• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Baru dan Penciptaan Musuh Bersama

WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN

3. Hukum Baru dan Penciptaan Musuh Bersama

Salah satu yang menandakan adanya komunitas baru adalah dengan terciptanya hukum baru sebagai suatu standar baru dalam mengatur kehidupan masyarakat. Di dalam negara-negara terjajah standar hukum juga diberlakukan pemerintahan kolonial selaku pemangku kekuasaan. RMG sebagai badan misi yang merupakan mitra dari pemerintahan kolonial Belanda dalam membentuk kerajaan Kekristenan juga memberlakukan standar hukum baru kepada masyarakat Batak mengganti hukum tradisional. Hal ini menandakan adanya kekuasaan dalam terbentuknya komunitas baru. Memang dalam metode zendingnya RMG tetap menggunakan adat dan budaya Batak, namun hal ini tidak membuat hukum

Ompu i |129

tradisional dalam masyarakat Batak lestari, melainkan dirubah dan digantikan menjadi hukum yang baru. Hal ini sesuai dengan Kotbah J.H. Meerwaldt pada Sinode tahun 1888 yang diucapkan dengan menggunakan dan mengubah umpasa Batak: 109

Tumbuh si rungguk

Pada batang pohon tada-tada Berubahlah kini hukum

Karena datang si putih mata (si bontar mata).

Hukum baru tersebut diciptakan sebagai bentuk bagian dari misi pengadaban berupa larangan-larangan yang diberlakukan kepada masyarakat dengan berdasarkan nilai-nilai Kekristenan. Misalnya saja, seperti yang sudah disebutkan diatas, larangan terhadap pesta bius, larangan terhadap mengikuti acara- acara adat yang diberkati oleh raja (pasu-pasu raja), palarangan terhadap kelompok Parbaringin, dll. Bahkan mengenai hukum baru tersebut, berpengaruh hingga kepada praktek-praktek adat yang dilakukan oleh masyarakat Batak, misalnya menyangkut pernikahan, permusuhan, dll, yang kemudian menjadi tata tertib pelaksanaan adat Batak, dan dituliskan oleh Raja Jacob Lumbantobing berjudul Patik dohot Uhum ni Halak Batak. Buku ini kemudian diterbitkan pada tahun 1899 oleh American Mission Press di Singapura.110

Bagi RMG, hukum baru yang diberlakukan di dalam masyarakat Batak ingin mengganti keyakinan masyarakat Batak tradisional yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Batak sendiri dengan nilai-nilai Kekristenan: suatu

109Lothar Schreiner, Op.Cit., hl. 54.

110 Pusat Dokumentasi dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Patik Dohot Uhum Ni Halak

Ompu i |130

komunitas baru yang modern dan dikultuskan. Hal ini dapat terlaksana dan menjadi pengetahuan dalam suatu komunitas bilamana dalam wacana publik selalu membawa atau menyangkutpautkan dengan komunitas itu sendiri, misalnya mengenai adanya berita-berita, laporan cerita (storytelling), lagu, dsb. tentang komunitas tersebut.111 RMG di dalam Surat Kuliling Immanuel juga memberlakukan hal yang sama dengan membawa masyarakat Batak tertentu dalam cerita-cerita yang dikonstruk. Misalnya saja cerita mengenai masyarakat desa Bungabondar yang terjadi pada tahun 1868 yang sebelum menerima Injil maka desa tersebut selalu mendapatkan malapetaka, sehingga menyebabkan banyak masyarakat menjadi Kristen ketika Misionaris, Betz mengabarkan Injil ke tempat tersebut.112 Pendekatan-pendekatan semacam ini ingin mengkonstruk dan menyentuh masyarakat Bungabondar ke dalam wilayah pengalaman (experience) masyarakat ketika masyarakat Batak secara umum dan Bungabondar secara khusus mengalami krisis akibat perang Paderi. Bukan hanya masyarakat Bungabondar tetapi juga masyarakat di desa lainnya, misalnya Parausorat, Hutadame, dsb.

Namun demikian penciptaan dan penegakan akan hukum yang baru berarti memayungi dan memagari komunitas yang baru, sedangkan untuk komunitas yang masih memegang prinsip-prinsip yang tradisional dianggap berada diluar dari komunitas mereka atau berada diluar hukum mereka. Hal inilah yang kemudian dalam berita atau tulisan, Surat Kuliling Immanuel, penciptaan akan musuh

111Teun A. van Dijk, “Contextual Knowledge Management In Discourse Production: A

CDA Perspective,” dalam Ruth Wodak & Paul Chilton (eds.) A New Agenda in (Critical) Discourse Analysis (Amsterdam: John Benjamin Publishing Company, 2005), hl. 73.

Ompu i |131

bersama menjadi penting dan mendapatkan tempatnya. Melalui sebuah kepastian bahasa maka akan tercipta bahasa yang tidak lagi membiaskan, melainkan sebuah konstruksi dalam bentuk citra negatif; yang menakutkan, yang mengganggu, kekerasan, dsb, kepada sosok yang dianggap musuh.

RMG dalam Surat Kuliling Immanuel menghadirkan 2 musuh bagi kerajaan Kristen, yakni: pertama, Islam, atau yang dalam bahasa Batak dikatakan sebagai Silom. Kelompok Islam yang dimaksud adalah orang-orang melayu di awal-awal permulaan penginjilan dan orang Aceh pada permulaan penginjilan ke wilayah Toba. Keduanya dianggap sama yakni menghambat masuknya pekabaran Injil di Tanah Batak. Untuk urusan ini, para Misionaris sangat menjaga agar Islam tidak masuk ke masyarakat Batak.113 Bahkan segala cara dilakukan untuk melakukan proteksi tersebut, yakni dengan mengandalkan kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda atau dengan pelarangan terhadap orang Kristen untuk tidak ikut serta pesta- pesta atau perayaan parbegu atau Islam.114

Citra Islam yang dibangun oleh RMG kepada masyarakat Batak Toba pada waktu itu adalah agama yang mengganggu masuknya Kekristenan; atau dengan kata lain menghambat kemajuan yang diberikan bangsa Eropa kepada masyarakat Batak Toba tradisional. Beberapa gambaranya adalah:

“…djadi lan ma dipambahen halak silomi paaloalo hata ni Debata. Alai atik pe

songoni sai ma hot do baga-baga ni Debata na mandok ndang na mulak bohi anggo

hatana, manang di diape didjamitahon. Songoni ma dohot di Prausorat.” (jadi Muslim

itu semakin melawan firman Tuhan, tetapi walaupun demikian anugrah Tuhan yang

113 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 82. 114 Lothar Schreiner, Op. Cit., hl. 53.

Ompu i |132

berkata tidak akan pernah mempalingkan wajahNya selalu setia dan hadir dimanapun firman itu dikotbahkan. Inilah yang terjadi di Prausorat) 115

Selain itu, Islam juga digambarkan sebagai agama penipu. Citra ini dibangun sebagai suatu kesaksian dari raja-raja yang meninggalkan agama Islam di wilayah Sipirok.

“songon na monang ma djolo hasilomon idaon, ai ido diihuthon angka radja dohot

angka na sangap ro di lan halak na torop , alai ndang manongtong hamonangannai,

tibu ma tanda ugamo pangansi…” (pada awalnya agama Islam dapat memenangi pengaruhnya terhadap para raja dan beberapa orang yang berpengaruh sehingga diikuti oleh banyak orang, tetapi kemenangannya itu tidaklah abadi, lambat laun muncullah pandangan sebagai agama pembohong..)116

Kedua gambaran tersebut sengaja digunakan di dalam konteks di mana Islam semakin menyebar di wilayah Tapanuli Selatan. Beberapa desa telah memeluk agama Islam akibat perang Paderi dan kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, meskipun beberapa desa masih ada yang memeluk agama suku, misalnya di Sipirok, Bungabondar, Prausorat, dll. Bahkan penyebaran ini hingga ke wilayah- wilayah yang memiliki keuntungan ekonomis, misalnya wilayah pesisir, tempat- tempat pemerintahan, dsb, sehingga membuat citra Islam dianggap sebagai pintu dari hamajuon (modernisasi) dan kesejahteraan. Beberapa masyarakat Batak yang masih memeluk agama suku juga meyakini kemajuan yang diberikan dengan mengikuti Islam.

Dengan perkembangan inilah, maka RMG berusaha mengkonstruk pemahaman masyarakat Batak mengenai Islam dengan wacana-wacana yang menyudutkan. J.H. Meerwaldt sebagai penulis Surat Kuliling Immanuel tampaknya paham mengenai masalah yang dihadapi RMG sendiri dengan berangkat dari kisah-

115 Surat Kuliling Immanuel, No. 7, 1 Juli 1892. 116 Surat Kuliling Immanuel, No. 3, 1 Maret 1892.

Ompu i |133

kisah lokal, yakni di daerah Prausorat dan Sipirok, tempat di mana Islam sendiri berkembang, yang justru dianggap oleh RMG sendiri telah gagal dalam membawa keinginan masyarakat Batak kepada hamajuon yang sesuai dengan hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat). Pengangkatan kisah ini bukan hanya merubah pandangan masyarakat Batak terhadap agama Islam, tetapi juga memproteksi masyarakat Batak sebagai komunitas baru terhadap Islamisasi yang berkembang seturut masuknya pemerintahan kolonial ke wilayah Toba, di mana pada tahun 1892, tahun di mana tulisan di Surat Kuliling ini telah terbit, pemerintahan kolonial telah menguasai wilayah pedalaman Tanah Batak pasca Perang Toba pertama.

Sasarannya adalah para raja yang dianggap menjadi garda terdepan dalam menjaga masyarakat akan masuknya Islam di Tanah Batak, sehingga dalam beberapa hal keteguhan iman raja selalu diutamakan oleh RMG. Kisah di Sipirok di atas adalah salah satu contoh dari banyaknya usaha RMG dalam mendidik para raja dengan memberikan pandangan akan sikap raja yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah. Bahkan di satu sisi dalam Surat Kuliling Immanuel, RMG juga menampilkan sosok ideal akan ketokohan sang raja dengan menampilkan sosok Raja Pontas Lumbantobing yang selalu menjadi teladan kepada komunitasnya, serta mendukung usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dengan membuka jalan bagi masuknya Kekristenan.117

Ompu i |134

Kisah Raja Pontas ini juga menegaskan akan sikap raja yang memperbolehkan masuknya pendidikan dengan memberikan jalan kepada para imam untuk mengajar dan mendidik anak-anak seperti dalam kisah yang selalu di angkat oleh J.H. Meerwaldt, yakni Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat (Keledai yang tidak bisa membaca) di buku Boengaboenga Na Angoer.118

Kedua, penciptaan musuh juga dikenakan bagi pengikut agama tradisional Batak yang sering dikatakan sebagai agama sipelebegu (agama roh) oleh RMG, meliputi: kelompok Parbaringin, para pengikutnya dan Raja Singamangaraja XII. Citra yang dibangun oleh RMG tentang agama ini adalah agama pembohong. Tokoh-tokoh seperti J. Warneck sangat tegas menyatakan bahwa agama ini mengajarkan kebohongan, termasuk dalam hal ini kelompok Parbaringin yang menjadi musuh Kekristenan yang pandai berbohong.119 Dalam Surat Kuliling Immanuel, hal ini juga sering diungkapkan.

“Djala sai di dok angka begui ingkon malum sahitna, hape mate do. Djadi tangkas ma diida saluhut halak, na margabus do begu i sude.”(Sangat sering dikatakan oleh orang-orang begu (datu) bahwa penyakit orang tersebut pasti sembuh, tapi yang terjadi justru kematian. Jadi jelaslah terlihat oleh semua orang bahwa semua begu itu adalah pembohong.)120

Pandangan seperti ini sering diutarakan oleh RMG sebagai upaya memberikan pemahaman kepada masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan, sehingga masyarakat Batak mau menerima ilmu pengetahuan dan mengijinkan

118 J.H. Meerwaldt, “Halode Na Oemboto Mandjaha Soerat” dalam J.H. Meerwaldt (ed.)

Boengaboenga Na Angoer jilid II: Boekoe Sidjahaon ni Anak Sikola Metmet angka na di Rongkanan Pargindjang (Lagoeboti: Pangarongkoman Mission, 1919), hl. 11-13.

119 Joh. Warneck, Op.Cit., hl. 145. Para datu sering menyangkal atas tuduhan para

misionaris yang mengatakan pembohong dan sering mengambil keuntungan sendiri. Bdk. Pdt. Dr. Andar M. Lumbantobing, Op. Cit., hl. 38.

Ompu i |135

masuknya para misionaris dalam proses misi pengadaban, serta meninggalkan pemahaman yang selama ini dikuasai atau dikonstruk oleh kelompok Parbaringin. Konstruk yang dilakukan RMG ini bersifat menyeluruh di segala unsur-unsur atau aspek-aspek dari agama tradisional masyarakat Batak; baik yang menyangkut ilmu pengobatan hingga kepada teologi yang dikembangkan oleh agama suku tradisional tersebut.

Selain kelompok Parbaringin, maka citra Raja Singamangaraja juga terkena dampak dari konstruk yang dilakukan oleh RMG. Sikap kekerasan dan pencuri hadir dalam citra Singamangaraja dan pengikutnya. Dalam cerita itu dikatakan bahwa Raja Singamanagaraja XII tidak senang atas yang terjadi pada 1878, yang dalam hal ini menunjuk kepada Perang Toba pertama. Citra ini justru terbalik dari sikap Singamangaraja yang selama ini dikenal toleran, pendamai, dsb. (lih. Bab II)

“…ai tongon do udju di Sipoholon tuan Kessel nangkok ma Si Singamangaraja sian

Bangkara tu Lintong ni huta rap dohot torop halak dungi dihaliangi ma bagasi dibahen ma gogo mangungkap, dungi diboan ma angka ugasan tu onan, diribahi ma angka buku, disegai ma angka poti dohot poti marende mangalului ringgit , dungi disurbu ma

bagasi….”(..persis ketika Tuan Kessel berada di Sipoholon, maka datanglah Si Singamangaraja beserta pengikutnya dari Bangkara ke Lintong ni huta yang kemudian langsung mengelilingi rumah itu dan dibuka kuat, setelah itu diangkatlah harta benda ke pasar, dirubuhkanlah buku-buku, dihancurkan peti-peti dan peti nyanyian untuk mencari ringgit (mata uang). Setelah itu diserbulah rumah itu…) 121

Selain kisah tersebut masih ada lagi kisah lainnya yang dikonstruk RMG dalam mencitrakan Raja Singamangaraja XII, misalnya rencana pembunuhan yang ingin dilakukan oleh Raja Singamangaraja XII kepada semua pendeta di Bahal Batu dan Silindung (Immanuel No. 1 , 1 Januari1891), rencana pasukan Aceh bersama Raja Singamangaraja XII untuk melawan pemerintahan kolonial (Immanuel No. 8

Ompu i |136

1 Agustus 1894), dsb. Raja Singamangaraja XII diyakini oleh kelompok Parbaringin dan masyarakat Batak tradisional sebaga titisan Tuhan. Bersama dengan kelompok Parbaringin, Raja Singamangaraja XII menjadi gerakan yang menentang (resistensi) masuknya pemerintahan kolonial Belanda dan RMG sendiri.

Dengan menghilangkan kekuasaan Raja Singamangaraja XII berarti menghilangkan kesatuan masyarakat Batak tradisional yang selama ini diikat dengan sistem harajaon (kerajaan). Para misionaris terutama, Nommensen, beberapa kali bersinggungan dengan Raja Singamangaraja dan sangat mengharapkan agar Raja Singamangaraja XII mau tunduk terhadap pemerintahan kolonial dan menjadi Kristen, meskipun Raja Singamangaraja XII sendiri bersikeras terhadap permintaan Nommensen.

Konstruk atas citra Raja Singamangaraja XII yang digambarkan dalam Surat Kuliling Immanuel ini merupakan salah satu dari upaya yang dilakukan oleh RMG untuk mengecilkan pengaruh Raja Singamangaraja XII dengan anggapan bahwa berakhirnya sistem dinasti dalam bentuk kerajaan Singamangaraja, maka nilai-nilai religiusitas yang mengikat secara kesatuan wilayah di Tanah Batak selama ini semakin memudar, termasuk dalam kesatuan kelompok Parbaringin.

Atas usaha dalam menciptakan figur kriminal maka RMG menunjukkan kekuasaannya dengan membentuk hukum kerajaan Kekristenan sebagai suatu legalitas atas kehidupan bermasyarakat. Di luar dari hukum tersebut adalah figur kriminal atau sesat, terlebih bagi kelompok Parbaringin dan Raja Singamangaraja XII yang dianggap sangat menghambat perluasan Kekristenan mengingat mereka

Ompu i |137

adalah berasal dari Tanah Batak sendiri. Bahkan kabar yang beredar di masyarakat pada waktu itu sampai menyebutkan bahwa Raja Singamangaraja telah menjadi Muslim dan akan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan kolonial.122 Kedua penciptaan musuh ini memberikan pengaruh terhadap kesatuan pengikut. Namun bagi orang-orang yang dianggap kriminal menjadi seperti apa yang dikatakan

Vicente Rafael sebagai: “embodiement of popular fantasies about justice;”123 suatu perwujudan atas keadilan yang tidak tercapai.