• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius

MERAJUT GAGASAN OMPU

C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja

2. Konsep dan Perkembangan Huta, Horja dan Bius

Masyarakat Batak meyakini bahwa huta atau kampung yang pertama kali terbentuk adalah Sianjurmulamula. Hal ini termaktub di dalam tonggo-tonggo atau doa-doa sebagai berikut:

Sianjurmulamula, Sianjur mula toppa. Parsirangan ni aek, pardomuan ni hosa Sianjurmulamula, Sianjur mula jadi Mula ni sombayang, mula ni sombauasi. Parpansur golanggolang, partapian jabi-jabi

Sianjurmulamula, Sianjur awal yang diciptakan Dipisahkan oleh air, disatukan oleh daging Sianjurmulamula, Sianjur awal yang ada. Permulaan dari sembayang, awal dari sujud.

23 Dalam perkembangannya sesuai turiturian dikisahkan bahwa Guru Tateabulan dan Raja

Isumbaon tidak pernah membuka pustaha tersebut hingga akhirnya keturunan merekalah yang membuka pustaha tersebut, yakni Martua Rajadoli dan Tuan Sorimangaraja. Inilah sebabnya Martua Rajadoli sering dikatakan sebagai Martua Rajadoli mula ni Raksa ni Hadatuhon sian Pustaha Laklak (Martua Rajadoli awal dari pengetahuan adikodrati yang tertulis dalam pustaha laklak), sedangkan Tuan Sorimangaraja sering dikatakan sebagai Tuan Sorimangaraja Mula ni torsa ni Harajaon sian Pustaha Tumbaga (Tuan Sorimangaraja awal dari pengetahuan tentang pemerintahan yang tertulis dalam Pustaha Tumbaga) (lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Pemerintahan (Harajaon) dan Birokrasi Tradisional Masyarakat Toba (Medan: Bina Media Perintis, 2014), hl. 141.

Ompu i |49 Parsaapan manogot, parangiron bodari Tempat mata air yang bergelang-gelang, tempat

mandi yang besar

Namun demikian, Sianjurmulamula bukan hanya menjadi huta pertama, melainkan tempat ini menjadi penting dikarenakan dari tempat inilah kemudian masyarakat Batak menyebar ke seluruh penjuru seturut dengan bertambahnya jumlah masyarakat di huta tersebut. Bahkan perkembangan ini membuat status Sianjurmulamula pun bukan lagi dipandang sebagai huta, tetapi juga sebagai Bius; yang meliputi daerah huta Limbong dan Sagala. Walaupun perkembangan masyarakat Batak sudah keluar dari wilayah Sianjurmulamula, namun demikian status Sianjurmulamula masih menjadi salah satu model percontohan di setiap pembangunan bius-bius lainnya, yakni dengan menekankan aspek religi (Pustaha Laklak) dan sekuler (pustaha Tumbaga). Penyebaran masyarakat Batak banyak terdapat di wilayah Samosir, Toba-Holbung, Humbang dan Silindung. Menarik kemudian menulusuri lebih dalam mengenai perkembangan huta, horja dan bius, serta bagaimana konsep Sianjurmulamula diterjemahkan di dalam bius-bius yang ada dan dalam hubungannya dengan Huta dan Horja, karena dengan ketiga inilah sistem hirarki pemerintahan Singamangaraja terlihat.

Huta

Menurut Vergouwen huta memiliki watak persekutuan yang lebih menonjol dari pada kelompuk suku (perkumpulan semarga atau dapat juga sebagai horja).25 Alasan Vergouwen ini ada benarnya dengan alasan Huta memiliki kekerabatan yang dekat dari pada kelompok suku, walaupun mayoritas penduduk huta

Ompu i |50

merupakan satu kelompok suku tertentu atau semarga. Namun tidaklah otomatis bahwa isi dari huta tersebut adalah hanya satu marga tertentu saja, tetapi juga terdapat marga paisolat atau parripe (penumpang) yang harus tunduk kepada marga utama.

