• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasrat dan Krisis Batak: Awal Mula Masuknya Zending dan Hamajuon

WACANA KOLONIAL DALAM REPRODUKSI KEKUASAAN

1. Hasrat dan Krisis Batak: Awal Mula Masuknya Zending dan Hamajuon

Sebelum masuknya RMG di Tanah Batak, masyarakat Batak selalu berada didalam tekanan dunia luar. Identitas masyarakat Batak yang masih memeluk agama tradisional menjadi hal yang selalu dipinggirkan dan diasingkan oleh bangsa-bangsa sekelilingnya. Paling tidak menurut Hendrik Kraemer, pengasingan ini berlangsung hingga awal abad ke-19.40 Identitas agama dan budaya menjadi sesuatu tantangan yang harus dipertahankan, mengingat peluang di dalam

39 Pernyataan Uli Kozok ini tertuang dalam Historia, “Menyingkap Selubung Suci

Pembawa Misi”, Nomor 27 Tahun III 2016, hl. 60-63.

40Jan Aritonang, “The Batak People: A Search For a Religious-Cultural Identity”, dalam

Martha Frederiks, dkk. (eds.) Towards An Intercultural Theology: Essays in Honour of Jan A.B. Jongeneel (Utrecht: Uitgeverij Meinema, 2003), hl. 127.

Ompu i |98

kehidupan ekonomi sosial dan politik ketika berhadapan dengan dunia luar menjadi sesuatu yang mustahil. Hal ini juga diperparah dengan terjadinya Perang Paderi (1820-an) yang menyebabkan kematian Raja Singamangaraja X dan meluluhlantahkan masyarakat Batak. Mekanismenya adalah seperti yang dicatat oleh Aritonang:41

“Ketika di desak mundur oleh Belanda, mereka menerobos ke Tanah Batak, bahkan sampai ke jantung Tanah Batak (Silindung dan Toba) sambil mengislamkan penduduknya dengan menggunakan kekerasan. Banyak penduduk yang tidak bersedia

masuk Islam, lalu dibunuh.”

Menurut Sidjabat, dampak yang ditimbulkannya adalah dengan hancurnya kesatuan dari masyarakat Batak yang telah dibangun oleh Raja Singamangaraja.42 Masyarakat Batak tidak lagi percaya kepada kepemimpinan Singamangaraja. Hal ini berdampak maraknya perang antarmasyarakat Batak, baik di tingkat huta hingga bius. Menurut saya, efek yang ditimbulkan dari perang Paderi lebih dari itu, yakni krisis identitas, baik religi maupun budaya dalam masyarakat Batak.43 Selain faktor internal, perang Paderi yang memerangi bangsa Batak juga menimbulkan masalah tersendiri, di mana menurut Anthony Reid, menghancurkan hubungan antara Minangkabau dengan masyarakat Batak yang sebelumnya telah terjalin dengan baik, sehingga memunculkan keterisolasian masyarakat Batak dari bangsa

41 Pdt. Dr. Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam Indonesia (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2004), hl. 106.

42 Prof. Dr. W. Bonar Sidjabat, Ahu Si Singamangaraja (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), hl.

429.

43 Dalam hal ini, saya sepakat dengan pernyataan Warneck bahwa kelemahan dalam

animisme seperti dalam agama tradisional masyarakat Batak adalah bahwa penilaian dari kehidupan duniawi menentukan kebaikan tertinggi. Hal ini ia dasarkan atas perjumpaannya dengan orang Batak yang mengatakan: “manusia ada di dunia ini untuk memakan nasi.” Lih. Joh. Warneck, The Living Forces of The Gospel: Experiences of A Missionary In Animistic Heathendom (London: Oliphant, Anderson & Ferrier, 1867), hl. 130.

Ompu i |99

sekitarnya.44 Namun hal ini berubah lambat laun pasca perang Paderi ketika pemerintah kolonial Belanda telah menaklukkan dan menguasai wilayah Tapanuli Selatan (1833) dan mengusahakan perdamaian paksa (Pax Neerlandica) yang menyebabkan Islam diterima di wilayah Tapanuli Selatan .45

Peta Sumatera Utara

Menurut Pedersen, kehadiran pemerintahan kolonial Belanda secara tidak langsung membuat Islam justru berkembang di wilayah-wilayah jajahan.46 Kebijakan pemerintahan kolonial Belanda yang membatasi pos-pos Pekabaran Injil untuk terlibat di Sumatra yang berguna dalam menjaga hubungan baik serta menghindari fanatisme Islam, menjadi buktinya, selain kebijakan pemerintahan

44 Anthony Reid, Menuju Sejarah Sumatra: Antara Indonesia dan Dunia (Jakarta: Obor &

KITLV, 2011), hl. 27-28.

