• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

3. Data Sosial-Budaya, Ekonomi, dan Kelembagaan

a Demografi jumlah penduduk, kepadatan penduduk,

pertumbuhan penduduk, rasio jenis kelamin, tingkat pendidikan dan mata pencarian BPS Kabupaten Halmahera Tengah Data Sekunder

b Infrastruktur sarana dan prasarana pemukiman, pemerintahan, perekonomian, transportasi dan perbankan

Bappeda Kabupaten Halmahera Tengah Data Sekunder

Tabel 6 Lanjutan

c Perekonomi-

an

tingkat pendapatan, pola konsumsi, dan kesempatan kerja BPS Kabupaten Halmahera Tengah Data Sekunder

d Kelembagaan struktur pemerintahan mulai dari tingkat kabupaten/kota, kecamatan, kelurahan, desa, dan dusun, serta kelembagaan masyarakat dan kelembagaan adat

Bag Pemerintaha n Setda Kabupaten Halmahera Tengah Data Sekunder 4. Data Pendukung

a Citra Satelit Citra Landsat 7 ETM (liputan terakhir) BTIC / LAPAN

Data Sekunder

b Peta Peta Rupa Bumi, Peta Topografi, Peta

Batimetri, Peta LPI, Peta Wilayah Administratif, Peta Pemanfaatan Lahan (skala peta sesuai standar yang

seharusnya) Bakosurtanal , Dishidros TNI-AL, Bappeda Kabupaten Halmahera Tengah Data Sekunder c Buku Laporan

RTRW, Propeda, Renstra, Administrasi dan Pemerintahan, Kebijakan

Pembangunan Sektoral dan data lainnya yang terkait Bappeda, BPS, DKP, Instansi Terkait Data Sekunder

3.3 Metode pengumpulan data dan analisis 3.3.1 Idetifikasi dan inventarisasi

Metode pengumpulan data toponim pulau dapat dibagi menjadi 2 (dua) jenis yaitu data utama dan data pelengkap. Data utama berupa nama dan posisi pulau, sedangkan data pelengkap berupa kondisi fisik, ketersediaan infrastruktur, kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya sebuah pulau (Kaelan et al. 2003) .

Analisis data yang dilakukan meliputi analisis potensi biofisik (nama pulau, posisi geografis, wilayah administrasi, karakteristik pantai, vegetasi dominan). Pengolahan data posisi geografis pulau hasil survei dilakukan dengan cara pemberian nama berdasarkan petunjuk toponimi yaitu penamaan berdasarkan sejarah dan persepsi masyarakat setempat.

Metode penelitian yang digunakan untuk iventarisasi dan identifikasi adalah metode yang sesuai dengan ekosistem mangrove, ekosistem lamun dan terumbu karang. Ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang diamati dengan melakukan ground check lapangan menggunakan GPS (Global Positioning System) untuk mengetahui posisi ekositem mangrove, lamun dan terumbu karang. Metode pengambilan data potensi mangrove yang digunakan adalah metode observasi yaitu pengamatan secara langsung dan mengadakan pencatatan secara sistematis dengan menggunakan plot garis transek (transect line plots method) yang menyediakan informasi tentang deskripsi secara kuantitatif dari komposisi spesies, struktur komunitas dan persentasi penutupan hutan mangrove terhadap jenis pohon, jumlah pohon, dan indeks nilai penting mangrove (Khouw 2009). Dalam metode ini akan menghasilkan data primer yang sangat diperlukan dalam pengumpulan data.

Metode pengambilan data potensi ekosistem lamun dilakukan menurut Kordi (2011) yaitu untuk mengetahui permintakatan sebaran lamun atau struktur komunitas lamun, pada pengambilan sampel dapat digunakan metode garis transek (transect line method), informasi yang dihasilkan adalah komposisi jenis lamun, frekuensi, kerapatan, penutupan dan indeks nilai penting.

Metode pengambilan data potensi ekosistem terumbu karang dilakukan dengan teknik Line Intercept Transect – LIT (UNEP 1993), dengan ukuran transek 50 meter. Pengamatan ini menyediakan informasi tentang deskripsi secara kuantitatif dari persentase tutupan, keragaman jenis dan dominasi karang batu.

Identifikasi jenis mangrove dilakukan menurut Bengen (2002), sedangkan identifikasi jenis lamun dilakukan menurut Kordi (2011), serta identifikasi jenis terumbu karang dilakukan berdasarkan Yap and Gomes (1998).

3.3.2 Penentuan zonasi dan kesesuaian kawasan konservasi

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode pengamatan, pengukuran, dan ground check terhadap objek penelitian serta penggunaan kuesioner dan wawancara dengan stakeholders yang terkait dengan materi penelitian. Adapun data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari Bakosurtanal, Dishidros TNI- AL, Bappeda, Balitbangda, BPS dan instansi terkait, monografi (desa dan kecamatan), hasil penelitian, laporan LSM, stakeholders, serta data lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.

Data ekologi meliputi komponen fisik, kimia dan biologi yang diperuntukan sebagai kawasan ekominawisata bahari pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda. Data ekonomi meliputi data-data yang terkait dengan kegiatan pembangunan yaitu perikanan (tangkap dan budidaya) dan pariwisata (bahari dan pantai).

Data sosial meliputi jumlah penduduk, penyebaran, jenis kelamin, mobilitas penduduk, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan. Data kelembagaan meliputi kelembagaan formal dan non formal. Kelembagaan formal merupakan kewenangan yang dimiliki oleh instansi terkait sesuai undang-undang yang berlaku di Negara Republik Indonesia. Sedangkan kelembagaan non formal adalah adat istiadat yang berlaku di suatu daerah yang masih di pakai sampai saat ini.

- Analisis spasial

Dalam dimensi ekologis, penempatan setiap kegiatan pembangunan haruslah bersesuaian dengan ciri biologi-fisik-kimianya, sehingga terbentuk suatu kesatuan yang harmonis dalam arti saling mendukung satu sama lainnya. Untuk mencapai hal tersebut maka dibutuhkan analisis kesesuaian lahan dan analisis daya dukung lingkungan terhadap lahan yang akan dimanfaatkan.

Analisis spasial dilakukan terhadap kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi pesisir dan pulau-pulau kecil, dan kesesuaian lahan untuk minawisata bahari dengan kategori aktivitas seperti tersebut di atas. Basis data dibentuk dari data spasial dan data atribut, kemudian dibuat dalam bentuk layers atau coverage dimana menghasilkan peta-peta tematik dalam format digital sesuai parameter untuk masing-masing jenis kesesuaian lahan.

Setelah basis data terbentuk, analisis spasial dilakukan dengan metode tumpang susun (overlay) terhadap parameter yang berbentuk poligon. Proses overlay dilakukan dengan cara menggabungkan (union) masing-masing layers untuk tiap jenis kesesuaian lahan. Penilaian terhadap kelas kesesuaian dilakukan dengan melihat nilai Indeks Overlay dari masing-masing jenis kesesuaian lahan tersebut. Pengolahan data SIG dilakukan dengan menggunakan ArcGIS Version 10.

- Identifikasi kondisi eksisting

Identifikasi kondisi eksisting pesisir dan pulau-pulau kecil di Teluk Weda dapat dilakukan pada pulau-pulau kecil, mangrove, lamun dan terumbu karang, tergantung pada kawasan mana yang akan dikelola berdasarkan kriteria penetapan zonasi.

Dalam menentukan kriteria pulau-pulau kecil harus terlebih dahulu dilihat apakah pulau tersebut bergugus, pulau yang dekat dengan pulau daratan dan bukan pulau gugus. Pulau bergugus jika ada lebih dari satu pulau berdekatan dan bertipe sama dari segi geomorfologinya. Pulau yang dekat dengan pulau daratan biasanya mempunyai karateristik yang mirip dengan pulau daratan/pulau utama atau karakteristiknya banyak dipengaruhi oleh pulau utama, baik dari segi biofisik maupun sosial ekonominya. Sedangkan bukan pulau gugus adalah single island, terpisah dari pulau utama yang terdekat. Dalam penzonasian pulau gugus, harus dipandang satu kesatuan yang utuh, tidak bias masing-masing pulau.

Adapun kriteria konservasi di pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan menetapkan kriteria konservasi terhadap tiga ekosistem yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang yang terdapat di lokasi tersebut.

Kriteria konservasi mangrove yaitu memiliki beberapa parameter lingkungan untuk dapat tumbuh dengan optimal (KKP 2009). Adapun parameter lingkungan untuk mangrove tumbuh dengan optimal antara lain : Cahaya, Suhu, Pasang surut, Gelombang dan arus serta Salinitas.

