• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian Yang Relevan

Kajian Teori

1. Tinjauan Pendidikan Karakter

a. Pengertian Karakter

Istilah karakter memiliki pengertian yang beragam. Secara etimologis

karakter berasal dari karasso

dasar, sidik (seperti dalam sidik jari). Koesoema (2007: 90) mengungkapkan

seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang da

Dalam hal ini, masyarakat Yahudi melihat karakter seperti alam, atau lebih khusus lautan, yakni sebagai sesuatu yang bebas, yang tidak dapat dikuasai manusia, yang

mrucut seperti menangkap asap. Karakter dideskripsikan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, namun tidak dapat dipisahkan dengan hal yang memiliki karakter tersebut.

Setiap manusia memiliki ciri khas yang terwujud dalam ucapan maupun sikap yang ditunjukkannya kepada manusia yang lain. Ciri khas inilah yang disebut sebagai karakter, seperti yang dikemukakan oleh Kertajaya bahwa

tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut, dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap,

diasosiasikan sebagai kepribadian merupakan suatu ciri yang khas yang dimiliki setiap individu yang memberikan kekhasan pada pribadinya, sehingga dapat

yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada indivi

commit to user

dianut suatu masyarakat mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku dari individu yang menjadi anggotanya. Menurut

nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap, dan

moral yang kemudian ditinjau dengan ukuran baik-buruk serta benar-salah. Terminologi karakter sedikitnya memuat dua hal yaitu values (nilai-nilai) dan kepribadian. Karakter yang baik pada gilirannya merupakan suatu penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di luar persoalan apakah baik itu sebagai sesuatu yang asli atau sekadar kamuflase. Menurut

yang melekat dalam sebuah entitas... Sedangkan sebagai aspek kepribadian, karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang:

utuh, karakter mendasarkan diri pada tata nilai yang dianut masyarakat. Tata nilai yang mendasari pemikiran serta perilaku individu tidak didapat secara serta merta, namun membutuhkan suatu proses internalisasi nilai yang sesuai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat. Proses internalisasi inilah yang kemudian membentuk karakter seorang individu. Hal ini sesuai dengan pendapat Kementerian Pendidika

akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan

Selain memuat 2 aspek yaitu nilai-nilai (values) dan kepribadian, istilah karakter memiliki pengertian sebagai temperamen, seperti yang diungkapkan oleh Koesoema (2007: 79) bahwa

Karakter sering diasosiasikan dengan apa yang disebut dengan temperamen yang memberinya sebuah definisi yang menekankan unsur psikososial yang dikaitkan dengan pendidikan dan konteks lingkungan. Karakter juga bisa dipahami dari sudut pandang behavioral yang menekankan unsur somatopsikis yang dimiliki individu sejak lahir.

commit to user

Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian. Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan/konstruksi yang diterima dari lingkungan masyarakatnya, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir. Maka, karakter merupakan perpaduan dua hal, yakni sebagai bawaan yang dimiliki seorang individu sejak lahir dan bentukan dari lingkungan masyarakat di mana seorang individu tinggal.

Adanya perbedaan pandangan terhadap istilah karakter tersebut menyebabkan munculnya ambiguitas. Mounier dalam Koesoema (2007: 90) mengajukan dua cara interpretasi atas ambiguitas terminologi karakter.

Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu yang pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari

sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).

Dalam pemahaman yang pertama, karakter dipahami sebagai suatu keadaan yang telah dimiliki oleh seorang individu, yang telah diberikan begitu saja, sebagai sesuatu yang telah ada dari awal adanya individu, atau dengan kata lain, telah dimiliki individu sejak lahir. Hal ini menyiratkan bahwa karakter ada dengan dipaksakan begitu saja pada diri seseorang, mau ataupun tidak mau. Sedangkan dalam pemahaman yang kedua, karakter dipahami sebagai suatu kemampuan seorang individu untuk menguasai kondisi yang telah dimilikinya sejak lahir itu. Maka, karakter merupakan usaha yang dikehendaki untuk mengatasi keterbatasan keadaan yang dimiliki seorang individu. Melalui hal ini, individu diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi, serta kemungkinan- kemungkinan bagi perkembangan dirinya.

Koesoema (2007: 104) memberikan pengertian karakter yang lebih menekankan pada aspek willed sebagai usaha penyempurnaan diri yakni karakter

commit to user

hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya

dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah

hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan dan tantangan. Maka, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sebuah kondisi dinamis struktur antropologis manusia yang khas dan berbeda sebagai hasil keterpaduan olah hati, pikir, raga, rasa dan karsa sebagai kondisi bawaan sejak lahir yang disertai dengan usaha menuju penyempurnaan diri, yang dipengaruhi oleh lingkungan.

b. Pengertian Pendidikan Karakter

Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia yang mengandung komitmen tentang pendidikan karakter yakni dalam pasal 3 yang menyebutkan,

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan, di mana pengembangan dan pembentukan watak (karakter) merupakan tujuan mendasar. Sedangkan Kemendiknas (2011: 1) secara implisit menegaskan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun

commit to user

pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,

Dengan demikian, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) merupakan landasan yang kokoh untuk melaksanakan pendidikan karakter bukan sebagai bentuk grand design saja namun implementasi operasional secara nyata. Seperti yang dikemukakan Kemendiknas (2011: 1) bahwa:

Pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter 2010: pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.

Atas dasar itulah maka pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, namun lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga individu menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik serta biasa melakukannya (psikomotor). Hal ini sesuai dengan pendapat Kemendiknas (2011: 1) bahwa

(moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang

terus-Pendidikan merupakan proses pembangunan karakter, seperti yang dipahami sebelumnya bahwa karakter dapat dibangun dengan usaha untuk

karakter, dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Tergantung pada bekal masing-masing. Mau dibawa kemana karakter mereka dan mau dibentuk seperti

commit to user

seperti mengisi sebuah gelas kosong. Individu digambarkan sebagai sebuah gelas, yang memiliki bekal potensi, jadi bersih atau kotornya sebuah gelas menjadi satu unsur yang sangat penting. Kemudian, pendidikan merupakan air yang dituangkan ke dalam gelas, yang mempengaruhi keadaan gelas yang awalnya kosong. Pendidikan diharapkan seperti air yang jernih yang mampu mengisi individu dengan kebajikan.

Mengingat bahwa karakter tidak diperoleh secara serta merta namun melalui proses internalisasi nilai, maka kajian pendidikan karakter sebagai pendidikan nilai menjadikan upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai, untuk membantu individu mengembangkan pemikiran dan perilaku guna bertindak dengan cara-cara yang pasti. Persoalan baik dan buruk, kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam

pendidikan karakter semacam ini. Sedangkan pendidikan karakter sebagai aspek kepribadian lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Seperti

-krama, sopan santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma

Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh Lickona (1991) bahwa pendidikan karakter by definition

kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung jawab, menghormati hak

3). Sehingga pendidikan karakter diharapkan dapat memberikan hasil pembentukan karakter yang diwujudkan dalam kehidupan individu sehari-hari.

commit to user

Sedangkan menurut Winataputra (2010: 8) pendidikan karakter dapat dimaknai

watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan

sehari-Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para pelajar tentang nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini, pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin manusiawi.

Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan dalam masyarakat kita.

Pendidikan karakter merupakan bagian dari kinerja sebuah lembaga pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai macam keterlibatan individu dan tata aturan kelembagaan. Pendidikan karakter dapat dipahami melalui dua cara, seperti pendapat yang dikemukakan oleh Koesoema (2007: 124-125) yakni yang pertama memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Dalam pemahaman ini, pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai tertentu dalam diri anak didik di sekolah. Paradigma ini menekankan pentingnya penanaman nilai-nilai tertentu yang menjadi prioritas kelembagaan yang ingin ditanamkan dalam diri anak didik sesuai dengan profil lulusan yang ingin dicapai oleh lembaga pendidikan tertentu.

commit to user

Paradigma kedua melihat pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan dalam peristiwa pendidikan itu sendiri (educational happenings). Paradigma kedua ini, membahas secara khusus bagaimana nilai kebebasan itu tampil dalam kerangka keputusan yang sifatnya tidak saja personal, melainkan juga kelembagaan, dalam relasinya dengan unsur-unsur pendidikan dalam lingkungan sekolah, dan dalam kaitannya dengan lembaga lain yaitu keluarga, instansi pemerintah, dan masyarakat. Maka, pendidikan karakter bukan saja sebagai pembentukan moral yang melibatkan keputusan individu secara personal, namun juga hubungan kelembagaan.

Pembentukan dan pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi individu secara personal maupun bagi lingkungannya. Pendidikan karakter berusaha mendidik para peserta didiknya agar mampu mengambil keputusan dengan bijak serta berkomitmen atas segala dampak keputusannya tersebut. Hal ini sesuai pendapat Megawangi (2004) -anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif

Terkait dengan upaya mendidik karakter para peserta didik, tidak lepas dari aspek moral dan etika. Pembentukan dan pengembangan karakter memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia baik kognitif, emosi, maupun fisik, sehingga sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek hafalan dan orientasi untuk lulus ujian tidak relevan dengan konsep pendidikan karakter secara holistik. Dalam hal ini, Megawangi (2007) juga mengemukakan

proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hand Husaini, 2010: 3).

commit to user

Karakter memberikan kualifikasi tertentu terhadap individu atas pilihan mana yang diambilnya. Karakter menjadi suatu identitas atas pengalaman yang telah dialami oleh seorang individu, sehingga kematangan karakter menjadi kualitas pribadi yang dapat diukur. Seperti yang dikatakan oleh Foerster yaitu

kesatuan esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi,

(Koesoema, 2007: 42). Karakter memberikan kekuatan dan penguatan atas keputusan seorang individu, yang kemudian ditambahkan oleh Foerster memiliki empat ciri, yaitu

1) Keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju keteraturan nilai.

2) Koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.

3) Otonomi. Yang dimaksud dengan otonomi di sini adalah kemampuan seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.

4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.

Maka, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya pembentukan dan pengembangan karakter yang melibatkan semua aspek dimensi manusia baik kognitif, afektif (emosi), dan psikomotor (fisik) dengan mengetahui,

commit to user

merasakan, dan melaksanakan perilaku yang baik (knowing the good, loving the good, and acting the good) sehingga menjadi habit atau kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan yang bersifat personal maupun sosial sebagai tanggung jawab bersama pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orangtua.

c. Urgensi Pendidikan Karakter

Winataputra (2010: 10) menyampaikan urgensi dari pengejawantahan komitmen nasional pendidikan karakter, secara kolektif telah dinyatakan pada Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa, yang dibacakan pada akhir Sarasehan Tanggal 14 Januari 2010, sebagai berikut:

1) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.

2) Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.

3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua. Oleh karena itu, pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut.

4) Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.

Sistem pendidikan saat ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri yaitu pada ranah kognitif, dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan pada ranah afektif. Tanpa mengesampingkan peran ranah pengetahuan, namun pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan, yakni pada ranah afektif. Pada sisi lain, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek

knowledge, feeling, dan action. Pembentukan karakter memerlukan latihan yang terus menerus atau kontinyu. Pendidikan karakter sebagai upaya pembentukan dan pengembangan karakter yang melibatkan semua aspek dimensi manusia baik kognitif, afektif, maupun psikomotor dengan mengetahui, merasakan, dan

commit to user

melaksanakan perilaku yang baik sehingga menjadi kebiasaan yang terus menerus dipraktikkan.

Pendidikan karakter meskipun sudah sering digembor-gemborkan sebagai suatu hal yang mendesak untuk segera ditindaklanjuti dalam kinerja pendidikan, tampaknya belum sehebat grand design yang telah dibentuk pemerintah dalam implementasinya di lapangan. Pendidikan karakter dinilai telah mengalami kemunduran. Lickona dalam Koesoema (2007: 119-122) menyebutkan bahwa kemunduran pendidikan karakter dipengaruhi oleh berbagai macam asumsi teoritis-filosofis yang berkembang seiring dengan berjalannya historis pemikiran mengenai pendidikan karakter itu sendiri, yaitu antara lain:

Asumsi pertama berasal dari pandangan Darwinian tentang moralitas. Moralitas dalam kerangka pandangan evolusi Darwin mengalami perubahan signifikan dari waktu ke waktu. Semuanya mengalir, tidak tetap, termasuk nilai-nilai moral yang diyakini dalam masyarakat. Merosotnya nilai-nilai-nilai-nilai moral, entah dalam keluarga, dalam masyarakat, dll, dianggap sebagai bagian dari proses evolusi ini. Mereka yang memiliki pandangan moral ala Darwin berpendapat bahwa tentang nilai-nilai moral tidak ada yang tetap. Atau terhadapnya tidak dapat diambil sebuah kesepakatan bersama. Dengan demikian, usaha pendidikan karakter menjadi tidak relevan diterapkan di sekolah karena tentang moral ini tidak ada sesuatu yang stabil yang bisa diajarkan kepada mereka.

Asumsi kedua, filsafat positivisme yang membedakan antara fakta-fakta ilmiah yang teruji dengan bukti-bukti, dengan nilai (value) yang oleh kaum positivis dipahami sekadar sebagai ekspresi perasaan, bukan sebagai kebenaran -satunya data yang dapat diobservasi. Yang dimaksud dengan fakta adalah apa yang kasat mata dan dapat diamati. Penghayatan nilai-nilai moral bagi kaum positivis bukan merupakan sebuah fakta yang bisa diverifikasi secara nyata. Oleh karena itu, pendidikan karakter yang banyak berurusan dengan nilai-nilai moral tak dapat dijadikan materi untuk diperdebatkan secara publik dan karena itu juga tidak dapat diajarkan di sekolah.

commit to user

Asumsi ketiga, personalisme yang menjunjung nilai-nilai subjektivitas, otonomi, dan rasa tanggung jawab. Personalisme menekankan kebebasan individu atas tanggung jawab moral pribadi. Personalisme mencoba mengembalikan makna dan hakikat keberadaan individu sebagai pribadi di tengah cengkeraman arus komunitaris. Personalisme berusaha mengembalikan individu sebagai subjek yang bebas, bertanggungjawab atas perilaku dan keputusannya, terbuka kepada yang lain, berorientasi pada kebaikan, sehingga menjadi proses promosi pribadi yang dinilai berdasarkan totalitas fungsi yang dimilikinya, melalui proses evolutif yang menyertainya, di mana secara faktual ia mengakarkan dirinya dalam kehidupan sosial. Kebebasan individu dan tanggung jawab moral pribadi individu atas keputusannya membuat pendidikan karakter yang mencoba menumbuhkan pemahaman akan nilai-nilai moral cenderung bersifat internal, personal, dan individual. Oleh karena itu, proyek bersama bagi pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah bisa dianggap sebagai intervensi atas otonomi dan tanggung jawab indiviu bagi perilakunya.

Asumsi keempat, pluralisme sosio-politik-kultural. Pluralisme senantiasa berkaitan dengan gagasan tentang keragaman, kejamakan, kekayaan, yang dilekatkan pada berbagai macam konteks. Pluralisme sosial kultural mengacu pada situasi sosial sebuah masyarakat yang sangat kompleks, yang memiliki beraneka ragam pandangan dunia, konsep-konsep nilai dan skema perilaku yang ada dalam suatu situasi tertentu. Dalam kerangka pendidikan, pluralisme berarti metode dan objek pedagogis yang menunjuk pada proses pembelajaran dan penginternalisasian perilaku toleran dan menghasilkan rasa hormat pada nilai-nilai lain yang berbeda. Tantangan pendidikan karakter berhadapan dengan pluralisme moral adalah relativisme dan permisivisme ini. Relativisme moral membuat pendidikan karakter yang memiliki dimensi personal dan sosial macet. Sementara, permisivisme membuat skema perilaku bersama yang tidak selaras dengan nilai-nilai dan norma moral bisa meruyak masuk dalam pendidikan karakter. Jika ini terjadi, pendidikan karakter tidak dapat dilaksanakan secara efektif sebagai sebuah program bersama sebab senantiasa menemui hambatan-hambatan praktis aplikasi di lapangan.

commit to user

d. Pilar Pendidikan Karakter

Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya

moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau

aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, yakni untuk mengetahui, merasakan, dan mempraktikkan karakter yang baik.

Moral knowing terdiri dari enam hal, yaitu moral awareness

(kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral),

perspective taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge. Moral feeling juga sebagai aspek yang harus ditanamkan, yang terdri dari enam hal, yaitu

conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu