihara budaya sebagai kebudayaan untuk ia wariskan kepada generasi berikutnya.

Sulit memang mempertemukan dua sisi yang saling bertolak belakang seperti ini antara budaya yang sifatnya mempertahankan keaslian sistem nilai budaya, sedangkan Era Digital seolah-olah memberikan gambaran tidak ada jarak yang pasti untuk tidak bisa dijangkau oleh kemampuan digital, sebagai kebiasaan baru yang terpola pada struktur pemikiran baru yang ada pada sebagain dari masyarakat. Permasalan seperti ini juga sebagai penyumbang permasalahan baru pada tatanan nilai kebudayaan tersebut.

Lambat laun akhirnya kesadaran kita akan hilang seiring dengan berjalanya waktu, kita disibukkan dengan proses penyesuaian diri kita pada hal- hal baru sedangkan nilai luhur kebudayaan yang sudah jauh tertanam sebelumnya pada diri kita luntur oleh arus globlisasi yang diwujudkan dengan kehidupan modern seperti sekarang, ini mungkin juga timbul oleh keinginan masyarakat untuk hidup menyesuaikan diri dengan tuntutan alam atau mungkin hirarki yang belum tertanam secara mendasar untuk memandang kebudayaan sebagai suatu yang indah untuk kita pelihara.

Budaya Sebagai Edentitas Daerah

Indonesia adalah sebuah Negara kaya akan budaya dan bahasa yang puluanya terbentang dari ujung sabang sampai mereuke dan Hampir semua daerah yang ada diindonesia termasuk di dalamnya masyarakat Lombok akan suku sasaknya mengakui hal tersebut sebagai sebuah kekayaan yang tidak ternilai harganya dari segi materil, didalam budaya tersebut terdapat etika dan estetika kultur satu budaya dengan budaya lainya tidak akan pernah sama begitu halnya dengan budaya masyarakat sasak sendiri. Etika dan estetika kultural masyarakat sasak sebenarnya sudah lama mengendap dalam tubuh masyarakat sasak yang kadang masyarakatnya sendiri tidak menyadari itu sebagai kearifan lokal yang perlu untuk dijaga kelestariannya, adapun kultur dan etika masyarakat sasak tersebut adalah kebersamaan, kebahasaan, keramah tamahan, membantu satu sama lain, kekeluargaan, kepedulian, semua konsep etika tersebut sangat kuat dan alami yang memiliki nuansa yang penuh dengan nilai-nilai sakral didalamnya (Berugaq Institute, 2015:23).

157

Data wisatawan yang berkunjung pada tahun 2014 mencapai angka 1,6 juta pengunjung tepatnya 1.629.122 (www.disbudpar.ntbprov.go.id),hal tersebut menandakan sebuah fenomena yang sangat luar biasa kalau di lihat dari nilai ekonomis pengembangan wisata sangat berdampak, namun permasalahan selanjutnya yang muncul adalah terjadinya dinamika sosial dalam berbagai kehidupan masyarakat, dinamika tersebut mencerminkan adanya proses perubahan baik yang bersifat lambat, maupun bersifat cepat (Imran Manan,1989:49)

Gambar 1.1 Data Kunjungan Wisatawan NTB

Bisa dibayangkan satu wisatawan membawa kebiasaan baru yang meraka bawa dari kota maupun negaranya kedaerah Lombok, Nusa Tenggara Barat maka bisa simpulkan bahwa kita tidak mampu untuk melawan dan menyaring nilai-nilai sosial baru tersebut sehingga sudah pasti akan berdampak signifikan terhadap perubahan sikap maupun mental pada masyarakat kita. Terlebih lagi Budaya masyarakat kita terjebak pada budaya meniru tanpa terlebih dahulu memfilter semua kebiasaan yang dibawa oleh wisatawan tersebut tanpa ada pemahaman apakah kebiasaan tersebut sudah sesuai apa belum dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam kearifan lokal budaya sasak,

Permasalahan inilah yang kemudian melahirkan kehawatiran yang sangat luar biasa yang dapat mengakibat hilang edentitas asli budaya Lombok.Maka alternative yang kemudian muncul adalah mempertahankan nilai-nilai kearifan budaya lokal Sasak tersebut melalui sekolah dengan sistem kurikulum rekonstruksi sosial.

