• Tidak ada hasil yang ditemukan

Campur Tangan Pemerintahan Kolonial: Rezim Kekuasaan dan Kekerasan

WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN

3. Campur Tangan Pemerintahan Kolonial: Rezim Kekuasaan dan Kekerasan

Setelah melihat mengenai pendekatan RMG kepada pentingnya adat dan budaya masyarakat Batak, dalam hal ini kepada raja-raja sebagai pelaksana adat, maka usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam menaklukkan raja-raja tak dapat dilepaskan dengan tampilnya pemerintahan kolonialis Belanda melalui aksi militerisme atau kekerasan. Keterlibatan ini tak dapat dipungkiri sebagai upaya dalam mendukung perluasan Kekristenan di Tanah Batak.

78 Walaupun dalam budaya Batak memiliki dua urusan dalam Pustaha laklak (rohani) dan

Pustaha Tumbaga (duniawi), namun kesatuan hukum tetap tercipta. Dua pustaha ini tetaplah menjadi sumber dalam masyarakat Batak tradisional, termasuk juga undang-undang yang dibuat oleh Raja Singamangaraja XI dan XII yang pada waktu itu pemisahan sekuler dan rohani belum ada. Bdk. Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 234-235.

Ompu i |114

Pada awal-awal permulaan penginjilan memang terlihat bahwa para Misionaris, terutama Nommensen tidak menghendaki akan masuknya pemerintahan kolonial Belanda yang menganggap bahwa masuknya pemerintahan kolonial Belanda sejalan dengan masuknya Islamisasi di Tanah Batak. Namun dalam pandangan ini bukan berarti bahwa pihak RMG sendiri menghindari akan keterlibatan pemerintah kolonial. Para misionaris justru menghendaki akan adanya kesepemahaman dengan pemerintah kolonial. Yang artinya penginjilan dan kolonialisme haruslah berjalan bersama-sama. Prinsip serupa juga dipahami oleh Raja Pontas Lumbantobing yang notabene adalah seorang pribumi, terlebih ketika Kekristenan telah menyebar di tanah Batak.79

Bagi pihak RMG sendiri, keberadaan pemerintah kolonial tidak dapat dipisahkan, karena hal ini berkaitan dengan kerjasama yang dilakukan kedua belah pihak berupa pembiayaan atau bantuan dana,80 sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan keduanya merupakan suatu keniscayaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengikuti Kristen berarti tunduk kepada kolonialisme. Hal ini juga dicatat oleh J. Silitonga seperti yang kutip oleh Aritonang:

“Raja Pontas menganjurkan masyarakat Sipahutar untuk menerima zending atau Injil dan pemerintah” Dan menurut pemahaman Silitonga Silindung aman karena Raja

Pontas atas anjuran Nommensen –mau tunduk kepada Belanda.”81

Campur tangan pihak kolonial dengan RMG baru terasa ketika RMG sendiri memasuki dan melakukan misinya ke wilayah Utara, yakni Toba, di mana menurut

79 Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 70.

80 Lih. S.C. Graaf van Randwijck, Oegstgeest: Kebijaksanaan “Lembaga-Lembaga Pekabaran Injil yang Bekerjasama” 1897-1942 (Jakarta: BPK Gunung Mulia,1989), hl. 165.

Ompu i |115

Uli Kozok, bentuk campur tangan tersebut berupa aksi militer ke beberapa wilayah Toba, sehingga terjadi koalisi keduanya karena memiliki musuh yang sama, yakni Raja Singamangaraja XII. Menurutnya koalisi ini terus berlanjut hingga kematian Raja Singamangaraja XII.82 Peristiwa ini dikatakan sebagai Perang Toba Pertama (1878). Pandangan ini didasarkan atas Bericht der Rheinischen Missionsgesellschaft (BRMG) 1878 yang berasal dari surat Nommensen (20 Juni

1878) mengenai “Laporan Terakhir tentang Perang di Toba.” Namun selain mengincar Raja Singamangaraja XII sebagai musuh utama dari pemerintahan kolonialis beserta RMG namun dari isi surat tersebut mengindikasikan bahwa bentuk ekspansi ke wilayah Toba adalah juga bertujuan untuk menaklukkan raja- raja bius, khususnya yang menolak kehadiran misionaris.

Dalam surat tersebut dikatakan bahwa Nommensen menjadi saksi mata dan ikut di dalam perjalanan bersama militer Kolonial yang dibantu dengan orang-orang Kristen dari Silindung – sesuatu yang tidak bisa diharapkan dari orang muslim – untuk mengekspansi wilayah-wilayah Toba. Namun demikian mengenai tujuan dari ekspansi ini menurutnya bahwa hal ini tak lepas dari telah masuknya orang Aceh di wilayah Toba, sehingga para penginjil merasa perlu untuk meminta bantuan pemerintahan kolonial sebelum terjadinya Islamisasi yang akan menjadi penghambat bagi masuknya Injil:

“Oleh Sebab itu kami merasa perlu meminta-agar pemerintah menunjukkan kekuatan militernya. Pemerintah yang telah mewaspadai gerombolan itu dari barus dan Singkil, dan sama dengan kami tidak menginginkan orang Aceh menetap di Toba,

ternyata sudah mengirim pasukannya.”83

82 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 94-95.

Ompu i |116

Perjalanan Nommensen beserta pasukan dimulai dari wilayah Bahal Batu dan kemudian menguasai wilayah kampung-kampung sekitar, yakni Butar, untuk seterusnya melanjutkan ekspansinya ke wilayah utara. Beberapa wilayah Toba dikuasai, termasuk diantaranya Bangkara yang menjadi pusat kekuasaan Raja Singamangaraja XII. Walaupun Nommensen ikut di dalam rombongan militer namun ia selalu menekankan kepada pemerintah kolonial untuk terlebih dahulu mengedepankan dialog kepada para raja dan masyarakat agar mau tunduk kepada pemerintah kolonial, dikarenakan setiap kampung yang menolak untuk tunduk kepada pemerintahan kolonial maka kampungnya akan dibakar dan di denda oleh pemerintah kolonial. Ada beberapa kampung yang menolak untuk tunduk misalnya di bius Bangkara, Lobu Siregar, dll., namun ada juga yang langsung menyerahkan diri tanpa melakukan perlawanan sama sekali. Raja menjadi pusat sasaran dalam berdialog yang dilakukan Nommensen dengan alasan tunduknya raja maka akan diikuti oleh para pengikutnya.

“Jerit tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema diseluruh lembah. Lalu saya menghampiri Kapten van Berg, seorang yang dihormati dan ayah Sembilan anak, dan memintanya agar jangan terlalu cepat membakar kampung supaya saya sempat berbicara dengan para raja dan meyakinkan mereka agar menyerah

dan tunduk pada Belanda.”84

Pasca Perang Toba pertama maka sebisa mungkin para misionaris untuk menghilangkan trauma yang ditinggalkan akibat perang, sehingga kekawatiran akan kebencian terhadap Eropa tidak terjadi. Dalam ekspansi tersebut menurut Nommensen ekspansi ini sangat membantu kedua belah pihak, yakni pemerintah kolonial dan RMG sendiri.

84 Ibid., hl. 145.

Ompu i |117 “Penaklukan Toba amat penting untuk pemerintah Belanda, tetapi lebih penting lagi untuk zending kita. Sekiranya Singamangaraja beserta dengan sekutunya, baik Islam, Aceh maupun yang lain, berhasil mengusir para penginjil dan menghapus agama Kristen di Silindung maka akibatnya bukan revitalisasi kekafiran melainkan masuknya agama Islam, dan kemungkinan agama Kristen berkembang di sini menjadi hampir

sirna.”85

Namun menurut para Missionaris perang ini justru membawa masyarakat Batak Toba keluar dari keterisolasinnya dan terbuka terhadap pengaruh Eropa.86 Pasca Perang Toba pertama maka banyak orang Toba yang berbondong-bondong masuk Kristen, seturut dengan takluknya para raja dengan mengikuti perintah pemerintahan kolonial, serta memeluk agama Kristen. Sedangkan bagi para Misionaris maka pemerintahan kolonial Belanda memberikan penghargaan dan bantuan dana sebesar 1000 Golden kepada para Misonaris melalui Gubernur Sumatra.87

Peta Ekspedisi Militer 187888

85 BRMG 1882 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 155. 86 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 156.

87Ibid., hl. 93-94.

Ompu i |118

Selain dalam menaklukkan raja-raja di Tanah Batak untuk memperluas wilayah pekabaran Injil maka usaha pemerintahan kolonialis beserta RMG juga diikuti dengan memperkecil ruang kelompok Parbaringin di tengah-tengah masyarakat Batak tradisional. Tak dapat dipungkiri bahwa sebagai suatu lembaga, kelompok Parbaringin ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam mempersatukan masyarakat Batak tradisional; dalam hal ini kesatuan akan raja-raja bius; serta mempertahankan dinasti Singamangaraja. Hal ini tentunya yang menjadi penghambat bagi masuknya Kekristenan dan ekspansi pemerintahan Kolonial. Dengan pertimbangan tersebut, pihak zending dan pemerintahan kolonial sepakat dalam menciptakan kelompok ini sebagai musuh bersama dengan melarang kehadiran kelompok ini, serta tidak diberikannya ruang di tengah-tengah masyarakat dengan bentuk pelarangan Pesta Bius.89

Bentuk campur tangan pemerintah kolonial dengan penginjilan yang dilakukan RMG menandakan konstruk kekuasaan yang dilakukan bangsa Eropa dalam mengalahkan kekuasaan bangsa primitif sebagai suatu kesepemahaman yang sama dalam bentuk Eropasentrisme. Puncaknya adalah dengan terbunuhnya Raja Singamangaraja XII oleh pasukan militer kolonial Belanda yang dikomandani Christoffel pada 17 Juni 1907.

Adanya keterlibatan RMG dengan pemerintah kolonial ini juga diakui oleh RMG, kini bernama UEM (United Envangelism Mission), dengan permintaan

89 Sitor Situmorang, Toba Na Sae: Sejarah lembaga sosial politik pada abad XIII-XX

Ompu i |119

maafnya atas keterlibatan RMG dengan pemerintahan kolonial: pertama pada tanggal 27 September 1971 dan kedua pada tahun 1990.

C.

Komunitas Baru: Kerajaan Kekristenan