• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk menjawab studi ini maka saya akan memakai teori Michel Foucault sebagai analisis wacana untuk melihat wacana kepemimpinan Ompu i yang dikenakan oleh Ephorus HKBP. Buku-buku Michel Foucault seperti misalnya The Archaeology of Knowledge (1969), The History of Sexuality I (1976), atau kumpulan tulisan dan hasil wawancaranya menjadi sumber utama saya dalam menjabarkan teori Foucault. Namun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa saya juga menggunakan pandangan orang lain dalam melihat teori Michel Foucault ini, dalam hal ini, saya mengedepankan pandangan Norman Fairclough yang telah mendefinisikan dan menjabarkan secara rinci mengenai teori pembentukan wacana Michel Foucault dalam bukunya yang berjudul Discourse and Social Change (1992).

Dalam teorinya ini Foucault telah memberikan sumbangsih yang cukup besar bagi ilmu-ilmu sosial dalam melihat wacana sosial. Sasarannya adalah untuk melihat adanya ketidakadilan, ketimpangan, penindasan ataupun masalah sosial lainnya. Di sini saya akan mencoba memaparkan teori Foucault yang berhubungan dengan analisis wacana tersebut, sbb:

Ompu i |18 Kuasa (Power)

Saya akan memulainya dari pemikiran Michel Foucault tentang power atau kuasa. Kuasa menurut Foucault sangat berbeda dengan Althusser yang melihat kuasa seperti layaknya institusi yang berusaha mengintimidasi manusia. Ia juga menolak pandangan Freud tentang sifat kuasa yang merepresi sehingga seolah-olah tidak ada anggapan akan individu-individu yang menolak. Bagi Foucault, institusi tersebut hanyalah kumpulan manusia. Foucault memandang bahwa kuasa itu adalah pengetahuan, sedangkan individu-individu manusia adalah kendaraan kuasa itu sendiri. Untuk memahami pengertian kuasa dalam Foucault maka ada baiknya memahami dua poin berikut ini, yakni: Pertama, kuasa dikonseptualisasikan sebagai rantai atau jaringan/relasi bahwa sistem relasi tersebut berhubungan ke seluruh masyarakat. Kedua, individu tidak dilihat hanya sebagai penerima kuasa melainkan sebagai “tempat” di mana kekuasaan juga dapat ditolak.28 Dari pengertian ini maka peran individu tidak selalu menjadi objek bagi kuasa itu sendiri tetapi turut berperan dalam menentukan pilihan, sehingga menurut Foucault kekuasaan tidak lain hanyalah sebuah strategi yang dapat terjadi di mana-mana yang di dalamnya memiliki sistem, regulasi, aturan, dsb, sedangkan relasi kuasa adalah efek dari strategi tersebut. Paling tidak Foucault dalam bukunya The History of Sexuality melihat bahwa kuasa haruslah dimengerti sebagai berikut ini:

“... power must be understood in the first instance as the multiplicity of

force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the

Ompu i |19 contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony."29

Dari penjelasan di atas tampak bahwa Foucault melihat kuasa dibangun dari setiap relasi dan setiap pertistiwa. Penjelasan Foucault ini perlu dilihat sebagai sesuatu yang terus menerus dilakukan dan bukan untuk dicapai. Ia mengacu kepada istilah Kuasa (Power) dengan huruf K(P) besar. Hal ini untuk menggambarkan kekuatan utama dalam semua hubungan dalam masyarakat dan bukan dalam pengertian Althusser tentang RSA (Repressive State Aparatus), melainkan pada ISA (Ideology State Aparatus) misalnya: Gereja, Keluarga dan Sistem Pendidikan.30 Dalam hal ini Foucault selalu memposisikan pandangan tentang kuasa sebagai sesuatu yang berbeda dengan Althusser, yakni kuasa dalam relasi bottom-up.

Lebih jelas tentang kuasa yang ia maksud maka di dalam bukunya The History of Sexuality, ia memberikan beberapa pengertian tentang kuasa:31

1. Kekuasaan bukanlah sesuatu yang didapat, diraih, atau dibagikan melainkan kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak. 2. Relasi kekuasaan bukanlah dalam posisi eksterior tetapi dalam bentuk

imanen. Relasi kekuasaan bukanlah relasi superstruktur yang sifatnya memiliki larangan atau memproduksi larangan.

29 Michel Foucault, The History of Sexuality: An Introduction, Vol. 1 (New York: Vintage

Books, 1990), hl. 92-93.

30 Dalam The History of Sexuality, Michel Foucault membedakan represi dengan larangan

hukum. Represi menurutnya memberikan pengaruh pada ketaksadaran sesuatu hal yang berbeda dengan larangan hukum. Hal ini juga yang membedakan dengan pandangan Althusser.

Ompu i |20

3. Kuasa datang dari bawah sehingga tidak ada lagi distingsi binary atau oposisi antara aturan dan yang diatur.

4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.

5. Di mana ada kekuasaan, di situ ada resistensi. Resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, tetapi selalu berada di dalam kekuasaan. Pengetahuan

Untuk semakin memperjelas konsep kuasa menurut Foucault maka alangkah baiknya juga menjelaskan mengenai konsep “pengetahuan”. Pemahaman relasi kuasa seperti yang dijelaskan sebelumnya berujung kepada menghasilkan pengetahuan.32 Pengetahuan seperti yang dimaksud oleh Foucault bukanlah hanya sebatas pada ide atau gagasan pemikiran melainkan lebih dari pada itu menyangkut juga aturan atau larangan yang merupakan hasil dari relasi kuasa tersebut. Dan pengetahuan inilah yang kemudian hadir di dalam wacana atau discourse. Misalkan saja mengenai pengetahuan maka sistem-sistem pengetahuan inilah yang nantinya mengkondisikan wacana tentang siapa yang disebut sebagai orang gila atau orang sakit. Intinya, keterkaitan antara wacana dengan pengetahuan adalah ketika wacana sendiri menjadi objek pengetahuan.

Foucault tidak memungkiri bahwa pengetahuan juga dihasilkan oleh relasi kuasa dalam bentuk kekuasaan. Adanya perebutan kekuasaan dalam bentuk kelompok, suku, lembaga negara, dsb turut mempengaruhi dan menghasilkan pengetahuan. Misalnya, seperti yang dikatakan Foucault bahwa di negara-negara

Ompu i |21

Barat, informasi yang dihasilkan tentang perempuan akan membuat kita banyak menemukan buku-buku tentang perempuan di perpustakaan dari pada tentang laki- laki. Pada wilayah ini maka kuasa menurut Foucault hanyalah masalah produksi dan reproduksi. Adanya wacana-wacana diktator atau otoriter disebabkan oleh adanya relasi kuasa yang timpang. Demikian juga sebaliknya, adanya wacana egaliter merupakan hasil perenungan bersama dalam bangunan relasi kuasa. Maka dari itu Foucault menawarkan bahwa untuk melihat kekuasaan yang berkembang pada saat ini maka Foucault menawarkan bukanlah mencari sumber dari mana kuasa itu berasal melainkan bagaimana kekuasaan itu beroperasi.

Mengenai pembentukan wacana itu sendiri, Norman Fairclough dengan jelas membahasakan dan mendefinisikan bahwa pembentukan wacana dalam pemikiran Foucault ini terdiri dari aturan-aturan pembentukannya, di mana aturan- aturan tersebut adalah pertama, the formation of objects (pembentukan objek- objek). Objek yang dimaksudkan di sini adalah objek pengetahuan. Pembentukan objek-objek ini menekankan kepada entitas di mana kedisiplinan dan ilmu pengetahun memiliki peranannya. Keberkaitan dengan wacana maka Foucault membahasakannya sebagai yang bersifat konstitutif; sebagai suatu kontribusi, reproduksi, transformasi atas objek tersebut. Kedua adalah the formation of enunciative modalities (pembentukan modalitas dan posisi subjek). Pembentukan ini berkaitan dengan praktik-praktik sosial, di mana kertekaitannya menentukan posisi subjek dalam hal karakteristik, aktivitas, pernyataan ataupun tutur kata dalam lingkungan sosial. Pembentukan ini akan menentukan otoritas dari subjek tersebut. Misalnya saja seorang ahli hukum pastilah lebih memiliki “pengakuan” dari pada

Ompu i |22

seorang dokter ketika berbicara mengenai hukum. Ketiga adalah the formation of concepts (pembentukan konsep). Pembentukan ini dimaksudkan untuk melihat bagaimana “the field of statement” diasosiasikan dengan wacana tersebut, di mana konsep-konsepnya yang dilihat dan diartikulasikan itu diorganisir. “The field of statement” ketika berkaitan dengan pembentukan wacana maka memiliki banyak dimensi. Hal ini bisa memunculkan keterkaitan antara teks-teks atau wacana- wacana yang ada. Misalnya wacana kegilaan selalu berkaitan dengan rumah sakit, penjara, dsb. Elemen-elemen inilah yang menjadi suatu konsep dari kegilaan tersebut. Keempat adalah the formation of strategies (pembentukan strategi). Pembentukan strategi dipahami ketika tema-tema atau teori-teori tidak terealisasi sepenuhnya, maka strategi sangat menentukan akan tercapainya suatu tema, teori atau masalah apa pun. Pembentukan ini selalu dikombinasikan oleh unsur-unsur interdiskursif dan nondiskusif (material, dsb).33 Keempat aturan ini dapat dikatakan menandakan reproduksi kekuasaan dalam bentuk wacana.

Lebih dalam lagi, Foucault mencoba mengembangkan teorinya tentang pengetahuan dengan melihat ke sejarah masa lalu yang ia katakan sebagai discontinuity atau sejarah yang terputus-putus. Ketika tidak ada hubungan vertikal dalam melihat persoalan kuasa maka akan memunculkan suatu persoalan tentang pencarian akan sejarah dalam menemukan suatu rezim pengetahuan atau episteme. Discontinuity dalam sejarah akan selalu memunculkan peristiwa, institusi, ide atau

33 Norman Fairclough, Discourse and Social Change (Cambridge: Polity Press, 1992), hl.

Ompu i |23

praktek yang terpecah-pecah.34 Setiap pengetahuan yang muncul akan selalu berbeda-beda. Hal inilah yang disebut discontinuity akan suatu peristiwa sejarah yang tidak memiliki hubungan dalam rentangan waktu. Episteme dalam tataran diskursus menjadi suatu rezim, di mana akan membentuk suatu legitimasi walaupun di dalam objek tertentu tidak dapat diwakili di dalam diskursus-diskursus. Foucault melihat hal ini dalam meneliti tentang orang gila yang menjadi objek dari pengetahuan, sehingga di dalam Archeology of Knowledge, Foucault berusaha untuk mendefinisikan yang pada dasarnya sangat berbeda dengan ilmu sejarah lainnya.35

Genealogi

Ketika dalam Archeology of Knowledge, Foucault menempatkan investigasinya dalam tataran wacana atau discourse dalam melihat discontinuity dan perbedaan, maka Foucault juga mengembangkan investigasi sebagai model perspektif dalam bentuk genealogi kekuasaan. Dalam Foucault, Genealogi merupakan kelanjutan dari Arkeologi. Genealogi memposisikan dirinya dalam pencarian “asal usul”. Berangkat dari pemikiran Nietzsche tentang asal usul (Ursprung) maka genealogi Foucault berangkat dari 3 (tiga) domain, yakni:36

1. Sejarah ontologi dari diri kita sendiri dalam hubungannya dengan kebenaran melalui diri kita yang merupakan subjek pengetahuan.

34 Michel Foucault, Pengetahuan dan Metode: Karya-Karya Penting Foucault

(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hl. 119-120.

35 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan (Yogyakarta: Ircisod, 2012), hl. 250-252. 36 Rabinow (ed.), Op. Cit., hl. 351

Ompu i |24

2. Sejarah ontologi dari diri kita dalam relasi dengan kuasa melalui diri kita yang merupakan subjek yang bertindak diatas lainnya.

3. Sejarah ontologi dalam relasi dengan etika melalui diri kita sebagai agen moral.

Dari ketiga domain ini maka genealogi sendiri lebih ditujukan kepada tubuh indvidu/subyek. Namun demikian genealogi sebagai suatu metode investigasi juga mengarah secara spesifik kepada agenda sosial dan politik. Di dalam genealogi maka terdapat dua pendekatan di dalam investigasi, yakni pertama, pendekatan sejarah untuk menginvestigasi suatu konsep, misalnya kemiskinan, dsb. Kedua, juga untuk menginvestigasi fenomena sejarah yang dibentuk pada masa kini.37

Genealogi sebagai suatu metode investigasi individu akan membawa bentuk kuasa yang bersifat sentralistis atau memusatkan. Dengan kegelisahannya yang berangkat dari pengalaman penelitiannya tentang kegilaan, kematian, kejahatan, seksualitas dan teknologi kekuasaan, maka ia pun berusaha melihat perspektif dalam transformasi yang lain dengan menyorot tentang “identitas diri”. Dalam konsepnya ini, individu dilihat melalui asal usulnya sebagai modalitas dalam bentuk kekuasaan. Paling tidak, Foucault dalam memandang genealogi sebagai suatu metode menggunakan teknik-teknik sebagai suatu mekanisme pembentukan subjek, di mana inti dari teknik tersebut, yakni teknik produksi, signifikasi, dan teknik dominasi.38 Ketiga teknik ini berada di dalam kehidupan sosial masyarakat

37 Paula Saukko, Doing Research In Cultural Studies: An Introduction to Classical and

New Methodological Approaches (London: Sage Publications, 2003), hl. 133.

38 Ketiga 3 teknik ini, ia dasarkan pada, yakni, pertama, teknik di mana seseorang akan

memproduksi, mentransformasi, manipulasi sesuatu. Kedua, teknik untuk menggunakan sistem tanda-tanda. Dan ketiga, teknik seseorang dalam menentukan perilaku seseorang untuk mencapat

Ompu i |25

yang dapat diamati di dalam bentuk disciplinary power sebagai suatu pengawasan atau yang ia gambarkan sebagai panopticism untuk menghasilkan pendisiplinan tubuh, pengorganisiran, dsb. melalui lembaga-lembaga, misalnya sekolah, rumah sakit, penjara, dsb.39

Dengan metode genealogi maka paling tidak penelitian yang hendak dicapai yakni: pertama, genealogi memandang bahwa segala sesuatu merupakan konstruk sejarah. Dari sini maka genealogi berusaha membuka ruang untuk berpikir dengan perbedaan. Kedua, genealogi berusaha mendukung untuk kemungkinan adanya masalah-masalah, kontradiksi politik ataupun adanya rezim sosial.40

Setelah menjabarkan teori Michel Foucault tentang kuasa, pengetahuan, arkeologi pengetahuan dan genealogi maka saya melihat bahwa teori Foucault ini dapat membongkar konstruk yang melekat dalam studi ini. Dalam genealogi maka metode investigasi ini akan melihat bahwa kasus Ompu i Ephorus HKBP yang merupakan peristiwa masa kini haruslah dilihat ke belakang dan merupakan hasil dari konstruk sejarah di dalam pengetahuan. Sebagai keuntungan, genealogi tidak hanya menelusuri sejarah tetapi membantu melihat kekinian sebagai suatu konstruksi pengetahuan. Paling tidak pengetahuan tersebut bukanlah sekedar ide- ide atau pemikiran-pemikiran melainkan di dalamnya terdapat juga aturan-aturan atau larangan-larangan yang tidak terlihat (dibalik simbolik) yang mempengaruhi ketidaksadaran. Gelar Ompu i yang menjadi studi ini merupakan konstruk historis

tujuan tertentu. Michel Foucault, About the Beginning of the Hermeneutics of the Self: Two Lectures at Dartmouth (Political Theory, Vol. 21, No. 2. May, 1993), hl. 203

39 James D. Faubion (ed.), Op.Cit., hl. 58-59. 40 Paula Saukko, Op.Cit., hl. 116.

Ompu i |26

sehingga menjadi pengkultusan, atau dengan kata lain adanya ketimpangan dalam relasi pemimpin dan pengikut. Dalam genealogi maka investigasi akan selalu menyorot kepada sumber aslinya, sehingga genealogi akan mereduksi kepada gelar Ompu i yang dikonstruk oleh para missionaris sebagai yang pertama kali mendapatkan gelar ini, sekaligus menjadi objek dan batasan penelitian dari studi ini. Foucault tidak menampik akan adanya reproduksi wacana atau dapat dikatakan perebutan kekuasaan, namun bagi Foucault hal ini dapat dilakukan dengan sikap menyeluruh dan tidak hanya berdasarkan pada struktur birokrasi saja, mengingat kuasa menurutnya bersifat desentralisasi.

Genealogi akan membantu dalam memetakan dan memformasikan dari mana dan bagaimana kuasa itu tercipta di dalam periode sejarah tertentu. Dengan memandang discontinuity atau ketidak-terhubungan di setiap masa, maka reproduksi di dalam genealogi bukanlah sesuatu yang diberikan dan sifatnya statis. Artinya, gelar Ompu i yang ada di Nommensen adalah suatu reproduksi dari wacana kepemimpinan dalam pemahaman masyarakat Batak Toba tradisional yang sifatnya tidak statis, namun telah dikonstruksi dalam suatu relasi kuasa. Tentunya empat aturan-aturan pembentukan wacana yang didefinisikan Fairclough di atas, yakni aturan-aturan the formation of objects (pembentukan objek), the formation of enunciative modalities (pembentukan modalitas), the formation of concepts (pembentukan konsep-konsep) dan the formation of strategies (pembentukan strategi-strategi) memperjelas reproduksi kekuasaan tersebut.

Ompu i |27