WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN
4. Mempahlawankan Nommensen: Konstruk atas Ompu i Nommensen
Dalam sebuah komunitas yang berbasis kerajaan maka pemimpin menjadi faktor penting dalam menggambarkan identitas komunitas tersebut. Misi penginjilan yang dilakukan oleh RMG dalam membangun komunitas kerajaan Kristen ditandai dengan adanya kekuasaan dalam meninggikan supremasi Bangsa Eropa. Hal ini dipertegas dengan munculnya Nommensen sebagai pemimpin masyarakat Batak. Pasca meninggalnya Raja Singamangaraja XII maka kepemimpinan di dalam masyarakat di isi dalam bentuk yang lain; melalui Kerajaan Kristen maka Nommensen mengisi kekuasaan tersebut. Sebelumnya, ia juga telah memimpin para raja bius, namun wilayahnya masih meliputi Silindung dan sekitarnya. Pasca kematian Singamangaraja XII maka semakin banyaklah raja-raja yang ikut kepadanya. Ia pun mengambil peran yang dilakukan oleh Singamangaraja XII. Misalnya mendamaikan konflik antar huta, horja maupun bius, mengatur
122 Maraknya berita ini seperti dituliskan Meerwaldt dalam majalah Rijnsche Zending. Lih.
Mohammad Said, Singa Mangaradja XII (Medan: Waspada, 1961), hl. 28-29.
123Vicente L. Rafael, “Introduction: Criminality and Its Others” dalam Vicente L. Rafael
(ed.) Figures of Criminality in Indonesia, The Philippines, and Colonial Vietnam (Ithaca: Cornell University: 1999), hl. 15.
Ompu i |138
tatanan onan (pekan atau pasar)124, atau bernegosiasi dengan pemerintah kolonial Belanda dalam perlindungan warga sipil. Hal ini menandakan bahwa ia menjadi
“penyambung lidah rakyat” yang dianggap membela adat dan budaya bagi komunitas Batak dari penghilangan budaya yang sempat didengungkan RMG, serta membela kesejahteraan masyarakat Batak dari pemerintah kolonial dan bangsa- bangsa sekitar.
Peran besar Nommensen ini mengindikasikan posisi dan kedudukan Nommensen di tengah-tengah masyarakat Batak yang terus berlanjut pasca Nommensen. Misalnya, salah satu yang tercatat adalah, perdamaian atau pemulihan kerukunan di Sipahutar sesama marga Silitonga. Kisah ini di tulis di dalam majalah Suara Batak pada 12 dan 19 Juli 1930 ketika Misionaris RMG masih menginjili di Tanah Batak. Dalam kisahnya memperlihatkan suatu struktur sosial masyarakat Batak yang sudah memiliki pembagian yang jelas antara sekuler dan rohani, namun masih memerlukan Ephorus sebagai suatu juru damai atau saksi perdamaian sebagai sesuatu yang tidak dimiliki di dalam masalah sekuler.125 Dengan catatan ini maka usaha-usaha yang dilakukan Nommmensen telah meninggalkan jejak dari fungsi jabatan Ephorus. Kebutuhan ini hampir sama dan dapat dilihat dari suatu tradisi adat dan budaya, di mana dalam Suhi ampang Na Opat, bayangan atas
124 Kebijakan dalam mengatur jadwal onan (pasar) juga dilakukan oleh Nommensen dan
beberapa misionaris yang melibatkan raja-raja bius sebagai penguasa wilayah, sehingga tidak ada hari onan yang sama di setiap daerah dan juga tidak ada hari onan pada hari minggu. Hal ini seperti diutarakan oleh Ephorus HKBP, Pdt. Dr. Darwin Lumbantobing. Lih. http://hkbp.or.id/2017/02/25/dulunya-missionaris-bersama-dengan-bius-dan-raja-berkumpul- untuk-menentukan-hari-onan/. Diakses pada 27 Februari 2017. Bahkan menurut Castles kebijakan Onan ini telah dilakukan oleh para Misionaris sebelum masuknya pemerintahan kolonial Belanda ke Tanah Batak. Lih hl. Lance Castles, Op. Cit., hl. 23.
125 Majalah Suara Batak 12 dan 19 Juli 1930 dalam J.C. Vergouwen, Masyarakat dan
Ompu i |139
kedudukan Singamangaraja dipandang sebagai sesuatu yang religius yang menyatukan bius-bius yang ada.
Walaupun secara struktural Nommensen dapat dikatakan memiliki kebijakan atas bius-bius, namun kekuasaannya tak lepas dari konstruk yang dibangun oleh RMG sendiri. Wacana-wacana yang dihadirkan di dalam Surat Kuliling Immanuel justru berusaha menciptakan Nommensen yang lebih memiliki kuasa kesaktian dibandingkan Raja Singamangaraja XII.
Hal ini terlihat dalam sebuah kisah di Surat Kuliling Immanuel yang mengangkat kisah di Silindung pada tahun 1866. Dalam cerita tersebut ketika Raja Singamangaraja XII beserta pasukannya telah datang untuk membunuh para pendeta (Nommensen dan beberapa misionaris) dan umatnya, maka seketika itu datanglah wabah penyakit cacar karena Tuhan tidak berkenan kepada mereka. Semua orang ditempat itu terkena cacar, dan pembunuhan itu tidak terjadi. Orang- orang Kristen yang juga ikut terkena cacar maka seketika itu juga langsung sembuh setelah memakan obat yang diberikan oleh Nommensen.126 Dalam kisah ini tergambarkan citra Nommensen yang bukan hanya dilindungi oleh kuasa Tuhan melainkan ia menjadi penyelamat bagi pengikutnya.
Sama halnya dengan kisah ketika Nommensen mendapat pencobaan pembunuhan yang dilakukan oleh para penganut agama tradisional (Sipelebegu) pada peristiwa acara persembahan kurban (agama tradisional) di Siatas Barita. Ketika Nommensen hendak dibunuh maka datanglah hujan lebat yang
Ompu i |140
membatalkan niat mereka.127 Kisah ini sering diangkat sebagai suatu kesaktian Nommensen dalam menghadapi para pemeluk agama tradisional. Sebagaimana yang dikatakan oleh para Misionaris bahwa Nommensenlah yang paling sering mendapatkan tantangan dari pemeluk agama tradisional.
Dari kisah-kisah tersebut Nommensen dicitrakan dalam bentuk memiliki kesaktian yang lebih tinggi dari kelompok Parbaringin (datu, malim, dsb), bahkan termasuk Raja Singamangaraja sebagai titisan Tuhan. Pengangkatan kisah ini menandakan konstruk yang dilakukan oleh para Misionaris berusaha meyakinkan masyarakat Batak kepada kekuatan (kesaktian) Nommensen yang lebih tinggi dari pada agama tradisional Batak - sebagai sesuatu yang tidak dimiliki agama tradisional.
Memang dari beberapa misionaris yang diutus oleh RMG, Nommensen memang menjadi yang terdepan di dalam penginjilan di Tanah Batak. Ia menjadi yang paling memahami kebutuhan dan adat dan budaya masyarakat Batak, sehingga membuat para misionaris selalu bertanya dan mempercayakan tentang rancana- rencana RMG dalam melaksanakan misinya kepadanya, termasuk dalam hal ini mengenai penyusunan tata gereja. Dari seluruh misionaris RMG, ia pun yang paling lama tinggal di Tanah Batak selama 57 tahun dengan memilih untuk menetap di Tanah Batak di saat banyak para misionaris yang justru pulang ke tanah airnya. Ia pun meninggal pada usia 84 tahun dan dikuburkan di Sigumpar. Melihat sepak terjang Nommensen, maka para misionaris pun selalu mengedepankan
Ompu i |141
Nommensen, termasuk dalam mengangkat citra Nommensen. Puncaknya, ia pun dipilih dan diangkat menjadi ”Overseer” (pengawas) atau pimpinan tertinggi misi di Tanah Batak pada tahun 1881. Jabatan inilah yang kemudian menjadi cikal bakal dari Ephorus.
Konstruksi akan kekuasaan Nommensen semakin berpengaruh ketika keluarnya buku berjudul Ompu i Dr. Ingwer Ludwig Nommensen oleh anak kandung Nommensen, J.T. Nommensen pada tahun 1920an dalam bahasa Batak yang kemudian diterjemahkan dengan judul yang sama dalam bahasa Indonesia pada tahun 1970. Paling tidak menurut Jan Aritonang buku ini menjadi awal legendarisasi atas diri Nommensen.128 Namun menurut saya, buku ini semacam menjadi kanonisasi atas sikap dan sifat kepemimpinan Ompu i, di mana kisah-kisah Nommensen yang ditampilkan dalam buku biografi tersebut - perjuangan dan pengorbanannya - dibayangkan sebagai sosok pemimpin yang mampu membawa keluar bangsa Batak dari keterisolasiannya, yakni Ompu i.
D.
Kesimpulan
Penginjilan yang terjadi pada abad ke-18 dan 19 bersamaan dengan munculnya kolonialisme dan rasisme di Eropa. Mereka menganggap bahwa rasionalisme yang ada di dalam nilai-nilai Kekristenan pada waktu itu, tidak bisa dipungkiri, dipandang sebagai yang membawa kemajuan bagi bangsa Eropa. Dengan latar belakang inilah maka reproduksi kekuasaan yang dilakukan oleh
Ompu i |142
bangsa Eropa merupakan satu kesatuan dengan usaha penginjilan. Tujuannya adalah supremasi bangsa Eropa ditegakkan.
RMG sebagai badan zending yang berasal dari Jerman juga melakukan reproduksi kekuasaan atas adat dan budaya yang dianggap primitif. Melalui strategi dan tekhnik maka reproduksi itu terjadi. Mereka mereproduksi sistem struktur masyarakat Batak yang berdasar pada adat dan budaya tradisional, yakni kerajaan tradisional di mana Raja Singamangaraja tampil sebagai penguasa direproduksi menjadi Kerajaan Kristen. Nilai-nilai yang dianggap primitif dihilangkan dengan membangun nilai-nilai modern (rasionalitas).
Namun demikian RMG tidaklah tampil sendirian. Pemerintah kolonial Belanda ikut membantu dalam terciptanya reproduksi kekuasaan tersebut. Aksi militer berupa kekerasan, pembakaran kampung-kampung dan penaklukan raja-raja yang dilakukan pemerintah kolonial Belanda adalah wujud dari campur tangan pemerintah kolonial kepada RMG. Aksi militer tersebut dipandang sebagai bentuk pengadaban yang memiliki keuntungan bagi kedua belah pihak, baik pemerintah kolonial maupun RMG. Hasilnya adalah Kekristenan menyebar dengan pesat di Tanah Batak, dan Nommensen mendapatkan kekuasaan yang sama dengan Singamangaraja.
143