• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran Pada Masa Pendudukan Belanda dan Jepang

BAB II: METODE PENELITIAN

GAMBARAN UMUM PERAN DAYAH DI ACEH

D. Peran Dayah Dari Masa Ke Masa 1. Peran Pada Masa Kesultanan

2. Peran Pada Masa Pendudukan Belanda dan Jepang

Teungku yang dulunya mengurusi dayah dan pendidikan umat

ikut terseret untuk memimpin perang ketika Belanda menduduki Aceh selama 40 tahun.76Penyerangan Belanda terhadap Aceh akibat dari penolakan Sultan Mahmud Syah sebagai penguasa Kerajaan Aceh Darussalam terhadap keinginan Belanda yang menginginkan agar Aceh takluk kepadanya. Sebagai dampak dari penolakan Sultan, maka pada 18 Februari 1973 Menteri jajahan Van De Putte atas nama pemerintahan Belanda di Nederland mengintruksikan kepada Gubernur Jenderal Lounden di Batavia agar penyerangan terhadap Aceh segera di mulai. Pada 5 April 1873 serangan Belanda pertama dipimpin oleh Manyor Jenderal Kohler dengan dukungan 3.200 pasukan dan ditambah 168 perwira.77 Pasukan Belanda mulai mendarat di Ulee Lhee, dengan demikian suatu peperangan kolonial resmi telah dimulai oleh pihak Belanda. Sebelum perang dimulai, Belanda telah memperhitungkan bahwa Aceh akan dapat ditaklukkan dalam waktu yang singkat, perkiraan tersebut ternyata meleset. Ketidaktepatan perhitungan tersebut karena Kraijenhoff sebagai utusan Belanda hanya melihat pada aspek politik dan ekonomi Aceh saat itu yang sedang lemah. Misi lain yang dilakukan Kraijenhoff selama tiga kali datang ke Aceh antara 1817-1872 atas nama persahabatan hanya melihat pada situasi pemerintahan Kerajaan Aceh yang lemah dan peralatan militer yang dimiliki oleh

76Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Aceh Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di

Sumatra, Terj. Pustaka Sinar Harapan (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 31. 77Muhammad Ibrahim, et al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Depdikbud, 1977/1978), h. 99.

Kerajaan sangat sedikit bila dibandingkan dengan yang dimiliki oleh Belanda. Kraijenhoff lupa menganalisis eksistensi kehidupan rakyat Aceh dari aspek sosial budaya dan agama yang melandasi aksi perlawanan rakyat.78

Penaklukan yang diperkirakan dapat berlangsung cepat mengalami kegagalan total, karena pasukan Belanda tidak mampu menghadapi perlawanan lasykar rakyat Aceh. Dalam pertempuran memperebutkan Mesjid Raya Baiturrahman 14 April 1873 pasukan Aceh di bawah pimpinan Teuku Imam Lueng Bata berhasil menewaskan pimpinan pasukan Belanda Jenderal Kohler.79 Tiga hari kemudian tentara Belanda terpaksa mundur kembali ke pantai, dan 29 April 1873 setelah mendapat izin dari pemerintah Belanda di Batavia mereka bersama seluruh pasukan kembali ke pulau Jawa. Dalam agresi pertama kerugian yang dialami oleh pihak Belanda sangat besar, dimana 37 bawahan dan 8 perwira mati, 405 orang luka-luka (termasuk 32 perwira). Dari 405 pasukan yang luka-luka tersebut, 30 orang diantara kemudian juga meninggal. Sedangkan dipihak Aceh diperkirakan sebanyak 900 orang ikut tewas dalam pertempuran tersebut.80

Setelah mengalami kekalahan besar pada agresi pertama, pemerintah Hindia Belanda ingin segera mengirimkan angkatan darat dan lautnya dalam jumlah yang besar. Pada 16 November 1873

78Rusdi Sufi, Kiprah Ulama Aceh Pada Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh, 2012), h. 37.

79M. Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2011), h. 62.

