commit to user
i
PERSEPSI DAN PERILAKU MAHASISWA
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret)
SKRIPSI
Oleh:
DIPTASARI WIBAWANTI
K8408002
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Diptasari Wibawanti
NIM : K8408002
Jurusan/Program Studi : P.IPS/Pendidikan Sosiologi Antropologi
menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul
MAHASISWA DALAM PENDIDIKAN KARAKTER (Studi Kasus di
Jurusan Ilmu Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri.
Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam
teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil
jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, 29 Januari 2013
Yang membuat pernyataan
commit to user
iii
PERSEPSI DAN PERILAKU MAHASISWA
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret)
Oleh:
DIPTASARI WIBAWANTI
K8408002
SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar
Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
commit to user
iv
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Surakarta, 29 Januari 2013
Pembimbing I,
Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd
NIP. 19530826 198003 1 005
Pembimbing II,
Yosafat Hermawan T., S.Sos., M.A.
commit to user
v
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada Hari : Senin
Tanggal : 4 Februari 2013
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. MH Sukarno, M.Pd ...
Sekertaris : Drs. Slamet Subagya, M.Pd ...
Anggota I : Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd ...
Anggota II : Yosafat Hermawan T., S.Sos., M.A ...
Disahkan Oleh
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. H.M. Furqon Hidayatullah, M.Pd.
commit to user
vi MOTTO
Sesempurna-sempurna iman seorang mukmin adalah mereka yang paling bagus
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada:
1. Ibu Subambini dan Bapak Suharto, mbak Ning, mas
Bayu, mas Cahyo, dan Yoga, kalian keluarga yang
terbaik
2. Keluarga besar UKM Taekwondo UNS yang membuat
hidupku penuh warna
commit to user
viii ABSTRAK
Diptasari Wibawanti. K8408002, PERSEPSI DAN PERILAKU MAHASISWA
DALAM PENDIDIKAN KARAKTER (STUDI KASUS DI JURUSAN
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET). Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Februari 2013.
Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui persepsi mahasiswa jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial terhadap pendidikan karakter sebagai pelaksanaan visi FKIP UNS, (2) strategi penerapan visi FKIP UNS berkarakter kuat dan cerdas di jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial dan (3) mengetahui perilaku mahasiswa di jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai proses dan hasil penerapan visi FKIP UNS tersebut.
Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan P IPS FKIP UNS. Penelitian menggunakan metode pendekatan deskriptif kualitatif, dengan strategi studi kasus tunggal terpancang. Sumber data berasal dari mahasiswa, dosen dan pimpinan Jurusan P IPS, serta pimpinan FKIP. Teknik pengambilan informan yang digunakan yaitu teknik purposive sampling. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu wawancara, observasi langsung, dan analisis dokumen. Untuk meningkatkan kesahihan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi data atau triangulasi sumber. Tahapan analisis interaktif penelitian meliputi pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Pemahaman informan mengenai penjabaran visi berkarakter kuat dan cerdas sangat beragam. Namun hal ini disepakati sebagai kriteria ideal yang harus ada dalam kepribadian pendidik, yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa FKIP sebagai calon guru. Berkarakter kuat dan cerdas dijabarkan sebagai keseimbangan antara IQ, SQ, dan EQ yang mampu diaplikasikan dalam pemikiran, sikap, maupun perilaku praksis dalam kehidupan sehari-hari, yang mengarah pada perubahan positif bagi dirinya dan orang lain. (2) Untuk membentuk calon pendidik yang berkarakter kuat dan cerdas, pendidikan karakter dilaksanakan secara bertahap melalui kurikulum, program dan kebijakan, penciptaan lingkungan yang sehat dan kondusif, keteladanan serta pengawasan. Pendidikan karakter bukan merupakan mata kuliah khusus, melainkan terintegrasi dalam kurikulum. Dosen berperan penting sebagai figur teladan bagi mahasiswa. (3) Pendidikan karakter belum dilaksanakan secara optimal di jurusan P IPS, karena terlalu menekankan segi fisik yang diatur melalui kebijakan seragam, di mana hal ini masih menimbulkan pro kontra. FKIP belum menetapkan kriteria resmi evaluasi pendidikan karakter, sehingga penilaian keberhasilan hanya sampai pada pengamatan individual. Mahasiswa belum mengaplikasikan nilai-nilai berkarakter kuat dan cerdas secara optimal, karena kurang paham atas makna berkarakter kuat dan cerdas, belum terbentuknya kesadaran pribadi, belum ada contoh yang bisa diteladani, serta kurang ada sosialisasi lebih lanjut terkait dengan program dan kebijakan.
commit to user
ix ABSTRACT
Diptasari Wibawanti. K8408002,
BEHAVIOR IN CHARACTER EDUCATION (A CASE STUDY ON SOCIAL SCIENCE EDUCATION DEPARTMENT OF TEACHER TRAINING AND EDUCATION FACULTY OF SEBELAS MARET UNIVERSITY). Thesis, Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. February 2013.
This research aims (1) to find out the perception of Social Science
applicat
strong and intelligence character in Social Science Education Department of Teacher Training and Education Faculty and (3) to find out the behavior of Social s students as the process and product of FKIP s vision application.
This research was taken place in Social Science Education Department of FKIP UNS. This study employed a descriptive qualitative approach, with a single embedded strategy. The data source derived from the students, lecturers and
techniques used were interview, direct observation, and document analysis. To improve the data validity, the author employed data triangulation technique encompassing source triangulation. The interactive analysis stage of this research included data collection, data reduction, data display, and conclusion drawing.
e explanation of strong and intelligence character-vision was very varied. But it was agreed as the ideal criterion that should exist in educator personality, that was expected to be possessed by the student FKIP as the prospect teacher. Having strong and intelligence character was defined as the balance between IQ, SQ, and EQ that could be applied to thinking, attitude, and practical behavior in daily life, leading to the positive change for the self and others. (2) To create a prospect educator with strong character and intelligence, the character education was carried out gradually through curriculum, program and policy, creating a healthy and conducive environment, precedence and supervision. Character education is not special course, but integrated into curriculum. The lecturer plays an important role as the model figure to the students. (3) Character education had not been undertaken optimally in Social Science Education department, because it emphasized mostly on physical aspect governed through uniform policies, in which it still resulted in pros and cons. The Teacher Training and Education Faculty had not applied yet the official criteria of character education evaluation, so that the success assessment was limited to individual observation only. The students had not applied yet the strong and intelligence character values optimally, because they understood poorly the meaning of having strong and intelligence character, personal awareness had not been created, and the lack of further socialization concerning the program and policy.
commit to user
x
KATA PENGANTAR
Segenap puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga proses penelitian dan
penyusunan skripsi ini berjalan dengan cukup baik. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurahkan pada junjungan kita Rasullulah SAW.
Peneliti menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini tidak berjalan
dengan mudah, cukup banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan, dan berkat
karunia Allah SWT serta peran berbagai pihak, kesulitan tersebut dapat diatasi.
Oleh karena itu, peneliti mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.
