• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: METODE PENELITIAN

GAMBARAN UMUM PERAN DAYAH DI ACEH

D. Peran Dayah Dari Masa Ke Masa 1. Peran Pada Masa Kesultanan

4. Peran Pada Masa Konflik

Dayah meskipun berada dalam suasana konflik tetap memberikan kontribusi terbaiknya bagi kemajuan masyarakat Aceh. Kontribusi nyata dari dayah sudah terlihat sejak awal berdirinya Kerajaan Aceh.108 Dayah melalui teungkunya sejak masa kerajaan telah berperan sebagai juru damai dalam setiap konflik. Syeikh Syamsuddin Al-Sumatrani misalnya yang pernah menjadi qadhi malikul adil pada masa Kerajaan Sultan Iskandar Muda dan Sultan Ali Mughayat Syah pernah ditunjuk menjadi juru runding perjanjian damai dan persahabatan dengan Kerajaan Inggris. Begitu juga dengan Syeikh Abdurrauf As-Singkili, yang pernah menjadi qahdi

malikul adil selama 50 tahun pada masa kepemimpinan beberapa

Sultanah Aceh, yaitu mulai dari ratu Sri Ratu Safiatuddin Syah (1050-1086 H/1641-1675), Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086-1088 H/1675-1678 M), Zakiyatuddin Inayat Syah ((1086-1088-1098 H/1678-1688 M), dan Sri Ratu Keumalatuddin Syah (1098-1109 H/1688-1699 M).109 Ketika menjadi mufti besar Syeikh Abdurrauf sering terlibat dalam urusan politik, khususnya dalam menyelesaikan situasi politik internal Kerajaan. Syeikh Abdurrauf As-Singkili dalam hal ini memainkan peran penting, misalnya ketika ada delegasi yang diutus oleh Syarif Mekkah ke Aceh pada masa

108A. Hasjmy, dkk, 50 Tahun Aceh Membangun,…(1995), h. 44.

109

Sultanah Zakiyyah al-Din.110 Kedatangan rombongan ini untuk menyelesaikan perdebatan di kalangan orang Aceh mengenai masalah kebolehan wanita sebagai pemimpin menurut Islam. Dalam hal ini, Syeikh Abdurrauf tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai masalah itu, hal ini tentu saja dapat dipahami bahwa Syeikh Abdurrauf mendukung kepemimpinan wanita. Kekuatan As-Singkili di mata rakyat saat itu sangat nyata, hal ini terbukti dari tidak ada satu kelompok oposan pun yang berani menyingkirkan kepemimpinan Ratu. Meskipun ada kelompok yang disebut oleh William Dampier sebagai Oronkeys (orang kaya) yang tinggal jauh dari istana mengangkat senjata menentang ratu dengan kekuatan pasukan sekitar 5 ribu atau 6 ribu orang menyerang ibu kota.111 Oposisi ini mengusung tuntutan agar kepemimpinan kerajaan dikembalikan kepada laki-laki.112 Perlu dicatat bahwa kejatuhan Sultanah bukan disebabkan oleh kekuatan penyerang dalam menjatuhkan kepemimpinan ratu, tetapi kejatuhan Sulthanah

diakibatkan oleh “fatwa” yang datang dari mufti Mekkah yang

menegaskan bahwa syariat Islam tidak membenarkan perempuan menjadi pemimpin Kerajaan Islam.113

110P.A. Husein Djajadinigrat, Kesultanan Aceh: Suatu Pembahasan Tentang

Sejarah Kesultanan Aceh Berdasarkan Bahan-bahan yang Terdapat dalam Karya Melayu, Teuku Hamid (terj) (Banda Aceh: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Daerah Istimewa Aceh, 1983), 60.

111William Dampier, Voyages and Descriptions, Vol. 2, Pt.1 (London: Printed for James Knapton, 1699), 139-140. Dalam Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan

Tradisi (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010).

112Amirul Hadi, Aceh: Sejarah, Budaya dan Tradisi (Jakarta: Pustaka Obor Indonesia, 2010), 129-130