45 Van den End, Op. Cit., hl. 173. 46 Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43.

Ompu i |100

kolonial Belanda yang menempatkan orang-orang Melayu Muslim yang menyebabkan penyebaran bahasa Melayu dan agama Islam. Hal ini juga disadari para misionaris RMG, termasuk Nommensen nantinya, yang justru berharap pemerintahan kolonial Belanda tidak masuk ke Tanah Batak karena takut Islam menyebar di Tanah Batak.47 Mengenai wilayah Batak Toba sendiri yang masih memeluk agama tradisional, pemerintahan kolonial Belanda kurang menaruh perhatian mengingat Belanda sendiri tidak tertarik dengan Tanah Batak yang dianggap tidak memberikan keuntungan ekonomis.

Dengan kebijakan ini, Islam semakin berkembang dan mendapatkan ruang dalam menguasai perdagangan. Mulai dari bangsa Melayu, wilayah Batak daerah Selatan, daerah pesisir, hingga Aceh semuanya rata-rata memeluk agama Islam. Perkembangan dan perluasan Islam ini, menurut Pedersen, memberikan fenomena tersendiri bagi masyarakat non-muslim, yakni harapan akan pendidikan dan masuk ke dalam masyarakat modern. Masyarakat Batak yang masih memeluk agama tradisional justru meyakini ketidakmampuan dalam menghadapi tantangan ekonomi pada saat itu dengan keyakinannya,48walaupun di sisi lain krisis akibat Perang Paderi tetap tidak dapat hilang begitu saja berupa trauma terhadap bangsa luar, khususnya di daerah utara yang masih merasakan dampaknya dengan sikap mengucilkan diri, sedangkan agama Islam semakin menyebar di Tanah Batak, khususnya daerah Selatan. Pemerintah Belanda yang melihat hal ini merubah

47 Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 95.

48 Menurut Pedersen, kaum Muslim selalu mengharapkan masuknya masyarakat Batak

menjadi Islam. Berbagai cara dilakukan untuk mengusahakan Islamisasi kepada masyarakat Batak, misal salah satunya mengizinkan dan memaklumi masyarakat Batak untuk memakan babi walaupun telah menjadi muslim. Paul B. Pedersen, Op. Cit., hl. 43-44.

Ompu i |101

kebijakannya dengan mencari mitra zending sebagai sekutunya yang kemudian mengutus RMG. Salah satu alasan yang diyakini menjadi dasar kebijakan ini adalah faktor Islamisasi yang berkembang pesat.

Ide pengkristenan ini sebenarnya bukanlah yang pertama di Tanah Batak. Sebelumnya, ketika orang-orang Inggris tiba ke Jawa dan Sumatra pada 1811, Sir Thomas Stamford Raffles dan Lord Moira juga mendorong usaha penginjilan di Tanah Batak. Hal ini dilakukan untuk memisahkan orang Islam Aceh daerah utara dengan orang Islam Minangkabau daerah selatan. Mereka mengutus dua misionaris Richard Burton dan Nathaniel Ward yang berasal dari badan zending Baptis, Inggris.49 Namun usaha pengkabaran Injil tersebut kurang memberikan hasil. Hanya beberapa orang yang dibaptis, yakni: Jacobus Tampubolon dan Simon Siregar pada 31 Maret 1861 yang sekaligus menjadi orang Batak pertama yang menerima Injil.50

Menurut Jan Aritonang, kehadiran badan-badan zending ke Tanah Batak dapat dikatakan sebagai suatu kesempatan dan juga sekaligus tantangan masyarakat Batak dalam hubungannya dengan kehidupan sosial-politik, budaya dan agama.51 Zending menjadi kesempatan bagi masyarakat Batak untuk tampil menjadi bagian dari pemerintahan kolonial, kantor ataupun sekolah yang selama ini hanya diisi oleh orang Melayu pesisir beragama Islam.52 Faktor lainnya adalah masalah internal

49Ibid., hl. 45.

