• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: METODE PENELITIAN

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

F. Landasan Teori

4. Organisasi KeagamaanTeungku

Sebelum teungku memprakarsai beberapa organisasi bagi kepentingan mereka. Di Aceh sejak dulu sudah berdiri beberapa organisasi masyarakat sipil, organisasi tersebut antara lain

Vereeniging Atjeh (Serikat Aceh) yang lahir pada 17 Desember 1916

di Kutaraja oleh sekelompok pemuda. Maksud didirikannya organisasi ini secara umum adalah (1) untuk memajukan dan memperbaiki sistem pengajaran/pendidikan di Aceh. (2) untuk merubah adat-adat yang menghalangi dan mengekang kemajuan serta memperbaiki sopan santun yang sedang berlaku dalam masyarakat Aceh. Lebih lanjut disebutkan bahwa cara organisasi ini dalam memajukan pendidikan dengan memberi bantuan kepada anak-anak anggota dan anak-anak saudara kandung yang menjadi anggota perserikatan, serta kepada anak-anak Aceh yang bukan anggota perserikatan, tetapi telah menamatkan dan mendapat keterangan sebagai anak cerdas dari Europeesche School dan

luar negeri.96 Pada 1928 di Kutaraja juga berdiri organisasi

Atjehsche Studiefonds (Dana Pelajar Aceh). Tujuannya dari

organisasi ini untuk membantu anak-anak Aceh yang cerdas tetapi tidak mampu dalam biaya sekolahnya untuk dididik pada sekolah-sekolah berkualitas dengan harapan suatu saat nanti mereka mampu meningkatkan harkat dan martabat masyarakat Aceh.97

Organisasi lain yang pernah lahir di Aceh adalah Serikat Islam (SI), dalam organisasi ini tokoh yang paling banyak terlibat dari unsur uleebalang (bangsawan) seperti T. Keujruen Chiek Muhammad Alibasyah (uleebalang Samalanga), T. Abdul Hamid (uleebalang Lhokseumawe), T. Chiek Muhammad Said (uleebalang Cunda), T. Abdul Latif (uleebalang Keudong), dan Teuku Raja Budjang (uleebalang Nisam). Organisasi ini, karena didukung oleh

uleebalang dan masyarakat, hingga 1920 menjadi organisasi politik

yang cukup kuat dan berpengaruh di Aceh.

Bagi teungku, mereka lebih cenderung melibatkan diri dalam organisasi berbasis agama ketimbang ke SI. Di antara organisasi tersebut adalah Muhammadiyah, Perti, Al-Washliyah, dan PUSA. Muhammadiyah masuk ke Aceh (Kutaraja) pada 1923 yang dibawa

96Organisasi Vereeniging Atjeh ini memiliki personalia kepengurusnya adalah sebagai berikut: Teuku Chiek Muhammad Thayeb sebagai ketua; Teuku Tengoh wakil ketua, Nyak Cut Sekretaris I, Abu Bakar sekretaris II, Teuku Usen dan Teuku Chieh Muhammad sebagai Bendahara; Teuku Johan Alamsyah dan Teuku Asan I sebagai Komisaris. Rusdi Sufi, Pernak-Pernik Sejarah Aceh (Banda Aceh: Badan Arsip dan Perpustakaan Aceh, 2009), h. 96.

97H. M. Zainuddin, Bungong Rampö, (Medan: Pustaka Iskandar Muda,1965), h. 127-129.

oleh mantan sekretaris Muhammadiyah Cabang Betawi, S. Djaja Soekarta, ketika beliau pindah ke Kutaraja dan bekerja pada Jawatan Kereta Api Aceh. Namun pada waktu itu belum dimungkinkan untuk mendirikan sebuah cabang di Aceh, karena personalia pengurus belum ada. Baru pada 1927 atas bimbingan dari seorang utusan pengurus pusat Muhammadiyah yang bernama A.R. Soetan Mansoer organisasi ini dapat menyebar dengan cepat ke seluruh Aceh. Apabila dibandingkan dengan organisasi-organisasi lain yang datang dari Jawa, Muhammadiyah termasuk organisasi yang relatif dapat hidup dan berkembang di Aceh. Sekelompok cendekiawan Aceh menjadi anggota dan pendukung Muhammadiyah. Melalui organisasi ini mereka menyalurkan aspirasi politiknya dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial.98

Muhammadiyah dalam usaha mempertahankan eksistensinya di Aceh, lebih memusatkan kegiatan sosialnya di kota dan di pusat-pusat pemerintahan, selain mereka terus memperluas pengaruhnya dengan mendirikan berbagai kegitan di pedesaan, seperti mendirikan rumah santunan, klinik kesehatan, serta membangun sekolah-sekolah modern dengan tujuan untuk melahirkan insan berilmu

98

Bidang garapan Muhammadiyah dalam program sosial kemasyarakatan sangat luas, meliputi: Rumah sakit, poliklinik, balai pengobatan, rumah bersalin, panti asuhan, panti jompo, BKIA, pusat kesehatan, apotik, dan lain-lain. Weinata Sairin, Gerakan

dalam arti seluas-luasnya dan mengamalkan ajaran agama dalam segala aspek kehidupannya.99

Organisasi keagamaan lain yang memiliki pengaruh kuat dalam masyarakat Aceh adalah Perti, organisasi ini menjadi tempat bagi para teungku dayah. Kalau Muhammadiyah lebih cenderung memilih massa kota, maka Perti lebih cenderung memilih masyarakat desa karena dayah pada umumnya berada di desa-desa. Di antara kegiatan Perti yang sangat menonjol adalah mendidik para santri di dayah dan mengajarkan mereka ajaran tasauf melalui jalan tarekat, suluk dan tawajjuh.Tujuanya adalah untuk membawa manusia kepada kesucian jiwa dengan mengamalkan ilmu-ilmu agama secara komprehensif. Oleh karena itu, pusat kegiatan harus ditempatkan di gampong-gampong yang jauh dari keramaian kota. Sejak 1960-an banyak teungku yang sebelumnya bergabung ke Perti beralih ke Inshafuddin sebagai organisasi baru teungku dayah.

Organisasi keagamaan lain yang mendapat perhatian besar masyarakat Aceh adalah Jamiatul Washliyah, organisasi ini telah membuka beberapa cabang di Langsa, Kuala Simpang, Idi, kemudian di Blang Paseh Sigli, serta di Seulimum Aceh Besar.100 Organisasi Al-Jamiatul Washliyah lebih memfokuskan diri dalam bidang pendidikan, ketimbang bidang-bidang lainnya.

99

Baihaqi, AK, “Ulama dalam Masyarakat Aceh Dewasa Ini”, dalam, Taufik

Abdullah (ed), Agama dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Press, 1983), h. 151.

100A.J. Piekaar, Atjeh En De Oorlog Met Japan, Alih Bahasa, Aboe Bakar, Cet. Ke 2 (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1998), h. 34.

Untuk menyatukan masyarakat dan teungku di seluruh Aceh pada 5-8 Mei 1939 melalui hasil musyawarah besarpara teungku dayah se Aceh yang dipusatkan di Kampus Madrasah Al Muslim Peusangan, Matang Glupang Dua (Onderafdeeling Bireuen, Aceh Utara) lahirlah sebuah organisasi berbasi lokal, organisasi tersebut diberi nama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).101 Sabagai organisasi kedaerahan yang dalam berbagai geraknya tampak watak Aceh yang khas telah menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Aceh. Sehingga dalam waktu singkat organisasi ini sudah menyebar luas ke seluruh Aceh. PUSA pada awal berdirinya merupakan organisasi yang berusaha menyatukan pemahaman teungku-teungku di Aceh, sekaligus menjadi agen pembaharuan dalam bidang pendidikan, yaitu dengan cara mendirikan sejumlah madrasah dengan mengitegrasikan pendidikan agama dan pendidikan umum dalam kurikulum madrasah. Sekolah-sekolah PUSA berkembang dengan pesat melebihi dayah-dayah dan sekolah-sekolah Muhammadiyah yang ada pada saat itu. Pada tahun 1946 timbul pemikiran untuk menegerikan sekolah-sekolah PUSA dengan suatu

piagam yang bernama “Kanun Penyerahan Sekolah-Sekolah Agama Kepada Pemerintah” yang bertanggal 1 November 1946, maka lebih

101Rusdi Sufi, Gerakan Nasionalisme di Aceh (1900-1942), (Banda Aceh: BKSNT Banda Aceh, 1998), h. 54-55.

kurang 180 madrasah dengan jumlah murid sekitar 36.000 orang secara resmi diserahkan kepada pemerintah.102

PUSA dalam perjalanan panjangnya menjadi kekuatan politik yang sangat diperhitungan oleh Belanda dan pemerintah pusat, karena sebagian besar tokoh pergerakan saat itu adalah orang-orang yang sangat dihormati dan disegani oleh masyarakat. Untuk lebih mensejajarkan geraknya dengan organisasi-organisasi Islam di luar daerah pada akhir tahun 1940 PUSA menjadi anggota M.I.A.I (Majlis Islam Ala Indonesia).103 Organisasi PUSA bukan saja aktif dalam melawan penjajahan Belanda, pada masa Orde Lama karena kekecewaan begitu mendalam terhadap pemerintah Pusat karena membubar Provinsi Aceh akhir Januari 1951,104 para pemimpin PUSA di bawah pimpinan Tgk. M. Daud Beureueh juga melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Pusat pada tahun 1953. Pemberontakan tersebut terkenal dengan pemberontakan DII/TII.105

Setelah organisasi PUSA bubar, beberapa organisasi teungku tetap eksis berdiri sampai sekarang. Organisasi tersebut antara lain adalah MPU (Majelis Permusyawaratan Ulama) yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya organisasi MUI (Majelis Ulama Indonesia), Inshafuddin, HUDA (Himpunan Ulama Dayah Aceh), Rabithah Taliban Aceh, dan MUNA (Majelis Ulama Nanggroe

102

Baihaqi A.K, “Ulama dan ,…, (1983), h. 153-154

103Rusdi Sufi,Pernak-Pernik ,…(2009), h. 111.

104Nazaruddin Sjamsuddin, Pemberontakan,…, (1990), h. 49

105

Aceh). Organisasi-organisasi tersebut dengan sendirinya menjadi kendaraan bagi teungku dayah dalam mengawal pelaksanaan syariat Islam di Aceh.