JDIH DITJEN HAM
Daftar Isi
Bagian 1: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang 1
1.2. Tujuan Bahan Ajar 4
1.3. Alur Pikir (Sistematik) Bahan Ajar 5
Bagian 2: Situasi Hak Anak
2.1. Peta Situasi di Seluruh Dunia Menurut Humanium 6
2.2. Peta Situasi Hak Anak dalam Konteks Indonesia 8
Bagian 3: Pengantar Dasar Hak Asasi Manusia
3.1. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia 10
3.1.1. Sejarah Hak Asasi Manusia Internasional 10
A. Era Pra-Modern 10
B. Era Modern 13
C. Sebelum Perang Dunia II 14
D. Pengembangan Sistem Hukum Hak Asasi Manusia 15
Internasional oleh PBB Pasca Perang Dunia II
3.1.2. Sejarah HAM: Tinjauan dari Pandangan Karel Vasak 23
A. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia 23
B. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia 24
C. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia 24
3.2. Sejarah Hak Anak 24
3.2.1. Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia 24
3.2.2. Lintasan Sejarah Evolusi Pengakuan Eksisten Hak Anak 26
3.3. Sejarah Pengaturan Norma Hak Asasi Manusia di Indonesia 27
3.3.1.Sejarah Keberadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia 27
A. Periode Awal Perdebatan Hak Asasi Manusia 28
B. Periode Perdebatan Hak Asasi Manusia di Konstituante 29
JDIH DITJEN HAM
www.jdih.ham.go.id D. Periode Orde Reformasi 30
3.3.2. Sejarah Norma Perlindungan Anak di Indonesia 33
3.4. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia 36
3.4.1. Pengertian Hak Asasi Manusia 36
3.4.2. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia 37
3.4.3. Pengelompokan (Pengkategorian) Hak Asasi Manusia 40
3.5. Konvensi Hak Anak sebagai Instrumen Perlindungan Khusus bagi 52
Anak-Anak
3.6. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Anak 61
3.6.1. Kewajiban Negara dalam Kerangka Pendekatan Berbasis Hak 65
3.6.2. Lembaga-Lembaga yang Menangani Perlindungan Hak 70
Anak
3.7. Pelanggaran Hak Asasi Manusia 74
Bagian 4: Mengenal Anak
4.1. Kebutuhan untuk Mengatur Perlindungan Anak Melalui Undang- 77
Undang Khusus
4.2. Pengertian Anak 82
Hlm. | i
4.3. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak
84
4.4. Kewajiban Pemangku Kepentingan dalam Perlindungan terhadap 85
Anak: Pendekatan Ekologis
4.5. Kewajiban Dasar Manusia dalam Konteks Relasi Sosial 91
Antarmanusia
4.5.1. Pelaksanaan Hak Asasi Manusia dan Pembatasannya 91
4.5.2. Relasi antara Anak dengan Orang Dewasa dalam Konteks 98
Perlindungan Anak
4.6. Komunitas sebagai Basis Perlindungan Anak 103
JDIH DITJEN HAM
5.1. Konsep dan Prinsip Partisipasi Anak 107
5.2. Dasar Pembenar Partisipasi Anak dalam Pengambilan Kebijakan 109
5.3. Ruang-Ruang Partisipasi Anak 114
5.4. Tafsir Komite Hak Anak terhadap Hak Partisipasi 117
5.5. Belajar dari Partisipasi Anak dalam Proses Penganggaran di Barra 120
Manza, Brasilia
5.6. Internet sebagai Media Partisipasi Anak: Peluang dan Tantangan 122
5.7. Perlindungan Anak dari Cyberbullying 126
Daftar Referensi
Bagian 1: Pendahuluan
1.1. Latar Belakang
Penyusunan Bahan Ajar Penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi SLTA dan Sederajat oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), khususnya Direktorat Diseminasi dan Penguatan HAM bertujuan untuk menginternalisasikan nilai-nilai hak asasi manusia bagi pelajar, khususnya SLTA dan sederajat karena meraka merupakan pemilik masa depan bangsa dan generasi penerus bangsa. Internalisasi nilai-nilai hak asasi manusia salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan hak asasi manusia.
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Konvensi Hak Anak (KHA) telah menegaskan urgensitas pendidikan HAM. Pasal 26 ayat (2) DUHAM menegaskan urgensi pendidikan hak asasi manusia:
Pendidikan harus ditujukan ke arah perkembangan pribadi yang seluas-luasnya serta untuk mempertebal penghargaan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan dasar. Pendidikan harus menggalakkan saling pengertian, toleransi dan persahabatan di antara semua bangsa, kelompok ras maupun agama, serta harus memajukan kegiatan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam memelihara perdamaian.
Penegasan senada juga dapat ditemukan dalam Pasal 29 ayat (1) KHA yang menyatakan bahwa pendidikan anak harus diarahkan pada:
1. Pengembangan kepribadian, bakat-bakat dan kemampuan mental dan fisik pada potensi terpenuh anak;
2. Pengembangan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasankebebasan dasar dan prinsip-prinsip yang diabadikan dalam Piagam PBB; 3. Pengembangan penghormatan terhadap orang tua anak, jati diri budayanya sendiri,
bahasa dan nilai-nilainya sendiri terhadap nilai-nilai nasional dari Negara di mana anak itu sedang bertempat tinggal;
4. Persiapan anak untuk kehidupan yang bertanggung jawab dalam suatu masyarakat yang bebas, dalam semangat saling pengertian, perdamaian, tenggang rasa, persamaan jenis kelamin, dan persahabatan antara semua bangsa, etnis, warga negara dan kelompok agama, dan orang-orang asal pribumi;
5. Pengembangan untuk menghargai lingkungan alam.
Tujuan senada juga dapat diketemukan dalam paragraf 6 Deklarasi dan Integrasi Kerangka Kerja Tindakan bagi Pendidikan Perdamaian, Hak Asasi Manusia, dan Demokrasi (Declaration
and Integrated Framework of Action on Education for Peace, Human Rights and Democracy)
yang dicanangkan UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) yang menyatakan:
Tujuan utama dari pendidikan untuk perdamaian, hak asasi manusia, dan demokrasi adalah pengembangan setiap individu memiliki nilai-nilai dan tingkah laku yang mencerminkan budaya-budaya damai. Hal ini dimungkinkan apabila perbedaan kontekstual sosio-kultural disesuaikan dengan nilai-nilai universal yang telah diakui.
Dalam konteks ini, maka upaya yang diinisiasi oleh Direktorat Diseminasi dan Penguatan HAM merupakan langkah awal dan menjadi bagian dari rangkaian proses pendidikan hak asasi manusia (human rights education). Amnesty Internasional (2012:2) mendefinisikan pendidikan hak asasi manusia sebagai:
Praktik pendidikan yang partisipatif dengan tujuan untuk memberdayakan individu dan masyarakat, melengkapi mereka dengan pengetahuan, sikap, nilai-nilai dan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menikmati dan menggunakan hak mereka dan untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak orang lain.
Selanjutnya pendidikan hak asasi manusia menurut Amnesty International (2012: 2) mencakup 3 (tiga) dimensi, sebagai berikut:
1. Pendidikan mengenai hak asasi manusia (Education about human rights)
Dimensi ini mencakup pengetahuan dan pemahaman tentang norma-norma, prinsipprinsip, dan instrumen hak asasi manusia dan nilai-nilai yang mendukung pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia;
2. Pendidikan melalui hak asasi manusia (Education through human rights)
Dimensi ini menitikberatkan pada pembelajaran melalui metode inklusif, partisipatif dan demokratis yang menghormati hak-hak dari pendidik maupun peserta didik; 3. Pendidikan untuk hak asasi manusia (Education for human rights)
Dimensi ini dapat dimaknai sebagai pengajaran dan pembelajaran yang memungkinkan praktik hak asasi manusia dalam kehidupan sehari-hari dan memberdayakan anak sebagai subjek hak untuk menikmati dan menggunakan hak-hak mereka dan untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak-hak orang lain.