Bagi masyarakat Batak membuka atau mendirikan huta yang baru sama halnya dengan mendirikan harajaon yang baru. Hal ini disebabkan pendiri huta akan menjadi raja atau huta tersebut. Konteks yang ada dalam masyarakat Batak setiap huta yang berdekatan pastilah memiliki hubungan kekerabatan. Itulah sebabnya huta yang pertama tidak dapat dilepaskan dari huta-huta yang mengikutinya. Dalam istilah Batak, kampung yang baru dibuka yang dihuni oleh keluarga-keluarga yang merupakan warga dari satu bagian klan dinamakan lumban atau biasanya disebut lumban ni huta. Dan ketika sebagaian penghuni lumban tersebut membuka kampung yang baru maka akan di sebut sosor atau biasanya sosor ni huta.26

Selain dari ketidakidentikan huta dengan kelompok suku atau marga, hal lain yang memperjelas dari huta adalah adanya pembagian wilayah dengan batas- batas yang jelas. Biasanya huta berdiri di sebidang tanah yang memiliki batas disekelilingnya dan di huni oleh kerabatnya (pendiri huta). Biasanya batas tersebut dikeliling oleh bambu atau parik, semacam tembok yang terbuat dari tanah atau susunan batu. Huta dan tanah memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dikarenakan huta mengatur hak kepemilikan tanah. Kepemilikan ini mengatur hak tanah yang menyangkut kepada kepemilikan atas marga pendiri huta, pihak boru

Ompu i |51

(perempuan), marga penumpang, serta tanah garapan. Maka dari itu, posisi huta memiliki keotonomian atas hak tanah, sehingga ketika dikaitkan dengan sistem pemerintahan pemerintahan tradisional Batak Toba, maka huta merupakan memiliki wewenang yang paling kecil secara teritorial.27 Namun pengaturan tersebut bukan hanya pada masalah tanah saja, tetapi segala kehidupan yang menyangkut atau berhubungan dengan huta (hatopan) tersebut merupakan wewenang dari huta tersebut, misalnya perkelahian, adanya pendatang, dll. Dalam pemerintahan tradisional Batak Toba, huta telah memiliki aturan yang jelas. Bahkan di hutalah akan terlihat dengan jelas penggunaan adat dan hukum dalam kehidupan sehari-hari. Namun, di sini saya tidak akan membahas seluruh aturan dan larangan dalam kehidupan di huta, melainkan akan melihat struktur fungsional dalam huta yang nantinya akan berkaitan dengan horja dan bius.

Di dalam huta, hak memerintah merupakan hak bersama (hatopan) setiap keturunan patrilineal langsung si pendiri huta tersebut. Walaupun menurut hukum hak tersebut dipegang oleh raja huta namun keturunan dari raja huta tersebut juga mendapatkan manfaatnya dan mempunyai hak istimewa. Dari fenomena seperti ini Vergouwen membahasakan huta sebagai suatu “sel dari suatu organisasi politik yang dibentuk oleh marga dan kelompok suku, tetapi sebuah sel dengan kehidupan persekutuan”.28 Yang menarik dari pengertian ini, ketika Vergouwen mengumpamakan huta sebagai suatu sel maka hal ini menandakan bahwa sifat dari huta selalu berkaitan dengan huta-huta lainnya yang menjadi pengembangan atau

27Ibid., hl. 147.

Ompu i |52

perluasan dari huta sebelumnya. Walaupun hubungan paralel ini diikat dengan hukum dan adat namun huta mememiliki dimensi politik yang justru cenderung menjadi kekuatan sebagai persekutuan yang kecil. Dalam posisi inilah raja huta memiliki kekuatan ketika menjadi yang paling dituakan dan dihormati.

Raja huta atau yang sering dikenal sebagai Tunggane Ni Huta (tetua kampung) di Samosir dan ada juga yang menyebutnya Siboan Bunti (pembawa persembahan) memiliki tugas mengelola huta, menegakkan hukum dan menyelenggarakan peradilan, adat, ketertiban dan disiplin. Jabatan atau gelar ini biasanya merupakan gelar keturunan (waris) dari garis patrilineal. Bahkan, ketika berhubungan dengan kepentingan atau urusan di luar huta tersebut maka raja huta menjadi perwakilan dari kepentingan huta tersebut. Masyarakat huta tersebut juga haruslah menerima kepemimpinan dan bimbingan dari raja huta. Segala aktivitas masyarakat, seperti perkawinan, penjualan ternak dan urusan tanah haruslah melibatkan raja huta sebagai bentuk partisipasi penting atas peran raja huta. Dari sinilah kemudian raja huta menjadi penentu atau pintu terakhir yang memainkan peranan penting bagi keberlangsungan hutanya. Idris Pasaribu dalam novelnya berjudul Mangalua memberikan gambaran yang sangat jelas mengenai posisi dan kedudukan penting raja (huta, horja, bius) ditengah-tengah masyarakat dalam memberikan nasehat, mediasi; yang dengannya akan membawa solusi bagi kehidupan keluarga dan masyarakat.29 Hal ini sesuai dengan umpasa berikut ini dapat menerangkan posisi raja:

Baris-baris ni gaja di rura pangaloan, Molo marsuru raja ingkon oloan

Gajah berbarisbaris di lembah Pangaloan

Jika Raja memberikan perintah maka harus dilaksanakan.

Ompu i |53 Molo so nioloan tubu hamagoan

Ia nioloan dapot pangomoan

Jika tidak dilaksanakan akan lahir malapetaka Yang melaksanakannya akan mendapat keuntungan

Di dalam hukum dan adat masyarakat Batak ada beberapa motif yang mendasari akan adanya pengikat atau hubungan huta dengan huta lainnya atau bahkan ke kelompok suku, yakni : 30

1. Motif kesilsilahan. Motif ini paling besar pengaruhnya dalam masyarakat Batak. Walapun terkadang tidak melibatkan seluruh masyarakat di huta tersebut, namun paling tidak mempunyai hubungan di beberapa anggota masyarakat huta tersebut.

2. Motif keagamaan. Motif ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat huta menjadi masyarakat kurban dan persekutuan. Seperti yang dicatat Vergouwen bahwa terkadang motif keagamaan ini kurang berpengaruh dalam kehidupan politik sebagai suatu persekutuan. 3. Motif kewilayahan. Motif ini kurang berpengaruh dalam mengikat

kelompok masyarakat. Namun beberapa hal sangat berpengaruh khususnya di wilayah emigrasi, yakni tempat kampung-kampung bersatu di dalam wilayah campuran atau daerah yang memiliki marga yang berbeda namun masih memiliki pertalian.

Setelah menjabarkan pengertian huta dalam masyarakat Batak serta peran penting raja huta, maka dapat disimpulkan huta memiliki kedudukan dan fungsi penting bagi kehidupan masyarakat Batak. Bahkan, huta menjadi pondasi kepada sistem yang lebih tinggi, yakni horja dan bius, termasuk nantinya menjadi pondasi

30Ibid., hl. 144.

Ompu i |54

dalam keberlangsungan dinasti Singamangaraja. Dan raja huta bertanggung jawab kepada horja dan bius. Hal ini terlihat dari umpasa yang menggambarkan dinasti tersebut.

Huta do mula ni Horja Horja do mula ni Bius

Huta membentuk horja Horja membentuk bius

Horja

Horja merupakan federasi tingkat pertama yang merupakan kumpulan dari beberapa huta. Biasanya horja merupakan kelompok satu marga atau sekelompok marga yang sama (marga-raja) dari beberapa huta walaupun tidak menutup kemungkinan terdapat marga lain yang berbeda dikarenakan adanyak kelompok- kelompok pendatang baru dan juga kelompok marga lain yang leluhurnya memiliki peranan dalam membuka tanah atau huta.31 Namun demikian horja sendiri pada intinya merupakan persekutuan kelompok-kelompok yang masih terikat dengan hubungan kekerabatan marga atau Dalihan Na Tolu: hula-hula, dongan sabutuha maupun boru. Paling tidak adanya keterikatan antarhuta menjadi horja dikarenakan adanya ikatan genealogis, adat, religi dan teritorial.32 Hal inilah yang mendasari keberlangsungan dari adanya horja. Misalnya saja horja Bangkara yang merupakan kumpulan dari huta Raja dan huta Siunongunong Julu dan huta Sionggang.

