• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: METODE PENELITIAN

GAMBARAN UMUM PERAN DAYAH DI ACEH

D. Peran Dayah Dari Masa Ke Masa 1. Peran Pada Masa Kesultanan

3. Peran Pada Masa Kemerdekaan

Dayah merupakan lembaga pendidikan yang berperan penting dalam melanjutkan perjuangan serta menjaga keutuhan Bangsa Indonesia. Di Aceh semangat perjuangan rakyat banyak terpupuk melalui dayah, karena pemimpin dayah pada masa kolonial sekaligus sebagai pemimpin perang. Pasca kemerdekaan dayah secara terus menerus memberikan kontribusi melalui santri-santri terbaiknya kepada masyarakat, melalui merekalah transformasi ilmu pengetahuan agama dengan mudah dapat diterima oleh masyarakat. Di Aceh beberapa dayah telah mengambil peran cukup sigifikan dalam melahirkan kader-kader teungku yang siap memberikan pemahaman dan pengamalan ilmu agama kepada masyarakat. Dayah-dayah tersebut antara lain adalah Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan. Dayah ini mengalami perkembangan cukup

96Rusdi Sufi dan Agus Budi Wibowo, Aceh Menentang Penjajahan Asing (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2006), h. 128.

97M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik (Yogyakarta: Ceninnets, 2004), h. 54.

pesat saat dipimpin oleh Syeikh Muda Wali Al-Khalidy. Bukti pesatnya Dayah Darussalam diketahui dari banyaknya santri yang memilih belajar pada dayah ini. Kemudian mengenai lamanya santri belajar tidak ditentukan, dan sangat tergantung dari kemampuan santri bertahan. Bagi mereka yang sudah tamat belajar dari Dayah Darussalam, ketika kembali ke gampong masing-masing biasanya akan mendirikan dayah baru, dengan berdirinya dayah baru upaya pengkaderan teungku semakin cepat terjadi.

Tidak saja Dayah Darussalam yang banyak diminati oleh santri, Dayah MUDI Mesra Mesjid Raya Samalanga, Bireuen juga merupakan dayah besar yang banyak diminati oleh santri. Dayah ini sebelum kemerdekaan sudah berperan besar, sehingga tidak mengherankan apabila banyak teungku yang mengabdi di

gampong-gampong adalah alumni dari Dayah MUDI Mesra. Selain dua dayah

besar tersebut yang teletak di Pantai Selatan dan Utara. Di Pantai Barat juga terdapat dayah yang memiliki pengaruh besar bagi kehidupan keagamaan masyarakat, yaitu Dayah BUDI yang letaknya di Lamno. Dayah ini pada awal kemerdekaan hampir sama dengan dua dayah di atas, peran dari dayah ini pun cukup besar yaitu mendidik santri untuk menjadi penerus agama Islam kepada masyarakat. Santri dari Dayah BUDI pada umumnya berasal dari Pantai Barat, dan beberapa dari mereka berasal dari Pantai Utara dan pantai Timur Aceh.

Beberapa dayah di atas dan sejumlah dayah lain pada dasarnya telah berkontribusi besar dalam mendidik serta mengawal

agama masyarakat Aceh sejak awal kelahiran dayah sampai sekarang. Kontribusi dayah dan teungkunya yang besar tersebut merupakan khazanah dan kekayaan yang harus dihargai oleh bangsa ini.

Keutuhan dayah yang dapat dipertahankan berabad-abad di Aceh, mengalami kemunduran ketika republik ini mencapai kemerdekaan. Kemunduran yang paling dirasakan oleh dayah karena banyaknya agenda politik negara yang masuk ke dayah, banyaknya agenda politik tersebut ada yang berimplikasi langsung dan ada yang tidak langsung kepada dayah. Lembaga dayah yang sebelumnya sebagai tempat untuk mendidik serta melahirkan pemimpin perang, pemimpin pemerintahan, pemimpin politik. Pasca-kemerdekaan peran-peran tersebut mulai berkurang, bahkan pemerintah secara massif membatasi ruang gerak mereka dalam wilayah dayah saja. Hal ini tentu saja sangat merugikan dayah, mereka merasa ditipu oleh pemerintah sampai akhirnya mereka melakukan perlawanan kepada pemerintah republik melalui pemberontakan DI/TII.98 Kenyataan ini semakin mempertegas tesis C. Snouck Hurgronje bahwa untuk menguasai Aceh, para teungku harus dipisahkan dari umara.99 Dengan demikian teungku hanya berkutik dalam wilayah dayah saja karena peran administrasi pemerintahan sudah diurus oleh elite-elite di luar dayah. Fenomena ini kemudian semakin diperparah pada era pemerintahan Orde Baru, para teungku dayah

98Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum,…, (1990), h. 83-123.

99Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, “Membangun Jati Diri Ulama Aceh”,

dalam Ulama Dayah Pangawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. xiii.

banyak digiring dan dijadikan alat legetimasi untuk pemenangan partai penguasa pada setiap pemilu. Kondisi demikian tidak saja dirasakan oleh teungku di Aceh, tetapi dirasakan oleh seluruh pemuka agama lain di Indonesia, mereka mau tidak mau harus mengikuti selera pemerintah.100 Fenomena ini telah memaksa banyak teungku untuk memainkan peran ganda dalam masyarakat, di satu sisi mereka sebagai pemuka agama dan di sisi lain menjadi agen politik pemerintah.101 Menurut Kuntowijoyo politik kembar yang diterapkan oleh pemerintah Orde Baru, sama dengan apa yang diterapkan oleh pemerintahan Belanda di daerah jajahannya, yaitu antara toleransi dan kewaspadaan. Apabila aspek pertama diberikan keleluasaan, seperti dalam beribadah, maka pada aspek lain seperti berpolitik Belanda akan menekan semaksimal mungkin, dengan demikian masyarakat akan terus terkungkung oleh kebijakan politik yang diterapkan oleh Belanda.102 Peran ganda Belanda di atas, kemudian secara elegan diterapkan oleh pemerintahan Orde Baru di Aceh, di mana mereka menjadikan teungku sebagai alat politik untuk mendulang kemenangan-kemenangan pada setiap pemilihan umum. Padahal secara sosiologis keterlibatan teungku dalam kancah politik telah mendudukkan teungku menjadi elemen yang tidak lagi diperhitungkan lagi oleh masyarakat, sebab banyak kelakuan politikus tidak sesuai dengan kaedah tradisional masyarakat Aceh.

100Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh; Problem, Solusi

dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam

(Jakarta: Logos, 2003), h. 79.

101Nirzalin, Pergeseran Kekuasaan,…, (2003), h. 208.

102Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 197-198.

Dengan mendukung calon dan partai tertentu telah membuat teungku di mata masyarakat tidak lagi independen, mereka ternyata bisa dibeli dengan harga murah, padalah marwah keteungkuan sesorang tidak tertandingi nilai jualnya.

Menurut Sudirman Tebba, pergeseran peran teungku terjadi seiring dengan perkembangan peran-peran yang ada dalam masyarakat, terutama ketika masyarakat sedang berubah dari pola masyarakat tradisional menuju ke pola masyarakat modern. Dari tipe kepemimpinan polimorfik ke tipe kepemimpinan monomorfik, dari multifungsional ke monofungsional.103 Menurut Sri Suyanta, bahwa terjadinya pergeseran tipe-tipe tersebut juga diakibatkan oleh perubahan dan pergeseran peran teungku sendiri. Hal ini bisa saja sebagai konsekuensi logis dari adanya perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Dalam masyarakat tradisional, diferensiasi sosial kurang jelas, sehingga seorang teungku akan menjalankan peran sosial secara terbuka tanpa melihat spesifikasi bidang yang akan dikerjakan, mereka bisa saja berperan sebagai tukang, pembisnis, politikus atau peran sosial lainnya. Sementara dalam masyarakat modern, pembagian peran terjadi dengan jelas dan terstruktur dengan baik, sehingga tiap-tiap peran sosial mempunyai pemimpin.104

Teungku dan dayah meskipun mengalami beberapa perubahan,

namun tetap saja memiliki daya tarik tersendiri dalam masyarakat,

103Sudirman Tebba, Islam Orde Baru; Perubahan Politik dan Keagamaan (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993), h. 16.