Ketiga cakupan dimensi pendidikan hak asasi manusia tersebut dapat diilustrasikan melalui diagram di bawah ini.
Kemudian David E. Guinn (2007: 25-26), mengutip United Nation’s World Programme
foHuman Rights Education (Program Dunia untuk Pendidikan HAM PBB) mendefinisikan
pendidikan HAM sebagai:
Pendidikan, pelatihan, dan informasi yang ditujukan untuk membangun kultur universal HAM melalui pengembangan pengetahuan, penanaman keahlian, dan pembentukan tingkah laku yang secara langsung akan:
1. Memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia;
2. Membangun secara penuh personalitas kemanusiaan dan rasa hormat terhadap martabat manusia;
3. Memperkuat penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia;
4. Memajukan kesepemahaman, toleransi dan keadilan gender, serta kesolidaritasan antarsemua bangsa, masyarakat adat, ras, etnis, agama, dan kelompok bahasa; Memampukan semua orang untuk berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat yang demokratis dan pemerintahan berdasarkan hukum;
5. Membangun dan memelihara perdamaian;
6. Memajukan pembangunan berkelanjutan yang berpusat pada manusia berdasarkan keadilan sosial dan keadilan ekologis
Pendidikan HAM Pendidikan Mengenai HAM Pendidikan Melalui HAM Pendidikan untuk HAM
Lebih jauh Program Dunia untuk Pendidikan HAM PBB secara spesifik menekankan pendidikan HAM pada 3 (tiga) komponen (David E. Guinn, 2007: 26) berikut ini:
1. Pengetahuan dan keahlian yang menekankan pada pembelajaran mengenai HAM, dan mekanisme perlindungannya sehingga dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari;
2. Nilai dengan menitikberatkan pada perilaku dan tindakan dalam rangka membangun nilai dan memperkuat perilaku serta tindakannya selalu memegang teguh HAM; 3. Tindakan yang diharapkan dapat mendorong adanya langkah dan tindakan untuk
memajukan HAM.
Berdasarkan uraian di atas, maka penyusunan Bahan Ajar Penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) dan Sederajat merupakan bagian dari bahan pelengkap dari modul dengan tema yang sama yang disusun oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Bahan ajar ini berfungsi sebagai bahan referensi atau rujukan bagi para fasilitator untuk menyampaikan materi-materi modul. Bahan ajar ini diharapkan dapat membekali para fasilitator untuk mentransformasi pengetahuan mengenai HAM secara sistematis dan terstruktur kepada peserta sesuai dengan materi yang ada dalam modul.
1.2. Tujuan Bahan Ajar
Penyusunan Bahan Ajar Penguatan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi SLTA dan Sederajat antara lain dapat diuraikan di bawah ini:
Menyediakan bahanajar bagi fasilitator akan berperang untuj mendorong internalisasi nilai-nilai HAM bagi kalangan siswa (peserta) didik, khususnya SLTA dan sederajat melalui fasilitasi
Melengkapi modul penguatan HAM bagi SLTA dan sederajat bagi fasilitator
Menjadi tambahan referensi bagi fasilitator mengenai HAM, khususnya hak anak
Memudahkan fasilitator untuk menyiapkan materi pendukung proses fasilitasi
1.3. Alur Pikir (Sistematik) Bahan Ajar
Berdasarkan tujuan tersebut, maka alur pikir bahan ajar ini dapat diilustrasikan melalui diagram di bawah ini:
Hlm. | 5
Bagian I:
Situasi Hak Anak di Indonesia
1 . Situasi Hak Anak Pemetaan Permasalahan Hak Anak menurut Humanium
2 . Pemetaan Permasalahan Hak Anak menurut Rekomendasi Komite Hak Anak
Bagian II:
Pengantar Dasar HAM
1. Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia 2. Sejarah Hak Anak 3. Sejarah Pengaturan Norma Hak Asasi Manusia di Indonesia
4. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
. Konvensi Hak Anak 5
sebagai Instrumen Perlindungan Khusus bagi Anak-Anak
6.Kewajiban dan
Tanggung Jawab Negara dalam Perlindungan Anak 7. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Bagian III: Mengenal Hak Anak 1. Kebutuhan untuk Mengatur Perlindungan Anak Melalui Undang -Undang Khusus . Pengertian Anak 2 . 3 Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak . 4 Kewajiban Pemangku Kepentingan dalam Perlindungan terhadap Anak: Pendekatan Ekologis 5. Kewajiban Dasar Manusia dalam Konteks Relasi Sosial Antarmanusia 6. Komunitas sebagai Basis Perlindungan Anak
Bagian IV: Partisipasi Anak sebagai Hak Asasi Manusia
. Pengertian Partisipasi 1
Anak
2. Dasar Pembenar Partisipasi Anak dalam Pengambilan Kebijakan 3. Ruang-Ruang Partisipasi Anak
4. Tafsir Komite Hak Anak terhadap Hak Partisipasi 5. Belajar dari Partisipasi Anak dalam Proses Penganggaran di Barra Manza, Brasilia
.
6 Internet sebagai Media Partisipasi Anak Peluang dan Tantangan;
. Perlindungan Anak dari 7
Bagian 2: Situasi Hak Anak
2.1. Peta Situasi di Seluruh Dunia Menurut Humanium
Sumber:
Situasi hak anak di Indonesia salah satunya dapat dilihat melalui peta situasi perlindungan hak anak dalam konteks situasi hak anak di seluruh dunia. Humanium telah menciptakan "Peta Penghormatan Anak Hak Seluruh Dunia" (Map on the Respect of Children’s Rights Worldwide) untuk melihat situasi penikmatan hak anak, khususnya perlindungan dan pemenuhan sebagian dari hak-hak dasar mereka oleh negara. Situasi hak anak tersebut diukur melalui Indeks Realisasi Hak Anak (Realization of Children’s Rights Index). Indeks ini memperhitungkan situasi hak anak yang mencakup 14 (empat belas) unsur sebagai dasar perhitungan dan penilaian tersebut. Ke-14 unsur yang dijadikan sebagai dasar perhitungan dan penilaian situasi hak anak, sebagai berikut:1
1. Mortalitas kurang dari 5 tahun (mortality for less than 5 years); 2. Kemungkinan hidup saat lahir (life expectancy at birth);
3. Pendidikan (education); 4. Kemiskinan (poverty);
5. Berat badan lahir rendah (low birth weight); 6. HIV;
7. Pekerja anak (child labour);
8. Pernikahan anak (child marriage);
9. Mutilasi alat kelamin perempuan (female genital mutilation); 10. Pendaftaran kelahiran (registration of births);
11. Dampak ekologis pada masa depan anak-anak (ecological impact on the future of
children);
12. Hak dan kebebasan (rights and freedoms);
13. Perasaan kepuasan dengan kehidupan (the feeling of satisfaction with life); 14. Perang dan situasi kekerasan lainnya (war and other violent situations).
Penilaian untuk melihat jaminan realisasi hak anak tersebut berkisar antara angka 1 sampai dengan angka 10. Semakin rendah indeks yang dicapai suatu negara, maka semakin rendah realisasi hak anak di Negara tersebut. Sebaliknya, semakin tinggi indeks yang diperoleh oleh suatu negara, maka semakin tinggi realisasi penghormatan hak anak di negara tersebut. 2
Berdasarkan peta yang diterbitkan oleh Humanium pada 2016 ini, Indonesia dikategorikan sebagai negara dengan permasalahan anak yang nampak dengan nyata (noticeable
problems) yang ditandai dengan warna oranye (orange) dengan nilai 7.68/10. Meskipun saat
ini Indonesia, telah menjadi bagian dari negara-negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun pertumbuhan ekonomi ini belum bermanfaat bagi seluruh penduduk. Banyak anak terus hidup dalam kondisi yang belum sepenuhnya menikmati semua hak-hak
1
http://www.humanium.org/en/rcri/
mereka.3 Permasalahan-permasalahan utama yang dihadapi oleh anak-anak di Indonesia menurut Humanium, meliputi permasalahan-permasalahan yang dapat dikelompokkan seperti terlihat pada diagram di bawah ini:
Sumber: http://www.humanium.org/en/asia-pacific/indonesia/
2.2. Peta Situasi Hak Anak dalam Konteks Indonesia
Selain itu, situasi hak anak di Indonesia juga dapat dilihat melalui laporan yang dihasilkan oleh Komite Hak Anak. Daftar permasalahan (isu) yang diungkapkan oleh Komite Hak Anak mengenai Laporan Pelaksanaan Konvensi Hak Anak yang tercantum dalam dokumen Dokumen CRC/C/IDN/Q/3-4, tertanggal 25 November 2013 dapat menggambarkan permasalahan yang dihadapi anak-anak Indonesia dalam menikmati hak-hak asasinya. 3 http://www.humanium.org/en/asia-pacific/indonesia/ Permalasalahan Utama yang dihadapi anak Indonesia (Humaniun) Kemiskinan Hak Atas Kesehatan Kekerasan Terhadap Anak Hak Atas Pendidikan Anak Jalanan Perkawinan Anak Pekerja Anak Hak Atas Identitas
Permasalahan-permasalahan hak anak yang melingkupi kehidupan anak Indonesia menurut Komite Hak Anak sebagai berikut:
Permasalahan hak anak berkaitan dengan:
Desentralisasi memunculkan ketidakharmonisan antara peraturan perundang-undangan
Wewenang dan Mandat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
Peningkatan peran Komisi Perlindungan Anak Indonesia dalam penyelidikan pelanggaran hak anak
Ketersediaan data Permalasalahan Utama yang dihadapi anak Indonesia Komite Hak ( Anak) Diskriminasi Hak Atas Identitas Kekerasan terhadap Anak Praktik sunat perempuan, perkawinan dini, dan poligami Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif Anak-anak Pengungsi Akses pendidikan Akses kesehatan Pekerja Anak Anak yang Berhadapan dengan Hukum
Bagian 3 : Pengantar Dasar Hak Asasi Manusia
3.1.
Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia
3.1.1. Sejarah Hak Asasi Manusia Internasional
A. Era Pra-Modern
Banyak orang beranggapan bahwa perkembangan hukum hak asasi manusia sebagai salah satu prestasi terbesar abad XX. Namun, sebenarnya perkembangan hak asasi manusia sebenarnya tidaklah dimulai dengan pengembangan instrumen hukum internasional yang ditopang dengan sistem dan mekanisme penegakannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Perkembangan dan dinamika hak asasi manusia pada dasarnya berkembang mengikuti perkembangan sejarah peradaban manusia. Sepanjang sejarahnya, manusia selalu berupaya membangun dan mengembangkan konsep perilaku etis, keadilan, martabat, dan hak milik yang mendasari upaya manusia untuk mewujudkan kesejahteraan. Gagasan dan kontribusi terhadap pengembangan hukum, termasuk perlindungan terhadap eksistensi manusia dapat ditemukan dan ditelusuri pada masa Babilonia, China, dan India. Selain itu, upaya penghormatan terhadap manusia dapat ditemukan dalam ajaran-ajaran masa Yunani dan Romawi. Rujukan-rujukan mengenai nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan pada umumnya dapat juga ditemukan dalam semua ajaran-ajaran agama di dunia. Namun demikian, sampai abad XVIII belum ada masyarakat, peradaban atau budaya, baik dalam dunia Barat atau dunia non-Barat, yang mempraktikkan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia yang dijamin melalui instrumen hukum internasional (Nancy Flowers, tanpa tahun). Konsep etika, keadilan dan martabat manusia juga dapat ditemukan dalam masyarakat yang tidak meninggalkan catatan tertulis, namun konsep ini dapat ditemukan melalui sejarah lisan seperti tradisi-tradisi masyarakat adat. Ide-ide tentang keadilan yang menonjol dalam pemikiran filsuf dapat ditelusuri pada abad pertengahan, Renaissance dan Pencerahan. Pemikiran hukum alam (hukum kodrati) memang dominan pada masa itu. Hukum kodrat menyatakan bahwa setiap individu manusia memiliki hak-hak tertentu hanya karena mereka manusia. Meskipun perkembangan yang signifikan dalam pemikiran tentang hak asasi manusia terjadi mulai dari abad XVII dan abad XVIII (Australian Human Rights Commission, 2010).
Sistem nilai yang diwujudkan dalam hak asasi manusia bukanlah merupakan sistem yang spesifik dimiliki oleh Eropa, namun sebenarnya juga ditemukan dalam semua kebudayaan dan agama seluruh dunia. Kehidupan, martabat, kebebasan, keseteraan, dan kepemilikan manusia
dilindungi merupakan perintah moral, standar hukum pidana, dan aturan peradilan. Aturan aturan ini juga ditemukan dalam semua agama.
Sumber: Manfred Nowak, 2003
Jauh sebelumnya, pada tahun 539 Sebelum Masehi, Cyrus Agung (Cyrus the Great), raja pertama dari Persia kuno, saat menaklukkan kota Babilonia, telah mengambil tindakan besar yang menandai kemajuan besar untuk kemanusiaan. Tindakan yang diambil raja Cyrus Agung ini, antara lain:
1. Membebaskan para budak;
2. Menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk memilih agama mereka sendiri; 3. Mengakui kesetaraan antara ras-ras yang ada.
Keputusan ini dicatat pada sebuah silinder tanah liat yang dipanggang dengan
mempergunakan bahasa Akkadia. Deklarasi ini dikenal sebagai Silinder Cyrus (Cyrus
Cylinder) dan diakui sebagai piagam pertama di dunia yang mengakui hak asasi manusia.
Pengakuan terhadap hak asasi manusia dalam deklarasi ini dapat disamakan (paralel) dengan empat pasal pertama dari Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Dari Babilonia, ide hak asasi manusia ini menyebar secara cepat menjangkau India, Yunani, dan Romawi.4 Pada masa perkembangan Islam sekitar abad ke-7 Masehi tidak lama setelah menetap di Madinah, Nabi Muhammad SAW secara konkret meletakkan dasar-dasar masyarakat madani, bersama semua unsur penduduk Madinah menggariskan ketentuan hidup bersama dalam suatu dokumen yang dikenal sebagai Piagam Madinah (Mîntsâq Al-Madînah). Dalam dokumen itu umat manusia untuk pertama kalinya diperkenalkan, antara lain, kepada wawasan kebebasan, terutama di bidang agama dan ekonomi, serta tanggung jawab sosial dan politik, khususnya pertahanan, secara bersama. Piagam Madinah sering disebut oleh meletakkan dasardasar kehidupan bersama. Idenya ialah pluralisme, yang mengakui eksistensi semua golongan: orang Yahudi, orang Muslim, orang non- Yahudi dan non-Muslim. Dalam Piagam itu disebutkan hak dan kewajiban yang sama untuk masing-masing golongan penduduk Madinah, baik Muslim maupun bukan (Budhy Munawar-Rachman, 2012: 1878-2679).
Piagam Madinah juga mengatur perjanjian bersama di antara kelompok-kelompok masyarakat untuk bernegara dengan naskah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk tertulis. Dokumen politik ini dianggap ileh berbagai pakar sebagai Konstitusi Madinah (the
Constitution of Medina) yang tertulis untuk mengatur pemerintahan Negara Madinah, suatu
negara dengan masyarakat yang plural. Dalam Piagam Madinah diatur jaminan hak-hak sipil dan politik yang diberikan kepada kelompok lain selain kaum Muhajirin dan Ansor, yaitu Yahudi. Kelompok ini diberikan kebebasan melaksanakan adat dan kebiasaan baik mereka (Muhammad Alim, 2010:78-79). Menurut Muhammad Alim (2010, 80-81) terdapat 5 makna utama Piagam Madinah, yaitu (1) penempatan nama Allah; (2) adanya perjanjian masyarakat
(social contract); (3) kemajemukan peserta; (4) keanggotaan terbuka; dan (5) kesatuan
dalam kebhinekaan.
Dokumen selanjutnya mengenai perlindungan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dapat ditemukan dalam Magna Charta, atau "Great Charter". Dokumen ini seringkali dikatakan sebagai dokumen awal yang paling signifikan dari proses sejarah hukum konstitusional. Pada 1215, setelah Raja John, dari Inggris melanggar sejumlah hukum dan tradisi Inggris, rakyat memaksanya untuk menandatangani Magna Charta, seperti; (1) hak gereja untuk bebas dari campur tangan pemerintah; (2) hak-hak semua warga negara bebas untuk memiliki dan mewarisi hak milik; dan (3) harus dilindungi dari pajak yang berlebihan, prinsip-prinsip proses hukum (due process) dan persamaan di depan hukum (equality before the
law). Pengaturan dalam Magna Charta tersebut kemudian dianggap sebagau jaminan
hak-hak dasar sebagai manusia. Di samping itu, Magna Charta juga dipandang sebagai salah satu dokumen hukum yang paling penting dalam pengembangan demokrasi modern dan menjadi titik balik penting dalam perjuangan untuk membangun kebebasan.5 Magna Charta
kemudian diperkuat melalui pandangan filsafat John Locke yang meletakkan dasar bagi pengakuan hak fundamental tertentu dari manusia dan tidak dapat dipindahkan kepada orang lain yang harus dijamin oleh penguasa semakin memperkuat nilai-nilai hak asasi manusia (P. van Dijk, 2001).
John Locke mengajukan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai oleh alam hak yang melekat atas hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak dapat dicabut oleh negara. Kontrak sosial (social contract) menjadi landasan perlindungan bagi setiap warga negara bahwa hak-hak mereka tidak dapat dicabut ini diserahkan kepada negara. Dengan demikian pemerintah harus bersedia menghormati hak-hak tersebut. Berdasarkan teori hak-hak kodrati ini, maka eksistensi hak asasi manusia mendapat pengakuan.
Sumber: Rhona K.M. Smith, et.al., 2008
B. Era Modern
Setelah Magna Charta, dikuti Petisi Hak (Petition of Right) yang menjadi tonggak perkembangan hak asasi manusia berikutnya. Petisi Hak dihasilkan oleh Parlemen Inggris pada tahun 1628 yang dikirim kepada Charles I. Petisi ini merupakan pernyataan kebebasan sipil warga Inggris. Petisi Hak diprakarsai oleh Sir Edward Coke yang disusun berdasarkan pada undang-undang dan piagam sebelumnya. Petisi ini menegaskan empat prinsip yang terdiri: (1) Tidak ada pajak yang dapat dipungut tanpa persetujuan dari parlemen; (2) Tidak ada seorangpun dapat dipenjara tanpa sebab (penegasan kembali hak habeas corpus); (3) Setiap warga negara tidak dapat dipaksakan untuk menerima prajurit di rumah mereka; dan (4) Hukum perang tidak dapat diterapkan dalam waktu damai.6
Perkembangan hak asasi manusia selanjutnya ditandai dengan dikeluarkannya English Bill of
Rights pada 1689. Dokumen ini mengatur ketentuan-ketentuan untuk melindungi hak-hak
atau kebebasan individu. English Bill of Rights merupakan hasil perjuangan parlemen melawan pemerintahan raja-raja dinasti Stuart yang sewenang-wenang pada abad XVII. Bill
of Rights berisikan deklarasi yang menempatkan kekuasan monarki di bawah kekuasaan
parlemen, melarang pemungutan pajak dan pembentukan pasukan tetap pada masa damai oleh raja tanpa persetujuan parlemen (Scott Davidson, 1994).
Seturut dengan peristiwa tersebut pada 4 Juli 1776, Kongres Amerika Serikat menyetujui Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of Independence) Amerika Serikat. Secara filosofis, Deklarasi menekankan dua tema, yaitu hak-hak individu dan hak rakyat atas revolusi. Gagasan ini kemudian menyebar secara internasional, termasuk mempengaruhi Revolusi Perancis.7 Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat menyatakan bahwa "semua manusia
diciptakan sama ... [dan] diberkahi oleh Pencipta dengan hak yang tidak dapat dicerabut.”
Selanjutnya dikeluarkan United States Bill of Rights pada 1791 yang menjamin hak-hak sipil dan politik untuk warga negara, termasuk kebebasan berbicara, beragama, dan berkumpul; hak atas pengadilan yang adil; dan larangan hukuman yang kejam dan tidak manusiawi8 Sebelumnya pada 1787 juga dihasilkan Konstitusi Amerika Serikat yang menjadi hukum dasar dari sistem pemerintahan federal Amerika Serikat yang mengatur mengenai organ utama pemerintah, yurisdiksi, dan hak-hak dasar warga Negara.9
Setelah Revolusi Perancis pada tahun 1789, disusun Deklarasi Hak Asasi Manusia dan Warga Negara (Declaration of the Rights of Man and of the Citizen) atau dalam bahasa Perancis dikenal dengan La Déclaration des Droits de l’ Homme et du Citoyen. Deklarasi ini menjamin 6 http://www.humanrights.com 7 http://www.humanrights.com 8 http://www.theadvocatesforhumanrights.org 9 http://www.humanrights.com
kebebasan dari penindasan sebagai ekspresi kehendak umum warga Perancis. Deklarasi ini merupakan upaya penghapusan monarki absolut dan pembentukan Republik Perancis. Deklarasi ini juga hendak menyatakan bahwa semua warga negara harus dijamin hak-haknya atas kebebasan, hak milik, keamanan, dan melawan penindasan. Di samping itu, deklarasi ini menegaskan bahwa hukum merupakan ekspresi kehendak umum yang bertujuan untuk memajukan kesetaraan dan melarang tindakan yang membahayakan masyarakat.10
Dokumen-dokumen yan menegaskan hak-hak individu, seperti Magna Charta (1215), English
Bill of Rights (1689), French Declaration on the Rights of Man and Citizen (1789) dan United States Constitution and Bill of Right (1791), selanjutnya menginspirasi banyak instrumen hak
asasi manusia hari ini. Namun demikian, rumusan (konsepsi) hak asasi manusia yang modern, terefleksikan melalui dokumen-dokumen yang dihasilkan melalui revolusi Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis yang terjadi pada abad XVII dan XVIII (Scott Davidson, 1994). Namun sebagian besar dari dokumen-dokumen tersebut masih mengecualikan perempuan, kelompok minoritas dan anggota kelompok sosial, agama, ekonomi, dan politik tertentu. Dengan kata lain, tidak satupun dokumen tersebut yang merefleksikan konsep dasar bahwa setiap orang berhak untuk hak-hak tertentu semata-mata berdasarkan kemanusiaan mereka (Nancy Flowers, tanpa tahun).
C. Sebelum Perang Dunia II
Hukum hak asasi manusia internasional kontemporer dan pembentukan PBB memiliki sejarah pendahulu yang penting dan mendasari pembentukannya. Upaya ini dikaitkan dengan peristiwa abad XIX, yaitu pelarangan perdagangan budak dan pencegahan kengerian akibat peperangan. Pada 1919, terdapat dua peristiwa penting, yaitu upaya negara-negara mendirikan Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO). Organisasi ini diberikan kewenangan untuk mengawasi perjanjian yang melindungi pekerja sehubungan dengan hak-hak mereka, termasuk hak atas kesehatan dan keselamatan. Pada tahun yang sama, juga terdapat upaya negara-negara mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) pada akhir Perang Dunia Pertama. Tujuan pembentukan LBB fokus pada keprihatinan terhadap perlindungan dari kelompok minoritas.11 Sebelumnya pada 1863 upaya perlindungan terhadap kemanusian ditandai dengan pembentukan Komite Palang Merah Internasional. Organisasi ini memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang yang dikenal dengan Konvensi Jenewa (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
Selain itu, dalam perkembangan awal hukum internasional, terdapat doktrin “perlindungan negara terhadap orang asing” atau “state responsibility for injury to alliens”. Berdasarkan doktrin hukum Internasional itu, orang-orang asing berhak mengajukan tuntutan terhadap
10
suatu negara yang membiarkan dan tidak mengambil tindakan apapun ketika seorang asing mengalami perlakuan sewenang-wenang di negara tersebut. Dalam konteks ini pula suatu negara dapat melakukan intervensi kemanusiaan. Berdasarkan “hak” ini, negara dapat mengintervensi secara militer untuk melindungi penduduk atau sebagian penduduknya yang berada dalam suatu negara lain jika penguasa negara tersebut memperlakukan mereka sedemikian rupa sehingga melanggar hak asasi mereka dan menggoncangkan hati nurani umat manusia. Kemajuan besar yang lain dalam hukum kemanusiaan internasional pada paruh kedua abad XIX ditandai dengan pembentukan Komite Palang Merah Internasional pada 1863. Ikhtiar organisasi itu memprakarsai dua konvensi internasional untuk melindungi korban perang dan perlakuan terhadap tawanan perang, yang dikenal dengan Konvensi Jenewa (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
D. Pengembangan Sistem Hukum Hak Asasi Manusia Internasional oleh PBB
Pasca Perang Dunia II
Pengakuan umum terhadap perlindungan hak asasi manusia dalam hukum internasional tertulis bermula sesudah Perang Dunia II. Piagam PBB menjadi dasar pengaturan hak asasi manusia yang mengawali pembentukan instrumen hukum HAM Internasional. Di bawah PBB perlindungan terhadap hak asasi manusia mengalami proses evolusi langkah demi langkah melalui sejumlah deklarasi dan konvensi. Dalam Pembukaan Piagam PBB ditegaskan bahwa masyarakat internasional tidak ingin mengulang terjadinya kembali peristiwa Holocaust di masa depan. Oleh karena itu masyarakat internasional menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, martabat dan kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan kesetaraan negara besar dan kecil (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
Menurut Piagam PBB salah satu tujuan pendirian PBB berdasar pada Pasal 1 ayat (3) adalah terwujudnya kerja sama internasional untuk memecahkan permasalahan ekonomi, sosial, budaya atau kemanusian serta memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua manusia tanpa membedakan atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Kemudian merujuk pada Pasal 56 dan Pasal 55 huruf c dinyatakan bahwa setiap anggota PBB memiliki kewajiban hukum untuk mengambil langkah bersama maupun sendiri-sendiri dalam mewujudkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan mendasar tanpa diskriminasi.
Pendirian PBB mengawali langkah internasionalisasi gagasan hak asasi manusia. Sejak saat itulah masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan semua bangsa” (“a commond
standard of achievement for all peoples and all nations”). Hal ini ditandai dengan diterimanya
disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan “International Bill of
Human Right” (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
Sumber: Theo Van Boven, 1997
Salah satu dokumen “International Bill of Human Right” adalah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang disahkan oleh Majelis Umum pada 10 Desember 1948. Deklarasi ini merupakan tafsir hukum dari Piagam PBB yang mengaku hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, maupun budaya. Prinsip-prinsip yang tercantum dalam deklarasi ini tidak bersifat mengikat secara hukum, namun bersifat sebagai hukum kebiasaan internasional, prinsip umum hukum atau sebagai prinsip kemanusiaan yang fundamental (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, 2003:3). Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan standar umum pencapaian bagi semua orang dan semua bangsa. Pasal 1 dari deklarasi ini menjabarkan pondasi hak asasi manusia dengan rumusan pernyataan bahwa semua orang terlahir bebes dan setara (every one is born free and equal). Rumusan ini berimplikasi tidak adanya pembedaan yang dibuat dengan dasar wujud warisan genetik, seperti ras atau gender, tidak juga posisi sosial orang tua, kebangsaan, atau faktor lain. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mencakup hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan ekonomi secara setara (Abjorn Eide, 2011: 10-13).
Selain PBB, Komite Palang Merah Internasional juga mengembangkan Hukum humaniter bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia sewaktu timbul
Tiga Karakteristik HAM Piagam PBB HAM bersifat Universal dan Inklusif Kesetaraan atau Non -diskriminatif Kerjasama Internasional
konflik bersenjata internasional dan konflik bersenjata non-internasional. Perlindungan tersebut juga mencakup bagi anggota pasukan (militer) yang tidak mungkin terlibat dalam peperangan karena luka, sakit, atau menjadi tawanan perang. Kemudian pada 1949 dihasilkan empat konvensi hukum humaniter, terdiri dari:
1. Konvensi I dimaksudkan untuk melindungi pasukan yang luka dan sakit, termasuk pasukan bersenjata di medan perang;
2. Konvensi II untuk mengatur perlindungan pasukan yang luka dan sakit bagi awak armada yang karam;
3. Konvensi III berkaitan dengan perlakuan tawanan perang;
4. Konvensi IV mengenai perlindungan warga sipil pada masa perang.
Hukum humaniter menekankan pada tujuan demi kebaikan kemanusiaan bukan mengenai hukum tentang berperang (conduct of war) seperti yang diatur dalam Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 (Mr. P.van Dijk, 2001).
Langkah PBB berikutnya dalam mengembangkan instrumen hukum HAM internasional terwujud pada 1966 dengan ditetapkan dua perjanjian internasional, yaitu Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik dan Kovenan Hak-Hak-Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Namun kedua kovenan ini baru berlakupada 1976. Kedua instrumen ini memperlihatkan adanya dua aspek yang luas dari hak asasi manusia, yakni hak sipil dan politik di satu sisi, dan hak ekonomi, sosial, dan budaya di sisi yang lain. Kedua instrumen ini juga disusun berdasarkan hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dengan penjabaran yang lebih spesifik. Kovenan Hak Sipil dan Politik, misalnya mengatur secara lebih spesifik hak yang dikategorikan bersifat tidak dapat dikurangi (non-derogable) dan hak-hak yang bersifat dapat dikurangi (permissible). Demikian halnya dengan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang merumuskan tanggung jawab yang berbeda dibandingkan dengan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008:37). Kovenan Hak Sipil dan Politik memiliki dua Protokol Opsional yaitu permohonan (petisi) secara individual (individual
petition) pada 1966 dan penghapusan hukuman mati (aiming at the abolition of the death penalty) pada 1989.
Kovenan Hak Sipil dan Politik dengan dua protokol opsional dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial
dan Budaya bersama dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dikenal kemudian dengan
sebutan International Bill of Human Rights. Sebutan International Bill of Human Right karena
ketiga instrumen ini merupakan instrumen pokok karena kedudukannya yang bersifat sentral
Sumber: Theo Van Boven, 1997
Kedua instrumen ini mengikat secara hukum bagi setiap negara yang berkomitmen untuk menyatakan terikat diri pada perjanjian tersebut. Menurut Komite Hak Asasi Manusia dalam Komentar Umum Nomor 3 menyatakan bahwa ketika negara menyatakan terikat pada suatu perjanjian maka negara peserta perjanjian (negara pihak) harus menjamin pemenuhan hakhak semua individu di bawah yurisdiksi mereka. Kewajiban hukum tersebut diwujudkan melalui upaya menjamin penikmatan hak dengan cara mengambil langkah positif untuk memastikan (Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, 2003:31) :
1. Hukum nasional perlu segera direformasi untuk menyesuaikan dengan kewajiban hukum internasional negara yang lahir dari perjanjian internasional;
2. Negara menerapkan secara efektif dalam praktik oleh semua lembaga-lembaga (organ) publik dan pejabat, seperti pengadilan, jaksa, polisi, petugas lembaga pemasyarakatan, sekolah, militer, rumah sakit dan lembaga-lembaga serupa lainnya.
Kemudian ketiga instrumen pokok ini diikuti dan dijabarkan lebih jauh dengan konvensi (perjanjian internasional) mengenai hak asasi manusia yang lebih spesifik. Perjanjianperjanjian internasional yang menjabarkan lebih jauh International Bill of Human diarahkan untuk mencegah dan melarang penyalahgunaan kuasa yang bersifat khusus, seperti penyiksaan dan genosida. Selain itu, Pengaturan hak asasi manusia melalui instrumen yang bersifat spesifik bertujuan untuk menjamin hak asasi manusia kelompok rentan
(vulnerable groups) dari pelanggaran hak-hak mereka yang bersifat fundamental.
Perlindungan terhadap kelompok ini dilandasi pertimbangan bahwa secara tradisional mereka menjadi korban pelanggaran sehingga membutuhkan perlindungan khusus untuk dapat menikmati hak asasinya berdasar kesetaraan dan efektif. Instrumen yang bersifat spesifik ini memberikan jaminan tambahan perlindungan sesuai dengan karakteristik subyek hukum yang diatur dalam instrumen tersebut. 12
Sebagai contoh Konvensi Hak Anak dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mengakui bahwa perempuan dan anak-anak memiliki kebutuhan
12
http://www.humanrights.is/en/human-rights-education-project/human-rights-concepts-ideas-and-khusus. Kebutuhan khusus ini tidak terlepas dari sejarah pengabaian hak-hak mereka oleh masyarakat. Pengabaian ini merupakan sebab dan akibat dari bentuk-bentuk diskriminasi terhadap kedua kelompok ini (UNICEF, 1999: 3).
Komite Hak Anak dan Komite Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan telah menekankan sifat saling melengkapi dan saling memperkuat dari kedua instrumen ini, baik Konvensi Hak Anak dan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan. Keduanya didasarkan pada prinsip-prinsip hak asasi manusia sebagaimana telah diatur dalam kedua kovenan. Kedua instrumen ini juga menegaskan kembali bahwa hak asasi manusia bersifat universal, tak terpisahkan dan saling tergantung. Di samping itu, kedua instrumen ini membentuk suatu kerangka penting untuk pengembangan strategi ke depan dalam rangka mempromosikan dan melindungi hak-hak anak perempuan dan perempuan sepanjang siklus hidup mereka.
Sumber: UNICEF, 1999
Sampai saat ini terdapat sembilan perjanjian internasional inti mengenai hak asasi manusia. Perjanjian hak asasi manusia yang dibangun dan dikembangkan PBB merupakan inti dari sistem internasional untuk promosi dan perlindungan hak asasi manusia. Setiap perjanjian tersebut juga membentuk sebuah komite ahli (treaty bodies) untuk memantau pelaksanaan ketentuan perjanjian oleh negara-negara pihak. Beberapa perjanjian tersebut juga dilengkapi dengan protokol opsional yang berurusan dengan masalah tertentu. Protokol Opsional untuk perjanjian merupakan instrumen yang menetapkan hak dan kewajiban tambahan suatu perjanjian internasional.
Sistem Hak Asasi Manusia Internasional saat ini dibangun melalui perjanjian internasional yang mengikat setiap Negara untuk memenuhi dan melaksanakan kewajiban yang terkandung dalam perjanjian. Perjanjian internasional HAM memiliki karakter yang berbeda dengan perjanjian internasional lainnya. Perbedaan tersebut ditandai dengan terdapat dua komitmen (International Service for Human Rights, 2002) :
1. Komitmen Negara sebagai bagian integral masyarakat internasional;
2. Komitmen Negara terhadap warga Negara untuk menjamin hak-hak serta kebebasan setiap individu yang berada dalam yurisdiksi mereka.
Lebih jauh menurut International Service for Human Rights (2002) perjanjian internasional Hak Asasi Manusia membutuhkan perlakuan alternatif dibandingkan dengan perjanjian internasional lainnya karena karakteristik berikut ini:
1. Semangat dan filosofi perjanjian HAM difokuskan pada individu untuk menegakkan martabat yang melekat pada setiap manusia dan mengatur hubungan dengan individu lain dan masyarakat. Hak ini ini tidak bersifat eksklusif untuk suatu kelompok tertentu melainkan ditujukan untuk memberikan perlindungan HAM bagi setiap manusia;
2. HAM melekat secara universal pada semua manusia, sepanjang hidup mereka karena semata-mata kemanusiaan mereka sendiri, tak terpisahkan (interrelated), dan saling bergantung (interdependent);
3. Perjanjian HAM menentukan dan menciptakan hak-hak khusus bagi individu dan bukan bagi Negara pihak yang memiliki otoritas meskipun individu bukan pihak perjanjian internasional HAM itu sendiri.
Dengan demikian, perjanjian internasional hak asasi manusia tidak dibuat untuk mengatur hubungan Negara, tetapi lebih ditujukan untuk kepentingan menciptakan dunia yang lebih baik bagi semua manusia. Perjanjian HAM didedikasikan bagi hak-hak dan kebebasan individu serta ditujukan untuk melindungi HAM setiap individu dari kesewenang-wenangan Negara. Oleh karenanya, beberapa perjanjian HAM membentuk mekanisme HAM internasional melalui pengembangan badan-badan beserta prosedur-prosedur untuk menilai kepatuhan Negara pihak dalam memberikan perlindungan HAM warga negaranya. Di samping itu, beberapa perjanjian internasional menciptakan protokol pilihan (optional
protocol) untuk memberikan perlindungan pada wilayah isu tertentu atau berisikan prosedur
tambahan yang mengatur lebih jauh pelaksanaan monitoring atau penerimaan komunikasi individu. Namun demikian agar Negara terikat dengan kewajiban ini Negara dipersyaratkan untuk meratifikasi protokol tambahan instrumen hukum perjanjian HAM utamanya (International Service for Human Rights (2002).
Sistem Hukum Hak Asasi Manusia Internasional saat ini terbentuk melalui sepuluh perjanjian internasional utama HAM dengan beberapa protokol opsional seperti tampak pada tabel di bawah ini.
Perjanjian Internasional HAM Protokol Opsional (Optional Protocol) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik Protokol Opsional Kovenan Internasional Hak
Sipil dan Politik mengenai mekanisme pengaduan individual
Protokol Opsional Kedua Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik mengenai
penghapusan hukuman mati Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan
Hak Budaya
Protokol Opsional Kovenan Hak Ekonomi, Hak Sosial, dan Hak Budaya mengenai Mekanisme Komunikasi
Konvensi Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Rasial
- Konvensi Melarang Penyiksaan dan Perlakuan atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Protokol Opsional Konvensi Melarang Penyiksaan dan Perlakuan atau Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia mengenai pembentukan mekanisme pengawasan dan Sub Komite Pencegahan Penyiksaan
Subkomite Pencegahan Penyiksaan - Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
Protokol Opsional Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan mengenai mekanisme pengaduan individual dan mekanisme penyelidikan
Konvensi Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya
-
Konvensi Hak Orang Penyandang Cacat (Disabilitas)
Protokol Opsional Konvensi Hak Orang Penyandang Cacat (Disabilitas) mengenai mekanisme pengaduan individual
Konvensi Perlindungan Terhadap Seluruh Orang dari Penghilangan Paksa
-
Konvensi Hak Anak Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata Protokol Opsional Konvensi Hak Anak mengenai
Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
Protokol Opsional mengenai Prosedur Komunikasi
Sumber: http://www2.ohchr.org/english/law/index.htm#core
Lintasan sejarah (milestones) perkembangan gagasan hak asasi manusia sebelum pengembangan melalui PBB dapat diilustrasikan melalui tabel di bawah ini.
Tahun Instrumen
Era Pra-Modern 539
Sebelum Masehi
Silinder Cyrus (Cyrus Cylinder)
1215 Magna Charta Era Modern 1689 English Bill of Rights
1776 Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat
1789 Deklarasi Perancis mengenai HAM dan Hak Warga Negara
1791 United States Bill of Rights
Sebelum Perang Dunia II
1863 Pendirian Komite Palang Merah Internasional 1919 Pendirian ILO Pendirian
LBB
Pasca Perang Dunia II 24 Oktober 1945 Pendirian PBB
Sementara itu, lintasan sejarah (milestones) perkembangan gagasan hak asasi manusia, khususnya sistem hukum hak asasi manusia internasional yang dikembangkan oleh PBB dapat diilustrasikan melalui gambar di bawah ini.
Sumber: http://www2.ohchr.org/english/law/index.htm#core
3.1.2. Sejarah HAM: Tinjauan dari Pandangan Karel Vasak
Pandangan Karel Vasak, seorang ahli hukum dari Perancis, dapat digunakan untuk membantu memahami perkembangan substansi hak-hak yang terkandung dalam konsep
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia
)) Universal Declaration of Human Rights (UDHR
( , 1948
Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik
( International Covenant on Civil and Political Rights ))
( ICCPR , 1966
Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
( International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights (ICESCR)) , 1966
Konvensi Mengenai Perlindungan Buruh Migran dan
Keluarganya International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families, 1990 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination, 1965 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskrimasi terhadap Perempuan Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women, 1979 Subkomite Pencegahan Penyiksaan Subcommittee on Prevention of e Tortur , 2002 Konvensi Anti Penyiksaan Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman Degrading Treatment or Punishment, 1984 Konvensi tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas Convention on the Rights of Persons with Disabilities, 2006 Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa International Convention for the Protection of All Persons from Enforced Disappearance , 2006 Konvensi Hak Anak Convention on the Rights of the
Child,
hak asasi manusia. Karel Vasak menggunakan istilah “generasi” untuk menunjuk pada substansi dan ruang lingkup hak-hak yang diprioritaskan pada satu kurun waktu tertentu. Karal Vasak membuat kategori generasi berdasarkan slogan Revolusi Perancis seperti tergambar di bawah ini:
A. Generasi Pertama Hak Asasi Manusia
“Kebebasan” atau “hak-hak generasi pertama” sering dirujuk untuk mewakili hak-hak sipil dan politik. Hak-hak ini muncul dari tuntutan untuk melepaskan diri dari kungkungan kekuasaan absolutisme negara dan kekuatan-kekuatan sosial lainnya. Hal ini ditandai dengan muncul dalam revolusi hak yang bergelora di Amerika Serikat dan Perancis pada abad XVII dan XVIII. Hak-hak tersebut pada hakikatnya hendak melindungi kehidupan pribadi manusia atau menghormati otonomi setiap orang atas dirinya sendiri (kedaulatan individu). Termasuk dalam generasi pertama ini adalah hak hidup, keutuhan jasmani, hak kebebasan bergerak, hak suaka dari penindasan, perlindungan terhadap hak milik, kebebasan berpikir, beragama dan berkeyakinan, kebebasan untuk berkumpul dan menyatakan pikiran, hak bebas dari penahanan dan penangkapan sewenang-wenang, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari hukum yang berlaku surut, dan hak mendapatkan proses peradilan yang adil (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
B. Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
Tiga
Generasi HAM
Kebebasan
(
Generasi I
)
Persamaan
(
Generasi II
)
Persaudaraan
(
Generasi III
)
“Persamaan” atau “hak-hak generasi kedua” diwakili oleh perlindungan bagi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak ini muncul dari tuntutan agar Negara menyediakan pemenuhan terhadap kebutuhan dasar setiap orang, mulai dari makan sampai pada kesehatan. Negara dengan demikian dituntut bertindak lebih aktif, agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi atau tersedia. Karena itu hak-hak generasi kedua ini dirumuskan dalam bahasa yang positif: “hak atas” (“right to”), bukan dalam bahasa negatif: “bebas dari” (“freedom from”). Inilah yang membedakannya dengan hak-hak generasi pertama. Termasuk dalam generasi kedua ini adalah hak atas pekerjaan dan upah yang layak, hak atas jaminan sosial, hak atas pendidikan, hak atas kesehatan, hak atas pangan, hak atas perumahan, hak atas tanah, hak atas lingkungan yang sehat, dan hak atas perlindungan hasil karya ilmiah, kesusastraan, dan kesenian. Hak-hak generasi kedua pada dasarnya adalah tuntutan akan persamaan sosial (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
C. Generasi Ketiga Hak Asasi Manusia
“Persaudaraan” atau “hak-hak generasi ketiga” diwakili oleh tuntutan atas “hak solidaritas” atau “hak bersama”. Hak-hak ini muncul dari tuntutan gigih negara-negara berkembang atau Dunia Ketiga atas tatanan internasional yang adil. Melalui tuntutan atas hak solidaritas itu, negara-negara berkembang menginginkan terciptanya suatu tatanan ekonomi dan hukum internasional yang kondusif bagi terjaminnya hak-hak berikut: (1) hak atas pembangunan; (2) hak atas perdamaian; (3) hak atas sumber daya alam sendiri; (4) hak atas lingkungan hidup yang baik; dan (5) hak atas warisan umat manusia bersama (common heritage of human
mankind) (Rhona K. M. Smith, et.al., 2008).
3.2. Sejarah Hak Anak
3.2.1. Hak Anak adalah Hak Asasi Manusia
Untuk dapat memahami anak sebagai subyek hak maka harus dapat memetakan konteks sejarah hak asasi manusia. Dengan demikian dibutuhkan untuk mempertautkan antara posisi khusus anak dengan instrument hukum hak asasi manusia. Pertautan tersebut dapat dilihat pada lintasan sejarah hak anak dalam lintasan sejarah hak asasi manusia (Sami Mahkonen, 2005).