113

Kehadiran Kerajaan-Kerajaan yang menghidupkan lembaga dayah di dalamnya seperti pada Kerajaan Peureulak dan Tamiang, di Aceh Timur, Samudra Pasai di Aceh Utara, Lingga di Aceh Tengah, Kerajaan Pedir di Pidie, Kerajaan Lamuri di Aceh Besar, dan Kerajaan Daya di Lamno.114 Di antara dayah-dayah yang pernah eksis saat itu antara lain Dayah Cot Kala di wilayah Aceh Timur, Dayah Seuruleu di wilayah Kerajaan Lingga (1012-1059 M), Dayah Blang Peuria di wilayah Kerajaan Samudra Pasai (1155-1233 M), Dayah Batu Karang di wilayah Kerajaan Tamiang, Dayah Lam Keuneu'eun di Aceh Besar (119-1225 M).115 Kemudian Dayah Tanoh Abee di Aceh Besar (1823-1836 M), dan Dayah Tiro di Pidie (1781-1795 M). Menurut Snouck Hurgronje bahwa beberapa dayah telah ada sebelum Belanda menginjak kakinya di bumi Aceh, seperti Dayah Ie Leubeue dan dayah Tiro, kedua dayah tersebut berada di Pidie. Dayah Lamnyong, Dayah Krueng Kale, Dayah Lamseunong, Dayah Tanoh Abee semuanya berada di Aceh Besar.116 Keberadaan dayah-dayah di atas sangat efektif dalam memberdayakan masyarakat Aceh yang hidup di tengah konflik dan peperangan dengan kaum penjajah (Portugis dan Belanda). Sebab pada saat itu roh perjuangan masyarakat Aceh lahir dari dayah, dan

teungku-teungku dayah tidak henti-hentinya memompa semangat rakyat

114Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan ,…(1972), h. 28-39.

115A. Hasjmy, "Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan”, Sejarah, Sinar

Darussalam, No. 63, Agustus/September, (1975), h. 8-9. H. Ismuha, Sejarah Perkembangan Pendidikan Agama di Aceh, Majelis Teungku Daerah Istimewa Aceh,

1978 (Kertas Kerja Seminar Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh).

116

melalui penyebaran ideologi prang sabi (perang sabil).117 Dengan ideologi perang sabil, teungku dengan mudah mengajak masyarakat untuk berperang mengusir penjajahan kafir Belanda di Aceh.118

Menurut M. Hasbi Amiruddin lamanya peperangan yang mencapai 60 tahun dengan Belanda telah memaksa teungku dayah mengubah strategi berperang, yaitu dari perang gerilya kepada pendirian organisasi massa. Organisasi-organisasi tersebut telah mengambil bentuk berbeda-beda, ada yang fokus dalam bidang agama, politik, sosial, serta pendidikan. Salah satu organisasi yang berpengaruh besar saat itu adalah PUSA.119 Pada awal berdiri, organisasi ini mendapat dukungan dari berbagai pihak termasuk di dalamnya dari uleebalang. Mengalirnya berbagai dukungan karena masyarakat menyakini bahwa organisasi ini mampu memberikan harapan besar bagi modernisasi pendidikan dan menegakkan perjuangan bagi kejayaan Islam dari rongrongan kolonial Belanda. Hal lain yang dapat menguatkan PUSA di mata masyarakat adalah tidak membenturkan paham-paham yang sudah berkembang dalam masyarakat Aceh, dan PUSA tidak memulai dengan perbedaan-perbedaan, akan tetapi mendasarkan diri pada nilai-nilai Islam. Sikap PUSA demikian ternyata bertentangan dengan sikap beberapa

uleebalang yang sangat pro terhadap Belanda. Oleh karena itu wajar

117Teuku Ibrahim Alfian, Berperang di Jalan Allah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 151.

118M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama,… (2004), h. 49.

119

apabila PUSA tidak mengajak uleebalang dalam rangka penyambutan Jepang untuk mengusir penjajahan Belanda.120

Kedatangan Jepang dimulai dengan pemberontakan besar di Seulimum, Aceh Besar pada Februari 1942. Pemberontakan ini digerakkan oleh Tgk. Abdul Wahab Seulimum, Teungku Hasballah Indrapuri, dan dibantu oleh para pemuda PUSA, termasuk di dalamnya A. Hasjmy dan T. Muhammad Ali Panglima Polem. Kemudian pemberontakan kedua terjadi di Calang pada awal Maret 1942. Dua pemberontakan ini telah menyebabkan Belanda kehilangan muka di Aceh, ditambah lagi oleh keberanian Jepang menerbangkan pesawat di atas langit dalam wilayah kekuasaan Belanda. Walaupun teungku telah mengundang Jepang ke Aceh untuk mengusir Belanda, bukan berarti Jepang dapat seenaknya berbuat kekejaman kepada rakyat Aceh. Teungku dalam hal ini tetap melakukan perlawanan kepada Jepang. Pemberontakan pertama digerakkan oleh Tgk. Abdul Jalil yang terkenal dengan perang Bayu. Kemudian pemberontakan kedua dilakukan oleh murid yang pernah belajar pada dayah Tgk. Abdul Jalil, mereka memiliki sikap yang sama dengan gurunya atas sikap Jepang yang memaksa masyarakat untuk membungkuk badanya sebagai penghormatan kepada matahari. Menurut mereka apa yang dilakukan oleh Jepang sangat

120Muhammad Rofai, Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh Fungsi dan

Organisasinya, (Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Aceh, 1979), h.

bertentangan dengan ajaran Islam sebagai ajaran yang teguh dianut oleh masyarakat Aceh.121

Pasca-kemerdekaan dayah semakin kehilangan eksistensinya, karena berbagai peran yang dulunya digenggam oleh dayah, malah semakin berkurang. Berkurangnya daya saing dayah antara lain diakibatkan oleh lahirnya model pembelajaran sekolahan dengan sistem dan kurikulum yang terukur dan terpola secara sistematis. Sementara pembelajaran di dayah tetap konsisten dengan model tradisionalnya tanpa ada sentuhan modernisasi apapun. Pola dayah yang demikian telah mengakibatkan dayah semakin tertinggal serta sulit bersaing dengan lulusan sekolahan. Persoalan lain yang dihadapi oleh dayah adalah mudah digoda oleh partai politik tertentu pada era Orde Baru untuk menyukseskan calon anggota DPRD maupun calon Bupati/Gubernur. Sikap demikian telah menyebabkan lembaga dayah berada dalam posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi dayah harus menjadi juru penerang atas segala persoalan keagamaan dalam masyarakat. Kemudian di lain sisi dayah terpaksa menjadi corong pemenangan partai tertentu dalam setiap pemilu. Fenomena demikian akan membuat dayah kehilangan roh di tengah masyarakat, padahal dayah dalam sejarahnya telah menjadi elemen penting bagi kehidupan masyarakat Aceh.

Keterpurukan dayah selain faktor-faktor di atas, faktor konflik juga telah menyeret dayah kepada kemunduran. Banyak agenda

121Nourouzzaman Shiddiqi, “The Role of Ulama During the Japanese

Occupation of Indonesia 1942-1945, Montreal: Tesis McGill University, 1975, h. 132, dalam M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama,…, (2004), h. 54.

yang seharusnya dapat diimplementasikan oleh dayah telah terhambat oleh konflik berkepanjangan. Dayah tidak dapat berkiprah secara bebas karena teungku-teungku dayah tidak dapat menjalankan misi agama secara terbuka karena dikontrol oleh sistem yang berlaku di Aceh sebagai daerah konflik. Di antara konflik yang menghambat gerak maju dayah antara lain adalah pemberontakan DI/TII 1953, serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM) (1976-2005). Dua konflik besar pasca- kemerdekaan tentu saja sangat disayangkan oleh masyarakat Aceh, walaupun alasan untuk melakukan pemberontakan berbeda-beda. Pemberontakan pertama terjadi atas sikap pemerintah yang membubarkan Provinsi Aceh ke Sumetera Utara melalui Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 5/1950, tanggal 1 Agustus 1950 tentang Pembentukan Provinsi Sumatera Utara yang wilayahnya termasuk Aceh, Sumatera Timur, dan Tapanuli. Penggabungan ini menurut para pemimpin Aceh akan semakin melemahkan Aceh untuk menerapkan syariat Islam.122 Padahal Presiden Soekarno dihadapan tokoh masyarakat Aceh tahun 1947 telah berjanji akan memberikan otonomi kepada daerah Aceh yang di dalamnya pelaksanaan syariat Islam.123 Dampak atas pemberontakan masyarakat Aceh kepada republik akhirnya pemerintah memberikan keistimewaan kepada Aceh dalam bidang

122

Dyah Rahmany P (ed), Rumoh Geudong Tanda Luka Orang Aceh (Darussalam Banda Aceh: Cordova, Institute for Civil Society Empowrment, 2001), h. 5.

123H.M. Thamrin Z dan Edy Mulyana, Leburnya Provinsi Aceh (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Nanggroe Aceh Darussalam, 2008), h. 129. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum,… (1990), h. 41.

pendidikan, adat, dan agama.124 Pemberian keistimewaan tersebut ternyata tidak ditunjang oleh aturan pelaksanaannya sehingga keistimewaan tidak banyak memberikan manfaat bagi daerah ini.

