• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dinasti Singamangaraja

MERAJUT GAGASAN OMPU

C. Ompu i dan Kedudukan Raja Singamangaraja

4. Dinasti Singamangaraja

Mitos Raja Bona Ni Onan dan kisah kesaktian

Keberlanjutan kejayaan dinasti di dalam masyarakat Batak Toba semakin besar pasca munculnya dinasti Raja Singamangaraja. Walaupun kebesaran dan

Ompu i |66

kejayaan Dinasti Singamangaraja masih menimbulkan pro-kontra, namun beberapa sumber mengatakan bahwa dinasti Raja Singamangaraja masih cukup disegani di wilayah Toba, bahkan hingga di luar wilayah Toba, misalnya di daerah Deli dan Langkat yang di dalam naskahnya, “Riwayat Hamparan Perak”, mengakui kekuasaan Singamangaraja. Bahkan ada yang mengatakan bahwa kekuasaan Singamangaraja hingga ke wilayah kesultanan Siak. Hal ini terbukti dengan adanya peta lama yang menggambarkan kekuasaan Singamangaraja, walaupun peta tersebut belum tentu menggambarkan realitas aslinya.45 Namun yang pasti kejayaan Raja Singamangaraja telah tersiar ke seluruh wilayah penjuru di Toba dan sekitarnya.

Bagi masyarakat Batak Toba, kehadiran dan kejayaan dinasti Singamangaraja bukanlah melalui penaklukan atas wilayah-wilayah di Toba, tetapi sebagai bentuk keyakinan atas kelanjutan dari dinasti Sorimangaraja (1395-1425). Peristiwanya adalah pasca dinasti Sorimangaraja maka terjadi pergolakan sosial, politik, ekonomi, agama dan kebudayaan di dalam masyarakat Toba. Hal ini akibat dari ekspansi para kerajaan yang berasal dari luar wilayah Toba, misalnya Aceh, Sriwijaya, Majapahit) dan juga dari negara asing (Portugis). Pasca Sorimangaraja, maka dinasti memiliki kepemimpinan yang dapat mempersatukan. Bahkan pengganti Sorimangaraja, yakni Sibagot Ni Pohan yang merupakan anak sulungnya tidak cukup mumpuni dalam mempersatukan bius-bius yang ada. Kekuasaannya hanya terasa di Baligeraja dalam bius Patane Bale Onan Balige. Alih-alih mempersatukan, justru terjadi perselisihan antarbius, bahkan hingga merambat

Ompu i |67

kepada marga-marga. Dengan situasi tersebut maka para raja bius sepakat untuk melakukan horja bius (akhir abad ke-15) dengan mengucapkan “tonggo-tonggo

Bius Sianjurmulana” sebagai bentuk permohonan (doa) kepada Debata Mula Jadi

Na Bolon agar mengaruniakan seorang pemimpin besar (Maharaja) seperti layaknya Sorimangaraja di saat memimpin Toba-tua. 46 Kelompok Parbaringin sangat berperan besar terhadap munculnya pengharapan ini sebagai suatu komunitas kolektif religious. Doa para raja bius pun dikabulkan dengan lahirnya Raja Manghuntal, anak dari Raja Bona Ni Onan Sinambela dengan pasangannya boru Pasaribu di Bangkara-Toba.

Peristiwa kelahiran Raja Manghuntal ini dilukiskan dengan umpasa, sbb:

Marbunga ma jarugi, sajongkal dua jari. Muba ma ugari sian bongka siapari Tubu ma sada raja tinongos ni Mulajadi Raja Nahasaktian na uja manotari.

Lahirlah Raja yang diberikan oleh Pencipta (Mulajadi)

Raja yang sakti yang mengikat

Pun demikian mengenai kesaktian Raja Manghuntal sendiri, sehingga dapat diyakini sebagai kelanjutan dinasti Sorimangaraja, digambarkan di dalam mitos yang diceritakan secara turun temurun, yakni dalam mitos Raja Bona Ni Onan. Dalam mitos tersebut dikisahkan bahwa Raja Bona Ni Onan didatangi oleh roh dan menjelaskan menjelaskan bahwa bayi dalam kandungan isterinya adalah titisan roh Batara Guru47 dan kelak akan menjadi raja yang bergelar Singamangaraja. Janji itupun terealisasi dengan mengandungnya istri Raja Bona Ni Onan, yaitu boru Pasaribu yang merasa bahwa cahaya telah memasuki tubuhnya. Setelah

46 Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 250.