Lintasan tersebut mendeskripsikan bahwa pendasaran hak asasi manusia tidak terlepas dari pemajuan yang dilakukan oleh PBB melalui DUHAM dan dua kovenan hak asasi manusia. Pengaturan hak khusus anak tidak terlepas dari keprihatinan LBB terhadap situasi hak anak pada masa itu. LBB mengawali tindakan perlindungan melalui Deklarasi Jenewa Hak Anak. Kemudian diteruskan oleh PBB pada 1959 dengan mengeluarkan Deklarasi Hak Anak. PBB pada 1979 mendeklarasikan Tahun Internasional Anak (International Year of the Child Setelah itu, PBB pada menjabarkan hak asasi manusia yang telah diatur dalam international
bill of human rights ke dalam Konvensi Hak Anak (Sami Mahkonen, 2005). Persetujuan
Majelis Umum PBB atas KHA pada 20 November 1989 menandai dan merepresentasikan titik kulminasi (puncak) proses perjuangan panjang pengakuan jaminan melalui hukum internasional terhadap eksistensi (keberadaan) hak anak (Philip Alston & John Tobin, 2005). 1921 Deklarasi Hak Anak Jenewa 1948 DUHAM 1959 Deklarasi Hak Anak 1966 Kovenan Hak Sipil dan Politik
Kovenan Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya 1989 Konvensi Hak Anak
3.2.2. Lintasan Sejarah Evolusi Pengakuan Eksisten Hak Anak
Sejarah evolusi perkembangan hak anak dalam konteks internasional secara kronologi dapat dilihat diagram alur di bawah ini:
Konvensi ILO No. 6 1919 Kerja Malam Bagi Anak
Muda (Industri)
Konvensi ILO No. 7 1920 Usia Minimal (Laut)
Konvensi ILO No. 10 1921 Usia Minimal
(Pertanian)
Konvensi ILO No. 16 1921 Uji coba Medis
terhadap Anak Muda (Laut)
Deklarasi Hak Anak, LBB 1924
Tahun
Internasional Anak 1979
Konvensi Hak Anak, PBB 1989 Tahap I 1901-1947 DUHAM 1948
Deklarasi Hak Anak, PBB 1959 Konvensi ILO 138 1973 Usia Minimal Protokol Tambahan I & II Konvensi Jenewa
1977
Tahap II 1948-1977
Konferensi Dunia Perempuan, Beijing 1995 Konvensi ILO 182 1999 Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak
Protokol Opsional KHA Pelibatan Anak
dalam Konflik Bersenjata, 2000
Protokol Opsional KHA Perdagangan Anak, Prostitusi Anak dan Pornografi
Anak, 2000
Sumber: Memodifikasi Philip Alston & John Tobin, 2005
Pertemuan Tingkat Tinggi Dunia bagi Anak
1991
Konferensi Dunia HAM, Wina
1993
Konferensi Populasi dan Pembangunan, Kairo 1994 Konferensi Pembangunan Sosial, Kopenhagen 1994 Tahap III 1979-1989 Protokol Opsional KHA mengenai Prosedur
Komunikasi, 2012 Tahap IV 1991-2000 Tahap V Pasca 2000
3.3. Sejarah Pengaturan Norma Hak Asasi Manusia di Indonesia
3.3.1. Sejarah Keberadaan Hak Asasi Manusia di Indonesia
Sejarah pengaturan hak asasi manusia sebagai norma di Indonesia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode sejarah ketatanegaraan, terbagi menjadi empat tahapan:
Selama periode awal sampai periode awal bangkitnya Orde Baru perjuangan untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius. Namun demikian pada periode-periode tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Selanjutnya, wacana hak asasi kembali menguat pada periode Orde Reformasi. Periode ini diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Pada akhirnya hak asasi manusia diterima sebagai bagian dari norma konstitusi dan norma hukum dengan diaturnya hak asasi manusia dalam peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia (Rhona K. M. Smith, et.al. 2008).
A. Periode Awal Perdebatan Hak Asasi Manusia
Pada waktu menyusun konstitusi, UUD 1945, terjadi perdebatan pengaturan hak warga negara dalam UUD yang akan disusun, Soekarno dan Supomo mengajukan pendapat
Periode awal perdebatan hak asasi manusia (Mulai Tahun 1945) Periode Konstituante (1957-1959) Periode awal Orde Baru (1966-1968) Periode reformasi (1998-2000)
bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut merupakan tonggak penting dalam perdebatan mengenai hak asasi manusia di Indonesia. Perdebatan ini memberi pijakan bagi perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya.
Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara yang tidak berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan perlindungan hak warga negara yang berasal dari revolusi Perancis merupakan dasar dari faham liberalisme dan individualisme. Paham ini menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada asas kekeluargaan atau gotong royong, maka tidak perlu ada jaminan terhadap hak warga negara di dalamnya. Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal UndangUndang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang menurutnya cocok dengan sifat dan corak Masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongan.
Sebaliknya, Hatta berpandangan bahwa pencantuman hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi untuk membatasi kekuasaan negara sehingga tidak terjebak dalam otoritarianisme. Pandangan senada juga disampaikan Yamin bahwa pengaturan hak asasi manusia dalam UUD merupakan upaya perlindungan kemerdekaan dan kebabasan warga negara. Mereka sangat menyadari bahaya otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila dalam negara hendak didirikan itu tidak memberikan jaminan terhadap hak warga negara.
Perdebatan di atas berakhir dengan suatu kompromi dengan diterima untuk dicantumkannya hak asasi manusia dalam UUD, namun pencantuman tersebut terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih lanjut akan diatur oleh undang-undang, tetapi juga dalam arti konseptual. Konsep yang digunakan dalam UUD adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human
rights). Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak
diakui paham natural rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of rights”, bukan sebagai “guardian of human
rights” sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan Internasional Hak Asasi Manusia
(Rhona K. M. Smith, et.al. 2008).
B. Periode Perdebatan Hak Asasi Manusia di Konstituante
Perdebatan mengenai hak asasi manusia muncul kembali sebagai upaya untuk mengoreksi kelemahan dalam UUD 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural rights dan menganggapnya sebagai substansi UUD. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi.
Namun kemudian, Konstituante dibubarkan oleh Presiden Soekarno, akibatnya kesepakatankesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia. Pembubaran Konstituante tersebut diikuti oleh tindakan Presiden Soekarno saat itu mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk kembali ke UUD 1945 yang selanjutnya dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan adanya dekrit tersebut, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui dalam Konstitusi RIS dan UUDS 1950 menjadi mundur kembali (Rhona K. M. Smith, et.al. 2008).
C. Periode Awal Orde Baru
Awal kelahiran rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam HakHak Asasi Manusia dan Hak-Hak serta Kewajiban Warga Negara”. Namun demikian, rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya penolakan pengesahan diajukan oleh fraksi Karya Pembangunan dan ABRI. Menurut mereka lebih tepat, apabila Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat sementara. Setelah MPR hasil pemilu tahun 1971 terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi sampai Pemerintahan Presiden Soeharto berakhir pada 1998 (Rhona K. M. Smith, et.al. 2008).
Pada masa Orde Baru, terdapat dua instrumen utama hak asasi manusia yang diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia seperti terlihat pada tabel di bawah ini.
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women/CEDAW);
UU No. 7 Tahun 1984
Tentang Pengesahan Convention On The
Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita)
Konvensi tentang Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child/CRC);
Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 Tentang Pengesahan Convention On The Rights of The Child (Konvensi Tentang Hak-Hak Anak)
D. Periode Orde Reformasi
Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia, namun pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD. Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal UUD juga muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia.
Hasil Pemilu 1999 mengubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik proreformasi mulai memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen UUD 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi manusia ke dalam UUD akhirnya berhasil dicapai. MPR sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal mengenai Hak Asasi Manusia dari pasal 28A-28J pada Amandemen Kedua UUD 1945 yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang tanggung jawab negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan (Rhona K. M. Smith, et.al. 2008).