• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem paling depan yang berhadapan dengan laut adalah terumbu karang. Pada dasarnya terumbu terbentuk dari endapan-endapan masif kalsium karbonat (CaCO3), yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang mensekresi kalsium karbonat (Bengen 2002).

Tabel 3 Beberapa dampak dari kegiatan manusia terhadap ekosistem lamun

Kegiatan Dampak Potensial

Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan pemukiman pinggir laut, pelabuhan, industri, dan saluran navigasi

 Perusakan total padang lamun

 Perusakan habitat di lokasi pembuangan hasil pengerukan

 Dampak sekunder pada perairan dengan meningkatnya kekeruhan air, dan terlapisnya insang hewan ikan Pencemaran limbah industri

terutama logam berat, dan senyawa organoklorin

 Terjadinya akumulasi logam berat padang lamun melalui proses biological magnification

Pembuangan sampah organik cair (sewage)

 Penurunan kandungan oksigen terlarut

 Dapat terjadi eutrofikasi yang mengakibatkan blooming

perifiton yang menempel di daun lamun, dan juga meningkatkan kekeruhan yang dapat menghalangi cahaya matahari

Pencemaran oleh limbah pertanian

 Pencemaran pestisida dapat mematikan hewan yang berasosiasi dengan padang lamun

 Pencemaran pupuk dapat mengakibatkan eutrofikasi

Pencemaran minyak  Lapisan minyak pada daun lamun dapat menghalangi

proses fotosintesa

Sumber : Bengen 2002

Secara umum terumbu karang terdiri atas 3 (tiga) tipe yaitu terumbu karang tepi (fringing reef), terumbu karang penghalang (barrier reef) dan terumbu karang cincin atau atol. Terumbu karang tepi dan penghalang berkembang sepanjang pantai, namun perbedaannya adalah bahwa terumbu karang penghalang berkembang lebih jauh dari daratan dan berada di perairan yang lebih dalam dibandingkan dengan terumbu karang tepi. Terumbu karang cincin atau atol merupakan terumbu karang yang muncul dari perairan dalam dan jauh dari daratan.

Perkembangan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang dapat menjadi pembatas bagi karang untuk membentuk terumbu. Adapun faktor-faktor fisik lingkungan yang berperan dalam perkembangan terumbu karang adalah sebagai berikut : 1) Suhu air > 18oC, tapi bagi perkembangan yang optimal diperlukan suhu rata-rata tahunan berkisar antara 36- 40oC; 2) Kedalaman perairan < 50 m, dengan kedalaman bagi perkembangan optimal pada 25 m atau kurang; 3) Salinitas air yang konstan berkisar antara 30- 36o/oo; dan 4) Perairan yang cerah, bergelombang besar dan bebas dari sedimen.

Terumbu karang merupakan habitat bagi beragam biota dengan komposisi sebagai berikut : 1) Beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan kerang- kerangan, ekinodermata; 2) Beranekaragam ikan, 50-70% ikan karnivora oportunistik, 15% ikan herbivora dan sisanya omnivora; 3) Reptil, umumnya ular laut dan penyu; dan 4) Ganggang dan rumput laut, algae koralin, algae hijau berkapur dan lamun.

Peran terumbu karang khususnya terumbu karang tepi dan penghalang berperan penting sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak dan arus kuat yang berasal dari laut. Selain itu, terumbu karang mempunyai peran utama sebagai habitat, tempat mencari makan, tempat asuhan dan pembesaran, tempat pemijahan bagi berbagai biota yang hidup di terumbu karang atau sekitarnya.

Terumbu karang dapat dimanfaatkan baik secara langsung maupun tidak langsung antara lain : 1) Sebagai tempat penangkapan berbagai jenis biota laut konsumsi, dan berbagai jenis ikan hias; 2) Bahan konstruksi bangunan dan pembuatan kapur; 3) Bahan perhiasan; dan 4) Bahan baku farmasi.