104

karena bagaimanapun masyarakat masih terikat dengan teungku meskipun mereka sadar dan tahu bahwa di setiap gampong terdapat pemimpin administrasi formal yaitu keuchik, tetapi kehadiran

keuchik belum cukup, apalagi bagi masyarakat yang berpendidikan

rendah. Mereka benar-benar menggantungkan diri pada figur terpercaya dalam hal ini adalah teungku. Kemudian di

gampong-gampong rasa hormat terhadap teungku masih tetap tinggi. Pada gampong-gampong tertentu segala gerak pembangunan atau gerak

sosial lainnya harus dimusyawarahkan dengan teungku, mereka masih menganggap bahwa setiap perkataan teungku akan membawa berkah, maka tidak salah apabila diikuti. Malah ada persepsi yang terbangun dalam masyarakat, dengan mengikuti pendapat teungku maka akan terjamin keselamatan di dunia dan di akhirat, sebab

teungku dianggap orang yang jujur dan tulus membina masyarakat.105

Untuk memperkokoh eksistensi dayah dan peran teungku di era kemoderenan ini, maka dibutuhkan reformasi agar dayah sebagai lembaga yang melahirkan orang-orang jujur dan tulus tetap eksis di tengah kehidupan masyarakat Aceh. Sekarang tidak dapat dibantah bahwa kehebatan dayah tradisional semakin tertantang oleh hadirnya madrasah, dan sekolah. Lembaga-lembaga tersebut selain menerapkan kurikulum modern juga mendapat dana operasional dari pemerintah. Hal ini sangat berbeda dengan dayah tradisional yang hanya mengandalkan kurikulum tradisional dan bantuan seadanya

105M. Hasbi Amiruddin, Peranan Ulama,…, (2003), h. 29. Wawancara dengan Saifuddin, Sekcam, Kecamatan Samalanga, Kabupaten Bireuen, 21 September 2016.

dari pemerintah. Untuk mewujudkan kejayaan dayah sebagaimana jayanya dahulu, Pemerintah yang didukung masyarakat terus mendirikan dayah modern yaitu dayah yang memadukan kurikulum dayah tradisional dengan kurikulum modern. Dayah modern pertama yang lahir di Aceh adalah Dayah Bustanul Ulum Langsa pada 1985, kehadiran dayah ini tenyata mendapat respon positif dari masyarakat, kemudian diikuti oleh Dayah Jeumala Amal, Leung Putu, Pidie pada 1988, Dayah Samsudhuha di Dewantara, Aceh Utara, Dayah Modern Bambi, Pidie, Dayah Tgk. Syik Oemar Dyan, Indrapuri Aceh Besar, Dayah Fauzul Kabir, di Jantho Aceh Besar, Dayah Abu Lam U, di Ingin Jaya Aceh Besar, Dayah Al Manar, di Aceh Besar, Dayah Darul Ulum, dan Dayah Ruhul Islam Modal Bangsa, di Aceh Besar, Dayah Gontor 10 di Aceh Besar, dan sejumlah dayah modern lain yang tersebar di seluruh kabupaten kota di Aceh.106 Hadirnya sejumlah dayah modern tidak berarti bahwa dayah tradisional tidak lagi mendapat respon masyarakat. Beberapa dayah tradisional tetap menjadi magnet di tengah majunya pendidikan modern,107 Dayah Darussalam Labuhan Haji, Dayah MUDI Mesra Samalanga, Dayah BUDI Lamno, Dayah Ulee Titi Aceh Besar, Dayah Ibrahimiyah Seulimum, Aceh Besar, Dayah Darul Munawarah Bandar Dua, Pidie Jaya, Dayah Baitussabri

106Mujiburrahman, Ulama di Bumi,…., (2014), h. 37.

107Harus disadari juga bahwa beberapa dayah terkemuka di Aceh yang memiliki nilai historisitas tinggi terhadap spirit perjuangan bagi masyarakat Aceh dan Nusantara sekarang menjadi tempat ziarah bagi turis lokal, nasional dan internasional. Kamaruzzaman Bustamam-Ahmad, “Jejak Spirit Aceh”, dalam Bustami Abubakar (ed),

Ulama dan Politik Menyonsong Aceh Baru (Banda Aceh: LSAMA Bekerjasama dengan

Simpang Ulim Aceh Timur, Dayah Tanoh Mirah, Bireuen, serta Dayah Abu Panton di Aceh Utara masih tetap diminati oleh masyarakat.