47 Di dalam keyakinan tradisional masyarakat Batak, Batara Guru termasuk yang pertama

dan terutama dalam Debata Na Tolu (Dewata Trimurti) yang diciptakan oleh Debata Mulajadi Na Bolon. Lih. Dr. Anicetus B. SInaga, Op. Cit., hl. 319.

Ompu i |68

mengandung, maka lahirlah Raja Manguntal yang artinya gemuruh karena pada waktu melahirkan diiringi dengan suara gemuruh gempa. Dalam mitos tersebut juga diceritakan bagaimana Raja Manghuntal berkomunikasi dengan Raja Uti (manusia khayangan) untuk melihat kelayakan Manghuntal sebagai seorang raja.48 Setelah dianggap layak maka Raja Manghuntal menjadi Raja Singamangaraja yang dilegitimasi oleh para raja bius. Secara berurutan Dinasti Sisingamangaraja telah memiliki 12 raja yang semuanya, sbb:

Singamangaraja I Raja Manghuntal 1540-1550 Singamangaraja II Raja Tinaruan, gelar Raja

Manjolong

1550-1595 Singamangaraja III Raja Itubungna 1595-1627 Singamangaraja IV Tuan Sorimangaraja 1627-1667 Singamangaraja V Raja Pallongos 1667-1730 Singamangaraja VI Raja Pangulbuk 1730-1751 Singamangaraja VII Ompu Tuan Lombut 1751-1771 Singamangaraja VIII Ompu Sohalompoan gelar

Datu Muara Labu

1771-1788 Singamangaraja IX Ompu Sotaronggal gelar Raja

Manubung Langit

1788-1819 Singamangaraja X Ompu Tuan Na Bolon gelar

Aman Julangga

1819-1841 Singamangaraja XI Ompu Sohahuaon gelar Raja

Pansom

1841-1871 Singamangaraja XII Ompu Pulo Batu gelar Raja

Patuan Bosar

1871-1907

Selain dari mitos kesaktian Raja Bona Ni Onan maka kesaktian Singamangaraja juga diukur dan diperlihatkan dengan sebuah legitimasi tanda, yakni dengan mencabut pedang piso gajah dompak dari sarungnya. Konon, piso

48 Diambil dari http://www.kompasiana.com/itnaibaho.blogspot.com/sisingamangaraja-

xii-bagian-i-antara-silsilah-dan-mitos_5518cf3f81331140719de0ed. Diakses pada 18 Maret 2016 pukul 22.25 WIB.

Ompu i |69

yang menyerupai keris dan memiliki gagang berbentuk gajah ini mempunyai kekuatan magis dan menjadi tanda kebesaran dari Singamangaraja. Piso ini bisa diangkat oleh orang-orang tertentu yang merupakan keturunan dari Singamangaraja. Namun peristiwa kesaktian dari Piso Gajah Dompak ini berakhir hingga di Singamangaraja XI setelah diambil oleh pihak kolonialis.49

Dari mitos-mitos mengenai kesaktian Singamangaraja, sebenarnya masih banyak lagi kisah-kisah yang menggambarkan kesaktian dari Singamangaraja yang belum terungkap dan hanya sebatas tradisi oral bersifat turun temurun. Namun paling tidak kisah-kisah tersebut ingin menggambarkan bahwa sosok Singamangaraja memiliki kesaktian dan menjadi keyakinan bersama bagi masyarakat Batak tradisional.

Bius Bangkara dan Kedaulatan Dinasti Singamangaraja

Di dalam pemerintahannya, Raja Singamangaraja tampil menjadi pemimpin yang memberikan dampak bagi kesatuan para raja-raja bius. Tentunya, hal ini didukung dari posisi kedudukannya. Menurut Dr. Ulber Silalahi, sistem pemerintahan kerajaan tradisional Batak yang bersifat konfederasi-teritorial memberikan keuntungan kepada Singamangaraja dalam Paling tidak sebelum terjadinya perang Paderi atau sebelum Singamangaraja X (1819), bius-bius yang ada di tanah Batak dapat dikatakan memiliki persatuan dan perdamaian. Melalui sistem lembaga, Raja Singamangaraja dapat mengatur dan memberikan pengaruhnya bagi masing-masing bius, walaupun secara teritorial Raja

Ompu i |70

Singamangaraja tidak mencampuri dan mengambil kedaulatan atas bius, beserta Horja dan Huta. Artinya, sistem konfederasi sangat menghargai birokrasi wilayahnya (Bius) atau bersifat otonom, namun demikian hal-hal yang tidak dapat diselesaikan oleh bius, atau tersangkut paut dengan bius-bius yang ada / lintas bius, maka Singamangaraja memiliki peran yang signifikan. Seperti misalnya dalam hal ini ialah Onan (pasar pekan). Onan menjadi urusan Singamangaraja ketika sudah berkaitan dengan wilayah seluruh Toba dan juga diluar wilayah Toba. Salah satu contoh onan yang menjadi tanggung jawab Singamangaraja adalah adalah onan di Limbong. Menurut Sitor Situmorang, Onan menjadi penting bagi perkembangan masyarakat Batak bukan hanya dikarenakan sebagai lalu lintas ekonomi, tetapi juga memiliki hukum yang terlihat dari adanya norma-norma, yakni: Pertama, pantang melakukan tagihan piutang pada hari pasar. Hutang piutang harus diselesaikan di luar hari pasar. Kedua, Onan juga berfungsi untuk memperoleh perlindungan (suaka). Ketiga, Onan sebagai pusat lalu lintas sosial antarwilayah, sehingga dimanfaatkan sebagai tempat bersosialisasi.50 Selain Onan peran Singamangaraja juga terlihat di bidang pertanian, ekonomi, religi, dsb.

Sistem konfederasi membatasi keterlibatan Singamangaraja kepada bius- bius. Tugas Singamangaraja hanya pada hal-hal yang signifikan. Namun, keterbatasan ini tidak terjadi dengan Bius Bangkara51 yang sebagai kedudukan dari

50 Sitor Situmorang, Op.Cit., hl. 157.

51 Bius Bangkara memiliki 6 horja yang masing-masing dipimpin oleh marga Bangkara,

Sinambela, Sihite, Manullang, Marbun dan Purba. Keenam marga ini diangkat menjadi perwakilan dan sebagai anggota kabinet di harajaon Bangkara, dan mereka diberikan simbol kerajaan berupa barang pusaka kerajaan. (Lih. Dr. Ulber Silalahi, MA, Op.Cit., hl. 258.) Bahkan, menurut Cucu dari Singamangaraja XII, Raja Napatar, kuasa dari 6 marga tersebut sangatlah besar, yakni termasuk menyepakati terpilihnya Raja Singamangaraja. (Lih. https://tobadreams.wordpress.com/2008 /12/21/wawancara-dengan-cucu-tertua-sisingamangaraja-xii/. Diakses pada 4 september 2016.

Ompu i |71

teritori Singamangaraja memiliki kedaulatan dan kemandiriannya yang lebih dari bius-bius lainnya. Menurut Sitor Situmorang, perbedaan tersebut adalah karena adanya kedudukan Singamangaraja yang mempengaruhi dua bidang, yakni: pertama, bidang simbolis sebagai bentuk penghormatan atas kehadiran Singamangaraja yang ditandai dengan penanaman enam batang beringin sebagai tempat keramat paguyuban. Dan kedua dalam bidang pelaksanaan upacara dalam hal religi yang berkaitan dengan kedirian Singamangaraja sebagai dewaraja. Hal ini menjadikan Bius Bangkara menjadi tempat ziarah dan kiblat dalam doa-doa yang dilakukan oleh kelompok Parbaringin.52

Di dalam sistem konfederasi, maka diperlukan “kerelaan” akan bius-bius untuk masuk menjadi bagian konfederasi. Kehadiran Dinasti Singamangaraja memberikan keuntungan bagi para bius. Paling tidak keuntungan tersebut didapatkan dalam bidang ekonomi, sosial, pertanian, dsb. Catatan-catatan mengenai adanya penyelesaian konflik antarbius ataupun antarhuta, penghapusan perbudakan seringkali melekat kepada kebijakan Singamangaraja. Bahkan, bius-bius yang sudah termasuk dalam konfederasi Singamangaraja sangat meyakini akan supremasi Singamangaraja dalam memecahkan masalah sosial dengan meberikan solusi. Biasanya penyelesaian masalah tersebut berada di dalam kegiatan pesta bius, yang merupakan ajang kegiatan religius dan sekaligus sarana perjumpaan masyarakat dalam memupuk persatuan di masyarakat Batak. Saya tidak menampik juga bahwa tidak semua bius rela mengikuti Singamangaraja. Terlebih pasca perang

Ompu i |72

Paderi, serta adanya pengaruh kolonialisme, misal pelarangan pesta bius, yang menimbulkan trauma dan ketidakpercayaan kepada Singamangaraja.53