158 Kurikulum Rekonstruksi Sosial Berbasis Kearifan Budaya Sasak

Kurikulum dipandang sebagai suatu rancangan pendidikan.Sebagai suatu rancangan, kurikulum menentukan bagaimana pelaksanaan dan hasil dari sebuah pendidikan (Nana Syaodih S 2014:58).Sedangkan George S. Counts Di dalam Oemar Hamalik (2013:8) dimana sekolah harus berani untuk membangun suatu tatanan sosial (Dare the school a new social order), dalam pandangan ini juga berpendapat bahwa sekolah harus mempersiapkan suatu agenda pengetahuan dan nilai-nilai yang diyakini dapat menuntun siswa memperbaiki masyarakat dan institusi kebudayaan, serta berbagai keyakinan dan kegiatan praktik yang mendukungnya. Kita pahami bahwa ketika kita menentukan akan seperti apa kwalitas hasil pendidikan kedepannya maka perencanaan mutlak dipenuhi,mengacu kepada UU No. 20 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 36 ayat 2 dan 3 Tahun 2003 menyatakan bahwa kurikulum pada jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip-prinsip diversifikasi (penganekaragaman KBBI) sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.

Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara kesatuan Republik Indonesia dengan memperhatikan:

1. Peningkatan iman dan takwa 2. Peningkatan ahklak mulia

3. Peningkatan potensi kecerdasan dan minat peserta didik 4. Keragaman potensi daerah dan lingkungan

5. Tuntutan dunia kerja perkembangan ilmu pengetahuan teknologi dan seni

6. Agama

7. Dinamika perkembangan global

8. Persatuan nasional dan nilai kebangsaan.

Dalam mendesain kuikulum yang berorientasi pada siswa, lice crow (crow & crow, 1995) menyarankan hal-hal sebagai berikut:

1. Kurikulum harus disesuaikan dengan perkembangan anak.

2. Isi kurikulum harus mencakup keterampilan,pengetahuan,dan sikap yang dianggap berguna untuk masa sekarang dan masa yang akan datang.

159

3. Anak hendaknya ditempatkan sebagai subjek belajar yang berusaha untuk mebalajar mandiri.

4. Diusahakan apa yang dipelajari sesuai dengan minat,bakat dan tingkat perkembangan mereka.(Wina Sanjaya. 2008:71)

Selanjut ketika kita akan menyusun kurikulum rekonstruksi sosial berbasis kearifan budaya sasak langkah (John Mc Neil 1989) pertama yang harus diperhatikan hendaknya kita menganalisi kebutuhan (perda,organiasi kebudayaan)yang berlaku yang menjadi acuan untuk membentuk sistem nilai sosial dalam membangun intraksi hubungannya anak untuk sekolah, anak untuk lingkungan dan masyarakat. Kedua Tujuannya harus jelas, mengacu pada sistem nilai budaya seperti kebersamaan, kebahasaan, keramah tamahan, membantu satu sama lain, kekeluargaan, kepedulian, inilah yang kemudian menjadi potakan awal untuk merumuskan bagaimana kemudian pengembang kurikulum dapat menyusun materi, setelah patokan tersebut dituangkan kedalam konsep kurikulum maka menyiapkan model dan strategi dalam menyampaikan nilai-nilai yang tertuang tersebut kedalam bahan ajar berbasis muatan lokal, pendekatan mata pelajaran seperti ini memiliki sifat beridiri sendiri sebagai suatu disiplin ilmu.

Ketiga Hasil dapat diukur adalah merupakan cerminan bagaimana sesungguhnya kurikulum tersebut tela mampu diterima oleh peserta didik dalam bentuk tujuan dari kurikulum itu sendiri. Keempat Kemudian selanjutnya dapat diamati, dalam psikomotorya siswa dapat menunjukkan prubahan yang signifikan melalui pemahaman nilai –nilai kemudian yang ia dapat pada mata pelajaran muatan lokal tersebut. Kelima Mengidentifikasi keadaan lingkungan mengacu pada data yang dikeluarkan oleh dinas pariwisata provinsi nusa tenggara barat yang menyatakan bahwa terjadi peningkatan jumlah wisatawan baik loka maupun mancanegara merupakan gambaran bahwa masyarakat sasak sendiri sudah mengalami adanya pergeseran nilai-nilai kebudayaan yang ada pada budaya sasak itu sendiri.

Keenam kemudian bahan ajar.Adapun model yang digunakan untuk mengembangkan bahan ajar pada mata pelajaran muatan lokal adalah model ADDIE, ADDIE merupakan singkatan dari Analysis, Design, Development or Production, Implementation or Delivery and Evaluations. Model ADDIE dikembangkan oleh Dick and Carry (1996) untuk merancang model

160

pengembangan bahan ajar dalam hal ini diterapkan pada mata pelajaran muatan lokal. Berikut ini diberikan contoh kegiatan pada setiap tahap pengembangan model atau metode bahan ajar, yaitu:

a. Analysis

Pada tahap ini, kegiatan utama adalah menganalisis perlunya pengembangan model/metode pembelajaran baru dan menganalisis kelayakan dan syarat-syarat pengembangan model/metode pembelajaran baru.Pengembangan metode pembelajaran baru diawali oleh adanya masalah dalam model/metode pembelajaran yang sudah diterapkan.Masalah dapat terjadi karena model/metode pembelajaran yang ada sekarang sudah tidak relevan dengan kebutuhan sasaran, lingkungan belajar, teknologi, karakteristik peserta didik, dsb.

Setelah analisis masalah perlunya pengembangan model/metode pembelajaran baru, peneliti juga perlu menganalisis kelayakan dan syarat- syarat pengembangan model/metode pembelajaran baru tersebut. Proses analisis misalnya dilakukan dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut ini: (1). apakah model/metode baru mampu mengatasi masalah pembelajaran yang dihadapi, (2). apakah model/metode baru mendapat dukungan fasilitas untuk diterapkan; (3). apakah guru mampu menerapkan model/metode pembelajaran baru tersebut Dalam analisis ini, jangan sampai terjadi ada rancangan model/metode yang bagus tetapi tidak dapat diterapkan karena beberapa keterbatasan misalnya saja tidak ada alat atau guru tidak mampu untuk melaksanakannya. Analisis metode pembelajaran baru perlu dilakukan untuk mengetahui kelayakan apabila metode pembelajaran tersebut diterapkan.

b. Design

Dalam perancangan model/metode pembelajaran, tahap desain memi- liki kemiripan dengan merancang kegiatan belajar mengajar. Kegiatan ini merupakan proses sistematik yang dimulai dari menetapkan tujuan belajar, merancang skenario atau kegiatan belajar mengajar, merancang perangkat pembelajaran, merancang materi pembelajaran dan alat evaluasi hasil belajar. Rancangan model/metode pembelajaran ini masih bersifat konseptual dan akan mendasari proses pengembangan berikutnya.

161 c. Development

Development dalam model ADDIE berisi kegiatan realisasi rancangan produk. Dalam tahap desain, telah disusun kerangka konseptual penerapan model/metode pembelajaran baru.Dalam tahap pengembangan, kerangka yang masih konseptual tersebut direalisasikan menjadi produk yang siap diimplementasikan. Sebagai contoh, apabila pada tahap design telah dirancang penggunaan model/metode baru yang masih konseptual, maka pada tahap pengembangan disiapkan atau dibuat perangkat pembelajaran dengan model/metode baru tersebut seperti RPP , silabus dan materi pelajaran yang disesuikan dengan mata pelajaran muatan lokal.

d. Implementation

Pada tahap ini diimplementasikan rancangan bahan ajar yang telah dikembangkan pada situasi yang nyata yaitu di kelas.Selama implementasi, rancangan bahan ajar yang telah dikembangkan diterapkan pada kondisi yang sebenarnya pada mata pelajaran muatan local tersebut.Materi disampaikan sesuai dengan model/metode baru yang dikembangkan. Setelah penerapan metode kemudian dilakukan evaluasi awal untuk memberi umpan balik pada penerapan model/metode berikutnya

e. Evaluation

Evaluasi dilakukan dalam dua bentuk yaitu evaluasi formatif dan sumatif.Evaluation formatif dilaksanakan pada setiap akhir tatap muka (mingguan) sedangkan evaluasi sumatif dilakukan setelah kegiatan berakhir secara keseluruhan (semester).Evaluasi sumatif mengukur kompetensi akhir dari mata pelajaran atau tujuan pembelajaran muatan local yang ingin dicapai.Hasil evaluasi digunakan untuk memberi umpan balik kepada pihak pengguna model/metode.Revisi dibuat sesuai dengan hasil evaluasi atau kebutuhan yang belum dapat dipenuhi oleh model/metode baru tersebut.

Tahap Pengembangan Aktivitas

Analysis Pra perencanaan: pemikiran tentang produk (model, metode, media, bahan ajar) baru yang akan dikembangkan Mengidentifikasi produk yang sesuai dengan sasaran peserta didik, tujuan

162

belajar, mengidentifikasi isi/materi pembelajaran, mengidentifikasi lingku- ngan belajar dan strategi penyampaian dalam pembelajaran

Design Merancang konsep produk baru di atas kertas . Merancang perangkat pengem- bangan produk baru. Rancangan ditulis untuk masing-masing unit pembelajaran. Petunjuk penerapan desain atau pembuatan produk ditulis secara rinci

Develop Mengembangkan perangkat produk

(materi/bahan dan alat) yang diperlukan dalam pengembangan. Berbasis pada hasil rancangan produk, pada tahap ini mulai dibuat produknya (materi/bahan, alat) yang sesuai dengan struktur model Membuat instrumen untuk mengukur kinerja produk

Implementation Memulai menggunakan produk baru dalam pembelajaran atau lingkungan yang nyata. Melihat kembali tujuan- tujuan pengembangan produk, interaksi antar peserta didik serta menanyakan umpan balik awal proses evaluasi

Evaluation Melihat kembali dampak pembelajaran dengan cara yang kritis

Mengukur ketercapaian tujuan pengembangan produk

Mengukur apa yang telah mampu dicapai oleh sasaran

Mencari informasi apa saja yang dapat membuat

163

Laurie Brady (1947) Dalam bukunya Curriculum Development merekomendasikan beberapa kriteria dalam pemilihan konten dari penyusunan bahan ajar sebagai berikut:

1. Validity 2. Significance 3. Interest 4. Learnability

5. Consistency with socialrealities 6. Utility

KESIMPULAN

Kurikulum rekonstruksi sosial adalah kegiatan untuk menyusun kembali nilai-nilai kebudayan seperti kebersamaan, kebahasaan, keramah tamahan, membantu satu sama lain, kekeluargaan, kepedulian kedalam mata pelajaran muatan lokal. Adapun dalam proses penyajian nilai-nilai dari pada kearifan budaya lokal sasak tersebut disusun kedalam bahan ajar menggunakan model pengembangan bahan ajar ADDIE (Analysis, Desain. Development, Implementation, Evaluation) dan dalam penyusunan bahan ajar tersebut pengembang juga diharap memperhatikan hal-hal sebgai berikut: Validity, Significance, Interest, Learnability, Consistency with socialrealities, Utility

DAFTAR PUSTAKA

http:/www.disbudpar.ntbprov.go.id/2014-kunjungan-wisatawan-meningkat/.

Lalu lukman.2003.Pulau Lombok Dalam Sejarah Ditinjau Dari Aspek Budaya. Jakarta Laurie Brady.1947. curriculum development. Sydney. Prentice Hall

Manan Imran. 1989. Dasar-Dasar Sosial Budaya Pendidikan. Jakarta. Departemen pendidikan kebudayaan

Nana Syaodih Sukmadinata.2015. Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktik. Bandung. Remaja Rodakarya

Institute Berugaq. 2015. Sasak Siapa Bagaimana Dan Mau Kemana?.Yogyakarta. Editie Pustaka Wina Sanjaya 2008. Kurikulum Dan Pembelajaran Teori Dan Peraktik. Jakarta. Kencana http://aanhendroanto.blogspot.co.id/2012/10/model-pengembangan-addie_28.html

http://belajarpendidikanku.blogspot.co.id/2013/02/model-model-pengembangan-bahan-ajar.html http:/www.disbudpar.ntbprov.go.id/2014-kunjungan-wisatawan-meningkat/.

164 PENGARUH STRATEGI PEMBELAJARAN RECIPROCAL PEER QUESTIONING TERHADAP HASIL BELAJAR MEMPERBAIKI RADIO