• Tidak ada hasil yang ditemukan

Emanasi Buddha Maitreya

Dalam dokumen Materi Ag. Buddha Utk PT (Halaman 134-141)

MENGENAL BUDDHA MAITREYA 1. Pengertian

2. Emanasi Buddha Maitreya

Walau Beliau belum datang sebagai Samma Sambuddha, tetapi dalam kurun waktu yang tak terhitung, karena kasihnya pada umat manusia, Beliau telah datang berulang kali di dunia, untuk membimbing umat manusia. Seorang Bodhisatva lahir bukan karena Vibhava Tanha (Kemelekatan untuk dilahirkan lagi), tapi karena panggilan kasihnya yang tak terhingga, maka ia tidak dsebut bertumimbal lahir, tapi lebih tepat disebut Emanasi atau pengejawantah. Kelahiran Beliau yang tercatat adalah :

2.1 Awal perjuangan sebagai Raja Sankha

Pada masa Buddha siri mata, muncul didunia, Maitreya terlahir sebagai Raja Sankha,di negera Cakkavati (Roda berputar ), kota Indappatta dinegeri KUN. kota yang besar ini merupakan tiruan dari kota para dewa, istana ini dibangun diatas bumi melalui kekuatan kebajikan dari Sang Raja Sankha yang menganjurkan orang lain untuk mengikuti jalan (Tao) yang dapat menghubungkan kelahiran menuju kelahiran kembali di alam yang lebih tinggi, dan Beliau menjalankan keadilan dengan jujur.

Ketika Beliau bertemu dengan seorang samanera yang menyatakan kepada Beliau bahwa buddha berada disebuah vihara bersama Pubbarama enam belas yojana jauhnya.Raja Sankha lalu memberikan kekuasaan sebagai Raja Cakkavati kepada samanera itu.la menyerahkan kerajaannya dan sejumlah besar sanak keluarganya. Dipenuhi rasa gembira karena berpikir akan berjumpa dengan buddha, Beliau mulai berjalan kearah utara menuju Pubbrama. Hari pertama, sol sepatu kakinya terbuka dan lepas karena sepatu tersebut sangat Lambat dan terbiasa diperlakukan secara mewah.hari kedua kaki mulai terluka dan berdarah. beliau tidak dapat berjalan pada hari ketiga, sehingga Beliau merangkak untuk bertemu dengan Buddha Siri Mata.

Setelah mendengar dharma agung dari sang Buddha, Beliau mempersembahkan kepala Beliau sebagai dana kepada sang Buddha. Dan dihadapan Buddha Siri Mata,

beliau mengucapkan ikrar untuk menjadi Samma Sang Buddha dimasa mendatang, dan sumpah Beliau mendapat restu dari Buddha Siri mata

2.2 Sarva Janna Praba Bodhisatva berpantang daging

Jauh sebelum Buddha Sakyamuni mencapai keBuddhaan, Maitreya pernah terlahir sebagai seorang pembina dengan gelar Yi Chiek Ce Kuang Ming Sien Ren yang berarti nabi yang berkebajikan cemerlang. Pada suatu waktu saat sang Nabi membina ditengah hutan, terjadi bencana banjir yang menyebabkan penduduk gagal panen dan Sang Bodhisatva tidak mendapat dana makan selama 7 hari.

Saat itu di atas gunung, tinggallah 500 ekor kelinci. Ketika melihat keadaan Pertapa memprihatinkan, ratu kelinci akhirnya bertekad mengorbankan dirinya untuk menyelamatkan pertapa tersebut agar Buddha Dharma tetap tersebar lestari.

Dewa Gunung dan dewa Hutan turut membantu Ratu kelinci dengan menyediakan api unggun. Ketika Ratu kelinci selalu berpesan akan berkorban, ada seekor anak kelinci berkata,”... Ini adalah perbuatan bajik, saya juga akan melakukannya!”

Saat daging kelinci panggang telah matang, dewa gunung memberitahukan hal tersebut kepada Sang Bodhisatva. Ketika Sang Bodhisatva melihat keadaan dua ekor kelinci panggang hati beliau sangat teriris lalu beliau bersabda, “Biarlah tubuhku hancur, Jiwaku sakit. Selamanya aku tak akan tega menyantap daging makhluk manapun juga, karena daging makhluk lain tidak berbeda dengan dagingku sendiri.”

Lebih lanjut Beliau berikrar, “ Semoga aku pada berkalpa-kalpa kehidupan mendatang tak pernah lagi timbul niat membunuh dan selamanya tak melahap daging makhluk hidup. Selamanya aku akan mengamalkan sila berpantang makan daging. Demikianlah aku akan terus berjuang memancarkan maha kasih hingga mencapai kesempurnaan.”Setelah itu Sang Pertapa juga melompat dalam kobaran api.

Buddha Sakyamuni bersabda,” Saat Ratu kelinci adalah aku dan anak kelinci adalah Rahula, sedangkan sang Petapa adalah Bodhisatva Maitreya”.( Sutra Kotbah Buddha tentang Sarva Janna Praba Bodhisatva berpantang daging)

Inilah awal tradisi berpantang daging, sehingga Buddha Maitreya dikenal sebagai perintis vegetarian dunia.

2.3. Maharaja Liu Zhi dengan Samdhi Maitri.

Pada suatu masa, Beliau pernah menjadi raja di negeri Mettadhati, saat ini Beliau bersumpah untuk mencapai kesempurnaan jiwa dengan metode pembinaan Samadhi-Maitri, yaitu Meditasi cinta kasih. Berkat kegigihannya, sumpahnya direstui Buddha Pusya.

Suatu ketika Maharaja Liu Zhi mengunjungi Buddha Pusya, dari kejauhan Sang Maharaja meliahat Buddha seperti matahari yang bersinar teang, para pengikut yang duduk bersila seperti kumpulan bintang yang sedang memberi hormat pada Sang Buddha. Diantara murid-murid tersebut ada seorang pembina yang memancarkan sinar keemasan yang sangat teang seperti cahaya api yang membara.

Maharaja lalu bertanya, “ Bagaimana pembina itu bisa memancarkan sinar yang demikian istimewa, tingkat apa yang telah dicapainya?”

Sang Buddha berkata,” Pembina itu membina dengan pola Samadhi Maitri”. Begitu mendengar Sang Raja lansung berkata,” Mulai sekarang saya akan membina dengan pola pembinaan Maitri”.

Apa itu pola pembinaan Maitri?

Kitab Chan Fa Yao Jie mencatat teknik pembinaan Samadhi Maitri Yaitu memperhatikan umat manusia dengan kasih dan kebahagiaan, sehingga umat manusia bisa menemukan kebahagiaan sejati.

Cara melatih pola pembinaan Samadhi Maitri.

1. Hargai dan sayangi diri sendiri, tempatkan diri pada kebahagiaan tertinggi, lewatkan hidup dengan pengalaman yang bahagia. Jalani hidup dengan pikiran positif.

2. Sayangi orang yang Anda suka, berikan kebahagiaan terbesar unutknya, pikirkanlah bagaimana ia dapat bahagia dengan kaasih sayang Anda.

3. Pikirkan tentang kebahagiaan kerabat keluarga dan teman serta orang-orang disekitar kita.

4. Perluas kasih kita terhadap setiap orang yang kita temui, baik yang kita suka maupun tidak.

5. Setelah Anda Mampu mengembangkan kasih tanpa memilah, kembangkan pula terhadap orang yang kita benci, doakan kebahagiaan untuk mereka.

Biarkan kasih Anda terus menyebar kepada semua makhluk hidup baik yang kelihatan maupun tidak, dan seterusnya. Praktekan ini setiap hari selama 5- 10 menit dan Anda akan merasakan perubahan yang menakjudkan dalam diri Anda.

2.4. Pertapa Ajita di zaman Buddha Sakyamuni

Pada zaman Sang Buddha Beliau terlahir sebagai anak seorang perdana menteri di Kerajaan yang diperintah oleh raja Paramartha, di desa Kalpari, tepatnya di distrik Varanasi. Ketika Beliau lahir, ada seorang arahat Varanasi yang bijak datang melihat dan berkomentar, “ Dipermukaan bumi ini, selain Buddha Sakyamuni hamba sama sekali belum pernah menjumpai seorangpun yang kharismanya begitu agung dan cinta kasihnya seperti anak ini. Sungguh menakjubkan dan kemudian anak ini diberi nama Ajita yang artinya tak terkalahkan.

Pada kelahiran ini Beliau menjadi murid sang Buddha, dan Walau Beliau melakukan pelepasan agung, tapi Beliau masih membawa diri dengan berpenampilan seorang awam yang belum memutuskan kemelekatan, tidak melakukan dhyna-samadhi dan tidak berusaha memutuskan kilesa batin. Ketika Upali bertanya pada Sang Junjungan dunia, ke dunia manakah kelak Beliau akan dilahirkan? Sang Buddha menjawab dengan tegas, “ Wahai Upali dengarkanlah dengan sepenuh hatimu, dua belas tahun kemudian, Ajita akan meninggal dunia dan segera mencapai Surga Tusita …….Disanalah Bodhisatva Ajita akan menikmati berkah karma mulia hingga usia Jambudwipa 5.670.000.000 tahun baru lahir kedunia ini.”

Menjelang akhir hayatnya di Desa Kalpari, Maitreya berkata pada orang-orang yang mengelilingnya, “ Saya akan memasuki Tusita bumi, kalian semua datang dari daerah jauh hanya untuk bertemu denganku. Ini merupakan pertanda, bahwa diantara kita semua terdapat ikatan jodoh yang baik, demikian juga dengan semua satwa yang ada di semua alam kehidupan.

“……berbuatlah sesuai dengan sifat-sifat bajik. Kelak, saya akan datang ke dunia ini sebagai Manusia Buddha, jodoh bajik ini akan mempertemukan kita dan semua akan memperoleh kepuasan batin dan kebahagiaan sejati.”

Selanjutnya Beliau berpesan lagi,” Setelah kepergian ku generasi manusia mendatang dapat membuat imageku, baik dalam pratima ( Buddha Rupang ), Maupun lukisan. Siapa saja yang bersujud dihadapanku, bernamaskara di altar untuk menghormatiku, mambacakan gatha-gatha suci untuk memuliakan namaku, baik seorang tua maupun anak kecil bergitu melihat pratimaku dengan penuh kekaguman, Memegang perut, wajah, telingku dan sebagainya, mereka semuanya berjodoh dengan aku,maka kelak aku pasti akan memberikan dharma kepadanya serta aku akan berjuang setiap kehidupan untuk menyelamatkan mereka semua. “

Diantara hadirin yang bertanya,” Yang mulia, jika ada orang yang melihat imagemu, tetapi tidak timbul rasa hormat untuk memujamu. Sebaliknya malah merasa jengkel lalu merusakkan pratima atau lukisan anda serta mencercamu. Apakah mereka ini juga termasuk insani yang berjodoh denganmu apakah yang mulia akan datang menyelamatkan mereka ? ”

Maitreya dengan arif menjawab,“mereka yang menindas dan berlaku kasar terhadap diriku tentu akan memperoleh penderitaan, tetapi karena akulah mereka menjadi marah sehingga melakukan akusala kamma. Aku amat sedih dan prihatin, kalau bukan aku yang mencurahkan perhatian dan cinta kasih untuk menyadarkan mereka maka siapa lagi yang akan menyelamatkan mereka ? “

2.4. Maitreya di Tusita

900 tahun setelah parinibbana Sang Buddha, atas permohonan yang Arya Asanga, Bodhisatva Maitreya segera turun dari Surga Tusita kedunia dan menyampaikan khotbah yang sangat terkenal dengan nama Yogacarabhumi sastra dan beberapa kitab lain.

Sumber lain mengatakan bahwa Buddha Maitreya datang kedunia, dengan nama Maitreya dan yang Arya Asanga berguru dengan Beliau .

2.5. Fu Dashi (497-569 M)

Lahir pada tanggal 8-5-497 (lunar kalender) pada zaman enam dinasti pemerintahan raja Ching Ming, di sebuah keluarga petani didesa Jiting, kabupaten Wushang, propinsi Zhejiang. Beliau diberi nama Fu Weng, alias Xuanfeng. Orang menyulukinya yang Arya San Hui (San Hui Dashi) atau pendeta Lie Sang. Masa mudanya tidak bersekolah. Pernah suatu kali ia bersama temannya pergi menangkap ikan di telaga. Ikan-ikan tertangkap olehnya selalu dilepaskan kembali dengan berkata,“ Yang mau pergi silakan pergi ,yang mau tinggal silakan tinggal”. Karena sikapnya yang sedemikian penduduk sering memanggilnya “Si Dungu”. Tetapi Fu Weng tidak mengubris perkataan mereka.

Bertemu dengan Master Zen

Pada tahun 520, saat usianya 24 tahun Fu Dashi sempat bertemu Master Zen yang amat terkenal, yang baru tiba dari India, dialah Bodhidharma. Kedatangan Bodhidharma telah menyadarkan dirinya, siapa dia sesungguhnya. “Engkau dan aku pernah bersama memanjatkan ikrar luhur dihadapan Buddha Visvabhu berkalpa-kalpa yang lalu, hingga kini di Tusita tertinggal jubah dan patra engkau dan aku, bangkit dan sadarlah segera !

Karena tidak mengerti yang dimaksud, Bodhidharma menyuruhnya untuk berkaca pada air di telaga. Segera Fu Weng sadar siapa dia sesungguhnya!

Atas petunjuk Bodhidharma, Fu Weng membangun sebuah gubuk diantara dua pohon cemara, dikaki sebuah Gunung, tempat ini kemudian didirikan Vihara Shuang Lin (Pohon ganda) yang legendaris dan telah bertahan 15 abab. Di sana ia membuka lahan untuk ditanami sayur-sayuran dan buah-buahan. Tetapi sering ada maling yang datang untuk mencari hasil tanamannya. Suatu kali Fu Weng melihat Si Maling datang lagi, lalu ia pun berkata,“Engkau tak perlu mencuri bawalah keranjangmu kesini biar aku petik tanamanku dan aku isikan kedalamnya sampai penuh.“ Si maling menerima pemberiannya setelah berterima kasih ia pun pergi berlalu.

Tujuh tahun kemudian, sewaktu lagi melakukan latihan Dhyana, Fu Dashi didatangi oleh Buddha Sakyamuni, Dipangkara dan Suvamakangu. Mereka berkata kepada Fu Dashi “ Maitreya sekarang belum Saatnya bagi anda untuk turun kedunia. Mengapa anda datang duluan ?”

”Saya tahu, wahai para Buddha! Dikarenakan ikatan jodoh yang baik saya dengan umat manusia tertanam dalam dan terjalin lama maka biarkan saya menyelesaikan terlebih dahulu panggilan sumpah suci saya guna menyadarkan umat manusia. Setelah tugas-Ku selesai saya akan kembali”.

Suatu hari Fu Dashi menghadap kaisar Liang Wu, dengan memakai jubah Buddhis, kepalanya bertopi Taois dan kakinya mengenakan sepatu Konfusios.

Kaisar bertanya kepadanya :”Kamu adalah seorang Bhiksu?” Fu Dashi menunjukkan topi,

Kaisar bertanya kepadanya :”Kamu adalah seorang Taois ?” Fu Dashi menunjukkan sepatu,

Kaisar bertanya kepadanya :”Kamu adalah seorang awam?” Fu Dashi menunjukkan jubah.

Didalam dukungan kaisar Liang Wu, yang Arya Fu Dashi dapat menyebarkan Buddha Dhammanya ke seluruh pelosok negeri. Pada masa itu agama Buddha cukup berkembang pesat.

Suatu hari Fu Dashi duduk dibawah pohon Suam Ling memasuki Dhyana, tak lama kemudian memperoleh pemberkatan dari Tujuh Buddha. Tetapi hanya Buddha Sakyamuni yang berkata : “ Bantulah saya, lanjutkan tugasku.” Kemudian Fu Dashi berkata kepada murid-muridnya bertanya lagi:”Mengapa mereka bersikap begitu ?”

Fu Dashi menjawab lagi:”sekarang Buddha Sakyamuni sedang menyelamatkan manusia, dikemudian hari sayalah penerusnya. Karena inilah setiap kali ketemu, Buddha Sakyamuni selalu berkata seperti itu.”

2.7. Pu Dai He Sang

Pada Dinasti Thang (907-1060 M) di Tiongkok, Maitreya inkarnasi sebagai Bhiksu berkantong (Cloth-Bag Monk), penduduk provinsi Cek Ciang. Ia disebut demikian karena Sang Bhiksu yang berperawakan tubuh besar, dengan wajah bulat-gemuk telinga lebar dan menjulur kebawah, dadanya lapang, perutnya besar, tangannya Memegang sebuah tingkat yang mengaitkan sebuah kantong kain besar, tangannya yang lain menggengam tasbih yang berbiji besar, senantiasa terlihat dalam keadaan senyum lebar. Kemanapun Sang Bhiksu, pergi kantongnya selalu dibawah serta. Benda-benda yang didermakan oleh orang kepadanya, ia masukkan kedalam kantongnya. Lama-kelamaan penduduk telah melupakan nama aslinya maupun nama Dhiksanya. Sebagai

gantinya penduduk memanggilnya Bhiksu Kantong ( Pu Tai He Sang), ada juga yang memanggilnya “Che Se” yang berarti seorang yang bermarga “Maitri”.

Satu keanehan kantong Beliau adalah tak penuh terisi oleh barang-barang, padahal sudah banyak barang-barang yang dimasukkan kedalamnya. Kantongnya tetap kelihatan Normal.

Ada penduduk bertanya kepada Beliau tentang hal tersebut, Bhiksu Kantong menjawab: “Kantong itu ibarat hati manusia yang tak akan pernah puas oleh keserakahan”.

Pada tahun kedua Dinasti Liang Cen Ming (tahun 916 M) bulan ketiga Bhiksu berkantong wafat di Biara Yak Lim. Belakang orang menemukan dua bait syair pada bermukaan tembok biara.

Bait I bermakna :

Hidup sebagai manusia haruslah berjiwa besar, tabah dan berlapang hati maka segala problem dunia tidak akan menggelisahkan hati kita.

Bait II bermakna : Maitreya, Oh Maitreya

Aku selalu datang dalam berbagai bentuk

Diriku menjelma ke dunia untuk menyadarkan manusia Namun, tiada manusia yang mengenalku.

Sebelum peristiwa ini, orang-orang mengenal Maitreya dalam figure seorang pertapa bertubuh biasa. Sejak kehadiran Bhiksu Kantong orang pun segera mengganti pratima Maitreya yang lama dengan pratima yang baru dengan image Maitreya yang kita kenal sekarang banyak disenangi orang dari semua golongan. Ia digambarkan sebagai seorang banyak disenangi orang dari semua golongan. Ia digambarkan sebagai seorang Bhiksu bertubuh gemuk-besar, duduk sambil tertawa lebar, ditangannya ada seuntai tasbih, yang lain menggengam sebuah kantong kain besar. Ini adalah image Maitreya yang paling popular dan sering terdapat di kuil kuno maupun vihara modern.

2.8. Shi Huan U Yang rendah hati dan sederhana.

Pada akhir ke – 18 (dinasti Cing) Buddha Maitreya kembali menginkarnasikan diri dengan nama Shi Huan U di kota She-Chuan. Dalam kelahirannya kali ini, Beliau menunjukkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang biasa yang amat sederhana namun terkenal dengan kerendahan hati, kehamparan jiwa dan keluguan sikap hidupnya. Pribadi yang jujur dan rendah hati ini kembali menunjukkan sikap hidupnya yang bebas tiada keakuan, tiada oposisi, tiada persaingan. Inilah sikap yang perlu dimiliki oleh umat manusia akhir zaman yang suka bersaing, suka bertikai dan hanya mau menang sendiri. Sikap Maitreya yang amat berbeda dengan arus hidup ini justru mendatangkan kesejukkan batin bagi umat manusia yang keras kepala itu. Sejak itulah dimana-mana umat Maitreya yang rendah hati dan polos, disiplin dan tahan derita! Semua ini adalah berkat ajaran sang inkarnasi Sang Maitreya yang tepat masa; dikala umat manusia hidup dalam kesombongan dan egois, pengikut Buddhisme Maitreya justru menunjukkan sikap merendah dan mengalah. Umat Maitreya yakni hanya bersikap demikian dunia yang panas oleh api persaingan dapat disejukan. Inilah filsafat hidup bahagia untuk semua

manusia. Pribadi agung ini kemudian dinyatakan sekali lagi pada umat manusia melalui kelahirannya yang berikutnya ditahun 1848 di kota Ci-Ning Shantung.

2.9. Patriat Cin Kung yang lugu polos.

Di kota Ci-Ning, Shantung, Maitreya lahir dengan nama lu Cung Ie (1853-1925 M). Dialah Patriat Lu! Sebuah pribadi yang luar biasa yang begitu kuat cinta kasihnya namun begitu rendah hatinya, polos dan lugu! Sama seperti patriat ke-6, Hui Neng, Patriat Lu juga tidak mengerti baca-tulis (buta huruf). Pada saat dunia dimana-mana orang mulai mendewakan intelek dan sikap skolastik, Buddha Maitreya justru datang dengan pribadi yang lugu dan polos. Beliau sama sekali tidak menunjukkan sikap kecendikiawan, pola pikir yang akademis dan pola hidup yang skolastik melainkan Beliau menjawab semua tuntunan dunia ini dengan nuraninya! Kesucian sebuah nurani akan mendatangkan sebuah pribadi yang lugu, polos dan penuh kasih. Kesucian nuraninya senantiasa terpancar dalam hidupnya yang luar biasa disiplin dan tahan derita. Kehidupan yang amat hemat dan luar biasa dan bersahaja membuktikan kesucian jiwanya dari kemelekatan nafsu-nafsu duniawi. semangatnya yang luar biasa dalam menerima duka-derita menunjukkan kebebesan leluasaan batinnya. pribadinya lugu, polos dan rendah hati menunjukkan keheningan hati nuraninya, yang bersih dari kotoran dunia fana.kasih sayangnya yang besar menunjukkan sumpah maitrinya yang telah berkalpa-kalpa untuk dunia dan manusia.pribadi Beliau yang agung ini menjadi teladan utama dalam hidup beragama bagi semua umat Maitreya hingga sekarang. inilah sebabnya hingga sekarang dimanapun juga umat Maitreya selalu menunjukkan sikap disiplin dan mengalah, tidak banyak berbicara, tidak pintar berargumen Dharma, lowprofile, tak ingin bersaing dan menolak popularitas. dari jajaran pimpin hingga umat-umat awamnya memiliki suatu sikap yasng sama yaitu tidak ingin dikenal. Umat Maitreya telah terbiasa dengan sederhanaan hidup yang bebas dari segala embel popularitas terutama gelombang persaingan. Semua ini adalah hasil dari benih yang telah ditanam oleh patriat ke 17, Lu Cung Le, kedalam relung hati umat Maitreya!

3. .Tempat tinggal Buddha Maiteya

Setiap halnya setiap calon manusia Buddha sebelum ia datang ke bumi dan menjadi Buddha ia akan tinggal sementara di sorga Tusita. Begitu juga Buddha Maitreya, kini Beliau berada di Tusita-Bhumi, bersama dengan para pengikutnya menunggu waktu yang tepat untuk datang ke dunia sahaloka ini.

Tusita Bhumi disebut juga Sukkhavati Maitreya, yang merupakan salah satu dari Bumi Suci yang ada seperti Bumi Suci Liu Sik dari Buddha Tong Fang Yao she dan alam bahagia Ji Lek, dari Buddha Amitabha.

Diantara alam-alam bahagia ini, Tusita-Bhumi adalah alam yang paling mudah dicapai, master Hui Kuang bersabda, “ Buddha Maitreya merupakan salah satu murid sekaligus penerus ajaran Buddha Gautama. Sebagai murid Sang Buddha yang belum mencapai pencerahan, dalam masa penantian akan kedatangan Maitreya kemanakah kita mesti berlindung dan bersandar ? karena itu Tusita Bhumi telah ada satu taman khusus disediakan bagi para pengikut Sang Buddha sebagai tempat penantian sementara menunggu kedatangan Maitreya..”.

Tusita Bhumi merupakan salah satu dari Surga di kamaloka. Usia rata-rata dewa di alam ini adalah 4.000 T.S. Sehari semalam dia alam ini sama dengan 400 tahun di alam manusia.

Dalam dokumen Materi Ag. Buddha Utk PT (Halaman 134-141)