50Ibid., hl. 47.

51Jan Aritonang, “The Batak People,” Op. Cit., hl. 127.

52 Paul B. Pedersen, Op.Cit., hl. 43. Menurut Robert van Niel masyarakat pribumi dibagi

menjadi dua kasta, rakyat jelata yang terdiri dari petani, orang desa yang dinamakan dan kaum elit/priyayi yang diisi oleh administrator, pegawai pemerintahan dan orang-orang yang berpendidikan, sehingga dapat dikatakan bahwa masuknya zending ke Tanah Batak memberikan

Ompu i |102

teratasi, yakni keamanan, ekonomi, pendidikan dsb. Namun walaupun demikian, masyarakat Batak yang kuat dengan adat dan budaya merasa enggan dalam meninggalkan identitas adat dan budayanya terlebih wilayah Toba atau yang masih mengakui Singamangaraja sebagai pemimpinnya.

Adanya krisis yang melatarbelakangi masuknya badan zending RMG ini memberikan titik tolak bagi masyarakat Batak untuk mau menerima para zending.53 Bagaimanapun falsafah Batak tradisional tetap menjadi suatu acuan dalam menerima pengaruh asing demi terwujudnya, yakni hamoraon (kekayaan), hagabeon (keturunan), dan hasangapon (kemuliaan atau martabat). Dan hal inipun terbukti dengan masuknya RMG dapat menjawab krisis yang dibutuhkan berupa faktor keamanan, ekonomi, pendidikan, dsb. Perbedaan yang jelas tampak adalah masalah perlakuan dari pihak kolonial kepada orang Batak yang berbeda dari perlakuan kepada Minangkabau atau Jawa yang tersiksa akibat tanam paksa.54 Walaupun di sisi lain, hal ini dapat dilihat dengan adanya pendidikan keahlian atau ketrampilan yang diberikan pihak kolonial, termasuk zending, kepada masyarakat Batak, misalnya sekolah pertukangan yang ada di Balige, dan sekolah lainnya.

Tanggal 7 Oktober 1861 merupakan hari penting bagi HKBP dan RMG yang mengingatkan kepada awal mula masuknya RMG ke Tanah Batak yang sekaligus

potensi kepada masyarakat untuk naik kasta. Lih. Robert van Niel, Munculnya Elite Modern Indonesia (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hl. 31.

53 Dari laporan BRMG, selain faktor adanya krisis akibat Perang Paderi, maka ada faktor

lain yang menyebabkan jatuhnya wibawa Raja Singamangara di wilayah Silindung, yakni adanya masalah internal, di mana ia membawa lari istri seorang Raja. Lih. BRMG 1878 dalam Uli Kozok, Utusan Damai, Op.Cit., hl. 121.

Ompu i |103

juga menjadi tanggal lahirnya HKBP,55 di mana pada tanggal tersebut diadakan rapat di Sipirok yang dihadiri oleh 4 orang Pendeta, yakni Pdt. Heine, Pdt. Klammer, Pdt. Betz dan Pdt. Van Assselt yang membahas mengenai pembagian tugas pekabaran Injil di Tapanuli. Masuknya RMG ke Tanah Batak ini tak lepas dari jasa Dr. Friedrich Fabri yang pada waktu itu menjabat inspektur RMG yang memutuskan untuk memindahkan wilayah pos pekabaran Injil dari Borneo ke Tanah Batak akibat adanya perang Hidayah di Borneo (Kalimantan) yang menyebabkan terbunuhnya sejumlah misionaris, serta hilangnya ladang pekerjaan mereka.56Dalam pembagian tugas tersebut, Pdt. Klammer ditugaskan di wilayah Sipirok, Pdt. Betz ke daerah Bungabondar dan Pdt. Heine bersama Pdt. Van Asselt ke wilayah Pahae. Keempat misionaris ini masih menguasai wilayah perbatasan Tapanuli Selatan dengan Utara sebelum akhirnya Nommensen datang dan membuka perkampungan di Sait Ni Huta, bius Silindung pada 20 Mei 1964 dan mengadakan kebaktian pertama kali pada 29 Mei 1964. Perkampungan ini

55 Penetapan tanggal kelahiran HKBP, yaitu tanggal 7 Oktober 1861, didorong atas

perlunya semua umat Kristen Batak untuk merayakan hari jadi kekristenan; dan RMG melalui rapat konfrensi para missionaris tahun 1905 menentukan secara resmi tanggal tersebut sebagai hari jadi kekristenan atau Gereja Batak, istilah HKBP belum menjadi nama resmi pada waktu itu, melainkan Gereja Batak (Batakmission) Tahun 1905 yang digunakan sebagai tahun penetapan tanggal kelahiran Gereja Batak secara bersamaan menjadi hari perayaan yang pertama bagi kelahiran Gereja Batak. Perayaan pertama ini kemudian menjadi titik tolak perlunya kesadaran di dalam mengingat hari jadi Kekristenan di Tanah Batak. Pada tahun 1925 melalui Sinode Agungnya, nama Gereja

Batak diganti dan diresmikan menjadi ”Huria Kristen Batak” (Gereja Kristen Batak). Tidak ada lagi

nama Gereja Batak yang digunakan pada waktu itu. Baru pada tahun 1929 melalui Sinode

Agungnya, nama ”Huria Kristen Batak” disempurnakan menjadi ”Huria Kristen Batak Protestan”

(HKBP). Nama ini kemudian menjadi nama gereja yang dipakai sekarang. Penamaan HKBP tersebut kemudian menjadi resmi ketika pada tahun 1931 diakui sebagai Badan Hukum. Pemerintah pun kemudian mengeluarkan S.K. pemerintah tertanggal 11 Juni 1931 No. 48 sebagaimana tertulis dalam lembaran pemerintah 1932 No. 360. Pengakuan ulang oleh pemerintah pun dilakukan dengan mengeluarkan surat tanggal 2 April 1968 No. Dd/P/DAK/d/135/68. Lih. HKBP, Tuhan Menyertai UmatNya: Sejarah Huria Kristen Batak Protestan 125 Tahun (Tarutung: HKBP, 1986), hl. 28 & 32.

56 Th. Van den End, Ragi Carita 2: Sejarah Gereja di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung

Ompu i |104

kemudian dinamakan oleh Nommensen sebagai Huta Dame (Kampung Damai) dengan menjadikan perkampungan ini sebagai tempat pelayanan dalam urusan rohani, kesehatan, serta pendidikan. Dari sinilah kemudian Nommensen berkenalan dengan Raja Pontas Lumbantobing, raja yang mambantu para Misionaris menyebarkan Injil, dan memberikan lahan di Pearaja (sekarang menjadi Kantor Pusat HKBP) kepada Nommensen yang dijadikan pargodungan (sekolah, gereja, klinik).

Bagi masyarakat Batak masuknya zending sebagai sesuatu yang tidak dapat ditolak. Paling tidak hal ini dilukiskan di dalam dokumen Die Evangelische Missioner atas ketidaksanggupan Raja Pontas Lumbantobing dalam mempertahankan adat dan budaya Batak atas masuknya kuasa dari luar:57

“Alai ianggo Raja Pontas pos do Rohana di nasida. Ai diantusi ibana do, na

ingkon mago bangsona, so boi maju ala ni angka hamusuon na so olo mansohot.”

Terjemahannya:

“Tetapi Raja Pontas sangat setuju, karena ia mengerti bahwa bangsanya akan

hilang karena tidak dapat maju akibat konflik sesama yang selalu berlangsung.”

Pasca masuknya RMG ke Tanah Batak, Kristenisasi berjalan pesat. Data yang tercatat, ketika Nommensen meninggal pada tahun 1918, gereja telah bertumbuh dan mencakup kurang lebih 180.000 orang anggota yang dibaptis, Pendeta yang bersuku Batak sebanyak 34 orang, sedangkan Guru Injil sebanyak 788 orang dan penatua sebanyak 2.200 orang. Di bidang pendidikan, data yang tercatat, sekolah-

57 Diambil dari “Die Evangelische Missioner dalam A.A. Sitompul, Sitotas Nambur

Ompu i |105

sekolah yang berdiri sebanyak 510 buah yang mempunyai 32.700 orang murid yang terdaftar.58