• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: METODE PENELITIAN

GAMBARAN UMUM PERAN DAYAH DI ACEH

B. Model Pendidikan Dayah 1. Dayah Tradisional

2. Dayah Modern

Secara historis modernisasi sudah mulai dilakukan sejak abad ke-19 di Indonesia. Modernisasi ini terpengaruh oleh sistem pendidikan yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial Belanda

pada paruh abad ke-19 M. Hal ini bermula dengan adanya perluasan kesempatan pribumi untuk mendapatkan pendidikan, sebagai akibat penerapan politik etis. Program ini dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan mendirikan sekolah-sekolah rakyat atau sekolah nagari.34

Pasca-kemerdekaan, upaya untuk memodernisasikan dayah mulai dilakukan. Di Jawa Timur muncul Pesantren Modern Darussalam Gontor, Azzaitun Indramayu, di Padang lahir Diniyah Puteri Padang Panjang,35di Aceh lahir Dayah Inshafuddin, dan lain-lain. Dayah modern sekarang ini semakin diminati oleh masyarakat desa dan kota. Karena masyarakat berasumsi bahwa dayah modern lebih menjanjikan anak-anak mereka setelah tamat nanti, minimal memudahkan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.

Dayah modern berupaya mengintegrasikan sistem tradisional dan modern ke dalam dayah. Pada dayah ini selain mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam dan kitab-kitab klasik, mereka juga mengajarkan ilmu pengetahun umum sebagaimana yang diajarkan pada sekolah umum. Sementara model pembelajaran bukan menggunakan sistem halaqah, akan tetapi sistem kelas. Dikotomi ilmu agama dan umum ditiadakan,36 dan kedua bidang ilmu (umum dan agama) sama-sama diajarkan sesuai porsi yang ditetapkan oleh dayah dalam setiap semester.

34

Anik Farida dkk, Modernisasi Pesantren (Jakarta: Depag RI Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), h. 3

35Anik Farida dkk, Modernisasi,…., (2007), h.3.

36KH. Abdullah Syukri Zarkasyi, Manajemen Pesantren Pengalaman Pondok

Dayah modern adalah anti-tesa dari dayah tradisional. Sistem ini dipopulerkan pertama kali oleh Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo,37 kemudian diduplikasi oleh pesantren/dayah lain di seluruh Indonesia.38Pada dayah modern muatan kurikulum selalu berupaya membuka wawasan santri melalui mata pelajaran tertentu seperti dalam kelompok bidang studi Dirasah Islamiyah, yang konten luasnya memaparkan sejarah, doktrin, isme, fenomena dan dinamika keagamaan di dunia. Materi ini sangat substansial, karena santri diajak untuk melihat dan memikirkan berbagai perbedaan mendasar dalam agama-agama lain di dunia. Selain kurikulum, beberapa hal lain juga perlu diperhatikan seperti perpustakaan, internet, majalah, jurnal ilmiah serta sarana olah raga yang memadai. Termasuk memberikan kebebasan kepada santri untuk

37Akar kemoderan PM Gontor dapat di lihat dari latar belakang pendidikan para pendiri dan penerus kepemimpinan PM Gontor. Sebagai generasi pertama: (1) K.H. Ahmad Sahal, (2) K.H. Zainuddin Fananni, dan (3) K.H. Imam Zarkhasyi, mereka pernah mengenyam pendidikan modern Belanda, Pendidikan Islam Tradisional dan Pendidikan Modern. Ketiga latar pendidikan yang berbeda tersebut kemudian mewarnai karakter pendidikan dan pengajaran di PM. Gontor. Sementara generasi penerus (kepemimpinan kolektif) terdiri dari (1) K.H. Shoiman Lukmanul Hakim, (2) K.H. Abdullah Syukri Zarkhasyi, (3) K.H. Hasan Abdullah Sahal, (4) K.H. Imam Badri, dan (5) K.H. Syamsul Hadi Abdan. K.H. Abdullah Syukri Zarkhasyi, Manajemen

Pesantren,…, (2005), h. 55.

38Nilai yang mendasari Pondok Modern Gontor yang banyak diadopsi oleh pesantren lain yaitu nilai esensial dan nilai instrumental. Nilai esensial adalah nilai yang

tertanam dalam “Pancajiwa” terdiri dari (1) Jiwa keiklasan, (2) Jiwa kesederhanaan, (3)

Jiwa kesanggupan menolong diri sendiri atau berdikari, (4) Jiwa ukhuwah diniyah yang demokratis antar santri, dan (5) Jiwa bebas. Sementara nilai instrumental yang di tanamkan di PM. Gontor adalah nilai-nilai yang dikonstruksi dari abstraksi berbagai konsep, pemikiran, dan motto para pendiri pesantren. Nilai-nilai tersebut terakumulasi menjadi falsafah dan motto kelembagaan, falsafah dan motto kependidikan, serta falsafah dan motto pembelajaran. K.H. Abdullah Syukri Zarkhasyi, Gontor & Pembaharuan

mengembangkan kemampuan diri sesuai minat dan bakat yang dimiliki oleh santri.39

Adapun metode pembelajaran yang diterapkan pada dayah modern pada umumnya antara lain:

1. Umumnya memakai sitem klasikal.

2. Ilmu umum dan agama sama-sama dipelajari.

3. Penekanan pada bahasa asing Arab dan Inggris percakapan. 4. Penguasaan kitab kuning kurang.

5. Sebagian memakai kurikulum sendiri seperti Gontor. Sedangkan sebagian yang lain memakai kurikulum pemerintah.

Selain metode belajar mengajar seperti di atas, pada dayah modern ditanamkan kebiasaan yang menjadi ciri khas dayah modern antara lain:

1. Lebih disiplin dan lebih agresif.

2. Mirip dengan sistem militer, santri senior mendominasi. Kekerasan menjadi budaya dalam memberi sanksi pada santri yunior.

3. Sopan santun agak kurang setidaknya menurut standar pesantren salaf.

4. Pendaftaran dengan sistem seleksi sehingga tidak semua calon santri diterima.

5. Biaya masuk umumnya lebih tinggi dari pesantren salaf.

6. Ada daftar ulang setiap tahun layaknya sistem administrasi di sekolah.

39

7. Secara finansial lebih tercukupi karena biaya relatif tinggi dibanding salaf.

Sementara out put yang dihasilkan dari para santri pada umumnya adalah:

1. Pintar berbahasa Arab percakapan tapi kurang dalam

kemampuan penguasaan literatur kitab kuning karya para ulama salaf.

2. Kemampuan membaca kitab gundul kurang.

3. Kemampuan memahami Alquran dan tafsirnya kurang.

4. Kemampuan dan pengetahuan tentang hadis dan ilmu hadis kurang.

5. Kemampuan dalam ilmu fikih dan ushul fiqih sangat kurang. 6. Kemampuan ilmu gramatika Bahasa Arab seperti nahwu,

sharaf, balaghah, dan mantiq.40 3. Dayah Manyang

Dayah manyang nama lain dari Dirasatul Ulya dalam masyarakat Aceh bukanlah sebuah istilah baru, istilah dayah

manyang sudah pernah ada sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda dengan Jami’ Baiturrahman yang menawarkan

berbagai disiplin ilmu kepada masyarakat saat itu.41 Pada masa Syaikh Abdurrauf As-Singkili selaku qadhi qudhah, yakni

pemegang hukum dan fatwa, untuk pemerintahan empat ratu, Mesjid Raya Baiturrahman dijadikan pusat perkembangan ilmu

40“Beda Pondok Modern, Pesantren Salaf dan Ponpes Salafi”, Pondok Pesantren

Al-Khoirot.com. 25 Januari 2015. Akses 5 April 2016. 41

pengetahuan, barbagai ilmu dikaji dan diajarkan kepada masyarakat. Ilmu-ilmu yang diajarkan diklasifikasikan ke dalam bentuk fakultas-fakultas yang juga diistilahkan dengan “Dar” atau “al-Kulliyah” yang meliputi:

1. Dar al-Tafsir wa al-Hadis/Fakultas Ilmu Tafsir dan Hadis 2. Dar al-Tarikh/Fakultas Ilmu Sejarah

3. Dar al-Hisab/Fakultas Ilmu Pasti

4. Dar al-Wizarah/Fakultas Ilmu Pemerintahan 5. Dar al-‘aqli/Fakultas Ilmu Eksat

6. Dar al-Ahkam/Fakultas Ilmu Hukum 7. Dar al-Zira’ah/Fakultas Ilmu Pertanian 8. Dar-al-Siasah/Fakultas Ilmu Politik 9. Dar al-Falsafah/Fakultas Ilmu Filsafat

10. Dar Khazanah Bait Al-Mal/Fakultas Ilmu Perbendaharaan Negara

11. Dar al-Ardhi/Fakultas Ilmu Pertambangan 12. Dar al-Nahw/Fakultas Ilmu Bahasa

13. Dar al-Mazahib/Fakultas Ilmu Perbandingan Mazhab 14. Dar al-Harb/Fakultas Ilmu Peperangan

15. Dar al-Thib/Fakultas Ilmu Kedokteran42

Klasifikasi disiplin ilmu yang diajarkan pada dayah manyang mesjid Raya Baiturrahman pada saat itu menunjukkan bahwa dayah menjadi lembaga pendidikan yang hebat karena telah mampu

42Ajidar Matsyah, “Menata Masa Depan Kurikulum Dayah”, Makalah Seminar,

Mendesing Dayah 2050: Mencari Format Dayah yang Tahan Zaman (Banda Aceh 26

melihat dunia secara komprehensif dengan semangat intelaktual

teungku dan intelektual dayah sangat dinamis dan konstektual sesuai

dengan dinamika perkembangan masyarakat Aceh. Adapun para guru besar didatangkan dari Arab, Turki, Persia, India, serta dari Aceh itu sendiri. Pada saat itu terdapat 40 guru besar yang mengajar di dayah manyang Baiturrahman. Keunggulan sistem dan ilmu yang diajarkan telah menjadikan Dayah Manyang Baiturrahman sebagai pusat ilmu dan peradaban yang terbesar di Asia Tenggara.43

Untuk mengembalikan kehebatan dayah manyang pada era sultan terdahulu, di akhir tahun 1960-an pemerintah Provinsi Istimewa Aceh kembali menggagas berdirinya dayah manyang, maka sebagai langkah awal didirikanlah Dayah Manyang Pante Kulu, tetapi dalam perjalanannya tidak berjalan dengan baik, sehingga Dayah Manyang Pante Kulu kemudian diubah menjadi perguruan Tinggi Pante Kulu, perubahan ini sekaligus menghapus sistem pendidikan dayah.44

Akhir-akhir ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah memberikan pengaruh dan dampak yang cukup signifikan bagi sebagian dayah di Aceh. Dunia pendidikan formal seperti universitas atau institut yang menyajikan pendidikan agama menjadi pilihan bagi santri-santri dayah setelah mereka memperoleh ijazah dayah. Fenomena ini telah menimbulkan kerisauan bahwa

43Muhibuddin Waly Al-Khalidy, “Dayah Manyang dalam Perspektif Ulama”, dalam, Kajian Tinggi Keislaman (Banda Aceh: Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat, Sekretariat Daerah Provinsi NAD, 2008), h. 190.

44Ismail Yakub, “Dayah Manyang”, dalam, Kajian Tinggi Keislaman (Banda

Aceh: Biro Keistimewaan dan Kesejahteraan Rakyat, Sekretariat Daerah Provinsi NAD, 2008), h. 178.

semakin banyak santri yang awalnya belajar pada dayah tradisional sebagai tempat untuk mencetak para teungku memilih meninggalkan dayah demi meraih gelar sarjana di perguruan tinggi. Kekhawatiran para teungku dayah ada yang datang dari perorangan, sampai melebar kepada organisasi sebagai wadah para teungku dayah (Inshafuddin, HUDA, dan organisasi lainnya). Hal ini yang kemudian melatar belakangi timbulnya gagasan dari beberapa

teungku untuk mendirikan kembali dayah manyang atau Mahad Aly

di Aceh.45

Dayah manyang, dalam kenyataannya telah ada dalam dunia Islam seperti disebutkan dengan istilah “Mahad” yaitu tempat berkumpulnya para santri yang sudah menamatkan sebagian kitab level tinggi. Mahad dalam bahasa Inggris disebut institut, walaupun pengertian umum sekali tetapi banyak perguruan tinggi menggunkan kalimat ini. Seperti Institut Agama Islam Negeri, dan Institut Ilmu Alquran.

Kehadiran dayah manyang diharapkan mampu menjawab berbagai persoalan sosial keagamaan dalam masyarakat serta mampu mengintegrasikan pendidikan agama dan pendidikan umum,

teungku-teungku terdahulu ternyata tidak saja ahli dalam bidang

agama, mereka ternyata ahli dalam bidang astronomi, pertanian, perkapalan, siasat perang, politik dan sebagainya.46 Realitas sekarang banyak teungku alumni dayah tidak mampu untuk menjadi

45Nuruzzahri, “Latar Belakang,…, (2008), h. 183-184.

46Wawancara dengan Fauzi Saleh, Alumni Dayah Gontor Ponorogo, Dayah BUDI Mekar, Jakarta, dan WD I Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Ar-Raniry, 3 Juni 2016.

narasumber untuk kegiatan-kegiatan bertaraf nasional apalagi internasional, mereka baru mampu pada tingkat regional. Padahal betapa banyak persoalan masyarakat secara nasional dan internasional membutuhkan pemikiran-pemikiran cerdas dari

teungku dayah, termasuk persoalan ekonomi umat Islam yang selalu

kalah dibandingkan dengan kemjuan perekonomian negara-negara Barat. Oleh karena itu, teungku dayah harus menyesuaikan program-program pemberdayaan dayah untuk masa yang akan datang. Sehingga teungku yang dihasilkan oleh dayah tidak hanya untuk kebutuhan regional, tetapi juga untuk level nasional dan internasional.

Selama ini dayah memang mempersiapkan alumnusnya menjadi teungku dengan kemampuan hebat, tetapi teungku yang dihasilkan belum mampu bersaing pada level tertinggi serta ilmunya belum diakui secara internasional, hal ini dikarenakan (1) bahasa yang dipelajari Bahasa Arab klasik (kitab kuning), bukan bahasa aktif, sehingga mereka tidak mampu berkomunikasi secara aktif dengan dunia luar. (2) kitab-kitab yang mereka pelajari selama ini adalah kitab warisan dari gurunya saat mereka mengaji di dayah, sehingga mereka sering terlihat tidak cukup referensi untuk menjawab berbagai persoalan kekinian. Untuk itu para santri dayah

manyang minimal harus memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Sudah punya kemampuan menguasai kitab-kitab level tinggi. 2. Telah dapat menguasai qawaid Bahasa Arab.

3. Mampu mendengarkan kuliah-kuliah yang diberikan oleh para guru besar dalam Bahasa Arab dan mampu mencatat serta mengambil kesimpulan atas kuliah yang diberikan.

4. Telah menamatkan kitab-kitab ushul fiqh, qawaid, tafsir ayatul

ahkam, dan kitab-kitab hadis lainnya.

5. Bersedia istiqamah dalam mengikuti pelajaran yang diterapkan oleh dayah manyang. Bahan pelajaran di dayah manyang didasarkan atas mempelajari kitab-kitab tertentu, baik dalam

mazhab Syafi’i atau perbandingan mazhab (empat mazhab).

Karena permasalah kemasyarakatan semakin lama semakin kompleks.47

Menurut Fauzi Saleh, dayah manyang yang ada di Aceh setidak-tidaknya harus memiliki empat karakteristik utama, yang meliputi: Pertama, menguatkan dasar teologi dalam pembelajaran. Artinya setiap peserta didik merupakan lanjutan dari dayah pendidikan menengah yang sudah mempuni pemahaman ketauhidan. Kekuatan teologi menjadi penting dalam rangka membingkai ragam keilmuan menjadi jembatan pengabdian kepada Allah Swt. Kedua, kekuatan ubudiyyah. Untuk ini, peserta didik (santri) sudah dibekali dengan pemahaman fiqh baik rubu’ ibadah, muamalah, jinayah dan

munakahat. Aspek ini memperkaya nuansa ruhiyyah dan jasadiyyah

serta pencerahan (enlightment) sosial dalam membina kehidupan yang adil, makmur dan sejahtera. Ketiga, kekuatan khuluqiyyah

(morality power). Pilar moralitas ini dalam konsep pendidikan Aceh

47

menjadi akar keilmuan sesuai dengan adegium pendidikan saat itu:

al-adabu fawqal ‘ilm (moralitas berada di atas posisi keilmuan).

Karena itu, pendidikan di Aceh harus diawali dengan penguatan unsur ini sehingga setiap peserta didik dicerahkan dengan pembelajaran Ta’lim al-Muta’allim, kitab masyhur dalam kalangan pelajar Aceh sebagai pembuka cakrawala pendidikan. Pembekalan kitab akhlak ini sangat penting bagi pelajar merespon fenomena masyarakat dengan dinamika perkembangan zaman yang sangat deskontruktif. Keempat, kekuatan keilmuan fardhu kifayah.

Kemampuan fardhu kifayah menjadi concern pendidikan di Aceh tempo dulu.48

Sebagai wujud dari cita-cita bagi kemajuan pendidikan Aceh ke depan, maka kurikulum yang diberikan kepada mahasiswa dayah

manyang harus berciri khas dayah, namun mampu menjadikan

mereka sebagai kader teungku yang mampu beradaptasi dengan pola kemajuan dan perkembangan zaman. Beberapa mata kuliah yang harus dipelajari oleh mahasiswa dayah manyang antara lain meliputi:

1. Mata Kuliah Dasar, terdiri dari bahasa Asing (Bahasa Arab dan Inggris), Filsafat Ilmu, Fiqh, Studi Alquran (ayat-ayat) Ahkam, Studi Hadis (hadis-hadis) Ahkam, Studi Sirah, Pemikiran Islam, dan Aqidah Islamiah.

48Fauzi Saleh, “Dayah Manyang Model Pendidikan Integratif Aceh”, Artikel

2. Mata Kuliah Konsentrasi, terdiri dari Fiqh, Ushul Fiqh, Nahwu,

Sharaf, Bayan, Maani, Badi’, ‘Arudh, Ilmu Lughah, Hadis, Qawaidul Fiqh, Tasauf, Logika, Asbabun Nuzul.

3. Mata Kuliah Pendukung, terdiri dari Metodologi Berpikir, Filsafat Ilmu, Metode Penelitian, Ilmu Falaq, Kaligrafi, Perbandingan Mazhab, Dakwah, Diskusi, Studi Kasus, Praktikum, Teknologi, Informasi Audio Visual, Active Learning,

Study Comparative. Ilmu Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu

Psikologi.

Untuk metode pembelajaran yang diterapkan di dayah

manyang terdiri dari empat metode, yaitu studi naskah, ceramah dan

dialog, diskusi, serta penulisan karya ilmiah dan seminar hasil penelitian.49