• Tidak ada hasil yang ditemukan

Materi Ag. Buddha Utk PT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Materi Ag. Buddha Utk PT"

Copied!
192
0
0

Teks penuh

(1)

Materi Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK)

Edisi Revisi

Mata kuliah

Agama Buddha

Disusun O L E H

(2)

Drs. Dharmaji Chowmas, S.Ag Mandala Production Pekanbaru 2009

Daftar isi

Kata Pengantar Daftar isi B A B hal

I TUHAN DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

1. Pendahuluan 1

2. Adi-Buddha 3

3. Laumu 4

4. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME 5

1. Iman 5 1. Timbulnya Iman 5 2. Manisfestasi Iman. 5 2. Taqwa 6 5. Konsep keselamatan 7 3 konsep keselamatan 7 6. Sifat-sifat Ketuhanan 8 1. Metta 8 2. Karuna 9 3. Mudita 10 4. Upekkha 11

7. Hubungan manusia, sifat-sifat Ketuhanan dan Tuhan Yang Maha Esa 12

8. Filsafat Ketuhanan 13

1. Perkembangan Gagasan tentang Tuhan 13

2. Gagasan tentang Tuhan dan penciptaan 14

3. Kausa Prima 15

4. Maha Brahma dan Tuhan 16

(3)

1. Kepribadian Tuhan Yang Transdental 17

2. Kepribadian Tuhan Yang Imanen 18

9. Niyama-Hukum tertib kosmos 18

1. Utu Niyama 19 2. Bija Niyama 19 3. Kamma Niyama 19 4. Citta Niyama 19 5. Dhamma Niyama 19 10. Trikaya 20 1. Dharma kaya 20 2. Sambhogakaya 20 3. Nirmanakaya 20

Tugas dan latihan 21

II MANUSIA

1. Pendahuluan 24

1. Lima agregat KehidupanPancaskanda 24

1. Kelompok jasmani

24 2. Kelompok perasaan

25

3. Kelompok pencerapan 25

4. Kelompok bentuk-bentuk pikiran 25

5. Kelompok kesadaran 25

2. Hakekat Manusia 26

2. Asal Manusia 27

1.Manusia Pertama 27

2. Proses kelahiran seorang anak manusia 28

3. Manusia adalah makhluk sosial 29

4. Tanggung Jawab Manusia 30

1. Tanggung jawab terhadap lingkungan 30

2. Tanggung jawab umat awam 32

5. Kelahiran sebagai Manusia adalah berkah 35

6. Harkat dan martabat manusia 36

Tugas 37

Latihan 38

III MORAL

1. Pengertian 39

2. Dasar-dasar pelaksanaan sila 40

1. Sati dan Sampajanna 40

1. Sati 40

2. Sampajanna 41

2. Hiri dan Ottapa 41

(4)

2. Ottapa 41

3. Azas-azas penentuan moral Buddhis 42

1. Azas Sarana 42

2. Azas Hasil dan akibat 42

3. Azas Universal 42

4. Sila dalam kitab suci Tripitaka 43

5. Manfaat pelaksanaan sila dan vinaya 44

1. Manfaat sila bagi perumah tangga 44

2. Manfaat Vinaya bagi bhikkhu/ni 44

6. Pancasila dan Pancadharma 46

1. Pancasila 46

2. Pancadharma 50

Tugas dan latihan 52

IV IPTEK DAN SENI

1. Pendahuluan 53

2. Konflik Sains dan agama 54

3. Perananan Iptek dan seni dalam kehidupan Manusia 55

4. Ajaran Buddha dan Iptek 55

1. Kosmologi 55 2. Fisika Modren 55 3. Matematika 56 4. Geologi 56 5. Psikologi 56 6. Pendidikan 56

5. Seni dalam agama Buddha 57

1. Seni Sastra 57

2. Seni Suara dan gerak 57

3. Seni rupa 57

6. Pandangan Agama Buddha terhadap kemajuan Iptek dan seni 58 1. Keterbatasan Ilmu pengetahuan dan teknologi 58

2. Melampaui 59

3. Sudut Pandangan Moralitas 60

4. Seni 60

Tugas dan Latihan 61

V HUKUM

1. Pengertian 63

2. Beda antara hukum Kesunyataan dengan hukum yang dibuat manusia 63

3. Hukum-hukum Kesunyataan 64

1. Empat kebenaran mulia 64

1. Dukkha 64

2. Asal mula Dukkha 66

(5)

4. Jalan menuju lenyapnya dukkha 71

1. Jalan pembebas dari dukkha 71

2. Delapan Jalan Utama 71

1. Pandangan benar 72

2. Pikiran benar 72

3. Ucapan benar 72 4. Tindakan benar

73

5. Mata Pencaharian benar 74

6. Daya Upaya benar 75

7. Perhatian benar 75

8. Meditasi benar 76

2. Hukum Karma dan Purnabhava 76

1. Hukum Kamma 76

2. Purnabhava 79

3. Apakah ada bukti yang mendukung kelahiran kembali 79

3. Paticcasamuppada 79

4. Tilakkhana 80

4. Hukum Tertib kosmos 82

5. Hukum buatan Manusia 82

Tugas dan latihan 82

VI MASYARAKAT

1. Pengertian 84

2. Agama Buddha bagi manusia dan masyarakat 84

3. Sikap Buddhis sebagai anggota Masyarakat yang pluralis 86 4. Hubungan sila dengan sikap hidup anggota Masyarakat 87

5. Masyarakat Maitreyani 88

Tugas dan latihan 88

VII KERUKUNAN ANTAR UMAT BERAGAMA

1. Pengertian 89

2. Wawasan Pluralisme 90

3. Semangat Misioner 91

4. Perennialisme 91

5. Kerukunan dan toleransi dalam pandangan berbagai agama 92 6. Kerja Sama Sosial Kemasyarakatan Umat Beragama 96 7. Toleransi dan kerukunan beragama dalam sejarah agama Buddha96

5. Kerukunan dan Toleransi dalam ajaran Buddha 97

6. Melindungi Keyakinan 99

Tugas dan Latihan 99

VIII POLITIK

(6)

2. Pemerintah yang baik 98

3. Kualitas batin seorang pemimpin 99

4. Pengekangan Kemauan Politik 100

5. Agama Buddha dan Perencanaan politik masa kini 101

6. Mari berpolitik 102

Tugas dan Latihan 105

IX BUDAYA

1. Konsep Dasar 106

2.Kebudayaan Buddhis 106

3. Peranan Kebudayaan Buddhis 106

4. Akulturasi Budaya 108

5. Budaya Maitreya 108

6. Kebiasaan sehari-hari Sang Buddha 110

Tugas 110

X MENGENAL BUDDHA MAITREYA

1. Pergertian 111

2. Emanasi Buddha Maitreya 111

1. Awal perjuangsn sebagai raja sankha 111

2. Sarva Janna Praba Bodhisatva berpantang daging 112

3. Maharaja Liu Zhi 112

4. Pertapa Ajita 113

5. Maitreya di Tusita 114

6. Fu Sik 114

7. Fo Ong 115

8. Pu Tai He Sang 115

9. Patriat 13 Shi Huan U 116

10. Patriat Cin Kung 117

3. Tempat tinggal Buddha Maitreya 117

4. Maitreya, Buddha atau Bodhisatva? 118

5. Ikrar suci Buddha Maitreya 119

6. Hari lahir Buddha Maitreya 119

7. Sifat-sifat Maitreya 119

8. Orang tua Maitreya 120

9. Kedatangan Buddha Maitreya 120

Latihan 121

XI MENGENAL VEGETARIAN

1. Pendahuluan 123

2. Mengapa bervegetarian? 123

1.Alasan Kesehatan 123

2. Lingkungan Hidup dan perdamaian dunia 127

3. Rasa kasih sayang 128

(7)

5. Alasan keuangan 130

6. Alasan Etika dan Estitika 130

7. Pola makan Alami 131

8. Keamanan bahan makanan 131

9. Spritual 131

10. Alasan agama 132

3. Apa saja yang boleh dimakan seorang vegetarian? 133

4. Makanan dan diri kita 133

5. Siapa saja yang bervegetarian? 133

Latihan 134

Daftar Pustaka 135

(8)

BAB I

TUHAN DAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

Standar Kompetensi : Mengenal makna Tuhan Yang Maha Esa dan Ketuhanan. Kemampuan dasar - Merumuskan pengertian Ketuhanan Yang Maha Esa.

-

Menjelaskan pengertian Tuhan.

-

Merumuskan sifat-sifat Tuhan.

-

Merumuskan hubungan manusia, sifat Ketuhanan danTuhan Yang Maha Esa.

1. Pendahuluan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ketuhanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan. Sedangkan Tuhan itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang diyakini, dipuja, disembah oleh manusia sebagai yang Maha Kuasa, Mahaperkasa, dsb.

Dalam agama Buddha, Tuhan dipandang sebagai hakekat sejati dan realita absolut dari semua fenomena yang berkondisi dan terbatas (semua fenomena dalam hal ini mencakup segala sesuatu yang timbul karena kondisi dan terbatas (Sankhara dharma) dan itu termasuk manusia). Paham Ketuhanan dalam agama Buddha melihat Tuhan Yang Maha Esa atau Yang Mutlak sebagai Yang Maha tinggi, Maha luhur, Maha suci, Maha sempurna, Kekal atau tanpa awal atau tanpa akhir. Sebagai kekuatan yang menguasai dan mengatur alam semesta, konsep Dharma untuk Tuhan Yang Maha Esa (atau Maha Kuasa), bukanlah suatu pribadi. Selain itu konsep Ketuhanan dalam agama Buddha tidak mengenal dualisme. Tuhan Yang maha pengasih misalnya, tidak mungkin juga Maha pencemburu.

Ibn al-’Arabi berpendapat bahwa Tuhan itu ada dua macam. Yang pertama, Tuhan yang diciptakan, bisa diketahui secara berbeda-beda pada masing-masing orang sesuai kapasitas intelektual dan pengalaman religius masing-masing. Yang kedua, Tuhan yang sebenarnya adalah rahasia dan tersembunyi, dan tak satu gelintir orang pun mengetahui-Nya. Dia-lah zat yang tak terbatas, mutlak dan Maha besar. Inilah sebenarnya Tuhan yang Hakiki, yang tidak bisa dijangkau oleh nalar dan imajinasi manusia1.

Setiap agama bersendikan Ketuhanan Yang Mahaesa, terlepas dari pengertian dan makna yang diberikan oleh tiap-tiap agama terhadap Tuhan. Demikian pula agama Buddha bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keyakinan terhadap Tuhan yang 1 Nafis, op.cit., hlm 99. dikutip oleh Wijaya-Mukti, K., Wacana Buddha-Dhamma, yayasan Dharma Pembangunan, Jakarta, 2003.

(9)

Mahaesa dalam agama Buddha kita temukan dalam sabda-sabda Sang Buddha, seperti yang tersebut dalam kitab Udana VIII:3

“Para bhikkhu, ada Yang Tak dilahirkan (Ajatam), Tak Menjelma (Abhutam), Tak Tercipta(Akatam), Yang Mutlak (Asankahatam)……”

Selanjutnya Sang Buddha bersabda:

“…..para bhikkhu, bila tak ada (yang demikian itu), maka tak ada pula kemungkinan (bagi manusia) untuk bebas dari kelahiran, penjelmaan, keterbentukan, pemunculan dari sebab yang lalu (yang berlangsung berulang-ulang dan terus menerus), tetapi, para bhikkhu, oleh karena itu ada (yang demikian itu), maka yang kemungkinan (bagi manusia) untuk bebas dari (keadaan yang disebut belakangan).

Rumusan ini mengenai Realitas terakhir, tertinggi, kebenaran Mutlak, Absolut, Nirvana, yang disebut Asankhata Dhamma, dan diartikan sebagai sifat Tuhan Yang Maha Esa. Buddha mengajarkan Ketuhanan tanpa menyebut nama Tuhan. Tuhan yang tanpa batas, tak terjangkau oleh alam pikiran manusia, tidak diberikan suatu nama, karena nama itu dengan sendirinya akan memberi pembatasan kepada Yang Tidak Terbatas.

Tuhan adalah sumber religius dan spritual bagi setiap orang, setiap rohaniawan tanpa terkecuali akan mengakui adanya pengalaman mistik yang tak terlukiskan sehubungan dengan sang Realita akhir ini. Rudolf Otto (1869-1937) dalam bukunya, “The Idea of the Holy”, menggambarkan secara baik sekali pengalaman batin yang pokok dari manusia dalam hubungannya dengan Tuhan. Pengalaman ini dinamakan “the numinous” (Latin: numen = roh), di mana Yang lain, yaitu yang transenden (yang mengatasi segala hal duniawi), tampak sebagai suatu “mysterium tremendum et fascinans”—suatu misteri yang dihadapan-Nya manusia merasa gemetar dan terpukau, merasa takut dan sekaligus tertarik. Demikianlah Yang lain itu tampak sebagai suatu yang menakutkan dan sekaligus mengagumkan di satu pihak ; maha pengasih dan pemurah di lain pihak.

Terlepas dari konsep manusia terhadapnya, pengalaman batin akan “the numinous” ini mendasari semua sistem agama dan pengalaman keagamaan manusia yang ada, mulai dari yang primitif sampai agama-agama besar dunia yang kita lihat dewasa ini.

Menurut Otto, pengalaman batin ini bersifat berdiri sendiri, tidak diturunkan dari pengalaman psikologis lain, meskipun mempunyai kemiripan (analogi) dengan pengalaman-pengalaman psikologis tertentu, seperti dikemukakan oleh sementara psikolog seperti: Freud, Jung dan sebagainya. Di samping itu, pengalaman ini didasari sebagai menghubungkan manusia dengan suatu kenyataan ontologis (realitas) yang disebutnya: Yang Suci. Di Indonesia, semua agama dan aliran kepercayaan menamakannya: Tuhan Yang Mahaesa.

Di samping sifat berdiri sendiri dari pengalaman akan Yang Suci itu, otto juga menekankan sifat nonrasional dari Yang Suci; sekalipun ia tidak menyangkal bahwa sifat-sifat rasional dapat dikenakan pada Tuhan (atau konsep lain dari Yang Suci), seperti sifat baik, kuasa dan pribadi. Nonrasional berarti bahwa Yang Suci itu dihayati pertama-tama bukan dengan akal budi atau intelek manusia, melainkan dengan bagian yang lebih dalam atau bagian yang terdalam dari batin manusia.

Di agama Buddha aliran Theravada, pengalaman batin akan Yang Suci itu tidak dikembangkan menjadi konsep rasional akan suatu pribadi, melainkan tetap berada di latar belakang sebagai tujuan terakhir dari mereka yang menempuh Jalan Utama. Inilah sebabnya mengapa sering timbul kesalahpahaman di kalangan sarjana yang mempelajari

(10)

agama Buddha dengan menggunakan kacamata konsep-konsep dari agama yang dianutnya sendiri. Di waktu lampau sering kali kita mendengar pernyataan-pernyataan mereka bahwa: Budhisme adalah atheis, Buddhisme bukanlah agama, melainkan (sekedar) sistem filsafat dan etika semata-mata; dan sebagainya. Pengertian-pengertian demikian dapatlah dimengerti, oleh karena di dalam agama Buddha aliran Theravada tidak terdapat konsep mengenai Tuhan yang pribadi, Pencipta dan pengatur alam semesta, sebagaimana yang terdapat di dalam agama-agama yang dianut dan menjadi titik tolak perbandingan bagi para peneliti yang bersangkutan.

Di dalam praktek sehari-hari kehidupan beragama di kalangan masyarakat Buddhis aliran Theravada, seperti terlihat di negara-negara Thailand, Birma dan Srilangka, umat Buddha memuja, berlindung dan memohon tuntunan kepada Tiratana ( Triratna = San Bao: Buddha, Dharma, dan Sangha). Pemujaan demikian dapat dimengerti dan dapat dibenarkan, apabila diingat bahwa hanya dalam konsep Triratna itulah yang transenden atau Yang Suci dapat dijangkau oleh pikiran manusia awam. Namun perlu ditekankan di sini. Bahwa pada hakikatnya konsep Tiratana tidaklah sama dengan konsep Tuhan seperti terdapat di dalam “agama-agama wahyu”; kecuali mungkin pada konsep “Dhamma”, yang mengandung aspek penciptaan dan pengaturan alam semesta beserta segala isinya, sekalipun di sini Dhamma bukanlah pribadi. Persamaan antara konsep Tiratana dan konsep Tuhan adalah bahwa kedua-duanya transenden.

Tuhan dalam agama Buddha tidak dipandang sebagai sebuah pribadi eksternal yang lebih menyerupai sifat – sifat manusia, tapi ia adalah sebuah zat yang tidak terpisah dari semua keberadaan. Ia menyatu dalam diri setiap makhluk hidup, tidak pernah terpisahkan, kita dalam setiap waktu dan di segala tempat senantiasa terhubungkan erat dengan – Nya melalui welas asih (Metta – Karuna) dan kebijaksanaan (Prajna) – Nya.

Kalau kita perhatikan ajaran agama-agama yang berbeda-beda tentang Tuhan yang Mahaesa, dan kita bandingkan berbagai pengertian itu, maka sering tampak seolah-olah ada hal-hal yang saling bertentangan. Akan tetapi dapat pula persamaan diantara perbedaan-perbedaan itu; antara lain bahwa Tuhan adalah Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci dan akhir tujuan semua makhluk.

Hampir pada semua agama kita temukan gejala anthropomorphisme (memiliki raga atau bentuk seperti manusia) dan anthropopathisme (memiliki sifat seperti manusia). Dalam hal ini, oleh karena agama Buddha memandang dan membahas Yang Mutlak dalam aspek nafinya (menindak segala sesuatu yang dapat dipikirkan mengenai “Dia”), maka kecendrungan jatuh ke dalam anthropomophisme dan anthropopathisme kurang dikenal dalam agama Buddha. Antopomorfisme dan antopopatisme telah menimbulkan berbagai upacara persembahan, mulai dari sajian yang sederhana seperti makanan, hingga kurban binatang. Persembahan itu dimaksudkan untuk memuaskan makhluk yang dipandang mempunyai perasaan, senang atau marah misalnya, dan memiliki kekuasaan menentukan nasib manusia. Dengan bertambah peliknya upacara kurban, timbul satu kelas brahmana yang bertindak sebagai penghubung antara manusia dan dewa.

(11)

2. Adi-Buddha.

Di dalam agama Buddha aliran-aliran Mahayana, pengalaman akan Yang Suci itu dikembangkan menjadi konsep mengenai Buddha-Bodhisatva dilangit atau di alam Buddha (Li-thian) beserta para dewa-nya, guna memenuhi serta mohon tuntunan dalam menempuh gelombang kehidupan yang penuh dengan ancaman dan ketidakpastian ini. Secara filosofis dikembangkan konsep Kebudhaan yang transenden dan immanen (meresapi segala kenyataan duniawi), yang berpuncak pada konsep Adi-Buddha sebagai pokok awal dari segala sesuatu yang ada.

Sebutan Adi-Buddha berasal dari tradisi Aisvarika (Isvara, Tuhan, Maha-Buddha), aliran Mahayana di Nepal, yang menyebar lewat Benggala, hingga dikenal pula di Jawa.

Adi-Buddha merupakan Buddha primordial, Yang Esa atau dinamakan juga Paramadi-Buddha (Buddha yang pertama dan tiada banding), Adau Buddha (Buddha dari permulaan, Anadi-Buddha (Buddha yang tidak diciptakan), Uru-Buddha (Buddha dari segala Buddha). Juga disebut Adinatha (Pelindung Pertama), Swayambhu (Yang ada dengan sendirinya), Swayambhulokanatha (Pelindung dunia yang ada dengan sendirinya atau Sanghyang Adwaya (Tiada duanya).

Dicina Adi-Buddha disebut Pen chu hud (Hokkian) atau Sheng chu fo (Mandarin). Di Tibet disebut sebagai Dan-pohi-sans-rgyas yang berarti Buddha dari segala Buddha, yang mula-mula tampak, sebagai yang pertama.

Adi Buddha timbul dari kekosongan (sunyata) dan dapat muncul dalam berbagai bentuk sehingga disebut Visvarupa serta namanyapun tidak terbilang banyaknya. Adi Buddha sering diidentifikasi sebagai salah satu Buddha mistis, berbeda-beda menurut sekte.

3.

Laumu.

Perkembangan Agama Buddha di Cina bersentuhan dengan kepercayaan tradisional tentang adanya maha raja di raja yang dikenal dengan Ming Ming Shang Ti, Sang Raja Kebenaran, dan secara awam dipanggil Tie Kong (Tie = langit, kong = moyang), yang artinya Maha Tinggi, ada juga lebih suka memanggil hanya dengan sebutan Thian yang berarti Yang Maha tinggi dan dalam mazbah Maha Tao Maitreya

menyapanya dengan pangilan kasih yaitu Lao Mu yang artinya sumber segala kehidupan (Bunda semesta alam), sebutan lainnya adalah:

1. Wi wang Shang ti. Yang artinya Maharaja Illahi yang tanpa banding Wibawanya. 2. Wu Ci Laumu, Bunda yang tiada tara, sumber kehidupan yang tiada bandingannya.

3. Wu Sheng Laumu. Bunda yang tidak terlahirkan atau sumber kehidupan yang tidak berawal dan berakhir.

4. Shang Thian Laumu. Bunda Illahi.

5. Da Che ran Laumu. Sumber alam semula jadi.

Thian tidak berperangai, tapi dapat mengedarkan alam semesta. Jagat raya dan segenap isinya, baik yang memiliki kesadaran maupun tidak, yang bermateri maupun tidak, segalanya berasal dari Tuhan. Tuhan adalah sumber alam semesta. Ia ada sebelum alam semesta ada dan akan tetap ada walau semesta raya ini musnah. Segala yang berujud di jagad raya ini mengalami kelahiran dan kematian, berada dalam siklus penciptaan dan kemusnahan. Hanya Tuhanlah satu-satunya realitas yang absolut dan abadi, yang ada di luar kelahiran dan kematian. Tuhan adalah pribadi yang melampaui segala bentuk dualisme.

(12)

Tuhan tidak berujud rupa, namun bisa melahirkan langit bumi dan segalanya isinya; dialah Bunda semua makhluk, dari yang berujud hingga yang tidak berujud semua bersumber dari Tuhan. Dialah induk, pokok, akar dan sumber segalanya. Maka umat Maitreya memanggil Tuhan sebagai Laomu. Laomu yang berarti Bunda Illahi, Bunda alam semesta, Bunda bagi segalanya. Dialah Bunda bagi setiap eksintensi kehidupan, Bunda semua makhluk- termasuk kita manusia. Dia adalah sang sumber kehidupan. Dialah Bunda yang sejati dan abadi, yang melampaui segala perputaran lahir mati.

Dan dalam Mahayana dikenal juga Tathagatha Garba yang artinya “Rahim segala Buddha.” Atau di panggil juga Hyang Thatagatha, “ Dia yang maha sempurna”. Panggilan lainnya ádalah Parama Buddha, Bhutathatata (yang demikian), Dharma (segala sesuatu), Dharma kaya Buddha (Tubuh sejati Buddha) dan masih ada puluhan sebutan lainnya. Walau dipanggil dengan sebutan yang berbeda-beda, pada hakekatnya itu menunjukkan bahwa walau Tuhan tidak memiliki nama, tapi Ia dapat disapa dengan berbagai sapaan kehormatan.

4. Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan YME.

Dalam Agama Buddha, kepercayaan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dicapai bukan melalui proses evolusi, penalaran, atau “wahyu”, melainkan melalui Boddhi (Penerangan Sempurna). Sejak mulai disampaikan Dhamma oleh Sang Buddha Gotama, dalam agama Buddha terdapat kepercayaan terhadap Tuhan yang Mahaesa yang memungkinkan manusia untuk bebas dari samsara (lingkaran kelahiran yang berulang-ulang); Tuhan yang Mahaesa yang merupakan perlindungan sampai tercapainya Pembebasan Mutlak (Nibbana); Tuhan yang Mahaesa yang menyatukan semua insan, dan yang menjadi tujuan akhir.

4.1.

Iman

Dalam agama Buddha Keimanan disebut Saddha (Sradha), yang berarti Keyakinan, kepercayaan yang dimiliki oleh umat Buddha berdasarkan atas pengertian yang benar, bukan kepercayaan yang membuta.

4.1.1. Timbulnya Iman

Ada tiga hal yang bisa membuat Sradha itu muncul dalam diri kita:

1. Ehipassiko, Yaitu Keyakinan yang muncul karena kita datang, melihat dan mengalami sendiri kejadian tersebut.

2. Karena kita percaya kepada orang yang mengajarkan Dharma yaitu Sang Buddha 3. Karena kita melihat adanya gejala-gejala atau tanda-tanda yang timbul.

Menurut Asanga, seorang pujangga Buddhis abad 4 masehi, saddha mengandung tiga unsur, yaitu:

1. Keyakinan yang kuat akan sesuatu hal

2. kegembiraan yang mendalam terhadap sifat-sifat yang baik 3. harapan untuk memperoleh sesuatu di kemudian hari. 4.1.2. Manisfestasi Iman.

(13)

Keyakinan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan sebutan atau nama yang berbeda-beda adalah pengakuan akan kebesaran Tuhan yang tak dapat dijelaskan secara tepat. Keyakinan ini membawa konsekuensi kepada kita untuk bersikap saling menghormati, toleran, memelihara kerukunan dan bekerja sama antar umat beragama, terutama antar sekte.

Keyakinan bahwa Tuhan mengatasi dunia, mendorong agar kita mengembangkan pemahaman, melalui penembusan Bodhi, untuk menunggal dengannya. Dan berusaha mengembangkan sifat-sifat luhurnya (Brahma vihara). Tuhan itu juga Mahatinggi, Mahaluhur, Mahasuci dan Mahasempurna, manusia yang percaya dan memuja-Nya akan selalu mencintai sifat-sifat-Nya yang luhur, mengembangkannya dalam diri masing-masing.

Keyakinan terhadap Tuhan sebagai kebenaran Mutlak atau Dharma yang menguasai dan mengatur alam semesta, serta melindungi mereka yang melaksanakan kebenaran, membuat kita menjauhi kejahatan dan menyelaraskan diri dengan hukum alam (Dao). Menyadari kehadiran-Nya yang tidak dibatasi ruang dan waktu, membuat kita senantiasa merasa dekat dengan-Nya dalam kehidupan sehari-hari, di luar diri maupun dalam hati.

Beriman itu membuat umat Buddha dengan mantap memeliki kekuatan, selalu berusaha untuk meninggalkan hal-hal yang buruk dan mengembangkan ha-hal yang baik, bersemangat sekuat tenaga melatih diri dan tidak melapaskan tanggung jawab(Samyutta Nikaya V, 226).

Kebajikan orang yang memiliki keyakinan harus dikenali dari 3 hal: 1. Ia berhasrat untuk menemui orang-orang bijaksana.

2. Ia berhasrat untuk mendengarkan Dharma.

3. Dengan hati yang bebas dari keserakahan, ia hidup dengan murah hati, bekerja tanpa cela, suka berdana, suka menolong dan berbagi dengan orang lain.

(Anguttara Nikaya I,150)

4.2.

Taqwa

Ketaqwaan dalam Buddha Dharma disebut Bakti atau Puja. Di atas dunia ini bakti adalah jalan termulia, dan memuja pada yang patut dipuja adalah berkah tertinggi. Dalam Manggala Sutta dituliskan:

“Puja ca pujaniyanam etammangalanuttanaman”artinya,” Menghormati kepada yang layak dihormati merupakan berkah utama”

.

Tuhan itu Esa, Tidak Dilahirkan, Tidak Tercipta dan Mutlak. Hakekat tertinggi dari segala sesuatu. Tuhan adalah Asankhata Dharma, bukan dukkha, bukan samsara, bukan dewa, bukan brahma, bukan Asura, bukan patung dan bukan salah satu benda semesta alam ini baik yang ada diatas langit sana, dihamparan bumi ini maupun di kedalaman laut sana.

Karena tidak menyadari hakekat Tuhan tidak melihat hakekat itu dan tidak berbuat sesuai dengan hakekat Ketuhanan itu manusia lahir kembali berulang-ulang. Berulang-ulang dalam penderitaan. Sehingga setiap mereka mengatasi persoalan-persoalan hidup tidak membawanya menuju Tuhan, tetapi malah menambah penderitaan dan persoalan-persoalan baru.

Sesuai dengan sifat dharma, ajaran Ketuhanan dalam agama Buddha bersifat Akaliko (tak lapuk oleh waktu), Svakhato (sempurna) dan Apanayiko (menuntun ke

(14)

dalam batin). Tuhan adalah hakekat tertinggi, realita segala sesuatu, Tuhan adalah tujuan tertinggi. Dan, keyakinan ini adalah keyakinan yang harus hidup dalam sanubari setiap umat Buddha. Bukan keyakinan mati.

Keyakinan yang hidup adalah keyakinan yang membuat kita berani menghadapi kenyataan kehidupan ini. Keyakinan yang hidup membawa manusia tidak lari mengingkari dirinya sendiri. Keyakinan yang demikian membangkitkan semangat mengatasi kesulitan, menyelesaikan persoalan, menghancurkan penderitaan, memutuskan kelahiran kembali, dengan cara yang benar, dengan Jalan Dharma; untuk mencapai Kebahagiaan Utuh.

5.Konsep Keselamatan.

Konsep Keselamatan dalam agama Buddha berbeda dengan agama lain. Keselamatan tidak mungkin diperoleh hanya dengan kepercayaan. Tapi keselamatan diperoleh melalui sebuah perjuangan yang benar. Keselamatan yang hanya dapat dinikmati setelah kematian menurut pandangan agama Buddha adalah pandangan yang terlalu spekulatif. Keselamatan dan kebebasan dapat dicapai dalam masa kehidupan kita sebagai manusia. Untuk mencapai kebebasan dan keselamatan, Sang Buddha telah menunjukkan jalan yang dapat dilaksanakan oleh setiap orang. Dan dengan mengikuti jalan ini kita dapat mencapai kesucian pada kehidupan ini juga.

Tiga konsep Keselamatan, yaitu: a) Menyelamatkan (Independen)

Adalah usaha dari bawah ke atas atau dengan kata lain keselamatan sepenuhnya tergantung pada usaha manusia .

Dalam aliran Theravada, keselamatan adalah buah dari usaha sendiri. Dengan melaksanakan delapan jalan utama secara tuntas hingga mencapai tingkat kesucian.

b) Diselamatkan (Dependen) atau ortodoks

Yaitu keselamatan sepenuh tergantung dari pengampunan. Di aliran Mahayana terdapat dua jalan yang diajarkan oleh Nagarjuna yaitu:

Jalan sulit bagi orang yang memiliki Keteguhan hati, berjuang dengan kekuatan manusiawinya hingga mencapai tingkat kesucian.

Jalan mudah bagi yang menyerahkan diri ke dalam Maitri Karuna Para Buddha, dengan jalan meminta Bantuan Para Buddha dan Para Bodhisatva.

c) Menyelamatkan dan diselamatkan (Independen dan dependen) disebut juga heterodoks.

Dengan usaha sungguh-sungguh, seorang Umat Buddha diharapan dapat Mengamalkan Buddha Dharma, bermoral kebajikan sehingga kehidupannya semakin hari semakin baik. Dan dalam mengamalkan Sang Jalan semakin hari semakin mudah. Sehingga dengan jalan menyelamatkan diri sendiri maka engkau akan diselamatkan oleh buah karma baikmu, maka dengan aksi menggugah, barulah terjadi reaksi menggugah potensi Ketuhanan (Bodhicitta) yang bersifat latin yang ada dalammu. Inilah konsep keselamatan yang seharusnya dimiliki setiap umat Buddha.

Perbedaan lain dalam konsep keselamatan dengan system ajaran lain dalam ajaran Buddha adalah bahwa keselamatan itu dapat kita raih sekarang juga dalam kehidupan ini

(15)

juga, tidak harus menunggu kita meninggal dunia baru dapat membuktikan bahwa apa yang kita jalankan adalah benar. Suatu keselamatan yang dinjanjikan berdasarkan iman tidak dikenal dalam agama Buddha.

Buddha tidak mengajarkanTeisme fatalistis dan determinis yang menempatkan suatu kekuasaan adikodrati merencanakan dan menakdirkan hidup semua makhluk. Teisme semacam itu mengingkari kehendak bebas manusia dan dengan sendirinya sewajarnya juga meniadakan tanggungjawab moral perbuatan manusia. Dalam Brahmajala sutta dikemukakan bagaimana Buddha melepaskan diri dari perangkap jala pendapat yang dianggap spekulatif.

6. SIFAT-SIFAT KETUHANAN

Sifat-sifat Ketuhanan disebut Paramita. Ada empat sifat Ketuhanan yang disebut catur paramitha atau empat keadaan batin yang luhur, sifat-sifat luhur ini bersifat laten dalam diri manusia

Dalam bahasa pali, keempat macam kebajikan ini disebut juga Brahma Vihara, yang secara harfiah berarti: “Tempat berdiamnya para dewa Brahma.”

Keempat sifat luhur ini sering juga dinamakan keadaan tanpa batas (appamanna). Disebut demikian, karena tidak ada yang merintangi atau tiada batas, dan dapat berkembang luas sampai ke semua makhluk termasuk juga binatang-binatang.

6.1. METTA - CINTA KASIH

Sifat luhur yang pertama adalah metta (bahasa Sanskerta, maitri), yang berarti ‘sesuatu yang dapat menghaluskan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati’. Metta dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua makhluk hidup tanpa kecuali. Metta juga sering dikatakan sebagai niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya.

Bagaikan seorang ibu yang melindungi anaknya yang tunggal, sekalipun mengorbankan kehidupannya; demikian juga seharusnya seseorang memelihara cinta kasih yang tidak terbatas itu kepada semua makhluk,” demikian nasihat Sang Buddha.

Di sini yang dimaksud bukanlah perasaan cinta yang didasarkan atas nafsu memiliki dari seorang ibu terhadap anaknya, melainkan keinginan yang murni untuk menyejahterakan anaknya. Juga tidak dapat dikatakan bahwa semua kasih Ibu disebut Metta. Tapi yang benar adalah jika kasih Ibu yang luhur ini dapat diberikan pada semua pihak tanpa perbedaan, inilah metta.

Metta bukanlah cinta kasih yang dilandasi nafsu atau kecendrungan pribadi, karena dari keduanya ini, tanpa dapat dihindarkan akan timbul kesedihan.

Metta bukan hanya terbatas dalam perasaan bertetangga, karena ini akan menimbulkan sikap-sikap membedakan antara tetangga dengan lainnya,

Metta bukan hanya perasaan bersaudara kandung, karena metta meliputi semua makhluk termasuk juga binatang, saudara-saudara kita yang lebih kecil, yang pada hakikatnya memerlukan uluran kasih sayang yang lebih banyak.

(16)

Metta bukanlah persaudaraan yang berdasarkan politik, ras, bangsa, ataupun agama. Persaudaraan yang berdasarkan politik hanya terbatas pada mereka yang mempunyai pandangan politik yang sama. Persaudaraan ras dan bangsa hanya terbatas pada mereka yang sama sukunya dan sama bangsanya. Beberapa nasionalis begitu kuat mencintai bangsanya, hingga kerap kali tanpa mengenal kasihan mereka melakukan pembantaian terhadap wanita dan anak-anak yang secara kebetulan lahir dengan rambut, kulit dan mata yang tak sama warnanya dengan milik kaum nasionalis itu. Bangsa kulit putih biasanya mempunyai kecintaan khusus terhadap bangsa kulit putih, bangsa kulit hitam terhadap kulit hitam, kulit kuning terhadap kulit kuning, kulit coklat terhadap kulit coklat, kulit pucat terhadap kulit pucat, kulit merah terhadap kulit merah dan sebagainya. Terhadap bukan bangsanya, pada suatu saat mereka memandang dengan rasa curiga dan kekhawatiran. Untuk menyatakan ketinggian bangsanya mereka melakukan peperangan yang tak mengenal perikemanusiaan, membunuh jutaan manusia dengan berbagai alat perang yang mengerikan. Kejadian yang sangat menyeramkan dari perang dunia kedua yang telah lalu merupakan contoh yang sukar dilupakan oleh sejarah kemanusiaan.

Metta sama sekali bukan perasaan persaudaraan keagamaan. Karena batas yang menyedihkan dari apa yang disebut persaudaraan agama itu, manusia menjadi lebih keras kepala dan dengan tanpa penyesalan sedikitpun mereka melakukan perbuatan-perbuatan menyembelih dan membakar orang hidup-hidup. Banyak kekejaman yang bertentangan dengan isi kitab-kitab suci dan peperangan yang bengis dilancarkan sehingga mengotori lembaran sejarah. Bahkan dalam abad keduapuluh yang dianggap abad kemajuan ini pun masih pula terdapat penganut dari suatu agama yang membenci atau mengutuk, bahkan tanpa mengenal kasihan mereka membunuh orang-orang yang tidak memiliki keyakinan yang sama dengan mereka, hanya karena tidak dapat memaksa orang-orang itu melakukan seperti apa yang mereka lakukan, atau karena orang-orang itu mempunyai etiket yang berbeda daripada mereka.

Jika atas dasar pandangan agama, orang-orang dari kepercayaan yang berbeda-beda itu tidak dapat menemui mimbar persaudaraan sejati, maka sungguh patut disayangkan sekali, bahwa ajaran-ajaran dari para guru dunia yang mulia itu sia-sia belaka.

Metta adalah lebih luas dan lebih mulia daripada semua bentuk persaudaraan yang sempit itu. Metta tidak dibatasi oleh peraturan-peraturan dan bidang-bidang; tidak mempunyai rintangan dan penghalang; tidak mengadakan perbedaan. Metta memungkinkan orang untuk memandang saudaranya, persis seperti matahari yang memancarkan sinarnya ke segala arah tanpa membuat perbedaan, demikian juga metta yang luhur ini memancarkan berkahnya yang halus dan tenang itu, sama rata terhadap apa yang dianggap orang-orang sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tidak menyenangkan, yang kaya dan yang miskin, yang tinggi dan yang rendah, yang baik dan yang buruk, terhadap yang jahat dan yang bajik, terhadap pria dan wanita, manusia dan binatang.

Demikianlah corak metta yang sebenarnya. Dan di dalam pelaksanaan metta yang tak terbatas ini, janganlah seorang menjadi bodoh terhadap bidang yang halus dan luhur ini. Janganlah salah mengerti, karena pengorbanan diri sendiri itu adalah suatu kebajikan yang lain yang bebas dari keangkuhan; merupakan suatu kebajikan makhluk yang tinggi. Puncak daripada metta ini adalah penyamanan diri sendiri dengan orang lain. Apa yang disebut “AKU” lebur dalam keseluruhan. Paham memisahkan diri lenyap menguap. Penyatuan terlaksana.

(17)

Sifat bajik dan mulia merupakan corak yang khas daripada metta. Orang yang melatih metta selalu gembira dalam memajukan kesejahteraan orang-orang lain. Ia mencari kebaikan dan keindahan dalam segala sesuatu, dan bukan melihat kejelekan orang lain.

6.2. KARUNA-KASIH SAYANG

Sifat luhur kedua yang dapat memuliakan manusia adalah kasih sayang (karuna), yang dirumuskan sebagai sesuatu yang dapat menggetarkan hati ke arah rasa kasihan bila mengetahui orang lain sedang menderita, atau kehendak untuk meringankan penderitaan orang lain. Coraknya yang paling menonjol adalah kecenderungan untuk menghilangkan penderitaan orang lain.

Hati seorang yang penuh kasih sayang adalah lebih halus dari pada bunga; ia tidak akan berhenti dan tidak puas sebelum dapat meringakan penderitaan orang lain. Bahkan kadang-kadang ia sampai mengorbankan hidupnya demi membebaskan orang lain dari segala penderitaannya. Di dalam cerita Vyaghari Jataka, terdapat contoh yang baik mengenai kasih sayang ini, di mana Sutasoma sebagai seorang Bodhisatva telah mengorbankan hidupnya untuk menolong seekor macan betina kelaparan yang ingin memakan anak-anaknya sendiri yang masih kecil-kecil guna menghilangkan laparnya. Bodhisatva Sutasoma mencegah niat macan itu, dan sebagai gantinya ia memberikan tubuhnya sendiri untuk dimakan.

Sesungguhnya, unsur kasih sayang-lah yang mendorong seorang menolong orang lain dengan ketulusan hati. Orang yang memiliki kasih sayang murni tidak hidup hanya untuk dirinya sendiri, melainkan untuk orang lain juga. Ia mencari kesempatan untuk dapat menolong orang lain tanpa mengharapkan balas jasa apapun, baik materi maupun penghormatan.

Siapakah yang menjadi sasaran kasih sayang itu? Ialah orang-orang miskin yang membutuhkan bantuan, orang sakit, orang bodoh, orang jahat, orang-orang kotor dan juga orang-orang-orang-orang mulia, tanpa menghiraukan agama ataupun bangsanya.

Kemiskinan itu adalah hal yang tidak menyenangkan, tapi adayang lebih hebat daripada kemiskinan yaitu menjalarnya penyakit di seluruh dunia ini. Banyak orang menderita jasmani, dan diantaranya ada juga yang menderita sakit pikiran (mental). Dengan teliti ilmu pengetahuan dapat mengobati orang sakit jasmaninya, tetapi orang yang batinnya sakit susah diobati; bahkan tak jarang mereka merana di rumah-rumah sakit jiwa.

Sebenarnya kedua jenis penyakit ini tentulah ada sebabnya. Orang-orang yang memiliki kasih sayang harus mencoba menghilangkan sebab-sebab penyakit itu, jika ingin menyembuhkan mereka secara baik.

Orang-orang yang kejam, pendendam, pemarah, loba, angkara murka dan bodoh patut mendapat kasih sayang sama seperti halnya pada orang-orang yang menderita sakit jasmani atau batin. Mereka hendaknya jangan dibenci; dicemoohkan atau dihina, bahkan sebaliknya kita harus menaruh belas kasihan dan sayang pada mereka, semua orang sayang kepada anak-anaknya, namun ia seharusnya menaruh kasih sayang yang lebih

(18)

besar lagi kepada anaknya yang sakit batinnya, karena penyakit itu akan merusak hidupnya.

Sama pula halnya seperti metta yang telah diuraikan di atas, maka kasih sayang (karuna) pun harus dipancarkan tanpa batas terhadap semua makluk yang menderita dan yang patut ditolong, termasuk pula binatang-binatang yang membisu, yang telah lahir maupun yang belum lahir.

Apabila metta (cinta kasih) mempunyai sasaran pada semua makhluk, baik yang berbahagia maupun yang menderita; maka karuna (kasih sayang) hanya mempunyai sasaran pada semua makhluk yang sengsara dan menderita.

6.3. MUDITA-RASA SIMPATI.

Sifat luhur yang ketiga ialah mudita atau rasa simpati, yaitu ikut merasa bahagia melihat orang lain berbahagia atau perasaan gembira yang dapat menghilangkan rasa iri hati. Kerap kali terjadi, bahwa banyak orang tidak tahan apabila melihat atau mendengar keuntungan dan kesusahan orang lain. Mereka bukannya memuji atau mengucapkan selamat kepada orang yang beruntung itu, tetapi malahan berusaha mengacau, memfitnah, menjelekkan atau menyabot orang tersebut. Salah satu cara untuk mencabut akar sifat iri hati yang merusak adalah mudita, karena mudita dapat mencabut akar-akar sifat irihati yang merusak. Di samping itu, mudita tak akan menghalangi kemajuan dan kesejahteraan orang lain.

Sama pula halnya seperti metta, orang akan lebih mudah bergembira dan bersimpati kepada orang yang dekat dan dicintai; tetapi lebih sukar melakukan hal itu terhadap musuhnya yang beruntung. Yah, orang-orang sebenarnya bukan hanya sukar untuk bersimpati atas keberuntungan musuhnya, tetapi juga tidak dapat bergembira melihat keuntungan orang lain. Mereka lalu asyik mencari dan membuat rintangan-rintangan untuk menghancurkan musuhnya. Bahkan tidak jarang mereka sampai berbuat; meracun, membakar, menggantung, menembak orang-orang yang baik.

Corak utama dalam mudita ialah perasaan berbahagia melihat kemakmuran dan kesejahteraan orang lain. Sedang tepuk tangan, sorak gembira dan sebagainya bukanlah corak mudita, karena tepuk tangan dan sorak gembira itu dapat dianggap musuh yang tidak langsung dari mudita.

Mudita dipancarkan kepada semua makhluk yang makmur dan sejahtera yang merupakan sikap ikut merasa berbahagia dan bersyukur. Mudita dapat melenyapkan sifat iri hati, sifat antipati atau sifat tidak senang melihat kemajuan orang lain.

6.4. UPEKKHA-KESEIMBANGAN BATIN

Sifat luhur yang keempat, yang merupakan sifat luhur paling sukar dan paling penting adalah upekkha (keseimbangan batin). Dalam bahasa Pali, kata “upa’ berarti “dekat” dan kata “ikh” berarti “melihat”; jadi upekkha berarti melihat dari dekat, yang mempunyai makna: melihat dengan adil, tidak berat sebelah, lurus atau tegak. Secara harfiah, upekkha berarti: pertimbangan yang lurus, pandangan yang adil atau tidak berat sebelah, yaitu tidak terikat atau benci, tidak ada rasa senang dan tidak senang.

(19)

Keseimbangan batin penting sekali terutama bagi umat awam yang hidup dalam dunia yang kacau balau, di tengah-tengah gelombang keadaan yang naik turun tidak menentu ini.

Dunia telah terbentuk sedemikian rupa, sehingga kebaikan dan kebajikan sering mendapat kritik-kritik dan serangan-serangan yang ngawur dan curang; dan bahkan tidak jarang dihambat dan dihalang-halangi. Apabila seorang dapat mempertahankan keseimbangan batin dalam keadaan serupa itu, maka dialah seorang pahlawan besar.

Untung dan rugi, kemasyuran dan nama buruk, pujian dan celaan, kebahagiaan dan penderitaan adalah delapan kondisi duniawi yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan umat manusia. Pada umumnya orang menjadi bingung dan kacau bila mengalami keadaan yang serupa itu, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Orang merasa senang bila dipuji, dan merasa sedih dan tertekan bila dicela atau dicaci maki. Dalam hal ini Sang Buddha pernah bersabda: “Orang bijaksana tidak menunjukkan rasa gembira maupun kecewa di tengah-tengah pujian dan celaan. Mereka tetap teguh bagaikan batu karang yang tak tergoncangkan oleh badai”. Demikianlah mereka melatih dirinya dalam keseimbangan batin.

Pada suatu ketika Sang Buddha diundang oleh seorang brahmana untuk bersantap di rumahnya. Oleh karena diundang, maka Sang Buddha datang ke rumah brahmana tersebut. Tetapi ia bukannya menjamu Sang Buddha, malahan mencerca beliau dengan kata-kata yang paling kotor. Beliau dikatakan babi jalang, anjing, buaya, bangsat dan sebagainya. Tetapi beliau sedikit pun tidak merasa terkejut, dan juga tidak membantah. Beliau tidak menaruh hati dendam.

Dengan sopan Sang Buddha bertanya, “ Brahmana, pernahkah ada orang-orang datang ke rumahmu?”

“Ya”, jawab brahmana itu?”

“Apakah yang anda lakukan bila mereka datang?” “O, aku mengadakan jamuan besar.”

“Bagaimana kalau mereka tidak jadi datang?”

“Dengan gembira kami menyantap makanan yang telah disiapkan.”

“Nah, brahmana yang baik, anda telah menjamu diri-Ku datang ke rumah untuk makan, dan anda telah menjamu diri-Ku dengan kata-kata cercaan, Aku tak menerima semua itu. Silakan ambil kembali.” Akhirnya brahmana itu merasa malu dan bertobat.

Bagaimana singa yang tak gentar menghadapi suara gemuruh; demikian pula hendaknya seseorang jangan bingung menghadapi hujan makian yang panas seperti panah beracun. Bagaikan angin yang bertiup melalui lubang-lubang jala, tak ada sedikit pun yang melekat pada jala itu; demikian pula hendaknya seseorang jangan terikat pada kesenangan-kesenangan palsu di dunia yang selalu berubah ini. Bagaikan bunga teratai yang tidak ternoda oleh lumpur tempat tumbuhnya; demikian pula hendaknya seseorang jangan terseret oleh godaan-godaan duniawi, tetapi harus selalu suci, tenang dan seimbang.

Seperti halnya ketiga macam sifat luhur yang telah diuraikan di atas, demikian juga upekkha mempunyai musuh langsung yaitu kemelekatan, dan musuh tidak langsung, yaitu sikap acuh tak acuh yang timbul karena ketidaktahuan (kebodohan).

Upekkha bebas dari rasa senang dan tidak senang. Sikap tidak berat sebelah adalah corak utama dari upekkha. Orang yang memiliki upekkha (keseimbangan) tidak tertarik oleh semua hal yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan.

(20)

Terhadap penjahat dan orang suci ia bersikap sama. Apabila metta mempunyai sasaran terhadap semua makhluk, karuna terhadap makhluk-makhluk yang menderita, dan mudita terhadap orang-orang yang beruntung, maka upekkha mempunyai sasaran terhadap yang baik atau pun yang buruk, yang mencintai ataupun yang membenci, dan yang menyenangkan ataupun yang tidak menyenangkan.

7. Hubungan manusia, sifat Ketuhanan dan Tuhan Yang Maha Esa.

Tuhan dan manusia memiliki hubungan yang sangat erat sekali, dalam Maha Tao Maitreya, Hubungan Tuhan dan Manusia tidak sekedar hubungan Sang Pencipta dengan Ciptaan-Nya, Sang Penguasa dengan hamba-Nya. Tapi lebih dari sekedar itu, kita adalah emanasi dari sprit Tuhan itu sendiri, hubungan manusia dan Tuhan dalam pengertian ini adalah bagaikan hubungan Anak dengan Ibunya, karena dalam diri manusia terdapat sifat-sifat Ketuhanan yang latin, yang harus dikembangkan oleh setiap orang yang ingin hidup bahagia.

Kebenaran hakiki, Yang Mutlak, Tuhan itu berada di dalam diri kita. Mencari kebenaran luar diri ini adalah pekerjaan sia-sia, ini dapat kita temukan dalam untaian gatha yang dinyanyikan umat Maitreya yang antara lain berbunyi” Tao cai ngo shing, shing wai wu Toa”

“Tao (Ketuhanan) ada dalam diriku, di luar diriku tidak ada Tao (Kebenaran) yang sejati”

Sang Buddha pernah bersabda: “Dia yang mencari Aku (Tathagata) dengan mata, telinga, penciuman, pemikiran, maupun perasaan tidak akan menemukannya.” (Sutra Intan)

Dia yang ingin bersatu dengan Tuhan harus mengerti sifat-sifat Ketuhanan itu dan mengaktulisasikannya dalam kehidupan nyata. Kebenaran bukanlah sebuah teori, bukan kata-kata yang terdapat di dalam kitab suci ataupun ajaran-ajaran dari Guru-guru yang dianggap suci. Tapi kebenaran ada di dalam jiwa mereka yang suci dan dipraktikkan dalam kehidupan yang nyata. Bagaikan seseorang yang ingin kenyang dia tidak butuh teori tentang makanan maupun resep-resep masakan ataupun nasihat-nasihat dari seorang koki yang dianggap pintar, yang dia butuhkan adalah mendapatkan makanan itu dan menyantapnya. Siapa yang makan dia yang kenyang. Pelaksanaan kebenaran tidak dapat diwakili oleh orang lain. Siapa yang melaksanakan dia akan mendapatkan manfaatnya.

Buddha dapat menunjukkan jalan kebenaran padamu, tapi Buddha tidak dapat mewakilanmu menjalankan kebenaran itu. Kekuatan Maitri-karuna para Buddha dan Bodhisatva dapat membantumu mempermudah melaksanakan sang jalan, tapi dirimu sendiri yang harus melaksanakannya. Karena benih keselamatan, benih kekuatan maitri-karuna bersifat laten dalam dirimu. Kamu dan Sang Esa itu adalah satu.

Kekuatan yang ada dalam dirimu, lebih besar dari yang dapat kamu perkirakan. Indahnya sorga, nikmatnya kehidupan ditanah suci, jika dibandingkan dengan Buddhatha (sifat Buddha) yang ada dalam dirimu, semua itu menjadi tidak menarik lagi bagimu.

Sementara ilmuwan telah berhasil menjejakan kakinya di bulan, di planet-planet atau mereka mencoba meneliti dengan mikroskopnya dan berhasil membelah atom, namun mereka tidak akan pernah berhasil menemukan Tuhan maupun sifat Ketuhanan disana. Para filsuf mencoba menelaah berbagai kitab suci, menafsirkannya, memperdebatkannya tapi kebenaran tetap tidak ada disana. Tapi umat Buddha dapat menemukan kebenaran itu di sini dikedalaman jiwa ini, sekarang dan disini juga.

(21)

8. Filsafat Ketuhanan.

8.1. Perkembangan Gagasan Tentang Tuhan

Untuk melacak asal dan perkembangan gagasan tentang Tuhan, seseorang harus kembali ke masa ketika peradaban masih dalam tahap awal dan ilmu pengetahuan modern belum diketahui. Orang primitif, karena ketakutan dan kekaguman pada fenomena alam, mempercayai roh dan dewa yang berbeda-beda. Mereka menggunakan kepercayaan pada roh-roh dan dewa-dewa untuk membentuk agama-agama mereka sendiri. Menurut situasi masing-masing dan kapasitas pemahamannya, orang yang berbeda memuja dewa-dewa yang berbeda dan mendirikan kepercayaan yang berbeda-beda.

Pada awal gagasan tentang Tuhan, orang memuja banyak dewa: dewa pohon, sungai, petir, badai, angin, matahari, dan fenomena bumi lainnya. Dewa - dewa ini berhubungan berbagai kejadian alam. Kemudian secara bertahap manusia mulai memberi atribut pada dewa-dewa ini, jenis kelamin dan bentuk serta karakteristik fisik dan mental seperti manusia: cinta, benci, cemburu, takut, sombong, cemburu, dan emosi-emosi lain yang ditemukan di antara umat manusia. Dari semua dewa-dewa ini, secara perlahan tumbuh kesadaran bahwa fenomena alam semesta tidaklah banyak, melainkan Satu. Pemahaman ini belakangan melahirkan gagasan tentang tentang dewa monotheis.

Dalam proses perkembangannya, gagasan tentang Tuhan terbentuk melalui berbagai perubahan iklim sosial dan intelektual. Gagasan ini dipandang dengan cara yang berlainan oleh orang yang satu dengan yang lainnya. Beberapa orang mengidealkan Tuhan sebagai Raja Surga dan Bumi; mereka memiliki konsep Tuhan sebagai seorang Individu. Yang lain memikirkan Tuhan sebagai prinsip yang abstrak. Beberapa orang mengemukakan gagasan Tuhan yang Mahatinggi di surga tertinggi, sementara yang lain membawanya turun ke permukaan bumi. Beberapa orang menggambarkan Tuhan di Surga, sementara orang lain membuat patung dan memujanya. Beberapa orang telah terlalu jauh berkata bahwa tidak ada keselamatan tanpa Tuhan-tidak peduli berapa banyak kebaikan yang kamu perbuat, kamu tidak akan menerima buah perbuatanmu kalau kamu tidak beriman pada Tuhan tertentu saja.

Orang Atheis berkata, ‘Tidak’ dan terus menegaskan bahwa Tuhan benar-benar tidak ada sama sekali. Orang Skeptis atau Agnostis (orang yang tidak mau tahu tentang Tuhan) berkata, ‘Kami tidak atau tidak dapat mengetahuinya.’ Orang Positivis berkata bahwa gagasan tentang istilah Tuhan ‘tidak jelas.’ Maka tumbuh berbagai gagasan, kepercayaan dan nama untuk gagasan tentang Tuhan: pantheisme, pemujaan berhala, kepercayaan akan Tuhan yang tak berwujud, dan kepercayaan akan banyak dewa dan dewi.

Bahkan Tuhan monotheis masa kini telah melalui berbagai perubahan ketika melalui negara dan orang yang berbeda.Tuhan dari agama satu berbeda dengan Tuhan dari agama lain. Jadi, terbentuklah sejumlah agama; masing-masing jauh berbeda satu sama lain, walaupun masing-masing menyatakan bahwa ‘Tuhan adalah Satu’.

(22)

8.2. Gagasan tentang Tuhan dan Penciptaan

Ketika setiap agama muncul dan berkembang di sekitar gagasan tentang Tuhan, masing-masing agama mengembangkan penjelasan khususnya sendiri tentang penciptaan. Jadi gagasan tentang Tuhan dihubungkan dengan berbagai mitos. Orang menggunakan gagasan tentang Tuhan sebagai kendaraan untuk penjelasan mereka tentang keberadaan manusia dan alam semesta.

Saat ini, kaum cendikiawan, yang telah memeriksa dengan hati-hati semua fakta yang ada, sampai pada kesimpulan bahwa, seperti gagasan tentang Tuhan, penciptaan mitos harus dianggap sebagai evolusi imaginasi manusia yang dimulai dengan kesalahpahaman tentang fenomena alam. Kesalahpahaman ini berakar dalam ketakutan dan ketidaktahuan manusia primitif. Bahkan saat ini manusia tetap memelihara penafsiran primitifnya tentang penciptaan. Dalam pandangan pemikiran ilmiah masa kini, definisi teologi tentang Tuhan tidak jelas dan karenanya tidak memiliki tempat dalam teori penciptaan kontemporer. Menurut Alan Watts (1915 – 1975) seorang filsuf, cara pikir barat telah dipengaruhi oleh ide bahwa segala hal adalah artefak; semua adalah ciptaan. Sebaliknya orang Cina tidak menganggap alam sebagai ciptaan. Mereka menganggap alam sebagai sesuatu yang tumbuh. Sesuatu berkembang dari dalam dan berangsur-angsur bertambah rumit, berkembang keluar, seperti kuncup yang sedang mekar atau benih yang berubah menjadi tanaman.

Menurut Sri Dhammananda, “jika manusia diciptakan oleh suatu eksternal, maka ia tentunya milik sumber itu dan bukan milik dirinya sendiri”. Menurut ajaran Buddha, manusia bertanggung jawab atas semua yang diperbuatnya. Sehingga ada aliran agama Buddha berpendapat bahwa umat Buddha tidak memiliki alasan untuk percaya bahwa manusia menjadi ada melalui sumber eksternal mana pun. Mereka percaya bahwa manusia ada saat ini karena nafsu, kemelekatan dan perbuatannya sendiri. Kita tidak dihukum atau diberi hadiah oleh siapa pun selain diri sendiri sesuai dengan perbuatan baik dan buruk kita sendiri. Melalui proses evolusi, manusia menjadi ada. Tidak ada kata-kata Buddha yang mendukung kepercayaan bahwa dunia diciptakan oleh suatu dewa (atau apapun istilah yang diberikan untuk Sang pencipta). Penemuan ilmiah tentang perkembangan bertahap sistem dunia ternyata selaras dengan Ajaran Sang Buddha.

8.3. Kausa Prima

Menurut Sang Buddha, sebab pertama dari kehidupan atau apa pun adalah hal yang tidak dapat dibayangkan. Karena pada umumnya, sebab menjadi akibat dan akibat menjadi sebab. Dalam lingkaran sebab dan akibat, suatu sebab pertama tidak dapat ditemukan. Sehubungan dengan asal mula kehidupan, Sang Buddha menyatakan, Pengembaraan berulang dalam Samsara (siklus kelahiran dan kematian) adalah tanpa awal yang diketahui. Para makhluk yang terhambat oleh ketidaktahuan dan terbelenggu oleh nafsu. Sebab pertama dari makhluk-mahkluk ini tidaklah diketahui.’ (Anamatagga Samyutta dalam Samyutta Nikaya). Arus kehidupan ini mengalir dalam ketakterhinggaan (adinfinitum), selama dihidupi oleh air berlumpur ketidaktahuan dan nafsu selama itu tumimbal lahir akan berlanjut. Jika kedua hal ini diputuskan, hanya saat itulah arus kehidupan berhenti mengalir, hanya saat itulah tumimbal lahir berakhir.

Sulit untuk membayangkan akhir dunia. Sulit untuk membayangkan suatu masa abadi dari apa yang kita sebut waktu. Tetapi lebih sulit untuk membayangkan masa di mana tidak ada waktu. Seperti halnya agak sulit bagi kita untuk memahami bagaimana dunia ini ada dengan suatu sebab pertama. Dan jauh lebih sulit untuk memahami

(23)

bagaimana sebab pertama itu ada pada awalnya. Karena jika sebab pertama bisa ada sekalipun tidak diciptakan, apa alasannya fenomena alam semesta lain tidak boleh ada tanpa diciptakan?

Seperti untuk pertanyaan bagaimana semua makhluk ada tanpa suatu sebab pertama, jawab umat Buddha adalah ‘tidak ada jawaban’ karena pertanyaan itu sendiri semata-mata merupakan produk dari pemahaman manusia yang terbatas. Jika kita dapat memahami sifat waktu dan relativitas, kita akan melihat bahwa tidak mungkin ada suatu awal pertama. Dapat ditunjukkan bahwa semua jawaban umum atas pertanyaan itu pada dasarnya tidak berguna. Jika diasumsikan bahwa untuk menjadi ada, suatu hal harus memiliki suatu pencipta yang ada sebelumnya, secara logis pencipta, dan demikian seterusnya sampai tak terhingga. Sebaliknya, jika pencipta bisa ada tanpa suatu sebab sebelumnya dalam bentuk penciptaan lain, seluruh argumen akan runtuh. Teori tentang pencipta tidak menyelesaikan masalah apa pun, hanya memperumit masalah yang sudah ada.

Jadi Buddhisme tidak menaruh banyak perhatian pada teori dan kepercayaan tentang asal muasal dunia. Baik dunia itu diciptakan oleh suatu Tuhan atau ada sesuai dengan hukum evolusinya, tidak berbeda banyak bagi umat Buddha. Apakah dunia itu terbatas atau tak terbatas juga tidak berbeda banyak. Alih-alih mengikuti jalur spekulasi teoritis ini, Sang Buddha menyarankan orang untuk memahami fakta bahwa kehidupan saat ini adalah tidak memuaskan dan sebaiknya orang bekerja keras untuk menemukan keselamatan mereka sendiri.

Para ilmuan telah menemukan banyak sebab yang bertanggung jawab akan keberadaan kehidupan, tumbuhan, planet, unsur, dan energi lainnya. Tetapi tidak mungkin bagi kita untuk menemukan sebab utama atas keberadaan mereka. Jika mereka terus mencari sebab pertama kehidupan atau apa pun, mereka menunjuk sebab tertentu sebagai sebab utama tetapi hal ini tidak akan pernah menjadi sebab pertama. Dalam proses mencari sebab pertama, satu setelah yang lainnya, mereka akan kembali ke tempat mereka berada sebelumnya. Hal ini karena sebab menjadi akibat dan saat berikutnya akibat itu menjadi sebab untuk menghasilkan sebab lain. Itulah kenapa Sang Buddha mengatakan, ‘sebab utama tidak dapat diketahui awal alam semesta ini tidak dapat dijangkau.’

Perbedaan konsep keberadaan dewasa ini berbeda dengan pemikiran orang India atau orang China dulu. Dalam konsep orang China tidak ditemukan istilah mencipta, yang ada adalah sheng yang kira-kira berarti melahirkan. Melahirkan berbeda dengan mencipta. Melahirkan berarti dari sesuatu yang ada mengadakan dirinya atau menggandakan diri, mencipta berarti seseorang membuat sesuatu dari yang tidak ada menjadi ada. Dalam hal mencipta hubungan pencipta dan ciptaannya hanyalah antara pencipta dan ciptaannya; tapi istilah melahirkan menunjukan suatu hubungan yang sangat erat sekali antara yang melahirkan dan yang dilahirkan. Istilah yang lebih tepat dalam agama Buddha mungkin adalah manifestasi atau mengejawantah.

8.4. Maha Brahma dan Tuhan.

Banyak orang beranggapan agama Buddha adalah agama yang non-theis, tidak mengakui adanya Tuhan, bahkan tidak sedikit sarjana Buddhis yang memiliki pandangan demikian, dan dengan sombong meremehkan Tuhan. Kendati Sang Buddha tidak pernah

(24)

menyebut tentang Tuhan, tidaklah berarti Sang Buddha tidak mengakui adanya Tuhan. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Buddha lebih tinggi tingkatnya dari pada Tuhan. Dan yang lebih parah lagi adalah Buddha itu dianggap Tuhannya agama Buddha, sesuatu yang tidak pernah Sang Buddha akui. Dalam cerita tentang pencerahan Sang Buddha, memang dikisahkan bahwa Brahma Sahampatti- Sang Penguasa dunia- pun datang memohon pada Sang Buddha agar beliau berkenan memutar roda Dharma demi kebaikan umat manusia. Tapi dalam konsep Buddhis Dewa Brahma tidaklah identik dengan Tuhan yang sedang kita bahas ini. Dalam Brahmajalasutta sang Buddha malah menolak Maha Brahma sebagai Tuhan, pencipta, maha kuasa dan sebagainya. Menolak Maha Brahma sebagai Tuhan tidaklah sama dengan tidak mengakui adanya Tuhan. Mengapa Maha Brahma ditolak sebagai Tuhan ? Sebab Maha Brahma yang dimaksud dalam Brahmajalasutta adalah Dewa Brahma yang salah mengerti tentang dirinya.

“ ….pada suatu masa….setelah berlansung suatu masa yang lama sekali, bumi ini mulai berevolusi…ketika hal ini terjadi alam Brahma kelihatan masih kosong. Ada mahluk dari alam dewa Abhassara…terlahir kembali di alam Brahma. Disini, ia hidup ditunjang pula oleh kekuatan pikirannya diliputi kegiuran, dengan tubuh yang bercahaya-cahaya dan melayang-layang diangkasa. Hidup diliputi kemegahan, ia hidup demikian dalam masa yang lama sekali.

Karena terlalu lama ia hidup sendirian disitu, maka dalam dirinya muncul ketidakpuasan, juga muncul suatu keinginan, ‘O semoga ada mahluk lain yang datang dan hidup bersama saya disini. Pada saat itu ada mahluk lain yang disebabkan pada masa usianya atau pahala kamma baiknya telah habis, mereka di alam Abhassara dan terlahir kembali di alam Brahma sebagai pengikutnya, tetapi dalam banyak hal sama dengan dia.

Para Bhikkhu, berdasarkan itu, maka mahluk pertama yang terlahir di alam Brahma berpendapat,” Saya Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan bagi semua, Pembuat, Pencipta, Maha tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Semua makluk ini adalah ciptaanku”. Mengapa demikian ? Baru saja berpikir, semoga mereka datang’, dan berdasarkan keinginanku itu maka mahluk-mahluk ini muncul. Mahluk-mahluk itupun berpikir’ Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan bagi semua, Pembuat, Pencipta, Maha tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada. Semua makluk ini adalah ciptaanya’. Mengapa? Sebab setahu kita, dialah yang lebih dahulu berada disini, sedang kita muncul sesudahnya.

“Para bhikku, dalam hal ini mahluk pertama yang berada disitu memiliki usia yang lebih panjang, lebih mulia, lebih berkuasa daripada mahluk-mahluk yang datang sesudahnya. Para bhikkhu, selanjutnya ada beberapa mahluk yang meninggal dialam tersebut dan terlahir kembali dibumi ia meninggalkan kehidupan berumah tangga dan bertapa. Karena hidup sebagai petapa, maka dengan semangat, tekad, waspada dan kesungguhan bermeditasi, pikirannya terpusat, batinnya menjadi tenang dan memiliki kemampuan untuk mengingat kembali satu kehidupan yang lampau dan tidak lebih dariitu. Mereka berkat,” Dia Brahma, Maha Brahma, Maha Agung, Maha Kuasa, Maha Tahu, Penguasa, Tuan bagi semua, Pembuat, Pencipta, Maha tinggi, Penentu tempat bagi semua makhluk, Asal mula kehidupan, Bapa dari yang telah ada dan yang akan ada.

(25)

Dialah yang menciptakan kami, ia tetap kekal keadaannya tidak berubah, ia akan kekal selamanya, tetapi kami tidak kekal.

8.5. Filosofi Ketuhanan.

Membicarakan yang mutlat tidaklah segampang kita menbicarakan suatu eksistensi lainnya.Keber-ADA-an Tuhan yang absolut tidaklah dapat diuraikan dengan bahasa manusia yang bersifat relatif. Dan juga tidak mungkin memikirkan yang terbatas dengan pikiran kita yang terbatas, maka untuk memudahkan kita mengerti tantang hakekat Kepribadian Tuhan, dikembangkanlah dua sudut pandang:

8.5.1. Kepribadian Tuhan yang Transendental

Kepribadian Tuhan yang transendental melukiskan Kepribadian Tuhan secara hakekat dalam hukum dan kedudukannya yang hakiki, Illahia, melampaui akal dan semua tafsiran intelek manusia. Dalam aspek ini Tuhan dipandang sebagai Zat yang tunggal, Esa, tiada banding, tak terbatasi, tidak berkepribadian, tidak dapat dipersonifikasikan, tak tersentuh oleh kepintaran intelek manusiawi, dan tak dapat dijelaskan dengan kata-kata, ataupun digambarkan dalam bentuk apapun.

Dalam istilah agama Buddha, Tuhan dalam aspek transendental juga disebut Sunya. Secara harfiah Sunya berarti kosong, bebas dari segala wujud rupa, bebas dari segala pesyaratan kondisi, Sunya tidak terungkapkan oleh bahasa manusia, Sunya bukan sesuatu yang terbatas dan tidak termasuk alam dualisme. Walau demikian Sunya bukanlah nihilisme seperti yang banyak diartikan orang. Sebaliknya Sunya adalah suatu kepenuhan dan merupakan intisari dari segala sesuatu, maka dalam filosofi Ketuhanan digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang utuh.

Sunya juga diidentikasikan dengan Nirvana; yang absolut, realita yang mutlak atau sang realita itu sendiri.Seperti yang Sang Buddha sabdakan dalam Udana VIII:3.

Sedangkan dalam diri Sang Buddha, sunyata identik dengan aspek Dharma Kaya yang merupakan esensi dari semua Buddha dan merupakan sumber dari segala Dharma. Ia berada di mana-mana dan dapat menciptakan dirinya sendiri di segala bentuk. Dharma Kaya merupakan intisari dari alam semesta, mencakup segala sesuatu, dan dianggap sebagai asal dan sumber dari semua Buddha serta merupakan larutnya segala sesuatu termasuk semua Bodhisatva.

8.5.2. Kepribadian Tuhan yang Imanen

Kepribadian Tuhan yang imanen menjelaskan pribadi Tuhan dalam manifestasinya yang nyata di dalam alam semesta ini. Dalam aspek ini Tuhan dipersonifikasikan sebagai Bapak (Abba) atau seorang Bunda (Mu) yang penuh cinta kasih dan kasih sayang. Dalam aspek inilah kita mengenal istilah Tuhan yang Maha Pengasih dan Penyayang, Maha Kuasa, Maha Pemurah, Maha Pengampun, Maha Bijaksana dan sebagainya. Dalam aspek ini Tuhan dihormati dengan sebutan yang berbeda-beda.

Dalam diri Sang Buddha aspek ini berhubungan dengan Samboga Kaya dan Nirmana Kaya. Samboga Kaya merupakan tubuh rahmat, tubuh sinar, tubuh cahaya dan kekuatan Kebuddhaan. Nirmana Kaya merupakan tubuh perwujudan, yang mutlak termanifestasi melalui tubuh manusia. Buddha menyatakan dirinya di dunia dalam wujud tubuh manusia untuk mengajar dan menyampaikan Dharma kepada manusia.

(26)

Jika aspek Sunyata berhubungan dengan Maha Prajna maka aspek imanennya berkoresponden dengan Maha Karuna. Dalam kanon China aspek Sunyata disebut sebagai “Li” (Kebenaran) dan aspek rupam disebut sebagai “She” (Permasalahan). Dan sunya sering juga disebut kekosongan sejati dan rupanya disebut sebagai keberadaan yang mujizat walau dijelaskan secara terpisah, mereka adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, bagaikan telapak tangan yang tidak dapat dipisahkan dari punggung tangan. Menurut bhikkhu P.A. Payutto, dalam menyikapi ajaran Buddha, maka ajaran itu tidak sekedar di ingat-ingat, tetapi perlu mempermasalahkannya, mengupas serta memahaminya dalam istilah pali disebut Yoniso manasikara yang berarti perhatian bijaksana (wise attention), oleh karena itu dengan prinsip ini hal-hal yang sifatnya lokuttra dapat dijembatan dengan pengertian hal-hal yang bersifat lokiya. Hal ini merupakan manifestasi dari nilai-nilai ajaran Buddha ( lokuttara) ke dalam kehidupan manusia bermasyarakat sehari-hari (lokiya).

9. Niyama-Hukum Tertib kosmos.

Ajaran Agama Buddha menekankan keyakinan adanya Tuhan Yang Maha Esa sebagai Yang tak dilahirkan, Yang tak dijadikan, Yang tak dibuat dan Yang mutlak, seperti yang tersebut dalam Udana VIII:3. Kemutlakkan Tuhan Yang Maha Esa adalah impersonal yang tak dapat dijabarkan secara anthropomorphisme (mempunyai raga atau bentuk seperti manusia) maupun secara anthropopatisme (mempunyai sifat seperti manusia). Dengan kata lain membayangkan atau menggambarkan Tuhan dengan

(27)

bayangan yang diciptakan oleh manusia sendiri seperti visual maupun abstrak adalah tidak akan pernah benar, karena segala sesuatu yang diungkapkan oleh manusia untuk dapat mengerti tentang Tuhan adalah pasti tidak tepat. Demikianlah halnya maka menurut ajaran agama Buddha, alam semesta dengan segala isinya diatur oleh sebuah hukum universal yang berlaku di semua alam kehidupan, segala isi bumi, tata surya-tata surya maupun semua galaksi di jagad raya ini. Hukum Universal ini bekerja sebagai hukum sebab akibat atau hukum relativitas yang impersonal dan kekal. Kekekalan hukum ini dapat kita simak dari pernyataan Sang Buddha sebagai berikut:

“Para bhikkhu, apakah para Tathagata muncul di dunia ini atau tidak, dhamma tetap ada.”(Dhammaniyama Sutta, Anguttara Nikaya I)

Macam-macam Niyama 9.1. Utu Niyama

Utu Niyama adalah hukum universal tentang energi yang mengatur : terbentuk dan hancurnya bumi, planet,tata surya, temperatur, cuaca, halilintar, gempa bumi, angin, ombak, matahari, gunung meletus, membantu pertumbuhan (metabolisme) manusia, binatang dan pohon, atau segala sesuatu yang berkaitan dengan energi (fisika dan kimia). 9.2. Bija Niyama

Bija Niyama adalah hukum universal yang berkaitan dengan tumbuh-tumbuhan (botani) yaitu bagaimana biji, stek, batang, pucuk, daun dapat bertunas, bertumbuh, berkembang, berbuah, kemudian dari satu bibit menghasilkan buah yang banyak, atau adanya berbagai jenis buah-buahan.

9.3. Kamma Niyama

Kamma Niyama adalah Hukum Universal tentang karma. Kamma Niyama dikenal sebagai hukum yang berkaitan dengan moral atau hukum karma. Keterangan rinci tentang Hukum Karma lihat V: 2.2.1

9.4. Citta Niyama

Citta Niyama adalah hukum universal tentang pikiran atau batin, misalnya : proses kesadaran, timbul dan tenggelamnya kesadaran, kekuatan pikiran (Abhinna) yang dihasilkan karena sukses bermeditasi (Samatha Bhavana) hingga mencapai Jhana, kesucian batin dengan melenyapkan semua kekotoran batin (dengan Vippasana Bhavana) dan sebagainya. Contohnya, karena kekuatan batin maka seseorang dapat melayang-layang atau berjalan-jalan di angkasa dan lain sebagainya.

9.5. Dhamma Niyama

Dharma Niyama adalah hukum universal tentang segala sesuatu yang tidak diatur oleh keempat niyama tersebut di atas. Dalam hal ini yang dimaksud adalah dharma kebenaran yang diajarkan oleh Sang Buddha setelah ditemukan oleh Beliau. Sehubungan dengan Dharma kebenaran ini, juga termasuk semua kejadian yang didasarkan kepada gejala khusus atau khas. Misalnya: Kejadian yang terjadi saat kelahiran Pangeran Sidharta dan kematian Sang Buddha, yaitu pohon-pohon berbunga bukan pada musimnya, tiba-tiba bunga-bunga itu berjatuhan menaburi tubuh Sang Buddha. Begitu

(28)

pula Dhamma Niyama menyebabkan gempa bumi dasyat terjadi ketika Sang Buddha menentukan kapan Beliau akan parinibbana dan pada saat Beliau parinibbana, padahal biasanya gempa bumi diatur oleh Utu Niyama. Juga, ketika Pangeran Sidharta lahir, Dhamma Niyama menyebabkan terjadinya gerimis hangat dan dingin yang menyirami dan memandikannya, dsb.

Demikianlah lima hukum tersebut meliputi semua gejala lahir maupun batin, di seluruh alam semesta ini. Hukum-hukum ini merupakan hukum yang masing-masing memiliki sifat sendiri dan tidak diatur oleh siapapun. Namun walaupun kelima hukum ini nampak berdiri sendiri, sesungguhnya hukum-hukum ini adalah satu adanya.

10.Tri kaya

Menurut mahayana, Buddha Gautama bukanlah suatu fenomena yang berdiri sendiri, melainkan bagian dari deretan para Buddha yang ada. Dalam diri setiap orang terdapat sifat Kebuddhaan yang disebut Tathagata garbha (rahim Kebuddhaan) atau Buddha Bija (Benih Buddha).

Untuk memperjelas perbedaan antara satu Buddha dengan Buddha yang lainnya dikembangkan doktrin Tri kaya- tiga tubuh Buddha yaitu:

10.1. Dharma Kaya

Adalah inti dan sari semesta yang mencakup samsara dan nirvana yang selalu berada dalam dua kutub kesadaran dan pengetahuan murni. Dharmakaya merupakan suatu azas rohani yang meliputi segala sesuatu yang tidak diselidiki. Namun dianggap sebagai asal dan sumber dari semua Buddha dan sebagai tempat larutnya segala sesuatu, termasuk semua Bodhisattva

Dharmakaya merupakan esensi dari semua Buddha yang merupakan sumber Dharma atau sumber Kesunyatan sebagai hakikat yang hakiki tanpa bentuk dan warna. Ia berada dimana-mana dan dapat menciptakan dirinya sendiri. Dengan demikian, Dharmakarya dapat disebut sebagai yang Mutlak atau Tuhan. Dalam Tantrayana, Dhamakaya dipuja sebagai Sanghyang Adhi Buddha.

10. 2. Sambhogakaya

Sambhogakaya merupakan tubuh rahmat, tubuh sinar, cahaya dan kekuatan kebuddahan. Merupakan manifestasi dari Yang Mutlak sebagai kenyataan yang lebih tinggi dari sesuatu yang bersifat fisik. Sambhogakaya berujud sebagai kekuatan atau cahaya yang hanya dapat dirasakan secara rohani,dan hal inidiusahakan dan diupayakan oleh para calon Buddha seperti tercermin dalam perwujudan Karuna dan Upaya.

10.3 Nirmanakaya

Merupakan tubuh perwujudan dari sambhogakaya seperti yang tercermin pada tubuh Buddha Sakyamuni. Yang Absolut termanisfestasi melalui tubuh Sakyamuni menyatakan diri dalam wujud tubuh manusia untuk mengajar manusia.

Nirmanakaya merupakan manusia Buddha atau Buddha dunia yang mengajarkan Dharma dari masa dulu sampai sekarang. Buddha memiliki silsilah Buddha, lima Buddha dalam kalpa ini adalah: Kanogamana, Kakasundha, Kassapa, Sakyamuni dan Maitreya.

Referensi

Dokumen terkait

Penetapan kadar bromazepam dalam sediaan tablet dapat dilakukan secara.. Spektrofotometri UV, Kromatografi Gas, Kromatografi Cair

SEO suatu website sangat berkaitan pada trafik pengunjung yang ada pada website tersebut, sehingga website sebagai media periklanan internet dapat lebih efektif dalam

• Gagal bisa terjadi pada kedua sisi jantung atau bisa juga lebih berat menyerang jantung kanan dari yang kiri. • Gagal ventrikel kiri menunjukkan Gagal jantung

Hidup di Negara yang besar dengan penduduk yang banyak, tentu kita harus menyadari tentang adanya sebuah perbedaan pandangan, perbedaan sendiri dalam Islam

Masyarakat sekitar daerah operasi merupakan salah satu pemangku kepentingan ( stakeholder ) perusahaan yang penting, apabila mereka merasa dilibatkan

minggunya sehingga diharapkan materi dapat terselesaikan sesuai waktu yang direncanakan. Komponen promes terdiri dari standar kompetensi / kompetensi dasar, alokasi waktu,

T-tes dilakukan untuk melihat adakah pengaruh metode yang digunakan terhadap hasil belajar peserta didik dengan menggunkan nilai dari post test dari kelas eksperimen dan

Pada penelitian ini yang dilakukan dihutan primer Taman Nasional Gunung leuser ditemukan 32 jenis liana dengan nilai H’= 3,037 dengan kategori tinggi sedangkan