• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teungku Dayah Dalam Masyarakat Aceh

BAB II: METODE PENELITIAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

F. Landasan Teori

1. Teungku Dayah Dalam Masyarakat Aceh

Teungku mempunyai peran besar dalam kehidupan sosial

kemasyarakatan. Kekuasaan eksistensial mereka tidak bisa diabaikan oleh siapapun walaupun peran yang dijalankan pada tingkat

gampong (desa). Di Aceh, dalam setiap gampong terdapat dua

pemimpin yaitu keuchik (kepala desa) dan teungku. Dalam realitasnya keuchik hanya menjadi pemimpin administratif, yang memiliki peran sosialnya sedikit terbatas. Sementara teungku peran sosialnya lebih luas karena teungku merupakan pemimpin informal yang tidak terikat oleh urusan-urusan administratif dalam melayani masyarakat di gampong-gampong.61

60

Antony Giddens, The Constitution of Society, Outline of the Theory of

Structuration (Cambridge UK: Polity Press, 1984), h. 5.

61Rusdi Sufi, dkk, Peran Tokoh Agama dalam Perjuangan Kemerdekaan

Teungku dengan demikian memainkan peran strategis dan

memiliki tanggung jawab besar dalam membina umat manusia ke arah yang benar. Menurut Quraish Shihab, ulama (teungku) harus menjadi pemimpin dalam masyarakat.62 Kepemimpinan mereka sangat dipengaruhi oleh kapasitas, kredibilitas dan ilmu yang dimilikinya. Secara strukturalis fungsi teungku dalam masyarakat dapat di lihat dari empat fungsi. Pertama, teungku sebagai pemimpin masyarakat, peran ini tidak saja sebagai pemimpin dayah atau menjadi imuem (imam) di gampong-gampong. Tetapi sebagian dari mereka terlibat dalam beberapa organisasi formal maupun non-formal. Keberadaan mereka dalam berbagai organisasi telah menunjukkan bahwa teungku dapat berperan secara luas untuk kepentingan masyarakat.

Kedua, teungku sebagai guru, peran teungku di tengah masyarakat masih sebagai sentral bertanya, untuk itu kehadiran mereka masih dibutuhkan di setiap gampong guna memberikan pemahaman ilmu-ilmu agama melalui pengajian yang dilakukan secara rutin di balai-balai pengajian, mesjid-mesjid maupun di

meunasah (surau). Bagi teungku chik (teungku besar) mereka tidak

saja mengajar masyarakat di mesjid-mesjid, beberapa dari mereka malah lebih sering diundang untuk menjadi narasumber pada forum-forum tertentu yang diadakan oleh Pemda dalam rangka

62Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam

mendiskusikan persoalan-persoalan krusial dalam masyarakat. Ketiga, teungku sebagai pemimpin kerohanian, dalam masyarakat Aceh seluruh aktivitas keagamaan melibatkan teungku, mulai dari kegiatan paling sederhana seperti peusijuek (tepung tawar), menjadi penceramah, imam shalat, pemimpin tarekat, sampai kepada pemimpin doa pada acara-acara keagamaan dan sosial dalam masyarakat. Keempat, teungku sebagai pengelola administrasi, banyak teungku sekarang sudah bekerja pada sektor-sektor formal yaitu menjadi PNS dan memegang jabatan penting tertentu pada lembaga atau dinas yang dipimpinnya. Peran yang diembankan telah menempatkan teungku menjadi pelayan untuk berbagai kebutuhan yang diperlukan oleh masyarakat. Peran-peran tersebut sudah menjadi rutinitas yang dilakukan oleh teungku dayah saat ini di Aceh.63

Struktur yang membingkai aktivitas teungku bila di lihat dari sudut pandang teori strukturalisme dapat dipahami sebagai sebuah usaha untuk menemukan struktur umum yang terdapat dalam aktivitas-aktivitas manusia. Strukturalisme muncul dari perkembangan bermacam-macam bidang kajian, namun strukturalisme modern terdapat dalam kajian Ferdinand de Saussure,64 tentang struktur gramatika bahasa sebagai sebuah sistem

63Sri Suyanta, Dinamika Peran,…,(2008), h. 239-240.

64Ferdinand de Saussure, Course in General Linguistic (New York: McGraw-Hill, 1966).

elemen-elemen yang berhubungan dengan bunyi, dimana hubungannya diatur menurut hukum-hukum yang determinan. Selain de Saussure perhatian terhadap strukturalisme juga dicurahkan oleh Roland Barthes,65 tentang semiotika untuk memahami sistem tanda seperti, image, gesture, suara, dan objek yang terkait dengan semuanya. Kemudian Levi Strauss66 dalam memperkuat kajian Saussure tentang bahasa ke persoalan-persoalan antropologis. Kajian ini membuka pintu untuk menerapkan seluas-luasnya strukturalisme pada semua bentuk-bentuk komunikasi.

Bentuk-bentuk komunikasi yang dijalankan oleh teungku sangat terkait dengan bangunan struktur yang berhasil mereka bangun dalam masyarakat. Untuk mencapai keberhasilan tersebut salah satunya melalui penggunaan bahasa yang santun, bijak sesuai tuntunan ajaran agama. Menurut M. Hasbi Amiruddin, ada empat hal yang menjadi tugas teungku di tengah masyarakat. Pertama, menyampaikan ajaran kitab suci, penyampaian ini dilakukan di dayah-dayah, maupun melalui ceramah-ceramah (khutbah) jumatan secara rutin kepada masyarakat. Kedua, menjelaskan kandungan isi kitab suci melalui pengajian-pengajian rutin. Ketiga, teungku harus mampu memberikan solusi atas segala problem yang dihadapi masyarakat, solusi yang diberikan harus dapat diterima oleh semua

65Roland Barthes, Element of Semiology (New York: Hill and Wang, 1964/1967), h. 9.

66

pihak agar ketentaraman dalam masyarakat dapat selalu terjaga dengan baik. Keempat, teungku harus menjadi contoh teladan dalam masyarakat, sebab selama ini sudah sangat sulit mencari orang yang dapat diteladani.67

Dalam masyarakat Aceh salah satu subjek yang masih menjadi teladan adalah teungku, mereka pada umumnya adalah alumni dayah salafi. Sebagai alumni dayah eksistensi mereka masih mendapat legetimasi yang kuat dari masyarakat, sehingga mereka dapat memainkan peran dan fungsinya yang besar dalam membina umat. Peran teungku dayah, bukan hanya terbatas dalam aspek pendidikan agama saja, tetapi juga terhadap aspek-aspek lain terutama terhadap proses perbaikan moral masyarakat. Secara sosiologis, peran dan fungsi teungku menjadi dominan untuk menggerakkan tatanan kehidupan masyarakat di daerahnya masing-masing. Sebab peran

teungku tidak dalam konteks ibadah saja, tetapi mencakup

kehidupan sosial, politik, bahkan ekonomi. Teungku sekarang harus tampil secara progresif guna merebut peluang-peluang dalam rangka memajukan lembaga pendidikan dayah dan mencerdaskan kehidupan umat.68

Peran teungku dalam memajukan pendidikan tidak ada yang menafikannya, melalui sejarah panjang sudah menunjukkan

67

M. Hasbi Amiruddin, Menatap Masa Depan Dayah di Aceh (Banda Aceh: PeNA, 2008), h. 102-105.

68Mujiburrahman, Ulama di Bumi Syariat, Sejarah, Eksistensi, dan Otoritas (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2014), h. 53-55.

perannya dalam mendidik, membina dan mencerdaskan masyarakat, bentuk pencerdasan telah dilakukan dalam berbagai bentuk dan berbagai cara, berupa beut di rumoh (mengaji di rumah), beut di

balee (mengaji di pondok), beut di dayah (mengaji di pesantren), beut di mesjid (mengaji di mesjid), atau beut di meunasah (mengaji

di surau). Keterlibatan teungku dalam bidang pendidikan ini merupakan bentuk pengejawantahan dari bidang sosial kemasyarakatan. Dalam konteks agama tugas ini tidak dapat diabaikan, karena melalui pendidikanlah transfer ilmu pengetahuan dan peradaban akan berjalan dengan baik dan sukses. Tugas ini amanah yang diemban oleh mereka sejak dulu sampai hari ini.69

Teungku selain berperan untuk mendidik dan membina

masyarakat dengan ilmu-ilmu agama, mereka juga memiliki tugas memberikan nasehat kepada masyarakat dan pemerintah serta sering berperan melerai orang yang berselisih paham dalam masyarakat, baik karena beda pendapat atau oleh sebab-sebab tertentu lainnya. Mereka dalam hal ini sering menjadi pihak yang memediasi kedua belah pihak yang bertikai.70 Selain itu peran yang tidak kalah penting yang dilakukan oleh teungku menjadi pemangku adat di

gampong. Kesemua peran yang dijalankan oleh teungku tersebut

69Mujiburrahman, Ulama di Bumi,…, (2014), h. 230.

70M. Hasbi Amiruddin, Perjuangan Ulama Aceh di Tengah Konflik

bertujuan untuk menciptakan suasana aman, damai dalam rangka mengangkat harkat martabat masyarakat Aceh ke arah lebih baik.