3. Ketua Program Pendidikan Sosiologi Antropologi Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
4. Drs. A.Y. Djoko Darmono, M.Pd. selaku Pembimbing I yang telah
memberikan arahan, masukan dan motivasi dalam penyusunan skripsi.
5. Yosafat Hermawan Trinugraha, S.Sos., M.A. selaku Pembimbing II yang
telah memberikan bimbingan, masukan dan saran dalam penyusunan skripsi.
6. Dr. Zaini Rohmad, M.Pd. selaku Pembimbing Akademik yang telah
mengawal selama peneliti menempuh studi.
7. Dewan Dosen Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP UNS.
8. Teman-teman Prodi Pendidikan Sosiologi Antropologi angkatan 2008.
9. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Semoga amal baik dan keikhlasan membantu peneliti mendapatkan
imbalan dari Allah SWT. Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tidak terlepas dari
kekurangan. Semoga hasil penelitian yang sederhana ini dapat bermanfaat.
Surakarta, 29 Januari 2013
commit to user
xi DAFTAR ISI
Halaman
JUDUL ... i
PERNYATAAN... ii
PENGAJUAN ... iii
PERSETUJUAN ... iv
PENGESAHAN ... v
MOTTO ... vi
PERSEMBAHAN ... vii
ABSTRAK ... viii
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR ... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 7
D. Manfaat Penelitian ... 7
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian Yang Relevan ... 9
Kajian Teori ... 9
1. Tinjauan Pendidikan Karakter ... 9
a. Pengertian Karakter ... 9
b. Pengertian Pendidikan Karakter... 12
c. Urgensi Pendidikan Karakter ... 18
d. Pilar Pendidikan Karakter ... 20
e. Teori Pendidikan Karakter ... 23
commit to user
xii
g. Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter ... 33
2. Tinjauan Persepsi dan Perilaku ... 40
a. Persepsi ... 40
b. Perilaku ... 41
3. Tinjauan Visi FKIP UNS ... 45
a. Visi Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 45
b. Guru Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 52
Hasil Penelitian yang Relevan ... 61
B. Kerangka Berpikir ... 62
BAB III METODE PENELITIAN ... 66
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 66
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 68
C. Data dan Sumber Data ... 72
D. Teknik Pengambilan Informan ... 75
E. Teknik Pengumpulan Data ... 76
F. Uji Validitas Data... 78
G. Analisis Data ... 79
H. Prosedur Penelitian ... 82
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 84
A. Deskripsi Lokasi/Objek Penelitian... 84
B. Deskripsi Temuan Penelitian ... 89
1. Persepsi Konsep Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 90
2. Strategi Penanaman Nilai Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 97
a. Keteladanan ... 100
b. Program dan Kebijakan ... 104
c. Kontrol dan Pengawasan ... 110
d. Menciptakan Lingkungan yang Kondusif ... 113
3. Perilaku Mahasiswa Terkait dengan Penerapan Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 116
a. Indikator Nilai Karakter dan Perilaku ... 117
commit to user
xiii
C. Pembahasan ... 155
1. Rumusan Berkarakter Kuat dan Cerdas sebagai Konsep Pendidikan Karakter ... 155
2. Strategi Penanaman Nilai Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 158
3. Perilaku Mahasiswa terkait dengan Indikator Nilai Berkarakter Kuat dan Cerdas ... 167
a. Nilai-nilai Karakter ... 167
b. Evaluasi Pendidikan Karakter ... 177
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN ... 179
A. Simpulan ... 179
B. Implikasi... 181
C. Saran... 182
DAFTAR PUSTAKA ... 184
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
2.1. Nilai-nilai Karakter dan Deskripsi ... 22
2.2. Karakteristik, Definisi, dan Indikator Budaya Kerja ... 60
3.1. Rincian Waktu Penelitian... 67
4.1. Indikator dan nilai karakter prioritas yang diterapkan di FKIP ... 119
commit to user
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
2.1. Metode Pendidikan Karakter ... 32
2.2. Indikator Guru dan Dosen Profesional... 58
2.3. Skema Kerangka Berpikir ... 65
3.1. Komponen-komponen Analisis Data Model Interaktif ... 80
4.1. Visi Berkarakter Kuat dan Cerdas di gedung F ... 95
4.2. Poster/anjuran yang terdapat di gedung F ... 113
4.3. Mahasiswa menggunakan seragam putih gelap hari Senin ... 134
commit to user
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
1 Field Note ... 187
2 Interview Guide... 255
3 Surat Permohonan Ijin Penyusunan Skripsi ... 259
4 Surat Permohonan Ijin Research dan Observasi ... 260
5 Surat Permohonan Ijin Research/Try Out ... 261
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemendiknas telah mendeklarasikan tentang "Pendidikan Budaya dan
Karakter Bangsa" sebagai gerakan nasional pada 14 Januari 2010. Deklarasi
nasional tersebut harus diakui secara jujur, disebabkan oleh kondisi bangsa yang
semakin tidak stabil karena berbagai dampak negatif yang ditimbulkan oleh
globalisasi. Dampak globalisasi yang terjadi telah menyebabkan masyarakat
Indonesia mengalami degradasi karakter dan moral. Berbagai peristiwa seperti
Kasus Gayus Tambunan, Angelina Sondakh dengan kasus Blackberry-nya hingga
John Kei dengan jaringan pembunuh bayarannya merupakan contoh lunturnya
karakter dan moral bangsa. Peristiwa tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
ternyata mampu melakukan tindak kekerasan yang sebelumnya belum pernah
terbayangkan. Hal ini terjadi karena globalisasi telah membawa masyarakat pada
pemujaan materi sehingga terjadi ketimpangan antara pembangunan ekonomi
dengan kebudayaan masyarakat. Padahal, karakter merupakan suatu pondasi
bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak.
Salah satu alternatif yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, atau
paling tidak mengurangi, masalah degradasi moral dan karakter bangsa adalah
pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena
pendidikan membelajarkan dan membimbing generasi muda sebagai generasi
penerus bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif,
pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa
dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab
berbagai masalah degradasi moral dan karakter bangsa. Pendidikan merupakan
mekanisme institusional yang akan mengakselerasi pembinaan dan pembangunan
karakter bangsa. Selain itu, pendidikan juga berfungsi sebagai sarana mencapai
tiga hal prinsipal dalam pembinaan karakter bangsa. Menurut Rajasa (2007) tiga
commit to user
1. Pendidikan sebagai arena untuk re-aktivasi karakter luhur bangsa Indonesia. Secara historis bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki karakter kepahlawanan, nasionalisme, sifat heroik, semangat kerja keras serta berani menghadapi tantangan. Kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lampau adalah bukti keberhasilan pembangunan karakter yang mencetak tatanan masyarakat maju, berbudaya, dan berpengaruh.
2. Pendidikan sebagai sarana untuk membangkitkan suatu karakter
bangsa yang dapat mengakselerasi pembangunan sekaligus
memobilisasi potensi domestik untuk meningkatkan daya saing bangsa.