Horja dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai karya atau kerja. Awalnya perkumpulan ini sebagai suatu seremonial atau pesta atas persekutuan masyarakat kurban yang bersifat religi, namun lambat laun horja menjadi urusan sekuler yang mangurus keamanan (jika terjadi penyerangan yang dilakukan oleh kelompok dari

31 Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 38. 32 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op. Cit., hl.162

Ompu i |55

huta yang bukan semarga), peperangan, hak kepemilikan dan pengurusan tanah, dll. Sebagai relasi dari masing-masing huta maka horja dimaksudkan sebagai bentuk kerjasama baik sesama marga maupun dengan marga boru (marga suami dari perempuan yang berasal dari kampung tersebut). Biasanya bentuk kerjasama tersebut berupa pengelolaan tanah (golat).

Dengan terikat akan relasi antarhuta, maka kepemimpinan horja dinamakan sebagai Dewan Raja atau Raja Horja atau juga sering dikatakan sebagai Raja Junjungan. Mekanisme pengangkatannya dengan melibatkan dan memberikan hak suara kepada setiap huta untuk mengusulkan calon raja yang kemudian dipilih secara demokrasi oleh masing-masing huta. Namun biasanya yang menjadi raja horja adalah marga sipungka (pembuka) huta atau kampung.33 Istilah raja di sini bersifat kolektif yang terdiri dari raja-raja si pembuka huta. Setelah terpilih maka raja horja inilah yang kemudian memimpin setiap kegiatan horja didampingi beberapa orang dari golongan parbaringin (kaum pendeta/imam), walaupun ada beberapa horja yang justru kedudukan raja merangkap juga kedudukan dan pekerjaan golongan parbaringin.

Menurut Ulber Silalahi ada dua fungsi penting dari horja, yakni: pertama, fungsi religi. Fungsi ini dapat diartikan sebagai suatu pesta atau ulaon marga. Jika diaktualisasikan pada masa kini maka deskripsi yang paling jelas dalam menggambarkan horja adalah ritus pesta adat atau ulaon adat dari marga walaupun secara esensi telah berbeda. Dalam fungsi ini maka horja melaksanakan ritus

33Ibid., hl. 214.

Ompu i |56

pemujaan leluhur marga, namun pekerjaan ini haruslah direstui oleh Bius melalui permusyawarahan yang disebut sebagai tonggo raja. Dengan menggunakan tarian tunggal panaluan (tongkat sakti simbol marga) maka dalam perayaan tersebut haruslah mengundang roh leluhur yang dinamakan horja santi, dan Datu (semacam Dukun) berfungsi dalam pemanggilan roh tersebut. Selain ritus pemujaan leluhur maka horja dalam fungsinya sebagai religi juga melaksanakan pesta besar atau horja rea yang dipimpin oleh parbaringin (kelompok imam). Kedua, fungsi administrasi dan hukum. Fungsi ini menerapkan aturan di dalam horja sebagai suatu harajaon atau kerajaan yang berlaku baik ke luar (diluar wilayah horja) ataupun ke dalam (bagi anggotanya sendiri). Misalnya jikalau terjadi penggarapan tanah yang bukan menjadi haknya atau pengambilan hasil ternak diluar hak wilayahnya (golat) yang dilakukan oleh orang/kelompok diluar dari horja tersebut maka aturan dalam horja akan menuntut hak korban. Jikalau kasus tersebut dilakukan oleh anggotanya maka akan dilakukan perdamaian yang dilakukan di partungkoan yang disebut sebagai parriaan. 34

Setelah melihat fungsi horja dari urusan religi hingga kepada masalah sekuler maka dalam hubungannya dengan bius, horja menjadi kustituen dari bius yang merupakan federasi yang lebih tinggi. Dalam konteks ini setiap horja memilih dan mengutus wakilnya untuk menjadi dewan pemerintahan sekuler bius, serta mengutus wakilnya menjadi imam dalam kelompok parbaringin.

