• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: METODE PENELITIAN

GAMBARAN UMUM PERAN DAYAH DI ACEH

D. Peran Dayah Dari Masa Ke Masa 1. Peran Pada Masa Kesultanan

5. Peran Pada Masa Sekarang

Dayah sebagai institusi pendidikan masih memikat masyarakat Aceh sampai sekarang, lembaga-lembaga tersebut secara megah telah berdiri di banyak tempat dengan jumlah santri yang bervariasi. Dayah MUDI Mesra Samalanga, Dayah Darussalam Labuhan Haji dan dayah-dayah lain masih sangat diharapkan kontribusinya oleh masyarakat Aceh. Secara historis dayah dan masyarakat Aceh menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam segala aspek pembangunan bangsa ini. Walaupun sejumlah kelemahan tetap saja dimiliki oleh dayah, misalnya alumni dayah sulit bersaing dengan lulusan sekolahan, atau alumni dayah susah untuk tampil pada forum-forum internasional karena wawasan yang dimiliki terbatas dan mereka hanya paham masalah agama saja. Menyahuti permasalahan yang dihadapi seiring kemajuan dan perkembangan modern, sejumlah dayah terus menata diri sebagaimana yang dilakukan oleh Dayah MUDI Mesra Samalanga dengan membuka STAI Al-Aziziyah guna menjembatani alumni dayah untuk mengenyam pendidikan tinggi agar mampu bersaing dengan dunia luar. Semestinya langkah maju yang dilakukan oleh MUDI Mesra harus diikuti oleh dayah-dayah lain agar semua dayah di Aceh memiliki daya tahan yang kuat untuk masa-masa yang akan datang.

Menurut Mujiburrahman, kewujudan dayah menjadi sebuah cita-cita, sikap dan pelengkap kebudayaan. Keberadaannya diperlukan demi menjaga keteraturan dan kestabilan serta untuk

membina sistem masyarakat secara Islami di Aceh.129 Terlepas dari sejumlah kelemahan yang dihadapi oleh dayah, ada beberapa prestasi yang harus diberikan sebagai bentuk apresiasi kepada dayah dalam rangka peningkatan kapasitas dan kualitas keberagamaan masyarakat. Di antara apresiasi tersebut menurut Mujiburrahman antara lain adalah: Pertama, dayah sebagai institusi yang melahirkan

teungku, pemimpin masyarakat dan pemimpin bangsa. Tradisi dan

lingkungan pendidikan dayah memungkinkan para santri untuk memiliki sikap mental yang kuat, berjiwa besar, dan mandiri. Dalam sistem dan lingkungan kehidupan seperti ini, dayah benar-benar mendidik dan melatih jiwa kebersamaan, kemandirian dan kepemimpinan di kalangan santri. Kesemua ini menjadi sangat berharga pada waktu mereka kembali ke kampung halamannya. Bahkan tidak sedikit dari mereka yang menjadi pemimpin di daerahnya masing-masing. Kedua, dayah berperan membina dan menjaga moral masyarakat. Sebagai institusi pendidikan sekaligus institusi sosial yang berada di tengah-tengah masyarakat pedesaan, dayah dituntut untuk mampu mempengaruhi dan mengendalikan sikap dan tingkah laku anggota masyarakat.

Ketiga, dayah dan teungkunya berperan memberikan nasehat dan tuntunan kepada masyarakat, nasehatnya tidak hanya terbatas pada wilayah tertentu saja, akan tetapi harus secara luas dan terbuka. Dalam konteks ini teungku dayah tidak boleh mengejar kemasyhuran pribadi tanpa memperhatikan kepentingan umat.

129

Karena kebaikan dan kehancuran umat menjadi salah satu tanggungjawab mereka. Selama ini banyak pemimpin agama sibuk dengan diri mereka masing-masing, bahkan cenderung tidak mempedulikan yang lain.130 Keempat, berbagai aktivitas yang dilakukan teungku dayah dalam memberikan nasehat dan tuntunan nilai-nilai agama yang terus berkembang. Saat ini banyak teungku yang memanfaatkan media cetak serta media elektronik dalam melakukan aktivitas ceramahnya kepada masyarakat.131 Hal ini sangat memungkinkan karena berbagai fasilitas sudah tersedia dengan mudah serta terjangkau oleh semua lapisan masyarakat, seperti koran, radio, televisi atau ponsel pintar berupa Hp dan sejenisnya. Untuk itu, teungku dayah pada era sekarang harus mampu beradaptasi dengan trend kemoderenan. Bila tidak, maka siap-siap untuk digilas oleh kecanggihan budaya modern.

Teungku dalam hal ini harus memiliki inovasi tinggi dalam

memimpin dan mengurus dayah, tidak boleh lagi terpaku pada model dan pola lama. Bagi dayah, ini menjadi tantangan paling berat termasuk dalam menyesuaikan diri dengan kurikulum yang sesuai kebutuhan kekinian. Selama ini menurut T. Zulkhairi, bahwa kelemahan yang paling dirasakan adalah keterlambatan dayah menyesuiakan diri dengan kurikulum modern, sehingga alumni dayah tidak sanggup bersaing dalam skala regional dan internasional. Tidak terdengar lagi ada fatwa-fatwa teungku dayah

130Arfendi A.R, “Elite Menuju Kesamaan Orientasi”, dalam Panjimas, No. 443,

September (1984), h. 16.

131

yang berdengung hingga ke mancan negara. Juga tidak ada lagi karya tulis hasil olah pikir alumni dayah yang dipakai sebagai rujukan di level nasional maupun level internasional. Nampaknya ini merupakan akibat dari stagnasi inovasi-inovasi kurikulum pendidikan yang diterapkan dayah itu sendiri sebagai ekses langsung hasil penjajahan panjang bangsa Aceh oleh Belanda.132

Fenomena lain, bahwa saat ini dayah-dayah di Aceh tidak begitu memfokuskan diri untuk mengajarkan peserta didiknya untuk mengetahui Tarikh Islami, Tarikh Tasyri‘, ‘Ulum al-Hadith, ‘Ulum

al-Quran. Begitu juga ilmu-ilmu umum seperti metodologi penelitian, filsafat ilmu, astronomi, matematika dan sebagainya. Beberapa pelajaran tersebut baru diajarkan apabila mereka sudah berada pada kelas enam (6) hingga seterusnya. Atau setelah enam (6) tahun santri menimba ilmu di dayah. Hal ini akan menjadi masalah sebab tidak semua santri bisa bersabar hingga enam (6) tahun untuk mondok di dayah. Selain itu, santri dayah tradisional juga memiliki kelemahan karena tidak mampu berbicara dalam Bahasa Arab. Hal ini disebabkan karena tidak adanya kurikulum pelajaran Bahasa Arab percakapan yang diajarkan di dayah-dayah tradisional.133

Apa yang dialami oleh santri dayah menurut Mahfudh Muhammad sebagaimana dikutip oleh T. Zulkhairi, karena ‘metode pembelajaran Bahasa Arab yang diterapkan di dayah hanya terfokus pada qiraah (membaca), dan istima’ (mendengar). Sangat jarang

132Teuku Zulkhairi, “Pembangunan Dayah”, Akses 5 September, (2015), h. 36.

133

menyentuh ranah kitabah (menulis) dan muhadatsah (berbicara). Para santri hanya membaca (menghafal) dan mendengar saja teks-teks Arab yang menjadi bahan kajian mereka, tanpa menulis dan berkomunikasi dengan Bahasa Arab itu sendiri’. Implikasi dari hal ini, walaupun dayah memiliki keunggulan dalam melahirkan kader

teungku yang mampu membaca dan memahami “kitab gundul”

secara mendalam, kemudian mentransfernya kepada murid dan masyarakat. Hal ini dapat dipahami, karena dayah memfokuskan metode pembelajaran bahasa dari aspek qawa’id (grammar). Namun di sisi lain, banyak santri dayah kurang mahir menulis tulisan Arab dan berbicara dalam Bahasa Arab. Hal ini salah satu implikasi dari

“keringnya” proses pembelajaran bahasa dari kitabah dan

muhadatsah. Akibat lain dari “kekeringan” ini adalah orientasi

menuntut ilmu di dayah tidak mencapai taraf melahirkan kitab-kitab

ilmiah’. Hal ini berbeda dari teungku-teungku terdahulu. Setelah

menuntut ilmu sekian lama, mereka menuangkan hasil pemikirannya dalam lembaran-lembaran kertas yang ditulis dalam Bahasa Arab, sebagai salah satu amal jariyah yang tidak terputus pahalanya.134

Menghadapi situasi demikian menurut M. Hasbi Amiruddin, dayah harus mengambil langkah strategis sehingga teungku yang akan dihasilkan di masa mendatang mampu berpartisipasi dalam segala level. Kalau untuk merubah kurikulum secara spontan di dayah tidak mungkin dilakukan dengan beberapa alasan. Pertama, kurikulum, arah dan tujuan dayah adalah domainnya teungku dayah.

134

Pendapat ini juga didukung oleh penelitian Muhammad AR, bahwa peran Teungku Chik sangat dominan dan tidak ada pihak lain yang berhak mencampuri urusan internal dayah khususnya dalam masalah kurikulum.135 Kedua, mereka harus lebih dahulu meneliti apakah kitab-kitab yang akan diajarkan sejalan dengan aliran mereka. Ketiga, kalau juga diajarkan siapa gurunya, apakan sejalan dengan pemikiran mereka, kecuali untuk ilmu yang tidak ada kaitannya dengan agama seperti ilmu bahasa. Untuk itu hal yang paling mungkin dilakukan untuk waktu jangka menengah adalah menyediakan perpustakaan dengan kitab-kitab yang paling dibutuhkan guna menambah wawasan mereka tanpa merusak tradisi dayah yang sudah begitu mengakar dalam kehidupan masyarakat. Sementara untuk jangka panjang adalah dengan mengadakan pendidikan studi purna dayah kepada mereka yang telah menamatkan kitab mahalli atau kitab fathu al Wahab.Dalam program ini perlu ditawarkan kurikulum khusus, seperti perbandingan mazhab, fiqh muqarran, ekonomi syariah, fiqh siyasah mulai dari klasik hingga modern. Dalam bidang sejarah Islam harus ditawarkan sejarah dari masa klasik, pertengahan hingga modern. Demikian juga dalam bidang hadis, mulai dari sejarah pengkodifikasian hadis sampai takhrij hadis, serta dalam bidang tafsir, mulai dari sejarah tafsir sampai kepada perbandingan tafsir.136

135Muhammad AR, Akulturasi Nilai-Nilai Persaudaraan Islam Model Dayah di

Aceh (Jakarta: Puslitbang Kementerian Agama RI, 2010), h. 270. 136

Dayah di tengah pergumulan dunia modern akan menghadapi tantangan cukup besar, menurut Tabrani ZA, dayah yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dari penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni kehidupan masyarakat, khususnya di perkotaan. Dayah tetap menjadi pelabuhan bagi generasi muda agar tidak terseret dalam arus modernisme yang menjebaknya dalam kehampaan spiritual. Keberadaan dayah sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut dayah untuk tanggap secara cepat pula, sehingga eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan dayah ditentukan oleh sejauh mana dayah menformulasikan dirinya menjadi dayah yang mampu menjawab tuntutan masa depan tanpa kehilangan jati dirinya. Langkah ke arah tersebut, tampaknya, telah dilakukan dayah melalui sikap akomodatifnya terhadap perkembangan teknologi modern dengan tetap menjadikan kajian agama sebagai rujukan segalanya. Kemampuan adaptatif dayah atas perkembangan zaman justeru memperkuat eksistensinya sekaligus menunjukkan keunggulannya. Keunggulan tersebut terletak pada kemampuan dayah menggabungkan kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual seperti yang telah diperankan oleh dayah itu sendiri.137

137Tabrani ZA, “Masa Depan Dayah”, dalam Serambi Indonesia, 7 Mei 2013,

Menurut M. Hasbi Amiruddin, sejak 1980-an beberapa dayah terpadu (modern) sudah mulai berdiri di Aceh. Kehadiran dayah ini untuk memberikan nuansa baru bagi dunia dayah, yaitu dengan cara menerapkan sistem kurikulum madrasah, pada pagi hari para siswa belajar sebagaimana siswa madrasah pada umumnya, sedangkan pada sore hari mereka menerapkan sistem dayah. Pada dayah terpadu santri diharuskan untuk tinggal di asrama yang telah disediakan oleh dayah sebagaimana yang diterapkan oleh dayah tradisional. Namun yang membedakannya para santri tidak diajarkan kitab-kitab yang tinggi sebagaimana pada dayah tradisional. Oleh karena itu, mereka yang lulus dari dayah modern tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai teungku.138 Penyesuaian sistem pendidikan yang diterapkan oleh dayah modern, telah menempatkan dayah tersebut semakin diminati oleh masyarakat, sehingga dayah modern saat ini telah tumbuh subur di setiap kabupaten/kota di Aceh.

138

BAB IV

PERAN ORGANISASI TEUNGKUDI ACEH