• Tidak ada hasil yang ditemukan

PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) 1. Sejarah Lahirnya PUSA

BAB II: METODE PENELITIAN

PERAN ORGANISASI TEUNGKUDI ACEH A. Latar Belakang dan Tujuan Berdirinya Organisasi Teungku

B. PUSA(Persatuan Ulama Seluruh Aceh) 1. Sejarah Lahirnya PUSA

PUSA adalah salah satu organisasi yang lahir pada 1939 M. Ide mendirikan organisasi PUSA berasal dari beberapa orang

teungku, diantaranya Tgk. M. Daud Beureueh, Tgk. Abdurrahman

Mereka sepakat mengadakan musyawarah alim ulama seluruh Aceh. Untuk pelaksanaanya diserahkan kepada teungku-teungku chik (ulama-ulama besar) Peusangan di bawah pimpinan Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap, dan diadakan di Matang Geulumpang Dua, ibu kota landschap Peusangan, Aceh Utara.8Tgk. Abdurrahman, Tgk. Ismail Yakub, dan Tgk. Usman Aziz bersama-sama menghubungi T. H. Muhammad Johan Alam Syah, sebagai kepala Pemerintahan Negeri Peusangan yang kedudukannya sebagai

uleebalang9Peusangan.10Atas naungan tertinggi yang diberikan oleh T. H. Muhammad Johan Alam Syah, Tgk. Abdurrahman yang memiliki madrasah Al-Muslim Peusangan bersama teman-temannya

8Ismuha, dkk, Pengaruh PUSA Terhadap Reformasi di Aceh (Banda Aceh: Lembaga Research dan Survey, IAIN Jamiah Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh, 1978), h. 23-24. TK. Alibasjah Talsya, Sejarah dan Dokumen Pemberontakan di Atjeh (Jakarta: Kesuma, 1953), h. 53.

9Uleebalang adalah pangkat kerajaan di tanah Melayu, yang asalnya dari

perkataan Hulubalang. Kata ini berasal dari bahasa Sanskrit. H.M. Zainuddin, Tarikh

Aceh dan Nusantara, Cet. Kedua (Aceh Besar: LSKPM, 2012), h. 449. Uleebalang

identik dengan pejabat-pejabat Sultan yang diangkat dengan sebuah belsit yang bernama

sarakata, yang dibubuhi cap sikureung (stempel Sultan Aceh). Kekuasaan yang

dilimpahkan kepada uleebalang sangat besar, sehingga daerah yang dikuasaianya yang bernama naggroe merupakan daerah yang mempunyai otonomi sangat luas. Oleh karena itu uleebalang sering bertindak sebagai seorang penguasa daerah yang merdeka. Zakaria Ahmad, Sekitar Kerajaan Aceh dalam Tahun 1520-175 (Medan: Monora, 1972), h. 51. Snouck Hurgronje melihat bahwa Uleebalang adalah orang yang dipertuan di negeri masing-masing, atau kepala wilayah, panglima militer, hakim yang paling berkuasa penuh dan tidak mengakui suatu kekuasaan tinggi di atas mereka. Snouck Hurgronje,

Aceh di Mata Kolonialis, Penerjemah, Ng. Singaribun, S. Maimoen, Kustiniyati Mochtar

(Jakarta: Yayasan Soko Guru, 1985), h. 99. Dalam wilayah Aceh Besar Uleebalang berada di bawah panglima sagi dan ada yang langsung di bawah sultan, sementara

uleebalang di luar Aceh Besar langsung di bawah sultan. H.M. Zainuddin, Singa Atjeh, Biografi Seri Sultan Iskandar Muda (Medan: Pustaka Iskandar Muda, 1957), h. 99.

10A.K Yakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamsi Kemerdekaan

1945-1949 dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang (Jakarta: Gramedia,

mengambil inisiatif untuk mempersatukan para ulama Aceh dalam satu wadah organisasi. Secara terperinci Ismuha menulis:

Untuk menghindarkan penyakit perpecahan yang sangat berbahaya itu, maka Tgk. Abd. Rahman memandang perlu adanya organisasi ulama yang menghubungkan antara satu dengan yang lain. Dengan demikian segala kesulitan dapat dipecahkan bersama-sama. Ide ini rupanya senada dengan

Tgk. Ismail Yakub. Direktur Madrasah Bustanul Ma’arif di

Blang Jreun. Hal itu deketahui waktu Tgk. Abd. Rahman menghadiri suatu perayaan mauled di Blang Jreun, dimana beliau diundang sebagai pembicara. Untuk melanjutkan pembicaraan lebih mendalam, Tgk. Abdurrahman meminta Tgk. Ismail Yakub dalam waktu dekat untuk datang ke Matang Geulumpang Dua. Sebelum Tgk. Ismail Yakub datang, Tgk. Abdurrahman telah merundingkan hal itu dengan para ulama di Negeri Peusangan, dan ternyata semua sepakat. Kemudian mengirim surat kepada para ulama di luar Aceh Utara, untuk menanyakan pendapat mereka mengenai hal itu. Sebagian besar surat-surat itu mendapat jawaban setuju. Hal ini tentulah menambah semangat Tgk. Abdurrahman untuk melaksanakan cita-cita itu.

Waktu Tgk. Ismail Yakub datang, Tgk. Abdurrahman melaporkan bahwa semua ulama Peusangan sudah setuju, tinggal lagi menyampaikan hal ini kepada zelfbestuurde van Peusangan, T.H. Chik Muhammad Djohan Alam Syah. Kebetulan malam itu beliau sudah berangkat ke Bireuen untuk meresmikan pembukaan pasar malam di sana. Karena demikian keyakinannya, maka Tgk. Abdurrahman bersama Tgk. Ismail Yakub dan Tgk. Usman Aziz dengan mendayung sepeda berangkat ke Bireuen yang jaraknya 11 kilometer untuk menyampaikan ide mendirikan suatu organisasi ulama Aceh. Sesudah hal itu disampaikan oleh Tgk. Abd. Rahman, Teuku Chik Peusangan spontan memberikan persetujuannya.11

11Ismuha, “Teungku Abd. Rahman Meunasah Meucap”, Mimbar Ulama, No. 3

Untuk mewujudkan maksud tersebut, mereka terlebih dahulu berdiskusi dengan sejumlah teungku chik (ulama besar) yang ada di Peusangan, baru kemudian dengan teungku chik lain dalam wilayah Bireuen, setelah itu berlanjut ke Aceh Utara, baru kemudian kepada seluruh teungku chik yang ada di seluruh Aceh. Atas respon positif dari para teungku, mereka mencari waktu yang tepat untuk menghimpun seluruh teungku yang ada di Aceh guna membentuk sebuah wadah organisasi. Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap dan teman-temannya melihat bahwa momen perayaan maulid Nabi besar Muhammad saw yang jatuh pada tanggal 12 Rabiul awal 1358 H atau bertepatan dengan tanggal 5 Mei 1939 M merupakan waktu paling tepat untuk menghimpun para teungku.12 Pada hari itu selain merayakan maulid Nabi Muhammad saw, mereka juga mengadakan musyawarah alim ulama di Peusangan yang dipersiapkan secara matang.13 Hasil musyawarah secara bulat memutuskan untuk mendirikan suatu organisasi yang diberi nama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).14 Musyawarah dan seminar yang diadakan selama empat hari telah menghasilkan pengurus besarnya bernama

hoofd Bestuur yang terdiri dari:

Ketua I : Tgk. Muhammad Daud Beureueh Ketua II : Tgk. Abdul Rahman Meunasah Meucap Setia Usaha I : Tgk. M. Nur El Ibrahimy

12Penjedar, Madjalah Minggoean Popoeler, Edisi Januari (Medan: Luitenansweg

20, 1940), h. 1.

13Anthony Reid, Perjuangan Rakyat Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di

Sumatera (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987), h. 58.

14Hasan Saleh, Mengapa Aceh.,,,(1992), h. 17. Mohammad Said, Aceh

Setia Usaha II : Tgk. Ismail Yakub

Bendahara : T.M. Amin

Kommisarissen : Tgk. Abd. Wahab Keusalo Seulimum : Tgk. Syekh Hadji Abdul Hamid Samalanga : Tgk. Usman Lampoh Awe

: Tgk. Jahja Baden Peudada : Tgk. Mahmud Simpang Ulim : Tgk. Ahmad Damahuri Takengon : Tgk. M. Daud Peudada

: Tgk. Usman Aziz Lhoksukon.15

Sesuai Anggaran Dasar, maka hoofd Bestuur PUSA berkedudukan di Sigli karena ketua Tgk. M. Daud Beureueh dan Sekretaris Tgk. M. Nur El Ibrahimy bertempat tinggal di Sigli.16 Tujuan utama didirikan organisasi PUSA adalah sebagai berikut: (1) untuk menyiarkan, menegakkan syiar Islam yang suci, terutama di

Aceh pernah dengan “Serambi Mekkah” menjadi satu negeri yang

amat ketinggalan dari tetangganya yang berdekatan, apalagi yang kejauhan. (2) untuk mempersatukan paham teungku-teungku dalam berbagai persoalan, terutama yang menyangkut dengan hukum syariat Islam, karena berdasarkan pengalaman masa lampau membuktikan bahwa akibat terjadinya pertentangan di antara para

teungku yang membawa kepada perpecahan. (3) berusaha untuk

memperbaiki dan mempersatukan kurikulum mata pelajaran agama

15Ismuha, “Ulama Aceh dalam Perspektif Sejarah”, dalam Taufik Abdullah (ed),

Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, 1983), h. 60.

16Ismuha, “Mengenang Kembali, Lahirnya Persatuan Ulama Seluruh Atjeh, 30 Tahun yang Lalu”, Buletin Darussalam, No. 14, Juni (1969), h. 43-45. Ismuha, “Sekitar Lahirnya PUSA”, dalam, Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: CV. Rajawali, 1983), h.

Islam dalam kurikulum sekolah yang banyak berdiri di Aceh.17 Untuk itu diperlukan sejumlah guru yang memiliki pengetahuan dan jenjang pendidikan yang memadai. Karena terbatasnya jumlah guru maka disepakati untuk mendirikan sekolah untuk mencetak tenaga guru. Guru yang dimaksud bukan hanya pandai dalam bidang agama saja melainkan juga ahli dalam ilmu pengetahuan umum dan keahlian lainnya. Atas kesepakatan para tokoh PUSA dibangunlah sekolah yang diberi nama Normal Institut atau Perguruan Normal Islam. Tujuan pembukaan perguruan ini untuk menampung lulusan berbagai Madrasah Ibtidaiyah sekaligus untuk mensuplai guru-guru bagi madrasah tersebut.18 Sebagai pimpinan sekolah tersebut, maka ditunjuk Tgk. M. Nur El Ibrahimy, seorang ulama lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir. Setelah beliau ditunjuk sebagai pimpinan sekolah maka jabatan sebagai sekretaris pada PUSA diserahkan kepada T.M. Amin yang tadinya memegang jabatan bendahara, sementara jabatan bendahara yang ditinggalkan TM. Amin diserahkan kepada Tgk. H. Mustafa Ali. Agar sekolah yang dibuka menjadi semakin kuat, maka dibentuk dewan penyantun yang diketuai oleh Tgk. Abd. Rahman Meunasah Meucap. Sedangkan koordinator bidang pelajaran dipercayakan kepada Tgk. M. Nur El Ibrahimy dan Meneer Muhammad tamatan R.H.S (Recht Hoge

School) di Jakarta. Tgk. M. Nur El Ibrahimy akan mengkoordinir 17A. Hasjmy, Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun

Tamadun Bangsa (Jakarta: Bulan Bintang, 1997), h. 86-87. Rusdi Sufi, Kiprah ulama Aceh Pada Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 (Banda Aceh: Badan Arsip dan

Perpustakaan), h. 65-66.