34Ibid., hl. 165-166.

Ompu i |57 Bius

Pemerintahan bius merupakan pemerintahan konfederasi dari beberapa pemerintahan horja. Terbentunya bius biasanya dikarenakan adanya kedekatan geografis, walaupun tidak menutup kemungkinan akan adanya faktor genealogis atau sesama marga dalam pembentukan bius. Namun yang menjadi hal esensial dari kehadiran bius adalah adanya ikatan dari aspek religi. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian besar kegiatan bius merupakan kegiatan keagamaan. Bahkan bius juga memiliki ritus-ritus tersendiri yang berbeda dari horja dan huta, atau dengan kata lain ritus tersebut hanya dapat diselenggarakan di tingkat bius, misalnya kegiatan mangase taon (perayaan tahun baru), maname (perayaan musim tanam), dll. Ada juga kegiatan bius yang merupakan kegiatan sekuler namun tetap dinaungi secara religi, misalnya pesta bius yang dipimpin oleh raja bius namun pelaksana ritus tetaplah kelompok parbaringin (kelompok kaum imam). Dalam kegiatan tersebut parbaringin memimpin seremonial dengan memberikan persembahan kurban kepada debata.

Sesuai dengan konsep Sianjurmulamula, yakni adanya 2 pustaha, pustaha laklak dan tumbaga, maka bius selalu mementingkan keseimbangan di dalam unsur duniawi (sekuler) dengan religi. Dengan konsep tersebut, maka idealnya bius menjadi aparatus yang diisi oleh dewan bius atau biasa disebut raja bius dan kelompok parbaringin (imam atau pendeta). Dewan bius berisi enam anggota dan kepemimpinannya bersifat primus inter pares, di mana anggota tertua dari horja menjadi pemimpinnya. Dewan bius inilah yang menjadi pengayom hukum secara sekuler, sedangkan kelompok parbaringin merupakan kumpulan para pendeta atau

Ompu i |58

kaum imam yang mewakili tiap horja. Walaupun kelompok parbaringin menjadi pendamping dewan bius namun kehadirannya tetaplah tunduk kepada aturan hukum sekuler. Keduanya, dewan bius dan parbaringin, bekerja dengan sifat saling melengkapi. Biasanya yang menjadi raja bius adalah marga raja dari sipungka huta atau pembuka/pendiri kampung.

Menurut Sitor Situmorang, bius yang sesuai dengan Sianjurmulamula memiliki konsep yang jelas; dari hukum sekuler yang menjadi adat bius hingga religiusitas memiliki pengaturannya. Dengan konsep ini Sitor Situmorang menganggap bahwa konsep ini dapat menjadi perwujudan suatu bangsa, di mana bius yang memiliki fungsi otonomi tersendiri, adanya fungsi onan (pasar) serta ditambah fungsi lembaga Singamangaraja menjadikan Toba sebagai state- tendency.35

Adapun beberapa fungsi bius dan menjadi adat bius adalah mengatur, yakni:36

1. Hukum pertanahan 2. Hukum relasi bertetangga

3. Hukum pengusaan tanah atau hukum golat

4. Hukum tali-air (irigasi) dan perairan (sungai, danau)

35 Sitor Situmorang, Op. Cit, hl. 19-20.

36Ibid., hl. 12-13. Sitor Situmorang tidak memasukkan penyetujuan Onan sebagai tugas

dari bius. Hal ini berbeda dengan Ulber Silalahi. Menurut Sitor, Onan bukan hanya sekedar dilihat sebagi pasar atau jual beli belaka melainkan telah menjadi lembaga yang tingkatnya sudah diatas bius, walaupun hasil dari Onan merupakan pengesahan atas kerjasama antarbius. Lebih jauh ia melihat bahwa Onan menjadi aspek tertib hukum yang kelembagaannya diresmikan oleh Singamangaraja atau Sorimangaraja (sebelum adanya Singamangaraja). Bahkan Onan menjadi pemersatu dari bius-bius. (Bdk. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 156-158).

Ompu i |59

5. Hukum sumber daya komunal (hutan, padang rumput dll, dikuasai secara kolektif oleh paguyuban.

6. Hukum yang mengatur hak dan kewajiban penggarapan atas sawah. 7. Hukum yang mengatur hak pendiri/pemilik huta, dll.

Walaupun secara aturan sangatlah jelas, namun kenyataan berkata lain. Bius yang memiliki konsep ideal justru tidak terjadi di setiap bius yang ada. Hal ini berdampak kepada fungsi bius, yang berbeda dengan bius-bius lainnya. Salah satu faktor yang menjadi penyebab adalah karena migrasi penduduk yang mengakibatkan pendirian bius tidaklah sesuai dengan konsep Sianjurmulamula. Seperti yang dicatat oleh Sitor Situmorang bahwa terdapat 3 kategori konsep bius, yakni:37

1. Bius berkembang. Bius yang termasuk dalam kategori ini berada di wilayah pantai selatan danau Toba dan pulau Samosir. Konsep bius ini mengikuti konsep Sianjurmulamula, di mana konsep ini memiliki aparatus berupa dewan bius dan golongan parbaringin (kelompok para imam/pendeta). 2. Bius sedang berkembang. Kategori ini mencakup wilayah Silindung,

Humbang dan Pahal. Aparat dari bius ini tidaklah selengkap dari bius berkembang atau sebagaimana model Sianjurmulamula. Konsep ini tidak memiliki golongan parbaringin yang ideal, sehingga setiap kegiatan pesta bius, pemimpin sekuler atau dewan bius melaksanakan tugas yang seharusnya diemban oleh golongan parbaringin.

37Ibid., hl. 31-32.

Ompu i |60

3. Bius terbelakang. Bius-bius yang berada dalam kategori ini yakni wilayah pinggiran Toba. Bius dalam kategori ini sudah sangat berbeda dari konsep Sianjurmulamula. Bahkan kepemimpinan bius bukan lagi bersifat kolektif melainkan perorangan.

Adanya perbedaan bius-bius ini mengindikasikan arus migrasi masyarakat Batak yang menyeluruh ke wilayah pinggiran Toba. Ypes, salah seorang mantan residen Tapanuli, mencatat dan mendokumentasikan bahwa jumlah bius yang tersebar di Toba adalah sebanyak 86 bius yang terdiri dari: 4 bius di wilayah Silindung, 19 bius di Humbang, 40 bius di Toba Hobung dan 23 bius di wilayah Samosir.38

Bius bagi masyarakat Batak memiliki peranan penting dalam kehidupan bersama di Toba. Seperti layaknya sebuah sistem organisasi, maka bius menjadi media atau sarana dalam menghubungkan setiap wilayah-wilayah di Toba (lihat skema). Bahkan nantinya sistem bius ini dimanfaatkan kolonialisme Belanda dalam upaya memecah belah.

38 Data dari Ypes ini berbeda dengan data dari Sitor Situmorang. Menurut Sitor Situmorang

terdapat 150 bius pada abad ke-19. Perbedaan ini menurutnya, data statistik yang digunakan Belanda adalah data bius lama yang merupakan hasil penggabungan dari bius-bius kecil. Bahkan data tersebut menjadi samar ketika Belanda mengubah sistem bius dengan istilah negeri sebagai unit pemerintahan terbawah Belanda, di mana Kepala Negeri (awalnya digelari sebagai Jaihutan yang berarti dipatuhi/diikuti) menjadi pemimpin bius tersebut (lih. Sitor Situmorang, Op. Cit., hl. 17-18).

Ompu i |61

Skema Bius