• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dasar Pembenar Partisipasi Anak dalam Pengambilan Kebijakan

Anak Inklusif bagi

Bagian 5: Partisipasi Anak sebagai Hak Asasi Manusia 5.1. Konsep dan Prinsip Partisipasi Anak

5.2. Dasar Pembenar Partisipasi Anak dalam Pengambilan Kebijakan

bukan sebaliknya anak dianggap seringkali memiliki kapasitas dengan pola yang seragam. Artinya kapasitas anak tidak terlepas dari pengalaman, konteks sosial, dan kemampuan setiap individu anak yang berbeda-beda.

Hak anak yang ditetapkan dalam 12 ayat (1) dan (2) tidak memberikan hak bagi untuk menentukan nasib sendiri, namun menekankan keterlibatan anak dalam pengambilan keputusan. Rujukan pada kemampuan anak yang tengah berkembang anak (evolving

capacities) yang dijamin dalam Pasal 5 dan Pasal 14. Pasal 5 dan 14 yang menekankan

perlunya untuk menghormati kapasitas anak yang berkembang dalam pengambilan suatu keputusan (Rachel Hodgkin & Peter Newell, 2007).

5.2. Dasar Pembenar Partisipasi Anak dalam Pengambilan Kebijakan

Pengabaian anak berpartisipasi menurut Gerison Lansdown (2001:7) merupakan diskriminasi ganda terhadap anak (twofold discrimination on children).Padahal setiap legalisasi, regulasi, alokasi anggaran, maupun perencanaan program pembangunan akan berdampak pada kehidupan anak-anak. Pengambil kebijakan selalu mengasumsikan bahwa mereka telah mewakili kepentingan anak. Hal yang bersifat mendasar yakni terdapatnya perbedaan perspektif antara anak-anak dengan dewasa mengenai bagaimana kehidupan

Partisipasi Anak Pasal 5 Pasal 9 Pasal 12 Pasal 13 Pasal 14 Pasal 15 Pasal 16 Pasal 17 Pasal 29

yang sesuai dengan kepentingan terbaik bagi anak tidak pernah menjadi bahan pertimbangan.

Paul Stephenson, Steve Gourley & Glenn Miles (2004) mengungkapkan terdapat dua alasan yang menjadi dasar pembenar mengapa anak harus diberikan akses untuk berpartisipasi:

1. Di bawah hukum internasional anak memiliki hak untuk dikonsultasi atas semua keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka;

2. Anak-anak sebenarnya lebih mengetahui kehidupannya sendiri, selalu or angdewasa merasa berhak membuat keputusan mengenai kehidupan anak-anak berdasarkan informasi yang hanya disediakan oleh orang dewasa. Padahal orang dewasa sudah tidak dapat berpikir, merasakan, dan melihat sebagai anak-anak sehingga keputusan yang diambil jika tanpa mendengar anak-anak bisa jadi berdampak negative ketimbang positif.

Dalam kaitan tersebut, mengapa anak harus dilibatkan dalam proses perdamaian, berikut alasan-alasan yang mendasari keterlibatan tersebut menurut Gerison Lansdown (2001:6-7) diantaranya:

1. Anak-anak sebagai individu memiliki status yang sama dengan orang dewasa sebagai anggota keluarga manusia. Anak-anak bukan milik orang tua, atau produk dari negara, pada dasarnya anak mewakili masa depan. Oleh karena itu, pemerintah memiliki tanggung jawab secara moral untuk mengakui hak-hak anak sebagai warga negara dalam masyarakat;

2. Anak-anak yang tengah tumbuh dan berkembang kelak akan menjadi warga negara yang aktif sangat penting bagi upaya untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan perkembangan masyarakat yang demokratis. Namun hal ini, bergantung pada komitmen eksplisit pemerintah untuk memenuhi kewajiban memberikan dan menjamin pendidikan, perawatan kesehatan, dukungan keluarga, kesempatan untuk rekreasi dan kesempatan untuk partisipasi bagi seluruh anak-anak;

3. Anak-anak lebih rentan daripada kelompok lain karena ketergantungan mereka pada situasi dan perkembangan suatu negara. Anak-anak lebih cenderung akan terpengaruh dampak negatif situasi kemiskinan atau situasi konflik bersenjata. Pada titik ini apabila orang tua yang memiliki tanggung jawab utama untuk memenuhi kebutuhan anak-anak mereka tidak mampu maka pemerintah memiliki kewajiban untuk memastikan ketika kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi oleh orang tua, pemerintah akan mengisi kekosongan tersebut;

4. Anak-anak lebih terpengaruh oleh tindakan atau tidak bertindaknya pemerintah dari pada kelompok yang lain. Anak-anak adalah satu di antara pengguna langsung pelayanan publik seperti pendidikan, perawatan kesehatan, dan peradilan anak. Hampir setiap bidang kebijakan pemerintah yang terkait dengan

aspek pertahanan, lingkungan, perumahan, perencanaan, kepolisian dan transportasi akan berdampak langsung maupun tidak langsung pada anak-anak; 5. Anak-anak adalah unik apabila dikecualikan dari segala bentuk partisipasi dalam

proses politik, mereka tidak bisa lagi memilih. Dengan demikian, tidak ada bentukbentuk demokrasi yang partisipatif kecuali melibatkan pandangan atau pengalaman anak-anak. Di kebanyakan negara-negara pandangan anak-anak hampir seluruhnya absen dari publik atau debat politik;

6. Banyak masyarakat tengah mengalami pertumbuhan ekonomi dan perubahan dalam bidang sosial maupun politik. Namun apabila perekonomian suatu negara tiba-tiba runtuh karena negara harus melakukan reformasi kebijakan menuju ekonomi pasar sebagai akibat mengikuti program penyesuaian struktural. Perubahan ini secara signifikan akan merusak program kesejahteraan sosial dan kerusakan ini berimplikasi terhadap anak-anak. Dengan kata lain, semua perubahan kebijakan selalu memiliki dampak terhadap kehidupan anak; 7. Terdapat biaya besar yang akan ditanggung negara di masa mendatang akibat

kegagalan negara untuk menjamin anak-anak menikmati hak-haknya. Bukti menunjukkan apa yang terjadi pada anak-anak di tahun-tahun awal mereka secara signifikan mempengaruhi pembangunan masa depan dan kesempatan hidup mereka. Investasi sosial di bidang pendidikan telah terbukti memiliki implikasi budaya dan ekonomi yang signifikan bagi individu maupun pembangunan nasional

Dalam kaitan ini, Save the Children merujuk pendapat David Hodgson (tanpa tahun: 8) yang mengidentifikasi lima kondisi yang dibutuhkan agar anak-anak dapat berpartisipasi sehingga hak-hak anak dapat terakomodasi dalam suatu kebijakan (keputusan), yaitu:

Pasal 12 KHA juga membebani kewajiban untuk memberikan kesempatan dan akses bagi anak untuk berpartisipasi karena partisipasi anak didasar hal-hal sebagai berikut:

1. Setiap anak memiliki kemampuan untuk mengekspresikan pandangannya; 2. Hak untuk megekpresikan pandangannya secara bebas;

3. Hak untuk didengar terhadap setiap masalah yang berdampak pada kehidupannya; 4. Hak mendapatkan tanggapan serius terhadap apa yang diungkapkannya;

5. Penghargaan pandangan anak harus menyesuaikan dengan usia dan tingkat kematangan anak.

Namun demikian, partisipasi anak dalam proses pengambilan keputusan memperhatikan limitasi yang digariskan oleh KHA. Limitasi tersebut adalah partisipasi anak harus sesuai dengan usia dan tingkat perkembangan mental anak. Artinya, partisipasi anak harus dilaksanakan dengan persetujuan dan kemauan anak berdasar kesadaran dan pemahaman yang dimiliki oleh anak tersebut (Antarini Arna, 2006).

Keterlibatan anak sesuai dengan tingkat usia dan kematangan anak dalampartisipasi harus mempertimbangkan tingkatan usia dan kematangan anak pada tabel berikut.

Akses ke dalam proses pembuatan kebijakan

Akses untuk memperoleh informasi yang relevan

Kebebasan untuk memilih media (sarana) partisipasi sesuai dengan pilihannya

Terdapat institusi independen dan terpercaya yang dapat mendorong terepresentasikannya kepentingan dan kebutuhan anak

Terakomodasikannya tata cara untuk mengajukan perbaikan kebijakan dengan melibatkan partisipasi anak

Balita

(0-5 Tahun)

Pada usia ini, anak perempuan dan laki-laki

mengeksplorasi dunia yang ada di sekelilingnya dan mengekspresikan pandangannya melalui bahasa tubuh dan ekspresi fisik; dengan dorongan dari orang dewasa, dasar dari partisipasi dapat di usia yang dini.

Anak (6-12 Tahun)

Pada usia ini, anak perempuan dan laki-laki dapat mengekspresikan pandangannya dan belajar secara aktif tentang kehidupan melalui eksplorasi, pertanyaan dan akses atas informasi. Anak mampu untuk memainkan peran yang aktif dalam melakukan identifikasi, analisa dan penyelesaian masalah yang mempengaruhi kehidupan anak; serta dapat memainkan peran kunci sebagai warga negara yang aktif dalam menyelesaikan segala bentuk dari diskriminasi dan dan perlakuan salah.

Anak/remaja (13-18 Tahun)

Remaja dapat menjadi aktor sosial dan warga negara yang aktif dalam peningkatan kualitas komunitas lokal dan nasional. Remaja dapat dengan aktif menanggulangi segala bentuk diskrimnasi, perlakuan yang salah dan eksploitasi. Remaja dapat berperan untuk mendorong inisiatif anak/remaja yang lebih muda dan mendukung bentuk kemitraan dengan orang dewasa.

Sumber: Claire O’Kane , 2004

Terdapat paradigma baru dalam ilmu Sosiologi dan Antropologi terkait dengan kontruksi sosial masa kanak-kanak dan peran anak-anak sebagai aktor sosial. Menurut paradigma baru tersebut anak-anak dan remaja (kelompok muda) merupakan partisipan aktif dalam kontruksi dan penentuan kehidupan sosial mereka sendiri, kehidupan orang lain, dan masyarakat di mana mereka bertempat tinggal. Lebih jauh oleh karena pengalaman anak-anak yang berbeda, maka hal tersebut tidak pernah bisa sepenuhnya dipisahkan dengan variabel yang lain seperti golongan (class), jender (gender) atau etnisitas (etnicity).

Dalam perspektif penalaran moral dari Kohlberg yang mendeskripsikan level moralitas kelompok muda dalam level III: Moralitas post-konvensional (atau moralitas prinsip moral otonom). Dalam level ini seseorang menyadari apabila terjadi konflik antara standar moral, maka ketika membuat keputusan sendiri akan menyandarkan pada prinsip hak, kesetaraan, dan keadilan. Seseorang biasanya baru mencapai tahapan penalaran moral seperti ini, ketika mencapai usia masa remaja awal, atau lebih umum lagi pada masa dewasa awal (Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, dan Ruth Duskin Feldman, 2008). Tahapan moral level III dari Kohlberg terdeskripsikan dalam tabel di bawah ini.

Level Tahapan Penalaran Level III:

Moralitas

postkonvensional (awal masa remaja atau baru muncul pada awal masa dewasa, atau tidak pernah muncul sama sekali)

Tahap 5:

Moralitas kontrak, hak individual, dan hukum yang diterima secara demokratis.

Seseorang mulai berpikir dalam terminologi rasional, menilai keinginan mayoritas dan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya, mereka

biasanya akan memandang bahwa yang terbaik mengacu pada nilainilai yang mendukung kepatuhan terhadap hukum. Ketika seseorang menyadari pada suatu waktu akan ada konflik antara kebutuhan manusia dan hukum, maka terdapat kecenderungan dalam jangka panjang lebih baik untuk mematuhi hukum.

Tahap 6:

Moralitas prinsip etika universal.

Seseorang melakukan tindakan yang dianggap benar sebagai individu, terlepas dari batasan legal atau opini orang lain. Mereka bertindak sesuai dengan standar internal dengan pengetahuan mereka. Oleh karena itu, mereka akan menyalahkan diri sendiri, jika tidak melakukannya.

Sumber: Diane E. Papalia, Sally Wendkos Old, dan Ruth Duskin Feldman (2008)

Keberadaan kelompok muda pada tahapan moral level III dari Kohlberg menunjukkan permasalahan kelompok ini masuk dalam ranah kewarganegaraan. Pada prinsip kewarganegaan terkait dengan hak dan kewajiban sebagai warga negara. T.H. Marshall’s sebagaimana dikutip oleh Ben Revi (tanpa tahun) mendefinisikan kewarganegaraan sebagai status yang diberikan kepada seseorang sebagai anggota penuh suatu masyarakat (komunitas). Orang yang telah diakui sebagai warga negara diakui memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan warga negara yang lain yang dilekati:

1. Hak sipil: kebebasan berbicara, kemerdekaan dan keadilan; 2. Hak politik: partisipasi dalam pembuatan kebijakan;

3. Hak sosial: jaminan ekonomi dan sosial, penyediaan kesejahteraan sosial.

Apabila ketiga kategori hak yang melekat pada setiap warga negara dikaitkan dengan aturan KHA maka anak-anak sebagai warga negara juga dilekati ketiga kategori hak di atas. Aturan KHA yang terkait dengan kategorisasi hak tersebut sebagai berikut:

Hak sipil Pasal 2 (non diskriminasi), Pasal 3 (kepentingan terbaik), Pasal 6 (dilekati hak untuk hidup), Pasal 7 dan 8 (nama dan

kewargenegaraan), Pasal 14 (kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama), Pasal 16 (privasi).

Hak politik: Partisipasi dalam pembuatan kebijakan

Pasal 5 (hak dan kewajiban, tanggung jawab orang tua), Pasal 12 (menyampaikan pendapat); Pasal 13 (ekspresi), Pasal 15

(berorganisasi), Pasal 17 (akses terhadap informasi), Pasal 23 (partispasi aktif penyandang cacat anak (anak dengan kemampuan berbeda (disabilitas), Pasal 29 (pendidikan untuk kehidupan yang bertanggung jawab), Pasal 31 (hak bermain).

Hak sosial Pasal 24 (standar kesehatan yang tertinggi), Pasal 26 (jaring pengaman sosial), Pasal 27 (standar kehidupan), Pasal 28 dan 29 (pendidikan)

Dengan dilekati ketiga kategori hak di atas maka penikmatan hak anak tidak bergantung pada kehendak baik dan kebajikan orang dewasa. Oleh karena itu, anak sudah seharusnya diakui sebagai anggota penuh warga negara, meskipun mereka tetap membutuhkan perlindungan dan perawatan lebih. Artinya perlindungan dan perawatan tersebut tidak mengesampingkan penjaminan hak sipil dan hak politik anak-anak.

5.3. Ruang-Ruang Partisipasi Anak

Partisipasi anak diterapkan pada lingkup yang berbeda-beda. UNICEF dan Roger A. Hart (ECPAT International, 1999) mencatat bahwa partisipasi anak-anak dapat terlihat pada ruang lingkup berikut:

1. Pemerintah dan seluruh pembuatan kebijakan; 2. Perlindungan anak; 3. Lingkungan keluarga; 4. Adopsi; 5. Perawatan alternatif; 6. Sekolah; 7. Pekerja anak;

8. Pelayanan lokal, termasuk perencanaan, permukiman, dan lingkungan; 9. Perlindungan lingkungan dan pembangunan berkelanjutan;

10. Kebijakan kesehatan individu dan perencanaan serta aturan layanan kesehatan; 11. Media;