KLH (2004), bahwa analisis data mangrove dilakukan dengan cara pengelompokan berdasarkan kepadatan vegetasi mangrove dengan menggunakan kriteria baku kerusakan mangrove ditetapkan berdasarkan persentase luas tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup. Kriteria baku kerusakan mangrove merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan dalam : Baik (Sangat Padat), Baik (Sedang), dan Rusak (jarang).

Tabel 7 Kriteria baku kerusakan mangrove

Kriteria Penutupan (%) Kerapatan Pohon/Ha

Baik Sangat Padat ≥ 75 ≥ 1500

Sedang ≥ 50 - < 75 ≥ 1000 - < 1500

Rusak Jarang < 50 < 1000

Sumber : Kepmen LH Nomor 51 Tahun 2004

Kriteria konservasi padang lamun yaitu memiliki persyaratan lingkungan untuk dapat tumbuh dengan optimal (KKP 2009). Adapun persyaratan lingkungan padang lamun adalah : Suhu, Kecepatan arus, Salinitas, Kecerahan, Substrat, dan Oksigen terlarut (DO)

KLH (2004), bahwa analisis data padang lamun dilakukan berdasarkan hamparan lamun yang terbentuk oleh satu jenis lamun (vegetasi tunggal) dan atau

lebih dari 1 jenis lamun (vegetasi campuran). Status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan. Kriteria baku kerusakan padang lamun adalah ukuran batas perubahan fisik dan atau hayati padang lamun yang dapat ditenggang. Kriteria baku kerusakan dan status padang lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup. Tabel 8 Kriteria baku kerusakan padang lamun

Tingkat Kerusakan Luas Areal Kerusakan (%)

Tinggi ≥50

Sedang 30 – 49,9

Rendah ≤ 29,9

Sumber : Kepmen LH No.51 Tahun 2004 Tabel 9 Status padang lamun

Tingkat Kerusakan Luas Areal Kerusakan (%)

Baik Kaya/Sehat ≥60

Rusak Kurang Kaya/Kurang Sehat 30 – 59,9

Miskin ≤ 29,9

Sumber : Kepmen LH No.51 Tahun 2004

Kriteria konservasi terumbu karang dibagi dalam dua kategori yaitu kriteria pendukung dan kriteria pembatas (KKP 2009). Kriteria pendukung konservasi terumbu karang adalah : coral cover (luas penutupan karang), coral diversity (keanekaragaman jenis), keunikan habitat, kealamian (tingkat degradasi), aksesibilitas lokasi, konektifitas dengan daerah konservasi lain yang paling berdekatan dan kelangkaan jenis.

Kriteria pembatasnya adalah aktifitas manusia, keamanan/keselamatan dan pencemaran. Faktor pembatas pertumbuhan karang adalah : persentase penutupan karang, suhu, salinitas, kecerahan, kedalaman, kecepatan arus dan substrat perairan.

KLH (2004), bahwa analisis data terumbu karang dilakukan berdasarkan status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria tertentu kerusakan terumbu karang dengan menggunakan persentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. Kriteria baku kerusakan terumbu karang adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan atau hayati terumbu karang yang dapat ditenggang.

Tabel 10 Kriteria baku kerusakan terumbu karang

Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang (%) Parameter

Baik Baik sekali 75 - 100 Presentase luas

tutupan Terumbu Karang yang hidup

Baik 50 – 74,9

Rusak Sedang 25 – 49,9

Buruk 0 – 24,9

Sumber : Kepmen LH Nomor 04 Tahun 2001

Keterangan : Persentase Luas Tutupan Terumbu Karang yang Hidup yang dapat ditenggang : 50 - 100%

- Analisis kesesuaian lahan

Analisis kesesuaian lahan yang akan dilakukan adalah kesesuaian lahan untuk kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil berdasarkan jenis konservasi yang akan ditetapkan, yaitu : a) suaka pesisir, b) suaka pulau kecil, c) taman pesisir dan d) taman pulau kecil.

Secara umum terdapat empat tahapan analisis yang akan dilakukan, yaitu (1) penyusunan peta kawasan, (2) penyusunan matriks kesesuaian setiap kegiatan yang akan dilakukan, (3) pembobotan dan pengharkatan, dan (4) melakukan analisis spasial untuk mengetahui kesesuaian dari setiap kegiatan yang akan dilakukan.