• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang dan Pemikiran Tokoh-Tokoh RMG (Rheinische Missionsgesellschaft): Kolonialisme dan Rasisme

WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN

2. Latar Belakang dan Pemikiran Tokoh-Tokoh RMG (Rheinische Missionsgesellschaft): Kolonialisme dan Rasisme

Keberadaan RMG tidak dapat dilepaskan dari pihak kolonial Belanda selaku penguasa teritorial jajahan di Nusantara yang memiliki otoritas sebagai sesuatu yang mengikat. Selain itu juga, adanya faktor kesamaan dalam satu rumpun - Eropa - membuat badan zending ini memiliki konteks latar belakang yang sama. Misalnya, kebangkitan rasionalisasi menjadi dasar dalam pemahaman mereka. Namun demikian hal ini tidak menutup kemungkinan untuk memahami lebih jauh

Ompu i |85

mengenai latar belakang RMG sebagai bentuk integritas atas institusi zending. Tujuannya adalah untuk melihat pengaruh-pengaruh yang membentuk dan mendasari RMG itu sendiri sebagai badan zending, khususnya ketika konteks di dalam semangat zaman itu dipahami dalam melakukan misinya, baik berupa kebijakan maupun tekhnik atau strategi misi. Untuk itu, saya akan mencoba memaparkan mengenai latar belakang RMG ini.

RMG yang lahir di Barmen, Jerman pada 28 September 1828 merupakan gabungan dari beberapa badan zending, di mana aliran pietisme menjadi dasar dari badan zending ini; yang merujuk kepada gerakan kebangunan rohani dan gerakan pekabaran Injil di Inggris. Namun demikian selaku badan zending, RMG juga dipengaruhi oleh berbagai ajaran atau paham, terutama dalam pemikiran yang berkembang pada saat itu dan menjadi semangat zaman, baik dalam bidang teologi maupun filsafat. Ini artinya, di balik tujuannya di dalam pekabaran Injil dan membawa kedamaian, badan zending RMG ini justru menyimpan beberapa paham, yakni paham yang berkembang pada saat itu, kolonialisme dan rasisme. Paham ini merupakan pengaruh zaman yang dibungkus dengan semangat pietisme dalam sebuah proyeksi pekabaran Injil. Ada beberapa hal yang perlu disorot dalam melihat pengaruh zaman atas badan zending itu sendiri, yakni: Pertama, Filsafat Idealisme. Aliran ini mengedepankan semangat nasionalisme dan idealisme Jerman. Tokoh- tokoh seperti Fichte, G.W.F. Hegel dan Schelling mendasari aliran ini. Filsafat Idealisme melihat realitas memiliki korelasi dengan pikiran dan mengatasinya. Ketika rasionalisme dan empirisme berusaha mengkritik metafisika tradisional, maka filsafat ini justru tidak menempatkan rasio dalam subjek, melainkan dalam

Ompu i |86

mengatasi realitas itu sendiri, atau yang sering Hegel katakan sebagai “subjek absolut.” Ia menggunakan rasionalisme dan naturalisme dengan menempatkan rasio sebagai sebagai kesahihan yang mutlak. Melalui Dialetika Hegel, tese- antitese-sintese, “subjek absolut” hadir dalam mengatasi sesuatu yang tidak dapat dipertanyakan, sehingga idealisme sendiri menjadi demitologis atas teologi Kekristenan atau dengan kata lain selalu merasionalisasikannya menjadi spekulasi filosofis.9

Namun ditengah pemikirannya ini, ia justru meyakini superioritas kebudayaan Eropa, khususnya Jerman, atas kebudayaan lainnya. Melalui dialektikanya, ia menjelaskan bahwa kebudayaan Eropa, khususnya ras Jerman, merupakan sintesa atas kebudayaan Asia sebagai tese dan kebudayaan Laut Tengah sebagai anti-tesenya.10 Keyakinannya atas superioritas Jerman tidak berhenti hingga di sini, ia juga meyakini bahwa Kekristenan melalui Roh Kudus merupakan Roh Absolut, di mana ia merendahkan agama lainnya, Yahudi maupun Islam. Dampak pemikiran Hegel ini justru menyulut keyakinan dan membangkitkan rasa superioritas masyarakat Jerman terhadap rasnya sendiri, termasuk para misionaris RMG sendiri.11 Bahkan pemikirannya mengenai Tuan dan Budak (Master/Slave) justru mendapatkan apresiasi dan apologi atas kolonialisme yang dilakukan Jerman untuk menaikkan atau mengangkat harkat masyarakat jajahan. Mekanismenya bahwa tuan mengenal dan mengukuhkan dirinya dengan cara memaksakan

9 The Cambridge Dictionary of Philosophy edisi kedua, hl. 412.

10 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan Kristen di Tanah Batak (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 1988), hl. 94.

11 Orang yang membawa dan mengajarkan pemahaman Hegel kepada para misionaris

Ompu i |87

kesadarannya sendiri sebagai kesadaran yang lain, dan budakpun sebaliknya yang mengenali dirinya dalam kesadaran tuannya, sehingga budak menjadi tuan ketika mengerjakan kehendak tuannya melalui hasil-hasil kerjanya atau dengan kata lain menjadi tuan atas alam. Pemikiran Hegel ini dipegang sepenuhnya oleh beberapa tokoh RMG; dan orang yang menyebarkan dan mengajarkan pemikiran Hegel ini ke RMG adalah Gustav Klemm (1802-1872), seorang antropolog.12 Hal ini terlihat dari beberapa pemikiran para tokoh RMG yang memahami penjajahan merupakan tindakan manusiawi untuk memajukan bangsa berkulit hitam.13

Kedua, hampir sama dengan yang pertama namun lebih spesifik kepada etnis dan komunitas itu sendiri, yakni ethno-nasionalisme. Istilah nasionalisme pertama kali digunakan oleh Gottfried von Herder (1744-1803), yang datang dari tradisi Romantisme Jerman. Istilah ini sebenarnya ia gunakan bukan dalam arti chauvinisme melainkan lebih dari pada itu, yakni memberikan arti tentang kehidupan dan pengembangan pendidikan di dalam kemanusiaan yang dapat dilakukan melalui budaya yang sama serta bahasa yang khusus. Bahkan gagasan Herder ini dikembangkan Fichte kemudian bahwa adanya perbedaan bahasa dalam suatu Negara akan menimbulkan hambatan dalam perkembangan suatu Negara. 14 Pandangan ini ingin menekankan etnis atau masyarakat homogen kepada suatu ide komunitas nasional yang harus di jaga dan dilindungi. Namun perkembangan selanjutnya pandangan ini justru semakin ditingkatkan oleh Hitler dalam bentuk

12 F. Budi Hardiman, Pemikiran-Pemikiran Yang Membentuk Dunia Modern: Dari

Machiavelli sampai Nietzsche (Jakarta: Erlangga, 2011), hl. 159.

13 Uli Kozok, Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba

(Jakarta: Obor, 2010), hl. 61.

14 Richard Allen, Nationalism and Contemporary German Politics: Inclusion versus

Ompu i |88

chauvinisme di mana Jerman sendiri telah mengalaminya dengan munculnya doktrin radikal mengenai konsep ethno-nasionalisme Jerman yang berdasar pada mitos bangsa Arya dalam melihat masyarakat Jerman yang murni (volksgemeinschaft).

Kedua pemahaman diatas mendasari akan suatu semangat zaman di mana rasa atas superioritas Barat (baca: Eropa) atau bahkan diperparah dengan keyakinan masyarakat pribumi Jerman atas keunggulan rasnya, serta legalitas atas kolonialisme mempengaruhi sifat RMG dalam pekabaran Injilnya di Tanah Batak. Hal inilah kemudian yang memunculkan rasisme di dalam sebuah perjumpaan atau kolonialisme. Aliran pietisme atau paham teologi hanyalah membungkus kedua pemahaman tersebut yang seperti Ania Loomba katakan menjadi suatu prisma yang membiaskan namun justru memunculkan masalah-masalah konseptual baru yang pada prakteknya mengkonstruksi Kekristenan terpisah dari agama-agama lainnya yang berakibat timbulnya kekerasan, baik di tingkat wacana maupun praksis.15

Memang pemahaman atas kolonialisme dan rasa atas superioritas Barat ini tidak semua diterima dan dipahami secara ekstrim dan radikal di kalangan tokoh- tokoh RMG. Namun wacana ini tetaplah diadopsi meskipun tidak dipahami secara radikal. Terkadang wacana ini juga menjadi perdebatan diantara kalangan-kalangan RMG sendiri, terlebih ketika dikaitkan dalam hubungan pemerintah kolonial

15 Lih. Ania Loomba, Op. Cit., hl. 157.Pandangan Loomba ini didasarkan atas asosiasi

berdasarkan penafsiran Kitab Injil, di mana orang-orang kulit hitam ditempatkan pada makhluk- makhluk yang menuai kemarahan Tuhan, yang merupakan keturunan dari putra Nuh, yakni Ham yang memiliki sifat yang jahat. Namun di sisi lain Injil juga mengatakan bahwa semua manusia adalah saudara yang diturunkan dari keturunan yang sama. Penafsiran-penafsiran ini jugalah yang digunakan oleh para tokoh-tokoh RMG, khususnya Rohden dan Fabri, dalam melihat dan memandang orang-orang kafir. (Bdk. Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 57-65).

Ompu i |89

dengan badan zending itu sendiri.Tokoh-tokoh seperti Ludwig von Rohden (1815- 1889) dan Friedrich Fabri (1824-1891) adalah tokoh yang termasuk memahami gagasan ini secara radikal. Bahkan Friedrich Fabri sendiri yang pernah menjadi inspektur RMG (1857) serta yang memiliki andil dalam terciptanya pekabaran Injil di Tanah Batak, terkenal sebagai bapak Kolonial Jerman setelah ia menerbitkan buku berjudul: Bedarf Deutschland der Kolonien? (Does Germany Need Colonies?) pada 1879. Gagasannya menganjurkan Jerman untuk memiliki wilayah kolonial dalam menciptakan stabilitas perekonomian Jerman. Dengan pemahamannya ini maka pekabaran Injil dipandang dan dilaksanakan untuk mendukung superioritas Barat, sehingga ia menganjurkan agar pemerintahan Kristen haruslah mendukung zending. Keduanya harus berjalan bersama-sama, di mana zending melakukan tugasnya lebih kepada penginjilan dan pengadaban. Hubungan ini ia namakan sebagai teori engagement.16

Pasca Fabri, kebijakan hubungan kolonialisme dengan badan zending mulai melunak.17 Beberapa tokoh-tokoh RMG mulai bersuara dan mengubah kebijakan- kebijakan yang diterapkan Fabri sebelumnya. Gustav Warneck misalnya yang menjadi inspektur RMG dan guru di Seminari Barmen (1834-1910). Walaupun

16 Dengan pandangannya ini ia pun sangat mengecam pemerintahan kolonial Belanda atas

apa yang terjadi di Kalimantan dengan terbunuhnya para misionaris RMG pada 1859. Menurutnya pihak kolonial Belanda kurang memberikan dukungan dan keleluasan dalam bekerja kepada zending. Ibid., hl. 108.

17 Perubahan kebijakan RMG ini seperti dikutip oleh Uli Kozok: “Tugas kalian

menyebarkan injil dan menyelamatkan jiwa-jiwa pada bangsa [tujuan penginjilan] kalian sedangkan mereka hendak memperkaya diri, ingin berdagang dan berusaha tidak peduli apakah hal itu membinasakan rakyatnya. Munculnya kawasan penjajahan di daerah kekafiran senantiasa diiringi ketidakadilan, entah bangsa penjajah itu Portugis, Spanyol, Belanda, atau Inggris. Orang Jerman pun tidak akan melakukannya dengan lebih baik, dan tugas kalian adalah untuk sedapat- dapatnya melindungi rakyat kalian terhadap kekerasan dan penganiayaan oleh bangsa putih. [...]. Jauhkan diri dari segala masalah politik.” Lih. Uli Kozok, Op. Cit., hl. 71.

Ompu i |90

Warneck hanya sebentar terlibat di dalam RMG namun pengaruhnya sangatlah terasa di tubuh RMG sendiri, terlebih wawasannya mengenai misiologi (ilmu pekabaran Injil) menjadi acuan bagi para tokoh-tokoh RMG sesudahnya. 18

Di dalam pemahamannya yang berbeda dengan Fabri, ia tidak terlalu memandang kolonialisme dan superioritas Barat secara radikal, melainkan melihatnya dari sudut pandang teologis - dalam arti positif - sebagai suatu sarana dalam pekabaran Injil untuk membawa keselamatan bangsa-bangsa.19 Ia meyakini bahwa Kekristenan akan membawa kehidupan baru sedangkan agama-agama lain tidak. Namun demikian agama-agama lain dipandang masih memiliki “logos spermatikos” (intisari pengetahuan), sehingga Injil haruslah diwartakan kepada mereka agar beroleh kehidupan yang kekal. Konsep pemikiran Warneck tentang pekabaran Injil tidak dilakukan secara destruktif, melainkan dilakukan di dalam struktur organisnya, yakni berupa adat dan struktur masyarakatnya (Volkstum), dikarenakan adat dan struktur masyarakat tersebut juga memiliki “logos spermatikos”.20

Konsep misiologi Warneck adalah Volkschristianisierung, pengkristenan kepada seluruh orang atau bangsa-bangsa dan tujuan akhirnya Missionsziel adalah perwujudan gereja rakyat yang mandiri.21 Dengan pemahaman ini, ia menolak

18 Pengaruh misiologi Warneck sangat terasa di kalangan Protestan, sehingga ia dijuluki

Bapak dari misiologi Protestan. Lih. Hans Kasdorf, The Legacy of Gustav Warneck dalam Occasional Buletin, Juli, 1980, hl. 106.

19 Hubungan dengan kolonialisme ini ia nyatakan dengan :"In diese Situation muB die

Mission sich finden, in dieses Drängen christlich-westlicher Elemente, durch die Heil und Gericht iiber die Volker gebracht werden." Lih. Herald E. Winkler, The Divided Roots of Lutheranism in South Africa (Disertasi Department of Religious Studies University of Cape Town, 1989), hl. 18.

20 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan,Op. Cit., hl. 114-116. 21Ibid., hl. 116.

Ompu i |91

penghilangan budaya lokal dalam metode pengkabaran Injilnya. Pandangannya ini sesuai dengan Gottfried von Herder dalam bentuk pengajaran dan pendidikan. Bahkan secara terang-terangan ia pun juga menolak pendidikan a la Barat untuk menghilangkan budaya lokal yang menurutnya sudah terlalu intelektualitas dan materialistis seperti banyak yang dilakukan oleh para pendidik-pendidik Barat. Hal ini menurutnya akan menghasilkan karikatur budaya (Kulturkarikaturen).22

Walaupun Warneck sendiri menghargai akan keberadaan adat dan budaya lokal sendiri namun banyak juga yang meragukan gagasan Warneck ini dengan melihat masih adanya pemahaman tentang superioritas Barat dan pertentangannya yang melekat dibenaknya, terutama ketika berkaitan dengan kemandirian Gereja. Hal ini dikemukakan Dürr seperti yang dicatat oleh Jan S. Aritonang:

“Dalam hal jaminan tentang kemandirian gereja Warneck begitu skeptis dan hati-hati dibandingkan yang lain, karena ia…bersiteguh bahwa para pengerja

bumi “belum matang” untuk mengemban tanggung jawab kemandirian yang besar

itu. Dasar pandangannnya terutama terletak pada anggapan “inferioritas ras”.

Pada orang-orang Kristen pribumi, yang sebagian besar bermukim di daerah tropis, tidak terdapat kualitas watak yang hakiki, hal yang mutlak harus ada bagi

suatu pertumbuhan dan kepemimpinan Gereja yang sehat.”23

Pemahaman misiologi Warneck ini sangatlah berpengaruh kepada para tokoh RMG dalam melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak. Paling tidak pandangannya memberikan deskripsi akan strategi dan metode yang dilakukan oleh RMG.

Tokoh lain yang juga memiliki kebijakan di dalam RMG adalah August Schreiber (1839-1903). Pengaruh Schreiber tak lepas atas jabatan yang

22Ibid., hl 120.

23 J. Dürr, Sendende Und Werdende Kirche In Der Missionstheologie Gustav Warneck

Ompu i |92

diembannya sebagai inspektur RMG, sekaligus menjadi salah satu jajaran para misionaris yang turun langsung ke wilayah zending. Hampir sama dengan pemikiran Warneck, ia pun juga menekankan pekabaran Injil ke seluruh bangsa- bangsa. Baginya masyarakat kafir masihlah kanak-kanak yang perlu dididik, sehingga tugas zending adalah mendidik mereka. Namun demikian ia sangatlah menghargai adat dan budaya pribumi. Ia menolak dan mengecam pandangan orang- orang Barat yang memiliki pemikiran negatif kepada pribumi, sehingga merusak tatanan budaya.24

Dalam hubungan dengan pemerintahan kolonial, Schreiber sangat jelas menolak campur tangan pemerintah kolonial dengan badan zending. Ia selalu berusaha untuk menjaga jarak dengan pemerintah kolonial. Walaupun ia melihat kolonialisme sebagai sesuatu hal yang positif, namun baginya pemerintah kolonial dan badan zending memiliki tugas berbeda.25

Dari adanya pemahaman-pemahaman yang mendasari para tokoh RMG ini, paling tidak isu-isu yang dikembangkan dalam wacana kolonialisme mengenai superioritas Barat masih dapat dikatakan hadir dalam tubuh RMG, termasuk kepada para misionaris. Hal ini juga terlihat dari dampak yang ditimbulkan di dalam pekabaran Injil di Tanah Batak sekitar tahun 1918 berupa penolakan dan pemberontakan, seperti yang disampaikan Daniel Meulen yang dikutip oleh Uli Kozok berikut ini:26

“Ketika Dr. Warneck datang ke Sumatra untuk mengambil alih kepemimpinan Batakmission sesudah perang dunia, dia pun meminta nasehat Haibach. Bersama- sama kami membeicarakan masalah utama di kalangan Batak Kristen, yaitu sikap

24 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Pendidikan, Op. Cit., hl. 127. 25 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl 72.

Ompu i |93

kritis, bahkan negatif, dikalangan generasi muda terhadap penginjil Jerman […] yang masih tetap berpegang pada sikap nasionalis yang menekankan keunggulan orang putih. […] Saya mengatakan (kepada Warneck) bahwa para penginjil itu salah sendiri. Seharusnya mereka sudah lama meninggalkan sikap kolonialis

Barat. […] Seharusnya mereka menjadi perintis dan tidak selalu menuruti

pemerintah.”