• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam hal ini, FKIP mengupayakan terciptanya keselarasan antara karakter yang dikembangkan di lingkungan pendidikan dengan pembiasaan di rumah dan masyarakat.

3. Perilaku Mahasiswa terkait dengan Indikator Nilai Berkarakter Kuat dan Cerdas

Terkait dengan nilai-nilai karakter apa saja yang ingin ditanamkan FKIP kepada para mahasiswanya, tidak dapat dilepaskan dari situasi dan konteks sosial di mana pendidikan karakter tersebut diterapkan. Mengingat bahwa FKIP sebagai LPTK, yaitu lembaga pendidikan yang mendidik dan membelajarkan mahasiswanya untuk menjadi guru atau pendidik, maka nilai-nilai yang dipilih berkaitan erat dengan kepribadian ideal yang diharapkan dapat dimiliki oleh seorang guru. Berikut ini dijelaskan mengenai nilai-nilai karakter dan bagaimana pengukuran terhadap sejauh mana pendidikan karakter telah dilaksanakan di jurusan P IPS:

a. Nilai-nilai karakter

Nilai-nilai yang diharapkan FKIP antara lain karakter kuat dan cerdas, di mana karakter kuat dijabarkan dalam 2 hal yakni amanah dan keteladanan, di mana amanah dijabarkan lagi menjadi menjadi 4 hal, yaitu komitmen, kompeten, kerja keras, dan konsisten, sedangkan keteladanan dijabarkan lagi menjadi 3 hal, yakni kesederhanaan, kedekatan, dan pelayanan maksimal. Rumusan kedua, yakni cerdas dijabarkan menjadi kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, dan kecerdasan spiritual. Untuk lebih jelasnya mengenai nilai-nilai karakter yang ditanamkan FKIP terhadap mahasiswanya, berikut uraiannya:

1) Kejujuran

Kultur yang tidak menunjukkan perilaku yang berkarakter dan sangat tidak mendidik, bisa berjalan terus menerus menjadi praksis harian dalam lingkungan pendidikan, yang pada gilirannya individu dalam lembaga pendidikan merasa bahwa perilaku tersebut merupakan hal yang wajar dan tidak bertentangan

commit to user

dengan prinsip-prinsip moralitas dan prinsip-prinsip pendidikan. Sebagai salah satu contohnya seperti adanya kultur persaingan yang tidak sehat, secara riil misalnya mencontek. Prestasi akademis yang dianggap dengan perolehan nilai yang tinggi menimbulkan persaingan dan kompetisi. Hal ini, kadang melalaikan pentingnya proses untuk meraih prestasi tersebut. Demi keunggulan dalam meraih prestasi, individu tidak memperdulikan apakah cara-cara yang mereka gunakan searah dengan nilai moral atau tidak.

Hal ini terbukti dari semua informan yang mengakui ketidakjujurannya saat ujian, yakni dengan membuka catatan, bertanya pada teman, maupun browsing jawaban melalui internet. Bahkan, dosen yang dalam posisinya sebagai seorang pendidik pun menganggap perbuatan curang mahasiswa sebagai hal yang biasa, wajar, dan manusiawi. Karena kultur non-edukatif ini sudah berlangsung lama dan terus menerus, sehingga seringkali aturan yang berusaha memperbaiki hal tersebut hanya menjadi sekedar wacana tertulis.

Kultur non-edukatif ini diperkuat dengan tidak adanya sanksi yang tegas bagi setiap tindakan curang yang mungkin diketahui oleh dosen. Sanksi atas tindakan curang tersebut tergantung dari masing-masing dosen mata kuliah yang bersangkutan. Meminjam istilah dari salah satu informan, yakni Yusuf, yang mengemukakan adanya 3 tipe dosen, yakni lunak, sedengan, dan killer. Dosen yang dianggap lunak berarti dosen tersebut biasanya hanya memberikan teguran lisan tanpa memberikan tindakan lebih lanjut. Kemudian, dosen yang dianggap

sedengan, berarti dosen tersebut menegur secara lisan dan tindakan, yakni menghampiri mahasiswa yang bersangkutan, kemudian mengambil contekan, namun belum ada tindakan lebih lanjut lagi sebagai sanksi. Sedangkan tipe yang terakhir, yakni dosen killer, biasanya langsung bertindak saat mengetahui tindakan curang mahasiswa. Hal ini biasanya diikuti dengan pemberian sanksi berupa pengurangan nilai maupun langsung dinyatakan gagal dalam mata kuliah yang bersangkutan.

2) Tanggungjawab

Tanggungjawab merupakan nilai komitmen yang menunjukkan keamanahan seorang calon pendidik. Hal ini ditunjukkan dengan perilaku

commit to user

mahasiswa dalam melaksanakan tugas dan kewajiban, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Tanggungjawab mahasiswa dalam praksisnya terlihat dari kepatuhan mereka terhadap tata aturan yang ditetapkan FKIP. Salah satu aturan yang menjadi perhatian banyak pihak ialah seragam putih-gelap pada hari Senin-Selasa.

Kebijakan penggunaan seragam putih-gelap pada hari Senin-Selasa bertujuan untuk membangun kesadaran mahasiswa sebagai seorang calon guru, untuk berpenampilan lebih rapi dan santun sesuai dengan penampilan pendidik. Oleh karena itu, hal ini dilaksanakan sebagai wujud pembiasaan agar mahasiswa terbiasa berpenampilan layaknya pendidik. Seragam ini, dapat dikatakan belum merupakan peraturan resmi dekan maupun fakultas, karena baru merupakan himbauan tertulis yang disampaikan melalui surat edaran, sehingga pelanggaran atas kebijakan ini tidak dikenakan sanksi.

Adanya pro dan kontra mengenai kebijakan seragam ini merupakan wujud respon kritis mahasiswa dan dosen. Seragam putih-gelap di satu sisi berupaya membelajarkan mahasiswa agar terbiasa berpenampilan layaknya seorang calon pendidik, mengingat bahwa output FKIP diharapkan menjadi pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas. Namun di sisi lain, hal ini dikhawatirkan menjadi belenggu yang mengikat kebebasan individu untuk hal yang cukup mendasar, yakni berpakaian. Seragam dikhawatirkan mencederai kebebasan individu yang sepatutnya dihargai dalam kerangka pendidikan karakter. Namun, terlepas dari pro dan kontra mengenai penetapan seragam putih-gelap tersebut, informan yang menyatakan tetap patuh dan bersedia menjalankan kebijakan seragam dengan penuh kesadaran menunjukkan perilaku yang sangat bertanggungjawab.

3) Kompeten

Sebagai seorang calon guru, mahasiswa FKIP belajar agar memiliki kompetensi-kompetensi khusus untuk menjadi pendidik. Yang membedakan profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk mencapai profesi tersebut

commit to user

seseorang harus berproses melalui belajar, sehingga mereka memiliki kompetensi-kompetensi khusus sebagai hasil proses belajar yang cukup tentang teori dan profesi yang diampunya. Guru bukan hanya sebagai profesi atas konsekuensi dari kompetensi-kompetensi yang dimiliki. Guru semestinya juga merupakan panggilan hidup, bukan hanya kinerja profesional. Mereka tergerak bukan hanya alasan ekonomi sebagai tindakan yang berguna (useful), melainkan karena memaknai tindakan profesinya sebagai tindakan yang luhur (honorable).

Hal inilah yang disampaikan oleh Pak Faizal sebagai komponen dari satu, harus panggilan jiwa, kemudian yang kedua sebagai profesi, kalau hanya salah satu pincang, jadi amanah itu intinya adalah

dan panggilan hidup inilah etika profesi menjadi penting. FKIP telah memfasilitasi pembekalan kompetensi mahasiswa melalui mata kuliah-mata kuliah yang sesuai dengan program studi masing-masing, dan mata kuliah-mata kuliah kependidikan seperti Perkembangan Peserta Didik, Profesi Kependidikan, dan lain sebagainya, serta mata kuliah praksis seperti Magang, Micro Teaching, dan PPL. Informan sebagai calon pendidik telah cukup memenuhi kompetensi-kompetensi tersebut dengan berproses selama perkuliahan, dengan meningkatkan kemampuan dan memperbaiki perilakunya.

4) Kerja Keras

Calon pendidik yang berkarakter dapat dilihat dari sejauh mana ia mampu bekerja sungguh-sungguh untuk menyelesaikan tugas dan kewajibannya. Perilaku ini menunjukkan kerja keras mereka mengatasi berbagai hambatan baik dalam hal akademis maupun non-akademis. Mahasiswa FKIP, dalam hal ini informan, merupakan mahasiswa-mahasiswa yang berperan aktif dalam organisasi kemahasiswaan, di mana masalah-masalah keorganisasisan harus diselesaikan dengan kerja keras, namun mereka tetap bekerja keras pula untuk mengikuti perkuliahan dengan sebaik-baiknya. Hal ini ditunjukkan dengan kerja keras mereka untuk menepati berbagai tugas yang mampu diselesaikan tepat waktu, serta keikutsertaan mereka dalam organisasi kemahasiswaan yang tidak mengganggu capaian prestasi akademis.

commit to user