• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah Orientalisme

WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN

3. Masalah Orientalisme

Setelah memberikan latar belakang munculnya kolonialisme, dalam hal ini termasuk badan zending, yang memiliki rasa superioritas Barat maka tak dapat dipungkiri bahwa di dalam wilayah kolonial memunculkan suatu dominasi ideologi dari kaca mata orang-orang Barat akan apa yang dinamakan Orientalisme.27 Istilah- istilah yang berkembang di wilayah kolonial atau kepada yang dijajah, misalnya kafir, primitif, dll, merupakan deskripsi yang berasal dari wacana Barat. Menurut Edward Said, orientalisme sebenarnya merupakan suatu gaya berpikir akan adanya perbedaan ontologis dan epistemologis antara Timur (Orient) dan Barat (Occident), walaupun faktanya adalah bahwa wacana Timur tersebut berasal dari Barat akibat dominasi wacana terhadap Timur.28

Masuknya badan zending RMG ke Tanah Batak juga tidak lepas dari dominasi wacana Barat. Istilah-istilah “primitif”, dsb. juga muncul dari para misionaris kepada masyarakat Batak. Namun dominasi wacana Barat ini sebenarnya sudah muncul jauh sebelum masuknya RMG ke Tanah Batak. Misalnya seorang geograf Yunani, Ptolemaeus pada abad ke-2 M atau Marco Polo pada 1291 yang mendengar berita dari selentingan kabar dari Barus tentang masyarakat suku pedalaman yang tinggal dipegunungan. Keduanya menyinggung masyarakat

27 William D. Hart, Edward Said and The Religious Effects of Culture (Cambridge:

Cambridge University Press, 2004), hl. 63.

Ompu i |94

kanibal yang mengarah kepada masyarakat Batak.29 Selain itu ada juga William Marsden (1754-1836) yang mendeskripsikan masyarakat Batak dengan masyarakat kanibal sebagai bentuk hukuman sosial.30

Dari kalangan misionarispun sebenarnya juga telah ada yang mendeskripsikan tentang masyarakat Batak dari sudut pandang Barat sebelum masuknya misionaris RMG ke Tanah Batak, yakni melalui Burton dan Ward yang berasal dari zending Baptis. Mereka melihat bahwa masyarakat Batak memiliki kekuatan dalam tatanan sosial di setiap wilayah atau perkampungan yang dapat dibandingkan dengan kota-kota di Eropa meskipun dilandaskan dengan tatanan yang sangat tradisional atau kuno. Demikian juga dengan sifat kanibalisme yang ada dalam masyarakat Batak sebagai suatu hukuman tak lepas dari deskripsi mereka. Untuk karakter masyarakat Batak, mereka memandang bahwa orang-orang Batak sebagai orang yang bebal, penakut dan kejam, walaupun terkadang hal ini tertutup dalam sistem tatanan sosial.31

Berabad-abad keterpencilan masyarakat Batak di wilayah pegunungan justru membuat wacana-wacana Barat dalam mendeskripsikan masyarakat Batak itu sendiri semakin mendominasi. Hal ini juga semakin menambah keterisolasian bangsa Batak yang muncul dari sikap bangsa sekitar dalam memandang bangsa Batak. Wacana-wacana yang berkembang tersebut bukanlah didasarkan atas kajian ilmiah. Hal ini terus berlangsung hingga muncul Neubronner van der Tuuk, seorang

29 Daniel Perret, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut

(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia: 2010), hl. 55-56

30 William Marsden, Sejarah Sumatra (Depok: Komunitas Bambu, 2013), hl. 471. 31 Lih. Burton dan Ward, Report of Journey into Batak Country, in the interior of Sumatra,

in The Year 1824: Communicated by The Late Sir Stamford Raffles dalam Early Journal Content On JSTOR.

Ompu i |95

ahli bahasa-bahasa Nusantara asal Belanda yang memiliki darah keturunan Indonesia dari ibunya yang merupakan orang Indonesia asli, yang pertama kali mengkaji budaya dan bahasa Batak dari sudut pandang keilmiahan (1851-1857).32 Ia diutus oleh pihak kolonial setelah muncul buku berjudul Beschreibung der Battaländer (1847) karya Franz Junghuhn (1842) seorang ahli budaya asal Jerman yang berisi tentang identitas bangsa Batak, baik mengenai budaya maupun agamanya.33 Neubronner van der Tuuk sangat mengusulkan dan mendesak kepada pemerintahan kolonial untuk segera melaksanakan pekabaran Injil di Tanah Batak mengingat semakin berkembangnya agama Islam di daerah Tapanuli Selatan dan wilayah pesisir.34 Keseriusannya terhadap pekabaran Injil inipun terlihat dari buku- buku yang diterbitkannya yang bukan hanya mengenai bahasa dan budaya Batak, tetapi juga dalam bentuk penerjemahan Alkitab ke dalam aksara dan bahasa Batak- Toba. Hasil dari karya van der Tuuk inilah yang kemudian menjadi “pintu masuk” bagi para missionaris RMG dalam mempelajari budaya dan bahasa Batak.

Batak yang dideskripsikan dan diidentifikasi oleh wacana Barat justru memperkuat minat RMG dalam melaksanakan misinya. Hal ini juga tak lepas dari pengamatan Friedrich Fabri, Inspektur RMG kala itu. Fabri melihat keunikan dari bangsa Batak dari bangsa-bangsa lainnya dengan melihat ciri-ciri fisiknya.35 Bahkan ia pun juga melihat dan menghubungkan pandangannya tersebut dengan sejarah di Kitab Suci. Menurutnya, keturunan Ham, anak Nuh, memiliki keturunan

32 Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

1999), hl. 173.

33 Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja

Batak di Sumatera Utara (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1975), hl. 51.

34 Van den End, Op. Cit., hl. 174.

Ompu i |96

yang rusak akibat hukuman Tuhan, bangsa Batak justru memiliki kerusakan yang tidak terlalu parah. Ia memandang bahwa suku Batak berada di tengah antara bangsa Eropa dengan Melayu, sehingga walaupun masyarakat Batak memeluk agama Kristen namun tetaplah berada dibawah bangsa Eropa.36

Lebih jauh lagi, ia mendeskripsikan ada kemiripan antara bangsa Batak dengan bangsa Jerman selain dari struktur wajah, yakni kesamaan dalam kondisi geografis, di mana kedua bangsa ini dikepung dan dikelilingi oleh bangsa-bangsa yang ingin memusnahkannya. Jerman yang dikelilingi Prancis dan bangsa Slownik, sedangkan Batak dikelilingi oleh bangsa Melayu.37 Selain wacana yang meninggikan bangsa Eropa, para misionaris juga menilai karakter dari orang-orang Batak yang menurutnya memiliki sifat negatif, yakni keangkuhan, kemalasan, moral yang rendah, asusila, serta kebiasaan wanita yang sudah menikah untuk tidak menutup buah dadanya. Wacana ini justru mengafirmasi dan melegitimasi kolonialisme dengan dalih pengadaban, seperti yang Gustav Warneck katakan:

“dalam hal ini suku bangsa buas seperti kanak-kanak. Mereka harus dipaksa untuk

bekerja. Kalau mereka dibiarkan sendiri, mereka akan tetap malas”. 38

Wacana-wacana yang dikembangkan oleh Barat dalam melihat dan mengidentifikasikan bangsa Batak justru merendahkan bangsa pribumi, dalam hal ini bangsa Batak, serta meninggikan superioritas Barat. Hal ini juga dilihat oleh Uli

36 Pandangan Fabri ini justru mengangkat masyarakat Batak dari orang-orang Melayu yang

menurut catatan Lance Castles istilah Batak sendiri sebagai suatu unit pemerintahan baru di mana orang Batak ditugasi untuk mengelola daerah baru, yang dipandang rendah oleh orang Melayu. Bdk. Lance Castles, Kehidupan Politik Suatu Keresidenan di Sumatera: Tapanuli 1915-1940 (Jakarta: KPG, 2001), hl. 2.

37Ibid., hl. 66. 38Ibid., hl 74-75.

Ompu i |97

Kozok yang menilai bahwa Misionaris dalam melaksanakan misinya juga membawa dan menegakkan supremasi bangsa Eropa (Barat).39 Dengan demikian, munculnya wacana-wacana ini dapat dikatakan bahwa orientalisme yang dipandang

sebagai teritorial dari “ketimuran” justru menjadi ajang penguasaan atas dunia timur melalui dominasi wacana Barat dengan anggapan bahwa masyarakat Timur

yang “primitif” tidak sanggup dalam menguasai budaya mereka sendiri dan hanya diperuntukkan bagi Barat. Hal inilah yang kemudian digunakan oleh Misionaris dalam melaksanakan misinya di Tanah Batak; yang walaupun dalam misinya tersebut menggunakan bahasa Batak-Toba (timur) namun penguasaannya (baca: gaya berpikir) tetaplah dari wacana Barat.

B.

Kolonialisme dan Misi Pengadaban