18M. Isa Sulaiman, Sejarah Aceh, Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), h. 47.

mata pelajaran agama, bahasa Arab dan ilmu pendidikan. Sementara Meneer Muhammad akan mengkoordinir bidang pendidikan umum, bahasa Belanda dan bahasa Inggris.

Pada tanggal 15 Desember 1939 PUSA akan membuka Perguruan Normal Islam di Bireuen, rencana tersebut terpaksa ditunda karena adanya larangan dari pihak pemerintah Hindia Belanda berkenaan berakhirnya masa berlakunya onderwijs-werbod (larangan mengajar) dari pemerintah Hindia Belanda yang dikenakan pada Tgk. M. Nur El Ibrahimy pada saat beliau mengajar di Madrasah Nahdlatul Islam di Idi.19 Sehubungan dengan kejadian tersebut Hoofd Bestuur PUSA mengadakan rapat kilat dan memutuskan mengirim Tgk. M. Daud Beureueh dan Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap untuk menghadap Asisten Residen Aceh Utara di Sigli. Setelah mendengar penjelasan dari kedua ulama PUSA tersebut Residen Aceh Utara member izin dengan syarat bahwa Zelfbestuurder Van Peusangan, T.H. Tjhik. Muhammad Djohan Alamsyah menjamin tidak terjadi apa-apa. Sepulang dari Sigli Tgk. M. Daud Beureueh dan Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap langsung menemui Zelfbestuurder Van Peusangan untuk meminta jaminan yang diperlukan Asisten Residen. Setelah

19Larang mengajar yang dikeluarkan Belanda berdasarkan ordonasi guru pada 1905 yang dimuat dalam Staatblad 1905 No. 550 untuk mengawasi guru-guru agama. Staatblad 1905 No. 550 pada awalnya berlaku di pulau Jawa dan Madura, kemudian pemerintah Hindia Belanda memberlakukan di Aceh atas saran-saran yang disampaikan oleh Dr. Snouch Hurgronje. Belanda menganggap bahwa teungku-teungku adalah musuh

yang cukup berbahaya bagi pendudukan Belanda di Aceh. A. Hasjmy, “Pendidikan Islam di Aceh dalam Perjalanan Sejarah”, dalam Sinar Darussalam, No. 63 (Banda Aceh,

melakukan pembicaraan yang cukup alot, akhirnya Zelfbestuurder

Van Peusangan memberikan jaminan dengan syarat kedua utusan

PUSA tersebut turut memberikan jaminan kepada Zelfbestuurder

Van Peusangan bahwa tidak terjadi apa-apa dikemudian hari.

Mendengar permintaan tersebut kedua ulama PUSA langsung memberikan jaminan.20

Setelah urusan perizinan selesai, maka pada tanggal 27 Desember 1939 atau 12 hari terlambat dari jadwal yang ditetapkan, Perguruan Normal Islam atau Normal Institut di buka di Cot Meurak, Bireuen dengan dihadiri oleh 57 orang siswa, terdiri dari 55 orang dari Aceh, satu orang dari Minangkabau dan satu orang dari Palembang. Dengan menggunakan kurikulum yang hampir sama dengan Normal Islam di Padang ditambah lagi oleh guru yang profesional dalam bidangnya serta memiliki kegiatan-kegiatan ekstra kurikuler telah menarik minat para pemuda saat itu seperti

Kasyaffatul Islam dan himpunan pelajar Himpia (Himpunan Pelajar

Islam Aceh) menjadikan perguruan Normal Islam sebagai sekolah favorit saat itu. Gebrakan dalam bidang pendidikan membawa dampak positif terhadap PUSA, sebagian masyarakat Aceh menganggap bahwa PUSA adalah lokomotif terhadap kebekuan serta kekunoan sekaligus sebagai wadah pemersatu masyarakat Aceh yang Islami.21 Peran PUSA dalam menghilangkan khilafiah di antara pendapat-pendapat teungku menjadi catatan sejarah tersendiri

20Agus Budi Wibowo, Iriani Dewi Wanti, dan Iskandar Eko Priyotomo,

Dinamika dan,…, (2005), h. 50.

21Agus Budi Wibowo, Iriani Dewi Wanti, dan Iskandar Eko Priyotomo,

bagi masyarakat Aceh. Teungku-teungku pada saat itu saling bersaing antara mereka yang berpaham tradisional dengan mereka yang berpaham pembaharu. Persoalan tersebut tentu saja telah menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi masyarakat Aceh. Untuk itu kehadiran PUSA diharapkan menjadi wadah bagi para

teungku dalam menyalurkan aspirasi mereka.

PUSA sebagai suatu organisasi reformis dapat berjalan lancar serta mendapat sambutan baik dari masyarakat.22 Untuk itu, PUSA sebagai salah satu organisasi telah mampu menghimpun anggotanya dari kalangan teungku yang berjiwa reformis, teungku yang berjiwa tradisional, uleebalang, dan para pemuda yang memiliki jiwa militan untuk bergabung di dalamnya.23Hal ini berbeda dari organisasi lokal maupun nasional yang pernah ada di Aceh pada saat itu. Seperti Serikat Islam (Juli 1916), Serikat Aceh Muda (Juli 1916), Serikat Aceh (1916) Boedi Oetomo (Januari 1918), Volkronderwijsbond Aceh (Desember 1918), Islam Menjadi Satu (1919), Insulinde (Februari 1919), Kongsi Atjeh Sumatra (Juli 1920), Muhammadiyah (1927)24, Al-Muslim (1929), Pusaka (1929), Taman Siswa (1932)

22Mohammad Rofai, Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh Fungsi dan

Organisasinya (Darussalam Banda Aceh: Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial

Aceh, 1979), h. 30.

23

A. J. Piekaar, Atjeh En De Oorlog Met Japan, Alih bahasa, Aboe Bakar (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1998), h. 36. Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan Kaum Republik Kasus Darul Islam Aceh (Jakarta: Grafiti, 1990), h. 6.

24

Parindra (1939).25 Organisasi-organisasi ini membutuhkan waktu lama dalam menghimpun para anggotanya.

PUSA walaupun menjelma sebagai organisasi besar dalam waktu yang relatif singkat, tidak berarti seluruh teungku yang ada di Aceh mau bergabung dengannya. Kelompok teungku yang tidak setuju dengan organisasi tersebut antara lain mewakili ulama Aceh Besar Tgk. Hasan Krueng Kale dan Tgk. Syeik Ibrahim Lam Nga. Selain dua nama besar tersebut terdapat teungku lain yang tidak se ide dengan PUSA, yaitu Tgk. Hasbi Ash Siddiqie, Tgk. H. Makam, Tgk. Abdul Salam Meuraxa, dan Tgk. Muda Walyal-Khalidy dari Aceh Selatan, Tgk. Abdul Jalil dari Bayu, Aceh Utara, dan Tgk. Amin Jumphoh, Pidie. Ada yang mengatakan bahwa berdirinya PUSA untuk mengimbangi perkembangan Muhammadiyah di Aceh.26 Isu ini semakin kuat karena konsul pertama Muhammadiyah Aceh adalah T. Muhammad Hasan Geulumpang Payong. Setelah T. Muhammad Hasan diangkat menjadi uleebalang Geulumpang Payong, jabatan konsul diserahkan kepada T. Cut Hasan Meuraxa.

25Agus Budi Wibowo, Iriani Dewi Wanti, dan Iskandar Eko Priyotomo,

Dinamika dan,…,(2005), h. 2-3.

26A. J. Piekaar, Atjeh En,…, (1998), h. 49. Keberadaan Muhammadiyah di Aceh yang memberikan fokus pada pembenahan sistem pendidikan semakin menunjukkan pada ketidakberdayaan teungku-teungku untuk menciptakan tatanan pendidikan yang baik bagi masyarakat Aceh pada saat itu. Sejumlah madrasah bermunculan untuk menggantikan dayah pada tahun 1928-1929. Delapan tahun kemudian terdapat sekurang-kurangnya 98 madrasah berdiri di Aceh. Untuk menyebarkan agama, para ulama Muhammadiyah berkeliling dari satu gampong ke gampong lainnya untuk memberikan tablig kepada masyarakat agar masyarakat lebih paham pada ajaran-ajaran agama. Anak-anak muda memasuki madrasah dengan minat yang sangat tinggi. Dalam suasana inilah para teungku reformis mendirikan organisasi mereka sendiri, yaitu organisasi PUSA dan memilih Tgk. M. Daud Beureueh sebagai pemimpinnya pada 1939. Ismail Jakub,

Anggota Muhammadiyah umumnya adalah orang Aceh yang terpelajar, atau para pendatang dari luar Aceh yang bekerja dan bertempat tinggal di Aceh sebagai PNS, pedagang dan sebagai buruh.27

Bagi pengurus PUSA fenomena yang sedang terjadi di Aceh telah memaksa mereka untuk mengadakan pertemuan yang dapat menggalang kekuatan guna menyamakan persepsi berkaitan dengan langkah perjuangan PUSA. Pada tanggal 12 s/d 16 Rabiul Awwal 1359 H bertepatan dengan tanggal 20 s/d 24 April 1940 diadakalah kongres PUSA pertama kali di Kuta Asan Sigli. Untuk memeriahkan kongres, panitia mengundang masyarakat luas baik dari dalam wilayah Aceh sendiri maupun dari luar Aceh untuk menyampaikan saran kepada anggota kongres. Setelah kongres pertama di Pidie, perkembangan PUSA semakin pesat, beberapa pusat kendali didirikan antara lain terdapat di Indrapuri/Seulimum, Aceh Besar. Sigli, Pidie, Bireueun, Aceh Utara. Idi, Aceh Timur. Kemudian yang membuat PUSA semakin menarik adalah keanggotaanya tidak mesti dari kalangan teungku semua, melainkan seluruh komponen masyarakat Aceh yang beragama Islam. Dengan demikian banyak masyarakat kemudian bergabung menjadi anggota PUSA. Bergabungnya seluruh komponen masyarakat dari berbagai golongan akan menambah kekuatan PUSA untuk mendobrak tradisi yang ada dalam masyarakat yang melenceng dari ajaran Islam. Pada kongres PUSA Tgk. Abdullah Umar Lam U dan Tgk. M. Daud

27

Beureueh dalam pembentukan cabang PUSA Langsa 24 Maret 1940 secara tegas menyatakan maksud PUSA ingin membasmi kebathilan dalam agama yang dapat merusak jiwa raga rakyat Aceh. Dari pernyataan kedua ulama itu bahwa PUSA bercita-cita ingin membentuk masyarakat Aceh menjadi masyarakat yang Islami. Dengan sikap seperti itu sudah pasti PUSA berhadapan langsung dengan pihak yang berseberangan dengan ide perjuangan PUSA. Pihak yang merasa diserang oleh PUSA adalah teungku tradisional dan uleebalang.

Sikap PUSA demikian telah membuat banyak uleebalang memusuhi gerakan yang dilancarkan oleh PUSA. Menurut PUSA kebijakan yang dilakukan oleh uleebalang telah banyak menyengsarakan rakyat, seperti mereka memberlakukan kerja rodi (kerja wajib bagi setiap laki-laki yang berusia 18-55 tahun untuk proyek umum selama 12 hari dalam setahun), dan penarikan

belasting (pajak harta yang oleh penduduk sering disebut sebagai “pajak kepala”, karena semiskin-miskin penduduk tetap harus

membayar f 2, per penduduk dewasa). Kenyataan ini tidak saja pemuka agama yang keberatan, Twk. Mahmud yang waktu itu wakil Aceh di Volksraad juga merasa khawatir terhadap pajak yang diterapkan oleh kaum uleebalang.28

Menurut Tgk. M. Nur El Ibrahimy, gambaran pemungutan pajak yang dilakukan oleh uleebalang hampir sama dengan yang diterapkan oleh raja-raja Prancis. Semua rakyat dikenakan pajak

28

sekehendak hati raja, mereka disuruh kerja paksa dengan tidak diberikan upah. Rakyat dieksploitasi sedemikian rupa sehingga dikesankan kepada mereka bahwa mereka adalah milik raja.

Anggapan seperti itu terdapat dalam hadih maja “nyawong di Puteu Allah, darah gapah di Teuku Po (nyawa adalah kepunyaan Allah,

darah dan lemak tubuh adalah kepunyaan uleebalang).29Selain kerja rodi dan pajak, sumber konflik lain dengan uleebalang adalah pengeloaan Baitul Mal. Sebagian uleebalang bersikap transparan dalam mengurus Baitul Mal, seperti Sagi XXII, namun banyak

uleebalang yang mengurus Baitul Mal tidak transparan.30 Selain dengan uleebalang, PUSA juga menemui konflik dengan teungku tradisional dan pemimpin tarekat yang masih mempraktekkan kurafat dan tahayul. Bagi PUSA praktek agama yang bersifat khilafiah harus dihilangkan, hal ini tentu saja mendapat tantangan dari teungku tradisional yang selama ini mempraktekkannya.

Dalam konstalasi politik, gerakan PUSA yang dimotori oleh para teungku telah memberikan kepada Aceh suatu nuansa organisasi lokal modern yang otentik.31 Perannya lebih kentara terlihat tidak saja dalam perubahan sosial keagamaan, dalam kehidupan politik juga demikian, seperti pada masa kolonial Belanda, Jepang demikian juga pada masa kemerdekaan. Teungku yang tergabung didalam PUSA tidak saja mampu memobilisasi

29M. Nur El Ibrahimy,Tgk. Muhammad Daud Beureueh Peranannya dalam

Pergolakan di Aceh (Jakarta: Gunung Agung, 1982), h. 84.

30Agus Budi Wibowo, Iriani Dewi Wanti, dan Iskandar Eko Priyotomo,

Dinamika dan,..(2005), h. 55-56.

31Rusdi Sufi, Kiprah Ulama Aceh pada Masa Revolusi Kemerdekaan 1945-1949 (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Provinsi Aceh, 2012), h. 67.

masyarakat secara luas ke jalan agama, mereka juga mampu mengendalikan kehidupan politik di Aceh pada saat itu.

2. Peran Pada Masa Kolonial Belanda

PUSA pada awal berdirinya hanya berkiprah dalam bidang pendidikan dan keagamaan lambat laun terjun ke bidang politik. Kiprah PUSA yang semakin meluas telah merisaukan pihak Belanda. Organisasi PUSA melalui pendukungnya berhasil mengadakan pemberontakan di seluruh Aceh melawan pendudukan Belanda ketika Jepang datang tahun 1942.32 Untuk melanggengkan kekuasaannya Belanda mempergunakan pengaruh dan wewenang melalui uleebalang. Kaum uleebalang juga khawatir, jika rakyat sadar terhadap hak politiknya, serta berbicara tentang kemerdekaan, maka hak istimewa yang mereka peroleh selama ini cepat atau lambat akan hilang. Maka kedua pihak ini bersatu atas dasar kesamaan kepentingan untuk menghadapi ancaman bersama yaitu PUSA dan para pengikutnya.

Fenomena lain yang dapat menguatkan peran PUSA adalah timbulnya perang Pasifik antara Belanda serta sekutunya di satu pihak dan Jepang dipihak lain. Hal ini semakin memperbesar PUSA dalam mengusir Belanda. Tgk. M. Nur El Ibrahimy dalam catatanya menyebutkan bahwa dalam bulan Desember 1941, Tgk.M. Daud Beureueh, selaku Ketua Pengurus Besar PUSA, Tgk. Abd. Wahab Seulimum, Anggota PUSA dan Kepala Cabang PUSA Aceh Raya, T. Nyak Arif, Panglima Sagi XXVI Mukim, T.M. Ali Panglima

32Anthony Reid, “Perlawanan dalam Sejarah Nanggroe Aceh Darussalam”, dalam, Tempo, Edisi Khusus, 24 Agustus (2003), h. 38.