• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gagasan Suhi Ampang Na Opat

MERAJUT GAGASAN OMPU

B. Gagasan Suhi Ampang Na Opat

Dalam adat dan budaya Batak Toba, masyarakat Batak Toba selalu berpegangan kepada 3 prinsip, yakni Dalihan Na Tolu, Paopat Sihal-Sihal dan Suhi Ampang Na Opat. Telah banyak para ahli adat yang membahas tentang ketiga prinsip ini, namun terkadang pembahasan ketiga prinsip ini tidaklah dibahas secara holistik, serta tidak melihat konteks pemahaman atas fungsi wilayah atau konteksnya awalnya, sehingga kecenderungan yang terjadi adalah kesalahan atau kebingungan persepsi. Dalam menjelaskan ketiga prinsip ini maka perlu untuk melihat fungsi wilayah dari ketiga prinsip tersebut. Fungsi wilayah ini menjadi penting karena kehidupan masyarakat Batak terpola dalam 3 prinsip ini.

Pertama adalah Dalihan Na Tolu. Dalihan Na Tolu atau Tungku Nan Tiga merupakan suatu ungkapan yang menyatakan kesatuan hubungan kekeluargaan pada masyarakat Batak. Dalihan Na Tolu menjadi prinsip yang selalu dipegang masyarakat Batak dan menjadi pondasi dalam kekerabatan hingga akhir hayatnya. Prinsip ini mengatur kehidupan masyarakat yang hanya sebatas pada lingkup keluarga, di mana aturan tersebut memiliki 3 kelompok hubungan kekeluargaan, yakni: Dongan Sabutuha (teman semarga), Boru (anak perempuan atau keluarga dari pihak menantu lakilaki), dan Hulahula (keluarga dari pihak istri).15 Adapun dari ketiga unsur ini diatur dengan aturan yang berada di dalam Suhi Ampang Na

15 T.M. Sihombing, Filsafat Batak: Tentang Kebiasaan-Kebiasaan Adat Istiadat (Jakarta:

Balai Pustaka, 1986), hl. 71. Menurut PH. O.L. Tobing, Dalihan Na Tolu merepresentasikan pembagian dunia dalam agama tradisional Batak, yakni: dunia bawah, dunia tengah dan dunia atas. Lih. PH. O.L. Tobing, The Structure Of The Toba-Batak Belief In The High God (Amsterdam: South and South-East Celebes Institue For Culture, 1963), hl. 150

Ompu i |40

Opat: manat mardongan tubu yang artinya sesama marga haruslah saling menghargai, sepemahaman dan sepenanggungan. Hal ini sebagai dasar untuk terciptanya kerjasama sesama marga dalam menggarap tanah yang dimiliki oleh marga na mamungka huta (marga yang memiliki kampung). Kedua, adalah elek marboru. Artinya, kelompok hula-hula haruslah membujuk boru (anak perempuan), mengingat peran boru cukup besar, terlebih dalam perayaan Horja. Dalam perayaan tersebut, boru menjadi pelaksana dan bertanggung jawab atas atas terlaksananya perayaan tersebut. Hula-hula menjadi pemberi perintah kepada boru. Yang ketiga adalah somba tu hulahula. Hula-hula memiliki posisi yang paling tinggi, di mana hula-hula dianggap sebagai perwujudan dari dewa Batara Guru atau dalam arti kelompok ini sering dikatakan sebagai Debata Na Tarida (Tuhan yang terlihat), sehingga kedua kelompok sebelumnya haruslah somba (bersujud) kepada kelompok hulahula.16 Dalam Dalihan Na Tolu, ketiga kelompok ini tidak mengikat kepada marga tertentu saja, melainkan hanya melihat posisi kelompok dari setiap individu. Dengan kata lain, setiap individu pastilah akan pernah berada di kelompok-kelompok tersebut ketika berada di lingkungan masyarakat. Dalam Dalihan Na Tolu konsep Ompu i lebih kepada dikenakan kepada galur keturunan sebagai silsilah marga.

Kedua, Paopat Sihalsihal. Prinsip ini berada di dalam wilayah huta (kampung). Paopat Sihalsihal berarti penyangga batu keempat yang digunakan untuk menyangga tungku ketika ketiga batu (Dalihan Na Tolu) tersebut tidak

16 Bungaran Antonius Simanjuntak, Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba

Ompu i |41

sanggup menampung tungku tersebut. Dengan kata lain, dalam lingkup wilayah huta, maka paopat sihalsihal dimaksudkan untuk menampung kelompok, selain dari kelompok yang ada di Dalihan Na Tolu. Kelompok ini sering dikatakan sebagai dongan sahuta (teman sekampung). Di zaman sekarang, paopat sihalsihal sering dikatakan sebagai STM (serikat tolong menolong) yang juga turut membantu dalam suksesnya sebuah pesta atau perayaan.

Ketiga, adalah Suhi Ampang Na Opat. Dalam bahasa Indonesia Suhi Ampang Na Opat berarti bakul yang memiliki empat sudut. Keempat sudut ini adalah pondasi dari hukum dan adat Batak yang dapat berupa: tona (pesan), poda (nasehat), uhum (hukum) dan patik (larangan). Dialah juga yang mengatur kelompok di dalam Dalihan Na Tolu, termasuk paopat sihalsihal. (lihat gambar2) Dalam kebanyakan pesta di zaman sekarang pengertian Suhi Ampang Na Opat telah berbeda pengertiannya dari yang sesungguhnya. Padahal makna Suhi Ampang Na Opat memberikan pondasi yang bukan hanya sebatas pada kegiatan-kegiatan pesta, tetapi juga memberikan penegakkan dan kedaulatan (harajaon) atas kerajaan dan budaya Batak. Intinya, di dalam Suhi Ampang Na Opat terdapat dua bagian penting yang setiap bagiannya memiliki empat ajaran, yakni: Bagian pertama tentang Kebenaran (Habonoron), yang di dalamnya terdiri dari pengetahuan (Parbinotoan), kepercayaan (Haporseaon), ketaatan (Pangoloion) dohot budi pekerti (Parulan). Bagian kedua adalah Kedaulatan (Hadaulaton) yang terdiri dari rendah hati (Haserepon), kesabaran (Habengeton), sopan santun (Hapantunon) dan kehormatan (Hahormaton).17

17 Diambil dari http://batakweb.blogspot.co.id/2010/02/suhi-ni-ampang-na-opat.html.

Ompu i |42

Gambar 2

Istilah Opat yang dalam bahasa Indonesia berarti empat yang merupakan konsep dasar dari hukum dan adat Batak yang selalu bersandar pada 4 sisi atau asas. Bahkan dalam prakteknya, Singamangaraja selalu menggunakan 4 raja untuk mengisi jabatannya di dalam sistem bius. Keempat raja ini sering dikenal sebagai raja maropat atau raja na opat, sehingga kerajaan Singamangaraja juga berpondasikan pada suhi ampang na opat.

Di dalam perayaan-perayaan adat Batak falsafah ini juga haruslah berlaku, sehingga adat tersebut dapat dikatakan sah. Namun adat yang berkembang di zaman sekarang justru tidak lagi memperhatikan Suhi Ampang Na Opat. Telah terjadi pergeseran makna dari pemakaian falsafah ini. Hal ini disebabkan tidak adanya lagi raja junjungan (raja yang dihargai atau dijunjung tinggi) sesuai yang dianjurkan dalam Suhi Ampang Na Opat akibat kolonialisme di dalam menyingkirkan sistem kerajaan. Itu artinya, adat yang digunakan hanyalah sampai kepada kelompok Dalihan Na Tolu, padahal dalam Suhi Ampang Na Opat, terdapat satu kelompok lagi yang menjadi bagian penting dari terlaksananya adat, yakni raja, sehingga di dalam Suhi Ampang Na Opat haruslah melaksanakan manat (menghargai)

Suhi Ampang Na Opat Dalihan Na Tolu Somba tu Hula-hula Dalihan Na Tolu Elek Marboru Dalihan Na Tolu Manat mardongan Tubu

Ompu i |43

mardongan tubu, elek (membujuk) marboru, somba (menyembah) marhulahula, dan pantun marraja (tunduk kepada raja). Raja yang dimaksud di sini adalah raja dalam pengertian yang memiliki kuasa atas wilayah dan memiliki lembaga untuk mengatur hukum dan adat Batak, yakni dalam wilayah huta (kampung), horja, dan bius. Tidak ada hubungan genealogis seperti di dalam konsep Dalihan Na Tolu. Paling tidak, adanya raja dalam Suhi Ampang Na Opat dapat menciptakan kedamaian dan persatuan; sesuatu hal yang tidak bisa dilakukan dalam Dalihan Na Tolu. Maka dari itu, masyarakat Batak meyakini raja merupakan perpanjangan tangan dari dewa/tuhan di dalam iklim religiositas masyarakat Batak Toba tradisional.

Konsep di dalam Suhi Ampang Na Opat menghargai peran raja di setiap aspek kehidupan masyarakat Batak. Raja menjadi penuntun kepada masyarakat, karena ia lah yang menjadi penyelenggara atas hukum dan adat, baik sekuler maupun religi. Ketika Singamangaraja I-XII masih memiliki kedaulatannya, Singamangaraja menjadi raja yang diakui oleh seluruh bius, horja dan huta. Artinya, Singamangaraja menjadi raja yang tertinggi dari raja-raja lainnya, sehingga diberikan gelar sebagai Ompu Raja Singamangaraja. Namun untuk melihat lebih mendalam mengenai gelar ompu raja maka haruslah melihat bagaimana kedudukan secara sosio-politis Raja Singamangaraja di masyarakat Batak Toba, serta bagaimana kuasa Raja Singamangaraja tersebut didapatkan.

Ompu i |44