• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teungku DayahAgen Perubahan Sosial

BAB II: METODE PENELITIAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

F. Landasan Teori

3. Teungku DayahAgen Perubahan Sosial

Secara realistis peran teungku sudah terlihat sejak dulu, saat Islam masuk ke Aceh, terbentuknya kerajaan-kerajaan Islam dan perlawanan rakyat Aceh terhadap penjajah. Peran mereka pada saat itu bukan saja mempertahankan tanah air, menyebarkan agama Islam, serta membina lembaga pendidikan dayah. Beberapa peran lain juga mereka lakukan seperti dalam bidang pertanian, di antara mereka ada yang ahli dalam bidang pertanian seperti Tgk. Chik di Pasi, Teungku Chik di Bambi, Tgk. Chik di Trueng Campli, dan Tgk. Chik di Ribee. Keempat teungku ini ahli dalam pembuatan irigasi dan pertanian. Peran mereka dalam membantu pertanian masyarakat adalah dengan membangun irigasi dan saluran air. Dalam hal ini Tgk. Chik di Pasi misalnya telah membangun saluran air sepanjang 40 km di Lueng Bintang, kemudian Tgk. Chik di Bambi membangun irigasi Lueng Guda Agam dan saluran air sepanjang 40 km, sementara Tgk. Chik di Trung Campli telah membangun saluran air sepanjang 45 km, dan Tgk. Chik di Ribee membangun saluran air sepanjang 35 km. Pembangunan saluran irigasi tersebut telah menyebabkan areal persawahan di Pidie yang luas dapat diairi dengan baik.89

bersifat duniawi secara luar biasa. Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan

Modern, Terj. Robert M,Z. Lawang (Jakarta: Gramedia, 1986), h. 229.

89Baihaki AK,“Peran Ulama dalam Masyarakat Tradisional”, dalam, Taufik

Keahlian lain yang dimiliki oleh teungku terdahulu adalah dalam bidang medis (tabib), Tgk. Chik Kuta Karang, beliau dikenal sebagai tabib yang menguasai ilmu kedokteran. Pada saat itu masyarakat sangat membutuhkan jasa medis, karena tidak banyak yang menguasai ilmu tersebut sehingga praktek yang dilakukan oleh

teungku sangat diyakini dan dipercaya dapat menyembuhkan

penyakit yang diderita masyarakat. Peran teungku sebagai tabib dalam masyarakat gampong di Aceh sampai sekarang masih tetap berlangsung. Kepercayaan masyarakat terhadap kesembuhan tidak saja terfokus pada penyakit fisik tetapi juga penyakit jiwa ketika berobat pada teungku. Beberapa peran lain yang dilakukan oleh

teungku yaitu membantu masyarakat menunjukkan waktu dan

jadwal shalat. Tgk.Chik di Tanoh Abee dan Tgk. Hasan Krueng Kalee merupakan teungku yang memiliki keahlian dalam ilmu falaq dan ilmu hisab. Kegunaan kedua ilmu tersebut tidak saja untuk menunjukkan waktu dan jadwal shalat, bagi pelaut dan petani ilmu ini juga sangat berguna untuk mengetahui cuaca dan musim bercocok tanam.90

Dalam bidang politik juga demikian, mereka terkenal ahli dalam menyusun siasat bertahan dan menyerang musuh, beberapa dari mereka dicatat oleh sejarah sebagai pejuang yang gigih dalam

90

Baihaki AK,“Peran Ulama,…, (1983), h. 183. Ishak Kasim, “Apresiasi Atas

Masa Depan Dayah Sebagai Suatu Lembaga Pendidikan dan Penyiaran Agama Islam”, dalam, Apresiasi Dayah Sebagai Lembaga Pendidikan Islam di Aceh (Banda Aceh: Pengurus Besar Persatuan Dayah Ishafuddin, 2010), h. 238.

mempertahankan agama dan Negara, sebut saja Tgk. Chik di Tiro, Tgk. M. Daud Beureueh yang memiliki kemampuan dan kecakapan dalam bidang agama yang kuat dan politik yang handal. Selama hidupnya beliau pernah menjadi ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh), Gubernur militer untuk Aceh, Langkat dan Tanah Karo, serta pemimpin DI/TII Aceh.91 Kehebatan lain yang dimiliki oleh mereka adalah dalam bidang metafisika, seperti Muhammad Azhari. Syeikh Abdul Khair Ibn Syeikh ibn Hajar ahli mistik, ahli ilmu ushul, Muhammad Yamani, ahli ilmu logika, Syeikh Muhammad Jailani ibn Hasan ibn Muhammad Hamid dari Gujarat, dan Syeikh Bukhari al-Jauhari yang mengarang kitab Tajus Salatin (mahkota raja-raja).92

Dalam bidang tarekat beberapa teungku berperan sebagai penggas sekaligus penyebar tarekat di Nusantara, seperti Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dengan wujudiyah,93 Syeikh Nuruddin Ar- Raniry dengan syuhudiyah, serta Syeikh Abdurrauf As-Singkili dengan syattariah.94 Setelah teungku chik di atas wafat, kendali di Aceh tetap berada di tangan teungku dan organisasinya terutama pada masa penjajahan dan awal kemerdekaan. Namun

91Rusdi Sufi, dkk, Peran Tokoh Ulama dalam Perjuangan Kemerdekaan

1945-1950 di Aceh (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2003), h. 13-14. 92Ibrahim Alfian, Wajah Rakyat Aceh dalam Lintasan Sejarah, Jil. XVI, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Malaysia,1972), h. 496.

93

Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani adalah ulama yang mengembangkan tarekat wujudiah di Aceh.Muliadi Kurdi, Syamsuddin As-Sumatrani,…, (2014), h. 1-2.

94

seiring perjalanan waktu, peran teungku dan organisasinya sedikit demi sedikit mulai bergeser. Pada era Orde Lama, peran teungku terbatas pada urusan-urusan keagamaan, sementara peran sosial lainnya lebih banyak dipegang oleh mereka yang bukan teungku yang memiliki kualifikasi pendidikan formal dan keahlian sesuai bidangnya masing-masing. Seperti bidang politik perannya akan diserahkan kepada mereka yang memiliki latar pendidikan dan pengalaman politik yang handal, demikian juga dalam bidang ekonomi dan perdagangan peran strategisnya akan di isi oleh ahli-ahli ekonomi, begitu juga dalam bidang pertanian perannya akan diisi oleh sarjana pertanian.

Pembagian peran yang dilakukan oleh pemerintah Orde Lama hingga sekarang telah menyebabkan peran teungku dayah semakin sempit, kalau dulu misalnya urusan nikah, perceraian, penyuluhan agama ditangani oleh teungku, sekarang peran tersebut sudah diambil alih oleh Kantor Kementerian Agama dalam hal ini dilaksanakan oleh KUA di setiap kecamatan. Kemudian

“Golkarisasi” teungku pada era Soeharto telah menyebabkan peran teungku tidak lagi fokus pada bidang keagamaan, mereka saat itu

banyak disibukkan untuk mendukung Golkar atau menjadi juru kampanye bagi pemenangan figur-figur tertentu yang dicalonkan oleh Golkar. Fenomena ini telah menyebabkan sebagian masyarakat kehilangan rasa hormat kepada teungku. Menurut Kuntowijoyo, sebenarnya pemerintah Orde Baru telah menerapkan kebijakan

politik kembar kepada umat Islam sebagimana yang dilakukan oleh Belanda pada masa penjajahan terdahulu, pada satu sisi pemerintah menganjurkan toleransi, namun di sisi lain mereka menerapkan sikap kewaspadaan yang tinggi terhadap setiap gerakan organisasi Islam.95

Bagi teungku dayah di Aceh meskipun mereka “dipaksakan” untuk tunduk kepada kepentingan pemerintah saat itu, namum marwah mereka di tengah masyarakat masih tetap ada, karena tidak semua teungku “kotor”, masih banyak di antara mereka yang bersih dan tulus dalam membantu masyarakat. Hal ini terlihat dengan nyata pada masa konflik berkecamuk, dimana teungku di

gampong-gampong berupaya keras membangkitkan semangat masyarakat

guna menata kehidupan ke arah lebih baik. Mereka sehari-hari tidak hanya memimpin agama, mereka juga menjadi pihak yang memediasi berbagai persoalan yang ada di gampong.

Pada masa sekarang teungku dayah terus melakukan serangkaian aksinya melalui dayah-dayah atau melalui organisasi yang menaungi mereka. Pemberlakuan syariat Islam oleh pemerintah manjadi salah satu pekerjaan berat teungku dan dayah dalam menyadarkan masyarakat untuk menjalankan syariat Islam secara kaffah. Beberapa upaya yang dilakukan secara intensif oleh

teungku dayah di gampong-gampong seperti melakukan beut lheh 95Kuntowijoyo, Identitas Politik Umat Islam (Bandung: Mizan, 1997), h. 197-198.

luho (mengaji setelah dhuhur) dan beut lheuh isya (mengaji setelah

isya) setiap minggu guna mengkaji dasar-dasar ilmu agama serta penguatan akidah islamiyah kepada masyarakat. Walaupun pelaksanaan syariat Islam bukan beban yang harus ditimpakan kepada teungku dan dayah, tetapi karena teungku sebagai agen perubahan masyarakat dalam bidang keagamaan, maka tanggung jawab teungku terasa semakin tertantang.