3. Pendidikan sebagai sarana untuk menginternalisasi kedua aspek di atas yakni re-aktivasi sukses budaya masa lampau dan karakter inovatif serta kompetitif, ke dalam segenap sendi-sendi kehidupan bangsa dan program pemerintah. Internalisasi ini harus berupa suatu concerted efforts dari seluruh masyarakat dan pemerintah.
Secara akademis, pendidikan karakter dimaknai sebagai pendidikan
nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak, atau
pendidikan akhlak yang tujuannya mengembangkan kemampuan peserta didik
untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan
mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Pendidikan karakter sebagai satu konsep pendidikan yang menanamkan budi
pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), serta
tindakan (action) merupakan suatu solusi untuk memperbaiki karakter dan moral bangsa. Seperti yang dikemukakan Kementerian Pendidikan Nasional (2011:1)
pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada habit atau kebiasaan yang terus-menerus
Platform pendidikan karakter bangsa Indonesia telah dipelopori oleh
tokoh pendidikan Ki Hajar Dewantara yang tertuang dalam tiga kalimat, yaitu Ing ngarsa sung tuladha (di depan memberikan teladan), Ing madya mangun karsa (di tengah membangun kehendak), dan Tut wuri handayani (di belakang memberikan dorongan). Ketiga prinsip ini ditujukan bagi seorang guru atau pendidik. Bahwa
commit to user
keteladanan bagi peserta didiknya. Selain itu, guru atau pendidik juga harus
memberikan bimbingan untuk membangun tujuan dan cita-cita peserta didiknya.
Dan yang terakhir, seorang guru atau pendidik harus mampu memberikan
dorongan dan motivasi, sehingga peserta didik memiliki semangat dan daya juang
dalam mengembangkan potensi dirinya.
Secara praktis, pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman
nilai-nilai kebaikan kepada warga sekolah atau kampus yang meliputi komponen
pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan
nilai-nilai tersebut, baik dalam berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, sesama
manusia, lingkungan, maupun nusa dan bangsa sehingga menjadi manusia yang
seutuhnya. Pendidikan karakter di perguruan tinggi perlu melibatkan berbagai
komponen terkait yang didukung oleh proses pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan warga kampus,
pengelolaan perkuliahan, pengelolaan berbagai kegiatan mahasiswa,
pemberdayaan sarana dan prasarana, serta etos kerja seluruh warga kampus.
Pendidikan karakter meskipun sudah sering digembor-gemborkan
sebagai suatu hal yang mendesak untuk segera ditindaklanjuti dalam kinerja
pendidikan, tampaknya belum sehebat grand design yang telah dibentuk pemerintah dalam implementasinya di lapangan. Pendidikan karakter perlahan
mengalami kemunduran serta kurang mendapat perhatian serius. Hal ini
disebabkan oleh berbagai faktor. Koesoema (2007:119) menyebutkan bahwa
Kemunduran pendidikan karakter disebabkan adanya perbedaan pandangan dan
visi tentang pendidikan karakter. Perbedaan pemahaman tentang pendidikan
karakter ini bisa mempengaruhi penerapan pendidikan karakter di tingkat satuan
pendidikan bahkan di tingkat negara.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta merupakan sebuah Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK),
yang didirikan untuk mencetak tenaga-tenaga pendidik yang handal dan
profesional. Untuk menghasilkan tenaga pendidik yang baik maka diperlukan
commit to user
lulusan LPTK, sehingga kualitas LPTK harus senantiasa dibangun dan
dikembangkan agar menghasilkan lulusan yang berkualitas pula. Dalam konteks
membangun karakter calon generasi bangsa, penyiapan calon tenaga pendidik
profesional yang berkarakter tentunya memiliki korelasi yang tinggi. Sebab setiap
calon pendidik dewasa ini dituntut memiliki kemampuan dalam membina karakter
peserta didiknya, sehingga pembinaan karakter mahasiswa calon tenaga pendidik
harus merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pendidikan profesional
tenaga pendidik selama di lingkungan kampus. Oleh karena itu FKIP UNS
mengusung visi menjadi LPTK penghasil dan pengembang tenaga kependidikan
berkarakter kuat dan cerdas.
Berkarakter kuat dan cerdas berarti bahwa pendidikan seharusnya
dapat menghasilkan orang baik dan juga pintar. Pendidikan tidak cukup hanya
berhenti pada memberikan pengetahuan paling mutakhir, namun juga harus
mampu membentuk dan membangun sistem keyakinan dan karakter kuat setiap
peserta didik sehingga mampu mengembangkan potensi diri dan menemukan
tujuan hidupnya. Pendidik harus memiliki komitmen yang kuat dalam
melaksanakan pendidikan secara holistik yang berpusat pada potensi dan
kebutuhan peserta didik. Pendidik juga harus mampu menyiapkan peserta didik
untuk bisa menangkap peluang dan kemajuan dunia dengan perkembangan ilmu
dan teknologi. Di sisi lain, pendidik juga harus mampu membuka mata hati
peserta didik untuk dapat melihat masalah-masalah bangsa dan dunia, seperti
kemiskinan, ketidakadilan, serta persoalan lingkungan hidup. Peserta didik harus
diarahkan untuk mampu mengembangkan dirinya, tetapi ia juga harus diajarkan
untuk memiliki panggilan hidup untuk menjadi bagian dari pemecahan
persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan dunia. Agar mampu menyelenggarakan
pendidikan tersebut, maka diperlukan sosok guru yang berkarakter kuat dan
cerdas.
digugu lan ditiru
secara tidak langsung memberikan pendidikan karakter kepada peserta didiknya.
Profil dan penampilan guru seharusnya memiliki dan menunjukkan kepribadian
commit to user
karakter yang kuat pula. Dalam konteks ini guru berperan sebagai teladan atau
contoh bagi peserta didiknya. Guru yang berkarakter kuat dan cerdas adalah guru
yang berkualifikasi dan berkompetensi profesional, pedagogik, kepribadian, dan
sosial. Mahasiswa sebagai bagian dari FKIP UNS sekaligus calon guru atau
pendidik harus mampu menampilkan sosok cerminan seorang guru yang
berkarakter kuat dan cerdas, sesuai dengan visi FKIP UNS.
Grand design berkarakter kuat dan cerdas yang ideal ternyata belum sepenuhnya dapat diaplikasikan secara optimal. Realita di lapangan masih banyak
ditemukan penyimpangan-penyimpangan sebagai bukti adanya kesenjangan
antara idealitas karakter kuat dan cerdas dengan realitas pelaksanaannya. Sebagai
contohnya adalah budaya instan, plagiarisme, dan konsumerisme mahasiswa.
Budaya instan adalah bahwa mahasiswa menginginkan proses yang serba
cepat/instan namun dapat menghasilkan produk yang maksimal. Mahasiswa
menginginkan nilai yang tinggi dengan instan, sehingga banyak dari mereka
malas untuk belajar, namun menggunakan jalan pintas seperti bertanya pada
teman, membuka buku atau catatan, hingga browsing di internet saat sedang ujian.
yang strategis (biasanya deretan meja belakang) dapat mempengaruhi hasil nilai
yang dicapai. Hal ini terkait dengan keleluasaan mahasiswa dalam melaksanakan
cara pintasnya. Pada posisi-posisi yang dianggap strategis, mahasiswa akan lebih
leluasa membuka catatan, browsing di google, maupun menyenggol teman di sebelahnya untuk bertanya.
Selanjutnya, budaya plagiarisme adalah bahwa mahasiswa melakukan
peniruan terhadap berbagai hasil karya orang lain, namun mengganti label dengan
namanya sendiri. Hal ini merupakan dampak negatif dari adanya kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi yang pesat. Peniruan yang sering dilakukan
mahasiswa biasanya terkait dengan pengerjaan tugas dari dosen. Tugas-tugas
seperti membuat artikel, paper, maupun makalah seringkali hanya sekedar
copy/paste dari internet. Mahasiswa juga merupakan subjek konsumsi yang besar.
Hal ini dapat dilihat dari penampilan mahasiswa yang lebih senang dengan
commit to user
kesahajaan seorang calon pendidik. Penampilan mahasiswa yang suka
mengenakan pakaian bermerk, sepatu bermerk, tas dan berbagai aksesoris yang
bermerk pula, menunjukkan wujud konsumsi mahasiswa yang berlebihan, yang
jauh dari kesederhanaan seorang pendidik. Mahasiswa calon pendidik bukanlah
seorang artis yang harus selalu tampil fashionable dengan barang bermerk. Budaya konsumsi menghambat kreativitas dan produktivitas mahasiswa di mana
mereka malas untuk berpikir kritis, dan hanya suka mengonsumsi barang yang
sudah jadi. Berbagai kebijakan pemerintah yang sering tidak berpihak pada rakyat
seperti kenaikan BBM yang akan dilaksanakan pada bulan April misalnya, tidak
disikapi secara kritis oleh mahasiswa.
Kemudian, muncul berbagai pertanyaan terkait dengan budaya instan,
plagiarisme dan konsumerisme mahasiswa sebagai realitas yang berjalan dalam
kehidupan kampus, yang ternyata tidak sejalan dengan nilai-nilai berkarakter kuat
dan cerdas yang diharapkan dimiliki oleh pendidik. Visi FKIP UNS berkarakter
kuat dan cerdas yang ideal sepertinya belum mampu diaplikasikan dalam bentuk
pendidikan karakter bagi mahasiswa sebagai calon pendidik secara optimal.
Pendidikan karakter masih mengalami hambatan karena berbagai perilaku
non-edukatif yang dilakukan mahasiswa. Berdasarkan latar belakang tersebut maka
penulis merasa tertarik untuk meneliti pelaksanaan visi FKIP UNS terkait dengan
bagaimana persepsi dan perilaku mahasiswa dalam mengaplikasikan nilai-nilai
karakter ideal yang diharapkan, serta strategi pelaksanaan pendidikan karakter
dalam kehidupan kampus. Oleh karena itu, peneliti mengambil judul Persepsi
dan Perilaku Mahasiswa dalam Pendidikan Karakter (Studi Kasus di
Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fak ultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Sebelas Maret).
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana persepsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
terhadap pendidikan karakter sebagai pelaksanaan visi FKIP UNS?
2. Bagaimana strategi penerapan pendidikan karakter dalam upaya mencapai visi
commit to user
3. Bagaimana perilaku mahasiswa di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial sebagai proses dan hasil penerapan pendidikan karakter dalam upaya
mencapai visi FKIP UNS tersebut?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui persepsi mahasiswa Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan
Sosial terhadap pendidikan karakter sebagai pelaksanaan visi FKIP UNS
2. Untuk mengetahui strategi penerapan pendidikan karakter dalam upaya
mencapai visi FKIP UNS di Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
3. Untuk mengetahui perilaku mahasiswa di Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial sebagai proses dan hasil penerapan pendidikan karakter
dalam upaya mencapai visi FKIP UNS tersebut
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan pada mahasiwa jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial FKIP UNS ini diharapkan mempunyai manfaat:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini secara teoritis dapat menambah wawasan pengetahuan dalam
bidang ilmu sosial yaitu Sosiologi, karena merupakan deskripsi analisis tentang
persepsi dan perilaku mahasiswa dalam pelaksanaan pendidikan karakter dalam
upaya pencapaian visi FKIP UNS yang terjadi di jurusan P IPS FKIP UNS.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi mahasiswa
Dapat menambah wawasan, pengetahuan, mahasiswa sebagai calon guru
atau pendidik untuk mengaplikasikan pemikiran, sikap, dan perilaku yang
sesuai dengan nilai-nilai berkarakter kuat dan cerdas serta kemampuan
untuk mengembangkan karakter calon peserta didik.
b. Bagi institusi
Dapat menjadi bahan evaluasi terkait dengan pelaksanaan pendidikan
commit to user
c. Bagi masyarakat umum (akademisi)Dapat memberikan kontribusi terhadap guru-guru yang berkarakter kuat
dan cerdas sebagai output yang berhasil dari FKIP UNS serta dapat membelajarkan dan mendidik peserta didik untuk mengembangkan
commit to user
9 BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian Yang Relevan
Kajian Teori
1. Tinjauan Pendidikan Karakter
a. Pengertian Karakter
Istilah karakter memiliki pengertian yang beragam. Secara etimologis
karakter berasal dari karasso
dasar, sidik (seperti dalam sidik jari). Koesoema (2007: 90) mengungkapkan
seperti ganasnya laut dengan gelombang pasang da
Dalam hal ini, masyarakat Yahudi melihat karakter seperti alam, atau lebih khusus
lautan, yakni sebagai sesuatu yang bebas, yang tidak dapat dikuasai manusia, yang
mrucut seperti menangkap asap. Karakter dideskripsikan sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, namun tidak dapat dipisahkan dengan hal yang memiliki karakter
tersebut.
Setiap manusia memiliki ciri khas yang terwujud dalam ucapan
maupun sikap yang ditunjukkannya kepada manusia yang lain. Ciri khas inilah
yang disebut sebagai karakter, seperti yang dikemukakan oleh Kertajaya bahwa
tersebut adalah asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu tersebut,
dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak, bersikap,
diasosiasikan sebagai kepribadian merupakan suatu ciri yang khas yang dimiliki
setiap individu yang memberikan kekhasan pada pribadinya, sehingga dapat
yang ditunjukkan oleh individu; sejumlah atribut yang dapat diamati pada
indivi
commit to user
dianut suatu masyarakat mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku dari individu
yang menjadi anggotanya. Menurut
nilai yang menuju pada suatu sistem yang melandasi pemikiran, sikap, dan
moral yang kemudian ditinjau dengan ukuran baik-buruk serta benar-salah.
Terminologi karakter sedikitnya memuat dua hal yaitu values
(nilai-nilai) dan kepribadian. Karakter yang baik pada gilirannya merupakan suatu
penampakan dari nilai yang baik pula yang dimiliki oleh orang atau sesuatu, di
luar persoalan apakah baik itu sebagai sesuatu yang asli atau sekadar kamuflase.
Menurut
yang melekat dalam sebuah entitas... Sedangkan sebagai aspek kepribadian,
karakter merupakan cerminan dari kepribadian secara utuh dari seseorang:
utuh, karakter mendasarkan diri pada tata nilai yang dianut masyarakat. Tata nilai
yang mendasari pemikiran serta perilaku individu tidak didapat secara serta merta,
namun membutuhkan suatu proses internalisasi nilai yang sesuai dengan budaya
yang dianut oleh masyarakat. Proses internalisasi inilah yang kemudian
membentuk karakter seorang individu. Hal ini sesuai dengan pendapat
Kementerian Pendidika
akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai
kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
Selain memuat 2 aspek yaitu nilai-nilai (values) dan kepribadian,
istilah karakter memiliki pengertian sebagai temperamen, seperti yang
diungkapkan oleh Koesoema (2007: 79) bahwa
commit to user
Di sini, istilah karakter dianggap sama dengan kepribadian.
Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari
diri seseorang yang bersumber dari bentukan/konstruksi yang diterima dari
lingkungan masyarakatnya, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan
seseorang sejak lahir. Maka, karakter merupakan perpaduan dua hal, yakni
sebagai bawaan yang dimiliki seorang individu sejak lahir dan bentukan dari
lingkungan masyarakat di mana seorang individu tinggal.
Adanya perbedaan pandangan terhadap istilah karakter tersebut
menyebabkan munculnya ambiguitas. Mounier dalam Koesoema (2007: 90)
mengajukan dua cara interpretasi atas ambiguitas terminologi karakter.
Ia melihat karakter sebagai dua hal, yaitu yang pertama, sebagai sekumpulan kondisi yang telah diberikan begitu saja atau telah ada begitu saja, yang lebih kurang dipaksakan dalam diri kita. Karakter yang demikian ini dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dari
sononya (given). Kedua, karakter juga bisa dipahami sebagai tingkat kekuatan melalui mana seorang individu mampu menguasai kondisi tersebut. Karakter yang demikian ini disebutnya sebagai sebuah proses yang dikehendaki (willed).
Dalam pemahaman yang pertama, karakter dipahami sebagai suatu
keadaan yang telah dimiliki oleh seorang individu, yang telah diberikan begitu
saja, sebagai sesuatu yang telah ada dari awal adanya individu, atau dengan kata
lain, telah dimiliki individu sejak lahir. Hal ini menyiratkan bahwa karakter ada
dengan dipaksakan begitu saja pada diri seseorang, mau ataupun tidak mau.
Sedangkan dalam pemahaman yang kedua, karakter dipahami sebagai suatu
kemampuan seorang individu untuk menguasai kondisi yang telah dimilikinya
sejak lahir itu. Maka, karakter merupakan usaha yang dikehendaki untuk
mengatasi keterbatasan keadaan yang dimiliki seorang individu. Melalui hal ini,
individu diajak untuk mengenali keterbatasan diri, potensi, serta kemungkinan-
kemungkinan bagi perkembangan dirinya.
Koesoema (2007: 104) memberikan pengertian karakter yang lebih
menekankan pada aspek willed sebagai usaha penyempurnaan diri yakni karakter
commit to user
hidup untuk menjadi semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya
dimaknai sebagai hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah
hasil olah pikir, olah hati, olah rasa dan karsa, serta olah raga yang mengandung
nilai, kemampuan, kapasitas moral, dan ketegaran dalam menghadapi kesulitan
dan tantangan. Maka, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan sebuah
kondisi dinamis struktur antropologis manusia yang khas dan berbeda sebagai
hasil keterpaduan olah hati, pikir, raga, rasa dan karsa sebagai kondisi bawaan
sejak lahir yang disertai dengan usaha menuju penyempurnaan diri, yang
dipengaruhi oleh lingkungan.
b. Pengertian Pendidikan Karakter
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, merumuskan fungsi dan tujuan pendidikan
nasional yang harus digunakan dalam mengembangkan upaya pendidikan di
Indonesia yang mengandung komitmen tentang pendidikan karakter yakni dalam
pasal 3 yang menyebutkan,
Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tujuan pendidikan nasional itu merupakan rumusan mengenai kualitas
manusia Indonesia yang harus dikembangkan oleh setiap satuan pendidikan, di
mana pengembangan dan pembentukan watak (karakter) merupakan tujuan
mendasar. Sedangkan Kemendiknas (2011: 1) secara implisit menegaskan dalam
Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) tahun
commit to user
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
Dengan demikian, Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional
(RPJPN) dan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) merupakan landasan yang kokoh untuk
melaksanakan pendidikan karakter bukan sebagai bentuk grand design saja
namun implementasi operasional secara nyata. Seperti yang dikemukakan
Kemendiknas (2011: 1) bahwa:
Pendidikan budaya dan karakter bangsa sebagai prioritas program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter 2010: pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati.
Atas dasar itulah maka pendidikan karakter bukan sekedar
mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, namun lebih dari itu,
pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang
baik sehingga individu menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan
salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik serta biasa melakukannya
(psikomotor). Hal ini sesuai dengan pendapat Kemendiknas (2011: 1) bahwa
(moral knowing), akan tetapi juga merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan
pada habit atau kebiasaan yang
terus-Pendidikan merupakan proses pembangunan karakter, seperti yang
dipahami sebelumnya bahwa karakter dapat dibangun dengan usaha untuk
karakter, dari yang kurang baik menjadi yang lebih baik. Tergantung pada bekal
commit to user
seperti mengisi sebuah gelas kosong. Individu digambarkan sebagai sebuah gelas,
yang memiliki bekal potensi, jadi bersih atau kotornya sebuah gelas menjadi satu
unsur yang sangat penting. Kemudian, pendidikan merupakan air yang dituangkan
ke dalam gelas, yang mempengaruhi keadaan gelas yang awalnya kosong.
Pendidikan diharapkan seperti air yang jernih yang mampu mengisi individu
dengan kebajikan.
Mengingat bahwa karakter tidak diperoleh secara serta merta
namun melalui proses internalisasi nilai, maka kajian pendidikan karakter
sebagai pendidikan nilai menjadikan upaya eksplisit mengajarkan nilai-nilai,
untuk membantu individu mengembangkan pemikiran dan perilaku guna
bertindak dengan cara-cara yang pasti. Persoalan baik dan buruk,
kebajikan-kebajikan, dan keutamaan-keutamaan menjadi aspek penting dalam
pendidikan karakter semacam ini. Sedangkan pendidikan karakter sebagai
aspek kepribadian lebih tepat sebagai pendidikan budi pekerti. Seperti
-krama, sopan
santun, dan adat-istiadat, menjadikan pendidikan karakter semacam ini lebih
menekankan kepada perilaku-perilaku aktual tentang bagaimana seseorang
dapat disebut berkepribadian baik atau tidak baik berdasarkan norma-norma
Pendapat yang hampir serupa disampaikan oleh Lickona (1991) bahwa
pendidikan karakter by definition
kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat
dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur bertanggung
jawab, menghormati hak
3). Sehingga pendidikan karakter diharapkan dapat memberikan hasil
commit to user
Sedangkan menurut Winataputra (2010: 8) pendidikan karakter dapat dimaknai
watak, yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk
memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik, dan mewujudkan
kebaikan itu dalam kehidupan
sehari-Pendidikan karakter akan memperluas wawasan para pelajar tentang
nilai-nilai moral dan etis yang membuat mereka semakin mampu mengambil
keputusan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Dalam konteks ini,
pendidikan karakter yang diterapkan dalam lembaga pendidikan kita bisa menjadi
salah satu sarana pembudayaan dan pemanusiaan. Kita ingin menciptakan sebuah
lingkungan hidup yang menghargai hidup manusia, menghargai keutuhan dan
keunikan ciptaan, serta menghasilkan sosok pribadi yang memiliki kemampuan
intelektual dan moral yang seimbang sehingga masyarakat akan menjadi semakin
manusiawi.
Pendidikan karakter bukan sekadar memiliki dimensi integratif, dalam
arti mengukuhkan moral intelektual anak didik sehingga menjadi pribadi yang
kokoh dan tahan uji, melainkan juga bersifat kuratif secara personal maupun
sosial. Pendidikan karakter bisa menjadi salah satu sarana penyembuh penyakit
sosial. Pendidikan karakter menjadi sebuah jalan keluar bagi proses perbaikan
dalam masyarakat kita.
Pendidikan karakter merupakan bagian dari kinerja sebuah lembaga
pendidikan yang di dalamnya terdapat berbagai macam keterlibatan individu dan
tata aturan kelembagaan. Pendidikan karakter dapat dipahami melalui dua cara,
seperti pendapat yang dikemukakan oleh Koesoema (2007: 124-125) yakni yang
pertama memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang
sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Dalam pemahaman ini, pendidikan karakter lebih berkaitan dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai
tertentu dalam diri anak didik di sekolah. Paradigma ini menekankan pentingnya
penanaman nilai-nilai tertentu yang menjadi prioritas kelembagaan yang ingin
ditanamkan dalam diri anak didik sesuai dengan profil lulusan yang ingin dicapai
commit to user
Paradigma kedua melihat pendidikan karakter dari sudut pandang
pemahaman isu-isu moral yang lebih luas, terutama melihat keseluruhan dalam
peristiwa pendidikan itu sendiri (educational happenings). Paradigma kedua ini, membahas secara khusus bagaimana nilai kebebasan itu tampil dalam kerangka
keputusan yang sifatnya tidak saja personal, melainkan juga kelembagaan, dalam
relasinya dengan unsur-unsur pendidikan dalam lingkungan sekolah, dan dalam
kaitannya dengan lembaga lain yaitu keluarga, instansi pemerintah, dan
masyarakat. Maka, pendidikan karakter bukan saja sebagai pembentukan moral
yang melibatkan keputusan individu secara personal, namun juga hubungan
kelembagaan.
Pembentukan dan pengembangan karakter sebagai upaya pendidikan
diharapkan dapat memberikan dampak positif baik bagi individu secara personal
maupun bagi lingkungannya. Pendidikan karakter berusaha mendidik para peserta
didiknya agar mampu mengambil keputusan dengan bijak serta berkomitmen atas
segala dampak keputusannya tersebut. Hal ini sesuai pendapat Megawangi (2004)
-anak agar
dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam
kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif
Terkait dengan upaya mendidik karakter para peserta didik, tidak lepas
dari aspek moral dan etika. Pembentukan dan pengembangan karakter
memerlukan keterlibatan semua aspek dimensi manusia baik kognitif, emosi,
maupun fisik, sehingga sistem pendidikan yang terlalu menekankan pada aspek
hafalan dan orientasi untuk lulus ujian tidak relevan dengan konsep pendidikan
karakter secara holistik. Dalam hal ini, Megawangi (2007) juga mengemukakan
proses knowing the good, loving the good, and acting the good. Yakni, suatu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga
akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hand Husaini,
commit to user
Karakter memberikan kualifikasi tertentu terhadap individu atas
pilihan mana yang diambilnya. Karakter menjadi suatu identitas atas pengalaman
yang telah dialami oleh seorang individu, sehingga kematangan karakter menjadi
kualitas pribadi yang dapat diukur. Seperti yang dikatakan oleh Foerster yaitu
kesatuan esensial antara si subjek dengan perilaku dan sikap hidup yang
dimilikinya. Karakter merupakan sesuatu yang mengualifikasi seorang pribadi,
(Koesoema, 2007: 42). Karakter memberikan kekuatan dan penguatan atas
keputusan seorang individu, yang kemudian ditambahkan oleh Foerster memiliki
empat ciri, yaitu
1) Keteraturan interior melalui mana setiap tindakan diukur berdasarkan
hierarki nilai. Ini tidak berarti bahwa karakter yang terbentuk dengan baik
tidak mengenal konflik, melainkan selalu merupakan sebuah kesediaan
dan keterbukaan untuk mengubah dari ketidakteraturan menuju
keteraturan nilai.
2) Koherensi yang memberikan keberanian melalui mana seseorang dapat
mengakarkan diri teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing
pada situasi baru atau takut resiko. Koherensi merupakan dasar yang
membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi
meruntuhkan kredibilitas seseorang.
3) Otonomi. Yang dimaksud dengan otonomi di sini adalah kemampuan
seseorang untuk menginternalisasikan aturan dari luar sehingga menjadi
nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat melalui penilaian atas keputusan
pribadi tanpa terpengaruh atau desakan dari pihak lain.
4) Keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang
untuk mengingini apa yang dipandang baik, sedangkan kesetiaan
merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Maka, dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya
pembentukan dan pengembangan karakter yang melibatkan semua aspek dimensi
commit to user
merasakan, dan melaksanakan perilaku yang baik (knowing the good, loving the good, and acting the good) sehingga menjadi habit atau kebiasaan yang terus
menerus dipraktikkan yang bersifat personal maupun sosial sebagai tanggung
jawab bersama pemerintah, masyarakat, sekolah, dan orangtua.
c. Urgensi Pendidikan Karakter
Winataputra (2010: 10) menyampaikan urgensi dari pengejawantahan
komitmen nasional pendidikan karakter, secara kolektif telah dinyatakan pada
Sarasehan Nasional Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa sebagai
Kesepakatan Nasional Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
yang dibacakan pada akhir Sarasehan Tanggal 14 Januari 2010, sebagai berikut:
1) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari pendidikan nasional secara utuh.
2) Pendidikan budaya dan karakter bangsa harus dikembangkan secara komprehensif sebagai proses pembudayaan. Oleh karena itu, pendidikan dan kebudayaan secara kelembagaan perlu diwadahi secara utuh.
3) Pendidikan budaya dan karakter bangsa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, sekolah dan orangtua. Oleh karena itu, pelaksanaan budaya dan karakter bangsa harus melibatkan keempat unsur tersebut.
4) Dalam upaya merevitalisasi pendidikan dan budaya karakter bangsa diperlukan gerakan nasional guna menggugah semangat kebersamaan dalam pelaksanaan di lapangan.
Sistem pendidikan saat ini terlalu berorientasi pada pengembangan
otak kiri yaitu pada ranah kognitif, dan kurang memperhatikan pengembangan
otak kanan pada ranah afektif. Tanpa mengesampingkan peran ranah
pengetahuan, namun pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi
fungsi otak kanan, yakni pada ranah afektif. Pada sisi lain, pembentukan karakter
harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek
knowledge, feeling, dan action. Pembentukan karakter memerlukan latihan yang terus menerus atau kontinyu. Pendidikan karakter sebagai upaya pembentukan dan
pengembangan karakter yang melibatkan semua aspek dimensi manusia baik
commit to user
melaksanakan perilaku yang baik sehingga menjadi kebiasaan yang terus menerus
dipraktikkan.
Pendidikan karakter meskipun sudah sering digembor-gemborkan
sebagai suatu hal yang mendesak untuk segera ditindaklanjuti dalam kinerja
pendidikan, tampaknya belum sehebat grand design yang telah dibentuk pemerintah dalam implementasinya di lapangan. Pendidikan karakter dinilai telah
mengalami kemunduran. Lickona dalam Koesoema (2007: 119-122) menyebutkan
bahwa kemunduran pendidikan karakter dipengaruhi oleh berbagai macam asumsi
teoritis-filosofis yang berkembang seiring dengan berjalannya historis pemikiran
mengenai pendidikan karakter itu sendiri, yaitu antara lain:
Asumsi pertama berasal dari pandangan Darwinian tentang moralitas.
Moralitas dalam kerangka pandangan evolusi Darwin mengalami perubahan
signifikan dari waktu ke waktu. Semuanya mengalir, tidak tetap, termasuk
nilai-nilai moral yang diyakini dalam masyarakat. Merosotnya nilai-nilai-nilai-nilai moral, entah
dalam keluarga, dalam masyarakat, dll, dianggap sebagai bagian dari proses
evolusi ini. Mereka yang memiliki pandangan moral ala Darwin berpendapat
bahwa tentang nilai-nilai moral tidak ada yang tetap. Atau terhadapnya tidak dapat
diambil sebuah kesepakatan bersama. Dengan demikian, usaha pendidikan
karakter menjadi tidak relevan diterapkan di sekolah karena tentang moral ini
tidak ada sesuatu yang stabil yang bisa diajarkan kepada mereka.
Asumsi kedua, filsafat positivisme yang membedakan antara
fakta-fakta ilmiah yang teruji dengan bukti-bukti, dengan nilai (value) yang oleh kaum positivis dipahami sekadar sebagai ekspresi perasaan, bukan sebagai kebenaran
-satunya data yang dapat
diobservasi. Yang dimaksud dengan fakta adalah apa yang kasat mata dan dapat
diamati. Penghayatan nilai-nilai moral bagi kaum positivis bukan merupakan
sebuah fakta yang bisa diverifikasi secara nyata. Oleh karena itu, pendidikan
karakter yang banyak berurusan dengan nilai-nilai moral tak dapat dijadikan
materi untuk diperdebatkan secara publik dan karena itu juga tidak dapat
commit to user
Asumsi ketiga, personalisme yang menjunjung nilai-nilai subjektivitas,
otonomi, dan rasa tanggung jawab. Personalisme menekankan kebebasan individu
atas tanggung jawab moral pribadi. Personalisme mencoba mengembalikan
makna dan hakikat keberadaan individu sebagai pribadi di tengah cengkeraman
arus komunitaris. Personalisme berusaha mengembalikan individu sebagai subjek
yang bebas, bertanggungjawab atas perilaku dan keputusannya, terbuka kepada
yang lain, berorientasi pada kebaikan, sehingga menjadi proses promosi pribadi
yang dinilai berdasarkan totalitas fungsi yang dimilikinya, melalui proses evolutif
yang menyertainya, di mana secara faktual ia mengakarkan dirinya dalam
kehidupan sosial. Kebebasan individu dan tanggung jawab moral pribadi individu
atas keputusannya membuat pendidikan karakter yang mencoba menumbuhkan
pemahaman akan nilai-nilai moral cenderung bersifat internal, personal, dan
individual. Oleh karena itu, proyek bersama bagi pendidikan karakter yang
diterapkan di sekolah bisa dianggap sebagai intervensi atas otonomi dan tanggung
jawab indiviu bagi perilakunya.
Asumsi keempat, pluralisme sosio-politik-kultural. Pluralisme
senantiasa berkaitan dengan gagasan tentang keragaman, kejamakan, kekayaan,
yang dilekatkan pada berbagai macam konteks. Pluralisme sosial kultural
mengacu pada situasi sosial sebuah masyarakat yang sangat kompleks, yang
memiliki beraneka ragam pandangan dunia, konsep-konsep nilai dan skema
perilaku yang ada dalam suatu situasi tertentu. Dalam kerangka pendidikan,
pluralisme berarti metode dan objek pedagogis yang menunjuk pada proses
pembelajaran dan penginternalisasian perilaku toleran dan menghasilkan rasa
hormat pada nilai-nilai lain yang berbeda. Tantangan pendidikan karakter
berhadapan dengan pluralisme moral adalah relativisme dan permisivisme ini.
Relativisme moral membuat pendidikan karakter yang memiliki dimensi personal
dan sosial macet. Sementara, permisivisme membuat skema perilaku bersama
yang tidak selaras dengan nilai-nilai dan norma moral bisa meruyak masuk dalam
pendidikan karakter. Jika ini terjadi, pendidikan karakter tidak dapat dilaksanakan
secara efektif sebagai sebuah program bersama sebab senantiasa menemui
commit to user
d. Pilar Pendidikan Karakter
Dalam pendidikan karakter, Lickona (1992) menekankan pentingnya
moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau
aspek kognitif, afektif, dan psikomotor, yakni untuk mengetahui, merasakan, dan
mempraktikkan karakter yang baik.
Moral knowing terdiri dari enam hal, yaitu moral awareness
(kesadaran moral), knowing moral values (mengetahui nilai-nilai moral),
perspective taking, moral reasoning, decision making, dan self knowledge. Moral
feeling juga sebagai aspek yang harus ditanamkan, yang terdri dari enam hal, yaitu
conscience (nurani), self esteem (percaya diri), empathy (merasakan penderitaan orang lain), loving the good (mencintai kebenaran), self control (mampu mengontrol diri), dan humility (kerendahan hati). Moral action ialah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan dalam bentuk tindakan nyata.
Tindakan moral ini merupakan hasil dari dua komponen karakter lainnya yakni
moral knowing dan moral feeling. Untuk memahami apa yang mendorong seseorang dalam perbuatan yang baik, maka harus dilihat tiga aspek yang lain dari
karakter, yakni kompetensi (competence), keinginan (will), dan kebiasaan (habit). Pendidikan karakter sebagai upaya pembentukan dan pengembangan
karakter bukan saja mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, namun
lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan. Perbuatan baik
sebagai hasil dari pengetahuan dan perasaan tentang moral diharapkan tidak hanya
dijalankan sesekali atau kadang-kadang saja, namun terus menerus hingga
menjadi kebiasaan untuk berbuat baik. Untuk itu, para penggiat pendidikan
karakter berupaya merumuskan pilar-pilar penting dalam pendidikan karakter.
Menurut Indonesia Heritage Foundation (IHF) dalam Kesuma, Triatna & Permana
(2011: 14), nilai-nilai karakter yang perlu ditanamkan antara lain:
1) Cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya: berarti melaksanakan ajaran agama
commit to user
2) Kemandirian dan tanggung jawab: berarti tidak tergantung kepada orang
lain dan berusaha melaksanakan tugas dan kewajibannya
3) Kejujuran/amanah, bijaksana: perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan dan tindakan
4) Hormat dan santun: menghargai dan sopan terhadap orang lain
5) Dermawan, suka menolong dan gotong royong: suka memberi pada orang
lain yang membutuhkan
6) Percaya diri, kreatif, dan pekerja keras: percaya pada kemampuan diri,
selalu berusaha berinovasi untuk menghasilkan sesuatu yang baru,
bersungguh-sungguh dalam mengerjakan tugas dan tidak mudah menyerah
7) Kepemimpinan dan keadilan: kemampuan mengoordinasi orang lain dan
tidak membeda-bedakan
8) Baik dan rendah hati: bersikap tidak menyombongkan kemampuan diri
9) Toleransi, kedamaian, dan kesatuan: menghargai perbedaan agama, suku
bangsa, pendapat, dan tindakan yang berbeda dari dirinya
Kesembilan pilar pendidikan karakter tersebut saling terkait, dan
mengesampingkan salah satu pilar dari pilar yang lainnya akan berpengaruh
terhadap proses pendidikan karakter secara holistik.
Sedangkan Kemendiknas (2010: 8-10) berpendapat bahwa
pengembangan nilai-nilai karakter diidentifikasi dari beberapa sumber, yaitu
agama, Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yang menghasilkan 18
nilai-nilai karakter dengan deskripsinya, yakni sebagai berikut:
Tabel 2.1. Nilai-nilai Karakter dan Deskripsi
No. Nilai Deskripsi
1 Religius
Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain
2 Jujur
Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam
perkataan, tindakan, dan pekerjaan
commit to user
suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan
patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan
5 Kerja keras
Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara
atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung
pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8 Demokratis Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9 Rasa ingin tahu
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar
10 Semangat
kebangsaan
Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya
11 Cinta tanah air
Cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa
12 Menghargai
prestasi
Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain
13 Bersahabat/ komunikatif
Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain
14 Cinta damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang
lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya
15 Gemar
membaca
Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya
16 Peduli lingkungan
Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi
17 Peduli sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
18 Tanggung
jawab
Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa
(Sumber: Kemendiknas, 2010: 8-10)
commit to user
Pendidikan karakter secara umum dapat dipahami melalui dua
paradigma, seperti yang disampaikan oleh Koesoema (2007:136-137), yaitu
pertama, memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang
lebih sempit (narrow scope to moral education). Pendidikan karakter dalam pandangan ini berkaitan dengan bagaimana menanamkan nilai-nilai moral tertentu
dalam diri anak didik, seperti nilai-nilai yang berguna bagi pengembangan
pribadinya sebagai makhluk individual sekaligus sosial. Kedua, melihat
pendidikan karakter dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas,
terutama melihat keseluruhan peristiwa dalam dunia pendidikan itu sendiri
(educational happenings). Paradigma kedua membahas secara khusus bagaimana nilai kebebasan itu tampil dalam kerangka hubungan yang sifatnya lebih
struktural, misalnya dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat kelembagaan,
dalam relasinya pelaku pendidikan lain, seperti keluarga, masyarakat (sekolah,
lembaga agama, asosiasi, yayasan, dll), dan negara.
Jika kedua paradigma tersebut digabungkan, maka akan muncul
sebuah pemahaman baru tentang pendidikan karakter sebagai pedagogi.
Pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi memberikan perhatian pada tiga hal
penting bagi pertumbuhan manusia, yaitu perkembangan kemampuan kodrati
manusia sebagaimana yang dimiliki secara berbeda oleh setiap individu. Dalam
mengembangkan kemampuan kodrat ini manusia tidak dapat mengabaikan
relasinya dengan lingkungan sosial, di mana dalam relasi antara individu dan
masyarakat ini, manusia mengarahkan diri pada nilai-nilai. Pendidikan karakter
sebagai sebuah pedagogi memberikan tiga matra penting setiap tindakan edukatif
maupun campur tangan intensional bagi sebuah kemajuan pendidikan. Seperti
Maka, pembaruan dalam dunia pendidikan, serta penerapan program pendidikan
karakter dalam setiap lembaga pendidikan tidak dapat melepaskan diri dari tiga
Pendidikan karakter yang memberikan perhatian pada perkembangan
individu membuat pendidikan karakter memiliki fungsi pedagogis. Melepaskan
commit to user
karakter membuat setiap usaha pengembangan pendidikan karakter menjadi
timpang, superfisial, dan tidak efektif. Maka, matra individu, sosial, dan moral
mengacu pada unsur-unsur yang menjadi faktor pembentuk pendidikan karakter,
yang dijelaskan oleh Koesoema (2007:146-147) sebagai berikut
Matra individu dalam pendidikan karakter menyiratkan dihargainya
nilai-nilai kebebasan dan tanggungjawab. Nilai-nilai kebebasan inilah yang
menjadi prasyarat utama sebuah perilaku bermoral. Yang menjadi subjek yang
bertindak dan subjek moral adalah pribadi itu sendiri. Matra sosial mengacu pada
corak relasional antara individu dengan individu lain, atau dengan lembaga lain
yang menjadi cerminan kebebasan individu dalam mengorganisir dirinya sendiri.
Kehidupan sosial dalam masyarakat bisa berjalan dengan baik dan stabil karena
ada relasi kekuasaan yang menjamin kebebasan individu yang menjadi
anggotanya. Matra moral menjadi jiwa yang menghidupi gerak dan dinamika
masyarakat sehingga masyarakat tersebut menjadi semakin berbudaya dan
bermartabat. Tanpa ada matra moral ini, masyarakat akan hidup dalam suatu tirani
kekuasaan yang melecehkan individu dan menghalangi kebebasan.
Selanjutnya, terdapat berbagai pendekatan untuk memahami
pendidikan karakter. Seperti yang dikemukakan oleh Muslich (2011:106), yaitu
Menurut Hersh setidaknya ada lima pendekatan, yaitu pendekatan pengembangan rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pengembangan moral kognitif, dan pengembangan perilaku sosial. Elias mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang menjadi tiga, yakni pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan perilaku. Klasifikasi ini menurut Rest didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yaitu perilaku, kognisi, dan afeksi.
Berbagai pendekatan yang dikemukakan oleh berbagai pakar untuk
memahami pendidikan karakter sangat bermacam-macam, sehingga untuk
alasan-alasan praktis dalam penggunaannya di lapangan, berbagai pendekatan tersebut
diringkas menjadi lima tipologi pendekatan, yaitu pendekatan penanaman nilai,