80Muhammad Ibrahim, at al, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Banda Aceh: Depdikbud, 1977/1978), h. 101.

agresi kedua segera dimulai yang dipimpin oleh Letnan Jenderal Van Swieten sebagai komandan pasukan, dan turut pula dua orang Jenderal lain yaitu Manyor Jenderal Verspijk dan Manyor Jenderal J.L.J.H Pel ditambah lagi dua orang Kolonel dan empat orang Letnan Kolonel di samping sejumlah Manyor dan Kapten yang sudah banyak pengalaman dalam berbagai pertempuran. Dengan mendaratnya pasukan Belanda di Gampong Leu’u (dekat Kuala Gigieng Aceh Besar) maka pada 9 Desember 1873 dimulailah agresi kedua Belanda terhadap Aceh.

Dalam menghadapi agresi Belanda kedua, lasykar rakyat Aceh begitu bersemangat. Hal ini disebabkan oleh kemenangan pertama dan mengalirnya bantuan dari daerah-daerah uleebalang. Dari Meureudu uleebalang mengirim 500 kekuatan, demikian juga dari Pantai Barat, terutama dari Meulaboh yang mengutus hampir setengah dari jumlah penduduk untuk ikut berperang. Sementara Tuanku Hasyim yang pada saat itu berada di Sumatra Timur kembali lagi ke Kutaraja dengan membawa 900 orang pasukan. Di tengah sengitnya pertempuran antara lasykar rakyat Aceh dengan Belanda, Panglima Sagi XII Mukim yang turut mengerahkan 500 orang pasukan untuk mempertahankan Mesjid Raya Baiturrahman dan Istana (Keraton). Tambahan pasukan dari Sagi XII belum mampu membuat pasukan Belanda mundur. Pada 6 Januari 1874 Mesjid Raya Baiturrahman berhasil dikuasai oleh Belanda setelah melakukan peperangan hebat selama 8 hari. Dalam pertempuran ini pasukan Aceh dipimpin oleh Tuanku Hasyim yang turut didampingi

oleh Tgk. Imum Leung Bata, dan Teuku Nanta Setia. Akibat gempuran hebat pasukan Belanda yang didukung oleh peralatan perang yang memadai sehingga mampu memukul mundur pasukan Aceh. Meskipun demikian, Tuanku Hasyim tetap mengatur pertahanan di Mesjid Raya untuk memperkukuh kubu pertahanan di Peukan Aceh dan Lambhuk serta menyusun pertahanan dalam Kraton.81

Pasukan Aceh walaupun kalah dalam jumlah persejataan, namun berkat semangat jihad fisabilillah yang dikobarkan oleh

teungku, rakyat terus bertempur melawan kaphe (kafir) Belanda.

Akibat tekanan Belanda dan jumlah korban berjatuhan di kedua belah pihak cukup banyak. Sultan Mahmud Syah dan Panglima Polem mundur ke Lueng Bata pada 13 Januari 1874. Istana (dalam) masih terus dipertahankan oleh pejuang Aceh, akibat kurangnya kerjasama dan koordinasi di antara pejuang Aceh akhirnya Istana Kerajaan dapat dikuasai oleh Belanda pada 24 Januari 1874 setelah terlebih dahulu dikosongkan. Ada pendapat yang mengatakan bahwa jatuhnya Istana disebabkan oleh pengkhianatan rakyat Meuraxa di tepi pantai dan juga datangnya musibah penyakit kolera.82 Tidak lama setelah perebutan istana Sultan Mahmud Syah pun mangkat di Pagar Ayer akibat serangan penyakit kolera dan dimakamkan di Cot Bada.

81H. Ismail Sofyan, dkk, Perang Kolonial Belanda di Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1977), h. 27.

82Teuku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 67-68.

Jatuhnya kraton menjadi malapetaka yang menyebabkan keadaan menjadi kacau. Dalam kondisi demikian para pejuang secara terus menerus melakukan pemusatan pikiran serta mengambil langkah-langkah strategis untuk meneruskan perjuangan. Salah satu langkah yang diambil adalah mengadakan musyawarah yang dihadiri lebih kurang 500 pemimpin pasukan dan sejumlah teungku. Musyawarah tersebut dipimpin oleh Tgk. Imum Leung Bata dan Tgk. Lamnga. Setelah para teungku memberikan penjelasan dan pendapat menurut hukum Islam, maka rapat memutuskan bahwa untuk mengusir kaphe (kafir) Belanda wajib prang sabi (perang sabil). Keputusan ini merupakan sumpah yang diucapkan secara bersama-sama dengan suara yang mengguntur.

Atas dasar wajib jihad yang diikrarkan secara bersama-sama, maka teungku menjadi aktif dan mengambil peran penting, baik sebagai pemimpin perang maupun sebagai pengawas perlawanan terhadap Belanda.83 Dalam sebuah dokumen tulisan tangan Arab Melayu dan memakai cap Kerajaan Aceh disebutkan bahwa pada hari Ahad 1 Muharram tahun 1290 Hijriyah telah bersumpah tiga orang pimpinan Aceh untuk tidak tunduk dan menyerah pada kekuasaan Belanda. Bila ada di antara seorang dari mereka yang tunduk, maka akan dikutuk (dimurka) oleh Tuhan Yang Maha Esa sampai kepada anak cucunya. Ketiga pimpinan tersebut adalah Tgk. Di Mulek Said Abdullah bin Sidi Alhabib Saifuddin, Tgk. Di

83

Ahmed I Jamalullail Ba Alawy Al Husainy, Paduka Banta Muda Tuanku Hasyim, dan Paduka Banta Keuchik Tuanku Mahmud.84

Menurut catatan Ismail Yakub, bahwa di Lamsie pernah juga diadakan musyawarah secara rahasia yang dihadiri oleh uleebalang, panglima, teungku, dan orang-orang terkemuka dalam wilayah XXII mukim termasuk di dalamnya Panglima Polem dan Tgk. Chik Abdul Wahab Tanoh Abee. Musyawarah itu dilakukan setelah wilayah Seulimum jatuh ke tangan Belanda. Dalam musyawarah itu dibicarakan berbagai macam langkah dalam menghadapi kafir Belanda yang terus menerus melakukan penetrasi sehingga telah melemahkan kekuatan rakyat Aceh. Dalam situasi seperti itu para

teungku terus menggalang persatuan dan membangkitkan semangat

jihad melalui penyebaran ideologi perang sabil. Selain itu para

teungku menggunakan dayah-dayah sebagai pusat pengajian sekaligus sebagai tempat menggodok kekuatan para pejuang untuk melawan Belanda. Tgk. Chik Di Tiro misalnya telah menginsyafkan masyarakat secara lisan dan tulisan untuk berjuang mengangkat senjata. Begitu juga dengan Tgk. Chik Kuta Karang membakar semangat juang melalui syair-syair dan hikayat-hikayat. Selain kedua teungku tadi, beberapa teungku lain ikut berpartisipasi melawan penjajahan Belanda seperti Tgk. Chik Pante Kulu, Tgk. Tapa, dan Tgk. Fakinah.85

Keterlibatan teungku-teungku dalam peperangan telah menyebabkan banyak lembaga dayah yang dulunya eksis menjadi

84Rusdi Sufi, Kiprah Ulama ,…., (2012), h. 41.

85

tidak lagi berdaya karena teungku dan santrinya ikut terlibat dalam peperangan. Dalam banyak kasus, dayah-dayah ikut dibakar serta

teungku dan santri banyak yang terbunuh.86 Meskipun para teungku tetap membangun kembali dayah-dayah mereka, namun aktivitas dan sumberdaya mereka sudah sangat terbatas.

Beberapa dayah yang tersisa dan jauh dari pengawasan Belanda menjadi terisolasi sendiri karena keberadaannya jauh dari keramaiannya penduduk, sehingga dengan sendirinya tidak berkembang.87 Fenomena dayah demikian terus dibiarkan begitu saja, seolah-olah mereka tidak mau tahu dengan perkembangan yang ada. Teungku- teungku dayah secara kuat mempertahankan kondisi dan kurikulum tradisional serta mengharamkan segala perubahan dan pembaharuan, apalagi terkait dengan Belanda. Mereka mengatakan bahwa penemuan-penemuan baru itu hanya untuk orang kafir, sedangkan umat Islam harus senantiasa berpegang kepada apa yang terdapat dalam kitab-kitab karangan teungku-teungku

terdahulu.88

Setelah perang usai, barulah beberapa dayah yang dulunya terbengkalai mulai dibangun dan dikembangkan kembali. Adapun dayah-dayah yang berusaha untuk eksis lagi antara lain adalah Dayah Tanoh Abee, dayah ini diperkirakan didirikan pada awal abad ke-19 oleh Syeikh Idrus Bayan, yaitu seorang teungku yang datang

86Mannan Nur, “Studi Tentang Dayah di Samalanga”, dalam M. Hasbi

Amiruddin, Ulama Dayah Pengawal Agama Masyarakat Aceh (Lhokseumawe: Nadiya Foundation, 2003), h. 39.

87M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh (Banda Aceh: PeNA, 2008), h. 49-50.

88

dari Bagdad atas permintaan Sultan Muhammad Syah (1824-1836). Syeikh Idrus Bayan kemudian dikenal sebagai Tgk. Chik Tanoh Abee. Kemudian Dayah Lam Birah, dayah ini diperkirakan didirikan akhir abad ke-18 pada masa pemerintahan Sultan Johan Syah (1735-1960) dan tetap berkembang pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah atau Tuanku Raja (1760-1781). Dayah Jeureula, Dayah Lamnyong, diperkirakan didirikan pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Syah (1870 - 1874) oleh Tgk. Syekh Abdussalam (Tgk. Chik Lam Nyong). Dayah Lam Bhuk, Dayah Ulee Susu, diperkirakan berdiri paruh kedua abad ke-19 oleh Syekh Abbas Ibnu Muhammad (Tgk. Chik Kuta Karang) saat beliau menjadi qadhi Malikul Adil Sultan Ibrahim Mansyur Syah (1857 - 1870). Dayah Indrapuri, Dayah Lam Seunong, Dayah Ulee U, Dayah Krueng Kalee, Dayah Montasik, Dayah Piyeung, Dayah Lam Krak diperkirakan berdiri pada masa pemerintahan Sultan Sulaiman Syah (1836-1857) oleh Datu Muhammad (seorang pejabat tinggi pemerintahan pada waktu itu), Dayah Lam Pucok didirikan oleh Teungku Muhammad Sa'ad, juga pada paruh kedua abad 19 oleh Tgk. Chik Lam Pucok, dan Dayah Lam Diran semuanya berada di Aceh Besar.89

Di Pidie beberapa dayah berdiri, antara lain; Dayah Tgk. Chik Di Tiro (Tiro), Dayah Tgk. Chik Di Tiro mencapai puncaknya ketika dipimpin oleh Tgk. Muhammad Saman (1836 1891) yang kemudian

89A. Hasjmy,”Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah”, Sinar

Darussalam. Nomor 63 (Banda Aceh, 1975), h. 38. Jajat Burhanudin, Ulama Kekuasaan Pergumulan Elite Muslim dalam Sejarah Indonesia (Jakarta: Mizan Publika, 2012), h.

dikenal Tgk. Chik Di Tiro. Sebelum dipimpin oleh Tgk. Muhammad Saman, dayah ini terdiri dari dua dayah, yaitu Dayah Tiro Keumangan, dipimpin oleh Tgk. Chik Muhammad Amin (Tgk. Chik Dayah Cut, Guru Muhammad Saman) dan Dayah Tiro Cumbok bersebelahan dengan sungai dipimpin oleh Tgk. Chiek Übet (paman Muhammad Saman).90 Dayah Chik Pante Geulima (Meureudu), dayah ini didirikan pada masa pemerintahan Sultan Muhammad Syah (1870-1874) oleh Tgk. Chik Pantee Yacob, seorang teungku yang dianggap sebagai pengarang Hikayat Malem Dagang. Selama perang melawan Belanda teungku dan santri dari dayah ini sangat aktif berperang sampai ke Aceh Besar.91 Dayah Cot Plieng, Dayah Meunasah Blang, Dayah Lampoh Raya, Dayah Garot (Gampong Aree), Dayah Ie Leube (Kembang Tanjong), Dayah Meunasah Raya (Glumpang Minyeuk), Dayah Teupin Raya.92

Di Aceh Utara beberapa dayah juga berdiri, antara lain; Dayah Tanjungan, Dayah Masjid Raya, Dayah Kuala Blang, Dayah Cot Meurak, Dayah Juli, Dayah Pulau Kiton. Sementara di Aceh Barat terdapat Dayah Rumpet, Dayah Ujong Kalak, Dayah Blang Meulaboh yang dibangun oleh keluarga Tgk. Chik Muhammad Yusuf. Di Aceh Selatan beberapa dayah berdiri, antara lain; Dayah Tgk. Syaikh Mud (Blang Pidie), pada masa muda Tgk. Syiekh Mud pernah belajar pada Dayah Lambhuk dan dayah Indrapuri Aceh

90Mohammad Said, Aceh Sepanjang,..., (1961), h. 548.

91

Muhammad Ibrahim, Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh, (Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1977/1978), h. 43-53.

92Mujiburrahman, Ulama di Bumi Syariat Sejarah, Eksistensi dan Otoritas (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014), h. 30.

Besar. Dayah Islahul Umam (Suak Samadua) di bawah pimpinan Tgk. Abu dan Tgk. M. Yasin. Dayah Al-Muslim (Terbangan) di bawah pimpinan Tgk. Zamzami Yahya, dan Dayah Al-Khairiyah (Labuhan Haji) di bawah pimpinan Tgk. Muhammad Ali Lampisang. Di antara dayah-dayah tersebut Dayah Krueng Kalee yang terletak di Darussalam menjadi dayah paling diminati. Banyak orang tua mengantarkan anaknya untuk belajar pada dayah ini, Tgk. Muda Waly Al-Khalidy termasuk salah seorang yang pernah belajar pada Dayah Krueng Kalee. Ada yang mengatakan bahwa setelah Tgk. Muda Wali menuntut ilmu pada beberapa dayah baru kemudian beliau membuka dayahnya sendiri, yaitu Dayah Darussalam di Labuhan Haji, Aceh Selatan.93Pada masa kepemimpinan Tgk. Muda Waly Al-Khalidy, Dayah Darussalam menjadi dayah paling kesohor di Aceh. Para santri datang dari berbagai wilayah di Aceh dan luar Aceh. Setelah Tgk. Muda Waly Al-Khalidy mangkat, dayah ini diteruskan oleh anak-anak beliau, namun dayah ini tidak lagi sehebat pada saat masih dipimpin sendiri. Dengan mundurnya Dayah Darussalam, peran pembinaan kader teungku sekarang diambil alih oleh Dayah MUDI Mesra Masjid Raya Samalanga.

Dayah MUDI Mesra yang terletak di Gampong Mideun Jok, Samalanga termasuk dayah tertua di Aceh, dayah ini sudah berdiri pada masa Iskandar Muda di bawah pimpinan Tgk. Faqeh Abdul Ghani yang kemudian diteruskan oleh Tgk. Haji Syihabuddin bin Idris, setelah beliau meninggal tahun 1935 M, Dayah MUDI Mesra

93

dipimpin oleh adik iparnya yaitu Tgk. Haji Hanafiah bin Abbas atau dikenal dengan Tgk. Abi. Pada tahun 1964 Tgk. Abi meninggal dunia sehingga tampuk pimpinan dayah beralih kepada Tgk. Haji Abdul Aziz bin Muhammad Saleh yang juga alumni Dayah Darussalam Labuhan Haji, Aceh Selatan.

Ketika Aceh kalah pada 1912 dengan Belanda, teungku yang didukung rakyat Aceh terus memberikan perlawanan kepada Belanda. Mereka tetap membakar semangat juang bersama rakyat, namun di antara mereka banyak yang menjadi syahid, hal ini tentu saja sangat berpengaruh kepada dayah-dayah. Ditambah lagi oleh pengawasan yang dilakukan oleh Belanda terhadap aktivitas-aktivitas yang dilakukan oleh dayah, sehingga untuk mengetatkan pengawasannya, pada tahun 1905 Belanda mengeluarkan Ordonansi Guru yang dimuat dalam Statblad Nomor 550/1905 yang mengawasi tiap guru yang mengajar agama. Ditambah lagi bahwa untuk mendirikan sebuah dayah atau madrasah harus mendapat izin lebih dahulu dengan beberapa ketentuan dan syaratnya, kemudian adanya pembatasan mata pelajaran, yang boleh diajarkan hanya membaca Alquran, tulisan Arab, Ilmu Tauhid dan Fiqh, dan tiap-tiap pelajar yang datang dari kota harus mempunyai surat keterangan dari pemerintah setempat, setiap tiga bulan sekali harus memberi laporan kepada pemerintah Hindia Belanda setempat. Secara umum memang pasang surutnya perkembangan dayah sejalan dengan pasang surutnya bangsa Indonesia, yaitu sejak kedatangan penjajah yang

bergantian memaksa kekuasaan politik dan menguasai kehidupan bangsa Indonesia.94

Pada masa pendudukan Jepang, pendidikan dayah tidak mengalami perkembangan berarti karena para teungku dayah yang awalnya simpati dan mendukung Jepang dengan harapan syariat Islam dapat ditegakkan di Aceh ternyata dalam perjalanannya tidak terjadi sebagaimana yang diharapkan. Pada awal kedatangannya Jepang memang berhasil mengusir Belanda yang dianggap kafir oleh masyarakat Aceh. Namun harapan teungku yang tinggi terhadap Jepang lama kelamaan lentur ketika Jepang mulai menerapkan tanam paksa yang dikenal dengan romusya. Terhadap berbagai persoalan yang dialami selama pendudukan Jepang dalam kurun waktu tiga tahun telah menyebabkan dayah mengalami kemunduran walaupun Jepang tidak ikut campur dalam pendidikan dayah sebagaimana yang dilakukan oleh Belanda. Jepang selama berada di Aceh ingin menciptakan sistem pendidikan baru dan menghapus sekolah-sekolah yang berciri khas Belanda. Di mana-mana kursus bahasa Jepang dibuka dan semua sekolah wajib mengajarkan Bahasa Jepang.95

Ketidaksenangan teungku dan rakyat Aceh kepada Jepang dilakukan melalui permberontakan di beberapa tempat, seperti di Bayu, Aceh Utara pada 1942 yang dipimpin oleh Tgk. Abdul Jalil

94M. Hasbi Amiruddin, dan Daud Zamzami, makalah: ”Apresiasi Terhadap Masa Depan Dayah Sebagai Suatu Lembaga Pendidikan dan Penyiaran Agama Islam”. Dalam: Apresiasi Dayah Lembaga sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Aceh, Makalah Seminar: Apresiasi Dayah PB Inshafuddin Banda Aceh, 4 s/d 7 September (1987), h. 213-214.

95

bersama santrinya, kemudian diikuti oleh pemberontakan di Pandrah, Jeunieb pada 1945.96 Pemberontakan ini terjadi atas fatwa yang dikeluarkan oleh Tgk. Abdul Jalil. Pemberontakan di Bayu, Pandrah dan beberapa tempat lain merupakan bentuk reaksi teungku yang tidak senang terhadap Jepang yang memperlakukan rakyat Aceh sebagai daerah jajahan baru mereka dan memaksakan Rakyat Aceh untuk membungkuk sebagai penghormatan (keirei) kepada Dewa Matahari, sikap Jepang demikian menurut teungku

bertentangan menurut ajaran Islam.97