Kegiatan manusia dalam pemanfaatan ekosistem terumbu karang memberikan dampak yang besar terhadap kerusakan terumbu karang (Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Dampak kegiatan manusia pada ekosistem terumbu karang

Kegiatan Dampak Potensial

 Penambangan karang

dengan atau tanpa bahan peledak

Perusakan habitat dan kematian masal hewan terumbu

 Pembuangan limbah

panas

Meningkatnya suhu air 5-10oC di atas suhu ambient,

dapat mematikan karang dan biota lainnya

 Pengundulan hutan di

lahan atas

Sedimen hasil erosi dapat mencapai terumbu karang di

sekitar muara sungai, sehingga mengakibatkan kekeruhan yang menghambat difusi oksigen ke dalam polip

 Pengerukan di sekitar

terumbu karang

Meningkatnya kekeruhan yang mengganggu

pertumbuhan karang

 Kepariwisataan Peningkatan suhu air karena buangan air pendingin dari

pembangkit listrik perhotelan

Pencemaran limbah manusia yang dapat menyebabkan

eutrofikasi

Kerusakan fisik karang oleh jangkar kapal

Rusaknya karang oleh penyelam

Koleksi dan keanekaragaman biota karang menurun

 Penangkapan ikan hias

dengan menggunakan bahan beracun (misalnya Kalium Sianida)

Mengakibatkan ikan pingsan, mematikan karang dan

biota avertebrata

 Penangkapan ikan

dengan bahan peledak

Mematikan ikan tanpa diskriminasi, karang dan biota

avertebrata yang tidak bercangkang (anemon)

Sumber : Berwick 1983 in Dahuri et al. 2001; Dutton et al. 2001 in Bengen 2002 2.7 Penataan Ruang (Zonasi)

Zonasi adalah suatu bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam ekosistem pesisir.

Zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan yang spesifik; pembagian suatu wilayah khusus ke dalam beberapa kawasan (zona) dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan khusus (Clark 1977). Penataan ruang (zonasi) merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis ke dalam subwilayah, dimana setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus.

Kay and Alder (2005) zonasi didasarkan pada konsep pemisahan dan pengontrolan pemanfaatan yang tidak sesuai secara spasial, yang diterapkan dalam berbagai situasi dan dapat dimodifikasi untuk disesuaikan dengan berbagai lingkungan ekologi, sosial ekonomi dan politik. Sebagian ahli berpendapat bahwa zonasi adalah pembagian kawasan (lindung dan budidaya) berdasarkan potensi dan karakteristik sumberdaya alam untuk kepentingan perlindungan dan pelestarian serta pemanfaatan guna memenuhi kebutuhan manusia secara berkelanjutan. Penataan ruang merupakan kegiatan yang cukup kompleks karena bersifat multi sektor, multi proses, dan multi disiplin. Aspek yang harus dikaji dalam penyusunan tata ruang pesisir pulau-pulau kecil, yaitu aspek ekologi (biofisik), sosial ekonomi, budaya dan kebijakan. Dalam kaitan dengan sistem pengelolaannya, penataan sistem zonasi Taman Nasional yaitu pembagian ruang berdasarkan peruntukan dan kepentingan pengelolaan, seperti zona inti, pemanfaatan dan zona lainnya sesuai peruntukannya. Pada prinsipnya, sistem zonasi adalah pengaturan ruang untuk mengatur/mengelola jenis-jenis kegiatan manusia di dalam kawasan, sehingga dapat saling mendukung dan diharapkan dapat mengakomodasikan semua kegiatan masyarakat di sekitar kawasan.

Kawasan Konservasi Perairan didefinisikan sebagai kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Pengertian KKP menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang perikanan serta perubahannya (Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009) dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang konservasi sumberdaya ikan, paling tidak memuat dua hal penting yang menjadi paradigma baru dalam pengelolaan konservasi. Pertama, Pengelolaan KKP diatur dengan sistem zonasi. Empat pembagian zona yang dapat dikembangkan didalam KKP yakni zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Zona perikanan berkelanjutan tidak pernah dikenal dan diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1998. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi yang selama ini menjadi kewenangan pemerintah pusat, Berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 serta Permen KKP Nomor 02 Tahun 2009, pemerintah daerah diberi kewenangan dalam mengelola kawasan konservasi diwilayahnya. Hal ini sejalan dengan mandat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang pemerintahan daerah terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi.

Terkait dengan pembangunan pesisir dan pulau-pulau kecil melalui Undang- Undang 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, pemerintah telah mengatur bahwa pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya dilakukan berdasarkan kesatuan ekologis dan ekonomi secara menyeluruh dan terpadu dengan pulau besar di dekatnya serta diprioritaskan untuk salah satu atau lebih kepentingan : konservasi; pendidikan dan pelatihan; penelitian dan pengembangan; budidaya laut; pariwisata; usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari; pertanian organik, dan/atau; peternakan.

Penetapan KKP merupakan salah satu upaya konservasi ekosistem yang dapat dilakukan terhadap semua ekosistem, yaitu terhadap satu atau beberapa tipe ekosistem penting untuk dikonservasi berdasarkan kriteria ekologis, ekonomi dan sosial budaya. Konservasi saat ini telah menjadi tuntutan dan kebutuhan yang harus dipenuhi sebagai harmonisasi atas kebutuhan ekonomi masyarakat dan keinginan untuk terus melestarikan sumberdaya yang ada bagi masa depan. Data direktorat konservasi kawasan dan jenis ikan (KKJI) menyebutkan bahwa sampai akhir tahun 2010 tercatat 13,9 juta hektar kawasan konservasi perairan laut di Indonesia.

Salm and Clark (1982), pemilihan Marine Protected Area bergantung pada tujuan pembentukannya yaitu: (1) tujuan sosial, pengembangannya untuk rekreasi, pendidikan dan penelitian serta peninggalan sejarah dan situs budaya, kriterianya ditekankan pada faktor keselamatan; (2) tujuan ekonomi, perhatian utama pada perlindungan wilayah pesisir, pemeliharaan perikanan atau pengembangan wisata dan industri yang sesuai, kriteria ditekankan pada intensitas eksploitasi sumberdaya, memiliki potensi nilai ekonomi dari sumberdaya serta tingkat ancaman terhadap sumberdaya yang ada; dan (3) tujuan ekologi, seperti pemeliharaan keragaman genetik, proses ekologis, pemulihan kembali species, kriteria ditekankan pada keunikan, keragaman dan sifat alamiah lokasi.

Salm (2000), bahwa daerah perlindungan laut dapat membantu mewujudkan tiga tujuan utama dari konservasi sumberdaya alam (IUCN, 1980) yaitu : (1) mempertahankan proses ekologi yang penting dan sistem pendukung kehidupan; (2) mempertahankan keanekaragaman genetik dan; (3) Menjamin pemanfaatan spesies dan ekosistem yang berkelanjutan. Kawasan konservasi perairan dapat berperan dalam mempertahankan biodiversitas, genetik diversitas, ekosistem dan proses ekologi, menjamin pemanfaatan sumberdaya berkelanjutan; melindungi spesies ekonomis; mengembalikan stok yang hilang; pendidikan dan penelitian; memberikan perlindungan dari bencana alam; menjadi tujuan rekreasi dan pariwisata; dan memberikan keuntungan sosial dan ekonomi.

Pengelolaan kawasan konservasi berdasarkan pada sistem zonasi yang ada di dalamnya meliputi zona inti, zona perikanan berkelanjutan, zona pemanfaatan dan zona lainnya. Pada zona inti, umumnya diberlakukan no-take zone atau penutupan area dari berbagai macam kegiatan eksploitasi. Pembuktian ilmiah sudah cukup kuat menyatakan bahwa KKP dengan suatu kawasan no-take zone yang cukup substansial di dalamnya menyebabkan peningkatan biomass ikan, ukuran ikan yang lebih besar, dan komposisi spesies yang lebih alami. Misalnya KKP di St. Lucia yang terdiri dari 5 KKP yang berukuran kecil, diketahui telah meningkatkan hasil tangkapan nelayan tradisional antara 40-90%, sementara kawasan perlindungan laut di Merrit Island National Wildlife Refuge (Florida) telah meningkatkan persediaan jumlah dan ukuran ikan bagi pemancing rekreasional di perairan sekitarnya sejak tahun 1970an (Robert and Hawkins 2000 in Wiadnya et al. 2005).

Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona, yaitu :

1. Zona inti atau perlindungan.

Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya dapat mentolerir sangat sedikit

aktifitas manusia. Zona ini harus dikelola dengan tingkat perlindungan yang tinggi, serta tidak dapat diizinkan adanya aktifitas eksploitasi.

2. Zona penyangga.

Zona ini bersifat lebih terbuka, tapi tetap dikontrol, dan beberapa bentuk pemanfaatan masih dapat diizinkan. Penyangga di sekeliling zona perlindungan ditujukan untuk menjaga kawasan konservasi dari berbagai aktifitas pemanfaatan yang dapat diganggu, dan melindungi kawasan konservasi dari pengaruh eksternal.

3. Zona pemanfaatan.

Lokasi di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu, tapi dapat mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia, dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diizinkan dalam suatu kawasan konservasi. Penzonasian tersebut di atas ditujukan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi, sebagaimana sasaran kawasan konservasi di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil.