MERAJUT GAGASAN OMPU
A. Pandangan Umum
Di dalam kamus Batak Toba Indonesia karya J. Warneck istilah ompu/ompung dapat diartikan sebagai nenek dan kakek, yang memiliki penurunan kata berupa ompung yang berarti panggilan untuk nenek dan daompung panggilan untuk kakek yang tentunya berkaitan dengan Dalihan Na Tolu. Pengertian ini juga termasuk kepada sapaan untuk leluhur. Warneck mengartikan Ompu sebagai pemilik (nampuna), yang empunya, yang memiliki. Pengertian ini dapat berupa keturunan, wilayah, dsb. Namun sedikit berbeda dengan Warneck, dalam Kamus Batak Indonesia versi Batakpedia, Ompu i dapat juga diartikan sebagai pemujaan terhadap nenek moyang.1 Perbedaan ini dapat dimaklumi terjadi mengingat J. Warneck merupakan salah seorang misionaris yang diutus ke tanah Batak, sehingga menghindarkan terjadinya sinkretisme dalam kosakatanya. Dari pengertian- pengertian tersebut, maka istilah ompu memiliki pengertian yang luas dari sisi tujuan dan objeknya.
Ada beberapa pemakaian gelar ompu yang lumrah didapati di dalam masyarakat Batak Toba, yakni: pertama, yang paling sering digunakan, adalah untuk penyebutan leluhur tertentu. Biasanya gelar ini digunakan di depan nama orang untuk menyebut silsilah nenek moyang tertentu dalam memperjelas silsilah dari suatu persatuan marga. Penyebutan ini diwakili oleh galur keturunan yang berasal dari satu nenek moyang bersama, dari empat generasi ke belakang atau juga dari galur keturunan yang sudah 12 sundut (generasi tuanya), sehingga sebagai satu
Ompu i |33
kesatuan kolektif sering disebut sebagai saompu (satu ompu).2 Misalnya Ompu Sohuturon yang berarti sapaan dari keturunan Sohuturon dalam galur keturunan Rajagukguk. Jikalau contoh tersebut diterapkan ke dalam pengertian yang diberikan oleh J. Warneck maka Ompu Sohuturon adalah pemilik keturunan Sohuturon. Demikian juga di marga-marga lainnya yang sering juga di dapati gelar ompu dalam penyebutannya.
Kedua, selain menunjuk kepada leluhur dengan galur keturunan, maka gelar ini juga digunakan kepada sesuatu yang dihormati yang bukan hanya dalam bentuk manusia, yaitu kepada dewa/tuhan dan hewan tertentu. Untuk sapaan kepada dewa/tuhan maka masyarakat Batak sering menyebutnya sebagai Ompu Debata Mula Jadi Na Bolon. Penyebutan ini termasuk sebagai bentuk penghargaan yang paling tinggi atas segalanya. Selain kepada dewa/tuhan, maka istilah ompu juga dikenakan kepada hewan. Dalam tradisi lisan nenek moyang masyarakat Batak sapaan ini dikenakan kepada harimau (babiat). Seperti yang dikisahkan ketika masyarakat melihat jejak harimau maka jejak tersebut sering dikatakan sebagai bogas ni ompu i (jejak ompu i).3 Masyarakat Batak meyakini harimau sebagai binatang ditakuti yang memiliki roh keberanian dan penguasa, sehingga masyarakat Batak sangat menyegani hewan ini dan menyebutnya dengan sangat hormat. Namun mengingat binatang ini sudah sangat langka ditambah masuknya agama semit maka lambat laun pemanggilan ini semakin berkurang.
2 J.C. Vergouwen, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (Yogyakarta: LKIS, 1986),
hl. 23.
Ompu i |34 Ketiga, gelar ompu i digunakan kepada raja, baik dari tingkat huta hingga bius. Misalnya Ompu Hatobung yang merupakan raja dari Bius Pansurnapitu, dsb. Bagi masyarakat Batak, raja mendapatkan tempat kehormatan, sehingga setiap yang dilakukan raja selalu diikuti oleh masyarakatnya, dikarenakan raja sebagai sumber atau pelaksana adat dan budaya yang harus diikuti oleh pengikutnya. Hal ini terlihat dari umpasa (pantun) yang menerangkan posisi penting raja yang harus dijunjung tinggi dan diikuti.
Ompu raja di Jolo, Martungkot Sialagundi
Pinungka ni ompunta parjolo, Siihuthonon ni na di pudi
Terjemahannya
Ompu raja di depan, Bertongkatkan Pohon Sialagundi Dibuka pertama oleh Ompu kita, akan diikuti dibelakang
Namun dari raja-raja bius yang menggunakan gelar ompu i, maka raja yang paling terkenal yang mendapat gelar tersebut adalah Singamangaraja.4 Hal ini
terlihat dari lagu “Tampollong Ma Disi” (Ansideng Ansinonding) yang dinyanyikan masyarakat sekitar pemukiman Singamangaraja di Bangkara pasca terbunuhnya Raja Singamangaraja XII5, dan juga masih banyak lagi bukti-bukti lainnya yang menyebut Singamangaraja dengan sebutan Ompu i.
Gelar Ompu i yang digunakan oleh Singamangaraja sangatlah berbeda dengan raja pada umumnya atau seperti yang dikatakan Sidjabat dengan
4 Raja Singamangaraja adalah raja yang wilayah kekuasaannya tidak hanya di wilayah
Toba, melainkan hingga Sumatera Utara. Hal ini terlihat dari jejak-jejak yang ditinggalkannya. Semasa hidupnya, ia aktif melawan permerintahan kolonial Belanda, sehingga atas jasanya tersebut, ia diangkat menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia melalui Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia No. 590 tertanggal 19 Nopember 1961.
5 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.
Ompu i |35 pembedaannya yang melihat dengan huruf “o” kecil dan “O” besar antara ompu i
dengan Ompu i.6 Hal ini dikarenakan kedudukan Singamangaraja yang mendapatkan tempat istimewa ditengah-tengah masyarakat.
Kedudukan raja di dalam Singamangaraja bukan hanya jabatan sekuler, namun lebih dari pada itu sebagai pemimpin spiritual (rohani).7 Bahkan saya melihat bahwa pada awalnya gelar Ompu i ini justru digunakan untuk penyembahan atau religiusitas yang kemudian menjadi menyatu dengan jabatan struktural (sekuler), yakni raja. Hal ini juga ditegaskan oleh PH O.L. Tobing (1963) yang melihat bahwa gelar Ompu i berhubungan dengan penyembahan dalam religiositas,8 sehingga pemberian gelar ompu i kepada Raja Singamangaraja disebabkan adanya keyakinan bahwa Raja Singamangaraja merupakan titisan Debata atau dengan kata lain dapat dikatakan sebagai “Debata Na Tarida” (Tuhan yang terlihat), dalam pengertian religi masyarakat tradisional Batak, yang dalam
umpasa dikatakan: “Singamangaraja, Debata Na Tarida, sombaon na binoto”,
artinya “Singamangaraja adalah Tuhan yang terlihat, roh suci yang dapat diketahui”.9
Melihat ketiga fungsi pemakaian gelar tersebut maka dapat disimpulkan bahwa gelar ini merupakan gelar kehormatan yang diberikan kepada sesuatu yang dianggap paling dihormati, dihargai dan mendapatkan tempat yang paling tinggi
6 Lih. Ibid., hl. 431.
7 N. Siahaan B.A., Sedjarah Kebudajaan Batak: Suatu Studi Tentang Suku Batak Toba-
Angkola-Mandailing-Simelengun-Pakpak Dairi-Karo (Medan: C.V. Napitupulu & Sons, 1964), hl.30
8Ibid., hl. 42
9 Sering kesalahan arti terjadi di dalam mendefinisikan antara leluhur dengan Tuhan. Dalam
pandangan religi masyarakat Batak Toba tradisional, para leluhur (Ompu) juga dikenakan kepada Dewa/Tuhan. Hal ini disebabkan karena dahulu dalam masyarakat Batak tradisional, tidak ada pemisahan antara realitas (kenyataan) dengan sesuatu yang metafisik (mahluk kayangan).
Ompu i |36
dihadapan masyarakat, baik dalam bentuk posisi silsilah, jabatan (baca: raja) dan otoritas. Maka dari itu, ketika ketiga definisi ini dikaitkan dengan Nommensen, yang merujuk kepada Ephorus HKBP, pertanyaan mendasar adalah dimanakah posisi gelar Ompu i Nommensen tersebut, mengingat latar belakang Nommensen yang merupakan seorang non-pribumi, namun dapat diberikan gelar Ompu i oleh masyarakat Batak (baca: pengikut)? Pertanyaan ini akan membuka posisi penting atau kedudukan Nommensen dalam bentuk relasi kuasa.
Dalam fenomena pemakaian gelar Ompu i, Nommensen sering dikaitkan atau disandingkan dengan Raja Singamangaraja. Hal ini terlihat dari beberapa ahli sejarah yang mengaitkan kedua orang tersebut, misal salah satunya Van den End yang mengungkapkan bahwa dengan pemakaian gelar tersebut maka Nommensen sendiri dapat disandingkan dengan Raja Singamangaraja.10 Sedikit berbeda dengan Van den End, menurut PTD Sihombing dalam bukunya Tuan Manullang (2008), gelar Ompu i yang ada di Nommensen merupakan gelar yang dialihkan dari Raja Singamangaraja XII sepeninggalan dirinya. Gelar kehormatan ini dialihkan atas kebaikan dan kelembutan hati Nommensen oleh pengikutnya.11 Lain halnya dengan pengakuan Ds. K. Sitompul yang merupakan seorang Pendeta HKBP seperti yang dicatat oleh Bonar Sidjabat, gelar Ompu i yang digunakan oleh Nommensen memanglah dahulu digunakan oleh Singamangaraja. Dan catatan tersebut melepaskan unsur religius dari gelar tersebut dengan hanya melihat secara sosial-
10 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1999), hl. 186
11 Dr. PTD Sihombing, Tuan Manullang (Humbang: Albert-Orem Ministry, 2008), hl.
Ompu i |37
politik mengenai peran Singamangaraja sebagai pendamai bagi masyarakat Batak. Yang menarik kemudian dalam catatan tersebut ada semacam klaim atas kesengajaan yang dilakukan oleh para misionaris Jerman yang secara sadar menggunakan gelar tersebut untuk mempengaruhi agar tidak lagi mengikuti Singamangaraja XII.12
Namun terlepas dari banyaknya interpretasi mengenai asal muasal gelar Ompu i tersebut; baik itu berupa klaim sepihak dari para misionaris atau pemberian dari pengikut; saya melihat dari pemikiran Foucault yang menyatakan bahwa kekuasaan itu menyebar atau bersifat desentralisasi, maka munculnya gelar Ompu i Nommensen merupakan (tak lepas) suatu konstruk atau reproduksi wacana yang mempengaruhi pengikut (baca: masyarakat Batak) dalam bentuk dominasi kekuasaan tentang sosok seorang pemimpin atau dalam wacana kepemimpinan, sehingga memunculkan pengetahuan mengenai wacana kepemimpinan Ompu i Nommensen. Hal inilah kemudian muncul fenomena dalam kehidupan masyarakat Batak hingga sekarang bahwa kedua tokoh ini selalu disandingkan bersama, misalnya saja TB Simatupang, seorang mantan purnawirawan TNI (Tentara Republik Indonesia) yang juga sebagai kaum intelektual dalam isu Gereja, dan budaya Batak, menyatakan bahwa masyarakat Batak berada di dalam dua Ompu i, yakni Singamangaraja dan Nommensen.13 Bahkan penyandingan ini justru
12 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Op. Cit., hl. 431.
13 Panda Nababan, dkk (eds), Selagi Hari Siang: Tugas Mendesak untuk Segenap Warga
Jemaat Huria Kristen Batak Protestan; Notulen Seminar Sehari HKBP Memasuki Era Industrialisasi (Jakarta: Yayasan Sinar Mampang, 1988), hl. 36. Hal yang sama juga saya dapatkan ketika melakukan wawancara dengan Wilson Lumbanraja, salah seorang penganut Ugamo Malim, yang mengatakan: “Ompu i yang mana, Singamangaraja atau Nommensen?”. (Wawancara dengan Wilson Lumbanraja pada 30 April 2016).
Ompu i |38
menimbulkan polemik bagi masyarakat Kristen Batak antara identitas kesukuan dengan keyakinan agamanya.14 Tak heran bahwa kemudian hari muncul tokoh- tokoh intelektual yang berusaha mendamaikan kedua sosok tersebut melalui penelitian sejarahnya, walaupun tak menutup kemungkinan hal-hal yang kontroversi turut muncul dalam bentuk pertentangan kedua tokoh tersebut yang memang dalam realitas sejarahnya kedua tokoh tersebut pernah berjumpa. Terlepas adanya polemik tersebut, namun yang pasti, kaitan antara wacana Ompu i Nommensen dengan Singamangaraja menjadi wacana umum yang berkembang di tengah masyarakat Batak, terlebih Toba.
Ketika terdapat penyandingan antara kedua tokoh tersebut maka masyarakat Batak (baca: para pengikutnya) meyakini bahwa gelar Ompu i yang dikenakan oleh Nommensen merupakan gelar dalam bentuk definisi yang digunakan oleh raja walaupun memiliki kedudukan dan peran yang lebih dari raja lainnya, atau dengan kata lain, memiliki definisi yang sama dengan gelar Ompu i yang dikenakan oleh Raja Singamangaraja. Maka dari itu, di sini saya perlu terlebih dahulu melihat dan menggali pengetahuan masyarakat Batak mengenai gelar ini dalam bentuk posisi serta kedudukannya, sebelum masuknya misionaris ke Tanah Batak, atau ketika Singamangaraja tampil sebagai raja dan memiliki kedaulatan yang penuh.
14 Banyak wacana-wacana yang membangun kebimbangan ini, misalnya salah satunya
Ompu i |39