Tidak lama setelah pemberontakan DI/TII, pada 4 Desember 1976 Dr. Tgk. M. Hasan Di Tiro bersama pengikutnya memproklamirkan kemerdekaan Aceh karena merasa tidak puas dengan sikap pemerintah yang terus menerus menciptakan ketimpangan yang lebar di Aceh. Pemberontakan ini memiliki akar yang cukup kuat dengan pemberontakan sebelumnya. Asumsi ini dapat dibenarkan dengan melihat pada dua tesis utama. Pertama, Tgk. M. Hasan Di Tiro sebagai icon, pendiri dan pemimpin tertinggi GAM, sekaligus mantan Duta Besar Darul Islam di PBB. Kedua, isu yang diangkat oleh GAM merupakan isu yang pernah muncul sebelumnya, yaitu berkaitan dengan pelanggaran HAM, ketidakadilan ekonomi dan pembangunan, serta sistem pemerintahan negara yang korup dan tidak demokratis.125 Berbekal dari permasalah-permasalahan tersebut, maka lahirnya gerakan GAM sangat beralasan. Menurut Darmansjah Djumala bahwa gerakan GAM dapat di lihat dari tiga fase. Pertama, fase awal, ketika GAM masih merupakan sebuah kelompok kecil yang beranggotakan kira-kira 150 orang tetapi memiliki ideologi yang kuat. Mereka yang berada dalam kelompok ini terdiri dari orang-orang terdidik, seperti dokter, insinyur, akademisi, dan pengusaha. Angka ini melonjak

124Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum,… (1990), h.313.

125Muhammad Sahlan Hanafiah, Mediasi Konflik Aceh (Banda Aceh: Naskah Aceh & Ar-Raniry Press, 2013), h. 75-76.

pada 1978 menjadi 5000 pendukung yang siap dimobilisasi. Pada umumnya pendukung ini mantan anggota DII/TII yang dipimpin oleh Tgk. M. Daud Beureueh.126 Kedua, fase yang ditandai dengan kebangkitan kembali GAM pada 1989. Pada tahun ini banyak pemuda Aceh yang telah mengikuti pelatihan militer di Libya kembali ke Aceh dan bergabung dengan GAM. Dengan kembalinya pejuang-pejuang yang terampil secara militer ini GAM mulai mengkonsolidasikan organisasinya terutama pada daerah Aceh Besar, Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Para alumni Libya ini juga merekrut dan melatih ratusan anggota baru mengenai kemiliteran dengan demikian jumlah GAM semakin banyak. Sejak tahun itu perlawanan GAM kepada RI semakin meningkat dan telah memaksakan pemerintah pusat melancarkan operasi militer secara ofensif. Operasi tersebut terkenal dengan nama Operasi Jaring Merah, dan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Selama DOM ini militer Indonesia menjalankan operasi pembersihan penduduk desa dan kantong-kantong yang dicurigai membantu logistik dan perlindungan kepada gerilyawan GAM. Operasi ini dimaksud untuk memberikan efek jera kepada penduduk desa agar tidak memberikan dukungan kepada GAM.127Ketiga, fase berkurangnya perlawanan GAM sejak tahun 1991 akibat tindakan ofensif militer RI kepada GAM. Walaupun secara militernya

126Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2010), h. 159.

127Tim Kell, “The Roots of the Acehnes Rebellion, 1989-1992”, Ithaca, Cornell

Modern Indonesia Project, dalam, Kristean E. Schulze, The Free Aceh Movement (GAM):

Anatomy of Separatist Organization, Policy Studies 2, East-West Center, Washington,

gerakan GAM berkurang, namun GAM tetap eksis karena GAM masih memiliki pemimpin di pengasingan yang terus memperjuangkan kemerdekaan Aceh. Sekalipun secara fisik gerakan GAM jauh berkurang, namun tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer Indonesia justeru semakin meningkat terhadap Aceh. Fenomena inilah yang kemudian melahirkan generasi baru yang bersimpati kepada GAM. Generasi baru inilah yang kelak ketika Soeharto jatuh pada tahun 1998 menjadi motor penggerak bagi gerakan massa yang mendesak pemerintah untuk menyelesaikan konflik Aceh.128 Kedua pemberontakan ini telah meninggalkan luka mendalam bagi kedua belah pihak dan memakan korban dalam jumlah cukup banyak. Kedua pemberontakan tersebut secara implisit maupun eksplisit telah berimplikasi kepada banyak aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan dayah-dayah di seluruh Aceh.

Walaupun secara situasional lembaga dayah terganggu karena ruang geraknya terbatas akibat konflik, namun kiprah teungku dan santri di tengah masyarakat tetap berjalan. Bahkan banyak di antara mereka secara aktif menjadi juru damai melalui musyawarah dan

muzakarah yang mereka lakukan, seperti muzakarah yang dilakukan

pada 8-9 April 2005 oleh pihak teungku dayah yang hasilnya disampaikan kepada pemerintah RI dan pihak GAM, serta upaya-upaya lain sampai tercapainya perjanjian damai melalui MoU Helsinki.

128Darmansjah Djumala, Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik