• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha

Dalam dokumen Materi Ag. Buddha Utk PT (Halaman 79-83)

BAB IV IPTEK DAN SENI

5. Buddhisme mementingkan kepercayaan, sebab orang diselamatkan bukan karena perbuatan tapi karena imannya

1.1. Beda antara Hukum kesunyataan dengan Hukum yang dibuat oleh manusia

2.1.2. Kesunyataan Mulia tentang Asal Mula Dukkha

Kesunyataan Mulia tentang sebab-musabab dukkha. Sebab musabab dukkha adalah Tanha. Sang Buddha mengungkapkan bahwa hakekat dari hidup di 31 alam kehidupan ini ditandai oleh suka dan duka yang sifatnya tidak kekal, selalu berubah yang disebut Dukkha. Setelah kita mengetahui hakekat hidup ini adalah dukkha. Maka kita harus berupaya mencari jalan untuk membebaskan diri kita dari cengkeram dukkha tersebut. Agar dapat terbebas dari dukkha kita harus mencari apa yang menyebabkan terjadinya dukkha tersebut.

Kesunyataan Mulia tentang ‘Sebab Munculnya Dukkha (dukkha samudaya ariyasacca) didefiniskan sebagai ‘Dukkha disebabkan oleh tanha (kehausan atau nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) yang menghasilkan kelangsungan kembali atau kelahiran berulang-ulang kali, yang terikat oleh hawa nafsu dan yang mencari kenikmatan baru di sana-sini.

Untuk menjelaskan pengertian dari kata ‘tanha’ ini, maka diuraikan menjadi tiga hal, yaitu:

1) kehausan akan kenikmatan hawa nafsu (kama-tanha) 2) Kehausan akan kelangsungan dan kelahiran (bhava-tanha)

3) Kehausan akan ketidaklangsungan atau “Pemusnahan diri” (vibhavatanha)

Kehausan (nafsu keinginan yang tak habis-habisnya) ini merupakan sumber dari berbagai macam penderitaan dan kelangsungan hidup makhluk-makhluk. Tetapi hendaknya hal ini jangan dianggap sebagai sebab yang pertama, karena menurut pandangan Buddhis segala sesuatu itu relatif, saling bergantungan dan saling berkaitan. Tanha (kehausan) yang dianggap sebagai sebab dari dukkha pun pada hakikatnya, untuk timbul, tergantung pada sesuatu yang lain, yaitu perasaan, dan perasaan ini tergantung pada kontak dan seterusnya dan terciptalah Hukum Sebab-Akibat yang Saling Bergantungan (Patticcasamuppada( lihat V:2.3)).

Dengan demikian kita lihat, kehausan (tanha) itu bukanlah satu-satunya sebab timbulnya dukkha; meskipun tidak dapat disangkal bahwa kehausan merupakan sebab yang nyata, yang terdekat dan yang terpenting.

Dalam beberapa Kitab Pali dapat ditemukan definisi samudaya sebagai sumber dukkha yang didalamnya, termasuk juga noda-noda dan kekotoran batin (kilesa) di

samping tanha sebagai sebab utama. Tanha sering menunjukan suatu keadaan dahaga yang tidak putus-putusnya, tidak ada akhirnya-suatu kecanduan yang tidak akan berhenti. Tanha dapat juga diartikan dengan hasrat, keterlekatan, ketamakan atau sikap mau menguasai.

Suatu hasrat dapat muncul melalui tiga hal:  Dorong-dorongan tubuh (kebutuhan fisik).  Pengkondisian sosial.

 Perasaan nikmat.

Pada dasarnya tanha itu yang timbul dari avijja (Kebodohan atau ketidaktahuan) bahwa segala sesuatu muncul adalah bersyarat dan tanpa aku.

2.1.3. Kesunyataan Mulia Tentang Lenyapnya Dukkha.

Kesunyataan Mulia tentang lenyapnya dukkha. Artinya segala ketidak nyamanan ini ada akhirnya. Akhirnya Dukkha disebut Nirvana (Nibbana). Sang Buddha menjelaskan tentang Nirvana (Nibbana) kepada Ananda demikian: “Ini adalah aman, tenteram, ini adalah suci, luhur, dimana semua bentuk karma telah terhenti, gugurnya semua lapisan kehidupan, padamnya keinginan nafsu (tanha), disanalah Nirvana (Nibbana). Untuk melenyapkan dukkha secara total, kita harus menyingkirkan akar dukkha, yaitu tanha. Oleh karena itu nibbana juga dikenal dengan istilah tanhakkaya (padam atau lenyapnya kehausan).

Apa sebenarnya Nibbana itu? Jawaban yang dianggap dapat dipertanggungjawabkan ialah bahwa pertanyaan itu tidak dapat dijawab secara menyeluruh dan memuaskan dengan kata-kata, karena kata-kata terlalu “miskin” untuk mengungkapkan arti yang sebenarnya dari kebenaran sejati, kesunyataan mutlak atau Nibbana itu.

Bahasa diciptakan dan dipakai oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu, tentang benda-benda dan ide-ide yang pernah dialami sendiri melalui keenam indera mereka, dengan kata-kata. Pengalaman “yang halus luar biasa” seperti mengalami kebenaran sejati tidaklah dapat digolongkan sebagai pengalaman biasa.

Itulah sebabnya maka tidak terdapat kata-kata untuk memuaskan pengalaman seperti itu, bagaikan seekor ikan yang tidak memiliki kata-kata untuk mengungkapkan tentang tanah dataran. Suatu ketika seekor kura-kura memberitahukan kepada ikan bahwa ia kembali ke telaga setelah berjalan di tanah datar. “tentu saja yang kau maksudkan adalah berenang”, jawab ikan. Kura-kura mencoba menerangkan kepada ikan, bahwa ia tidak dapat berenang di tanah yang padat melainkan harus berjalan di atas tanah tersebut. Tetapi ikan itu kukuh dengan pendapatnya, bahwa hal itu tidak mungkin, sebab menurut hematnya di dunia ini terdiri dari air seperti telaga yang dialaminya dan makhluk-makhluk harus dapat menyelam dan berenang di dalamnya.”

Kata-kata merupakan lambang yang mewakili benda-benda dan bentuk-bentuk yang kita kenal, dan lambang-lambang ini tidak mungkin dapat mengungkapkan hakikat sesungguhnya dari benda atau bentuk pikiran, meskipun dari hal-hal yang sederhana. Walaupun demikian, kita tetap memerlukan bahasa dan kata-kata. Tetapi kalau kita mau mengungkapkan dan menerangkan nibbana dengan kata-kata, kita berkecendrungan untuk memakai isitilah-istilah yang justru mempunyai arti yang sebaliknya. Karena itu

nibbana sering diutarakan dalam istilah negatif, yang mungkin dianggap sebagai kurang berbahaya misalnya seperti Tanhakkaya (lenyapnya kehausan atau nafsu keinginan). Asankhata (tidak terkondisi), Viraga (hapusnya keinginan), Nirodha (terhentinya atau akhir dukkha), dan lain-lain.

Karena Nibbana selalu digambarkan dengan istilah-istilah negatif. Maka orang yang salah paham bahwa nibbana itu negatif dan mencerminkan penghancuran diri, sebab memang tidak ada “diri” yang harus dihancurkan; yang harus dihancurkan sebenarnya pandangan yang menyesatkan tentang adanya “diri” itu sendiri.

Juga tidak dapat dibenarkan mengatakan Nibbana sebagai positif. Pemikiran negatif dan positif adalah relatif dan menggambarkan satu keadaan yang dualistis. Kedua istilah ini tentu saja tidak dapat dipakai untuk menerangkan Nibbana, Kesunyataan Mutlak, yang berada di luar hal-hal yang dualistis dan relatif.

Satu kata yang relatif bukan secara mutlak harus menggambarkan satu keadaan yang negatif pula. Misalnya kata Pali atau Sanskerta menggambarkan suatu keadaan yang dualistis. Kedua istilah ini tentu saja tidak dapat dipakai untuk menerangkan Nibbana, Kesunyataan Mutlak, yang berada di luar hal-hal yang dualis dan relatif.

Satu kata yang negatif bukan secara mutlak harus menggambarkan satu keadaan yang negatif pula. Misalnya kata Pali atau Sanskerta untuk sehat adalah arogya, yang berarti tidak sakit. Tetapi arogya (sehat) tidak menggambarkan satu keadaan yang negatif. Kata abadi (Pali, Amata; Skrt, Amarta, sinonim untuk Nibbana, juga sebuah kata negatif, namun tidak menggambarkan satu keadaan yang negatif).

Satu sinonim lain yang terkenal untuk Nibbana adalah mutti (kebebasan). Tak seorang pun berkata bahwa kebebasan adalah negatif, namun, kebebasan pun mempunyai segi negatif, kebebasan selalu berarti membebaskan diri dari suatu penindasan, dari suatu yang jahat, dari sesuatu yang negatif. Tetapi kebebasan jelas tidak negatif. Dengan demikian, Nibbana, Mutti atau Vimutti kebebasan mutlak adalah kebebasan dari sebuah bentuk kejahatan, kebebasan dan keinginan yang tidak habis-habisnya, dan kebencian dan kebodohan, kebebasan dari sesuatu yang bersifat dualistis dan relatif, dan kebebasan dari waktu dan tempat.

Nirvana adalah suatu keadaan batin yang berada di luar jangkauan pikiran manusia pada umumnya. Untuk menjelaskannya dalam kesusastraan Buddhis dikenal empat cara:

a. Secara Negatif.

Nirvana berarti tidak menjalani kematian, tidak berubah, tidak dapat dilenyapkan, tanpa akhir, tidak dilahirkan, tidak tercipta, tak kenal waktu, bebas dari kesakitan. b. Secara Positif.

Nirvana adalah kedamaian, ketenangan, kebahagiaan abadi, kebijaksanaan sempurna, kesadaran murni, keamanan.

c. Secara paradoksal.

Nirvana bukanlah suatu kekosongan dan juga bukan suatu kekekalan d. Secara Simbolik.

Nirvana adalah rumah yang sejuk, pulau di tengah samudera, pantai seberang, kota yang suci, tempat perlindungan.

Kurang tepat untuk mengatakan bahwa Nibbana adalah hasil dan padamnya nafsu keinginan karena Nibbana bukan merupakan hasil dari sesuatu. Kalau sekiranya Nibbana merupakan suatu hasil, maka itu adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu sebab, dalam hal ini nibbana akan menjadi sankhata, yaitu dihasilkan dan diciptakan, padahal Nibbana bukanlah sebab maupun akibat. Nibbana berada di luar atau di atas sebab dan akibat. Kesunyataan bukanlah merupakan hasil akibat. Nibbana bukanlah merupakan hasil suatu keadaan mistik, spiritual atau keadaan mental seperti dhyana (Jhana) atau Samadhi, Kesunyataan adalah sama dengan Nibbana; yang dapat kita lakukan ialah untuk melihat dan untuk merealisasikannya.

Memang ada jalan untuk menuju ke Nibbana namun Nibbana bukanlah hasil dari jalan itu. Misalnya kita dapat mencapai puncuk gunung dengan melalui sebuah jalan, namun jelas kiranya bahwa puncak gunung itu bukanlah hasil dari jalan tersebut. Demikianlah pula kalau kita melihat api. Api itu jelas bukan hasil dari pekerjaan indera mata kita.

Orang sering bertanya: “Ada apakah setelah Nibbana?” pertanyaan ini sebenarnya tidak perlu tanyakan karena Nibbana merupakan Kesunyataan tertinggi. Maka setelah itu tidak mungkin akan ada apa-apa lagi.

Seorang bhikkhu bernama Radha telah mengajukan pertanyaan ini kepada Sang Buddha dalam bentuk yang lain: “untuk tujuan apakah Nibbana itu ?” Dalam pertanyaan ini terdapat suatu konsepsi tentang adanya sesuatu setelah Nibbana.

Oleh karena itu Sang Buddha menjawab: “Pertanyaamu itu tidak relevan. Orang menuntut kehidupan suci dengan Nibbana sebagai tujuan yang terakhir”. Juga ada kata-kata atau istilah yang telah populer, tetapi kurang tepat seperti “Sang Buddha memasuki Nibbana atau parinibbana setelah beliau mangkat” banyak menimbulkan pemikiran yang salah tentang Nibbana. Pada waktu itu kita mendengar “Sang Buddha memasuki Nibbana atau parinibbana” kita berpikir bahwa Nibbana merupakan surga, suatu tempat atau alam, di mana masih terdapat kehidupan dan kita akan membayang-bayangkannya dalam rangka tata bahasa yang kita kenal di dunia ini.

Sebenarnya kata-kata “memasuki Nibbana” yang populer itu tidak dapat ditemukan dalam kitab-kitab suci. Di dalam Tipitaka hanya terdapat istilah parinubbuto yang digunakan untuk mengisyaratkan mangkatnya seorang Buddha atau Arahat yang telah merealisasi Nibbana, tetapi ini bukan berarti “memasuki Nibbna, Parinibbana, Parinibbuto hanya berarti “meninggal dunia secara sempurna”, seluruhnya bertiup habis atau “Padam seluruhnya”, seorang Buddha atau seorang Arahat tidak akan terlahir kembali lagi setelah meninggal.

Sekarang sebuah pertanyaan lain dapat timbul. Apa yang terjadi setelah Buddha atau seorang Arahat meninggal, Parinibbana? Ini termasuk dalam kelompok pertanyaan yang tidak dapat dijawab (avyakata). Ketika Sang Buddha berbicara mengenai hal ini, beliau mengatakan dengan jelas bahwa tidak terdapat kata-kata dalam tata bahasa kita yang dapat menerangkan apa yang sebenarnya terjadi setelah seorang Arahat meninggal. Seorang Arahat setelah meninggal sering kali diumpamakan sebagai api yang padam kalau bahan kayu bakarnya telah habis terbakar atau sebagai api dari sebuah lampu yang padam karena sumbu dan minyaknya habis terbakar.

Untuk memperoleh pengertian yang jelas dan tepat dan untuk menjaga agar kita jangan bingung, maka apa yang diumpamakan sebagai api dari sebuah lampu yang padam bukanlah Nibbana tetapi makhluk yang terdiri dari Lima Khanda yang telah merealisasi Nibbana. Hal ini perlu ditekankan kembali secara khusus karena ternyata

masih banyak sarjana terkenal yang masih saja menyalahartikan dan menyalahtafsirkan perumpamaan tersebut di atas. . Nibbana tidak pernah diumpamakan sebagai api atau lampu yang telah padam.

Hampir di semua agama “Sorga” hanya dapat dicapai setelah orang meninggal dunia, tetapi Nibbana direalisasi dalam kehidupan ini juga dan orang tidak usah mengunggu sampai Ia meninggal dunia.

Nibbana berada di luar istilah yang dualistis dan relatif, oleh karena itu Nibbana diluar konsepsi kita tentang baik dan buruk, benar atau salah. Hidup dan tidak hidup. Bahkan, perkataan sukha (kebahagiaan) yang dipakai untuk mengambarkan Nibbana mempunyai arti yang lain.

Nibbana berada diluar logika dan akal manusia biasa (atakavacara). Seorang anak di taman kanak-kanak tidak akan bertengkar atau mempermasalahkan tentang teori relativitas. Sebaliknya, kalau ia tekun dan rajin belajar, pada suatu hari ia akan memahami dengan sendirinya.

Nibbana harus diselami (direalisasi) oleh para arif bijaksana didalam diri masing-masing (paccattang veditabbo vinnuhiti). Kalau kita melaksanakan jalan dengan sabar, rajin, dan ulet, melatih dan membersihkan diri dengan tekun dan memperoleh tingkatan spritual yang diperlukan, kita pun pada suatu hari dapat merealisasi Nibbana, tanpa membuat otak kita pusing dengan kata-kata relatif dan penuh teka-teki.

Dalam dokumen Materi Ag. Buddha Utk PT (Halaman 79-83)