• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 121-128)

REPUBLIK INDONESIA 16 AGUSTUS

DAN HARMONISASI ANTARKELOMPOK MASYARAKAT

Meningkatkan rasa saling percaya dan menjaga harmonisasi di dalam masyarakat adalah salah satu cara untuk memelihara stabilitas politik secara dinamis. Sedangkan terwujudnya stabilitas politik yang dinamis merupakan prasyarat utama untuk melaksanakan agenda- agenda pembangunan nasional yang telah dirumuskan, sebagaimana tertuang di dalam Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2005 dan 2006. Peningkatan kualitas dan kredibilitas Pemerintah dan peran partisipatif masyarakat merupakan pilar utama yang menjadi prioritas yang perlu dibangun dan diperkuat untuk menjamin dan memelihara situasi aman dan damai secara berkelanjutan.

Berbagai pelaksanaan program peningkatan rasa saling percaya dan menjaga harmonisasi antarkelompok masyarakat sebagian telah cukup berhasil dilaksanakan, dan berdasarkan pengalaman serta peluang dan tantangan yang ada maka program-program lanjutan masih akan terus dilaksanakan. Program-program yang sudah dan akan dilaksanakan diharapkan dapat terus memberikan kontribusi terhadap terjaganya harmonisasi di berbagai daerah hingga pertengahan Tahun 2006. Pada saat yang sama, persoalan-persoalan ketidakharmonisan di dalam masyarakat tentu saja masih tetap muncul, dengan dimensi dan kompleksitas yang seringkali belum pernah

terjadi sebelumnya, namun tetap harus dihadapi sebagai bagian dari dinamika masyarakat yang mengalami transformasi sosial dan politik ke arah yang lebih demokratis.

I. PERMASALAHAN YANG DIHADAPI

Upaya untuk mempertahankan proses konsolidasi demokrasi secara bertahap dan berkelanjutan sangatlah ditentukan oleh dapat dipertahankannya harmonisasi dan tingkat kepercayaan di dalam masyarakat, yang diharapkan pada gilirannya akan memberikan kontribusi terhadap kondisi stabilitas politik secara menyeluruh. Dengan adanya stabilitas politik yang mantap, tentunya akan memberikan ruang dan waktu bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kesejahteraan.

Proses menjaga harmonisasi dan saling percaya di dalam masyarakat masih menghadapi tantangan yang sangat besar dan berat mengingat interaksi politik terjadi dan berkembang sangat cepat, yang tentunya tidak dapat dihindari menimbulkan berbagai gesekan dan friksi-friksi di dalam masyarakat. Namun, berbagai gejolak tersebut harus dipahami secara positif dan optimis sebagai suatu proses mencapai kematangan dan kedewasaan sosial dan politik masyarakat Indonesia.

Permasalahan konflik yang masih terjadi di Papua, Poso, Mamasa, Maluku dan Maluku Utara dan beberapa daerah lainnya sesungguhnya menggambarkan bahwa harmonisasi dan rasa saling percaya di dalam masyarakat belum dapat dijaga dengan cukup baik dan sedikit perbedaan atau perselisihan mengenai proses perhitungan suara ternyata masih dapat menjadi sumber potensi terjadinya konflik yang berskala besar apabila tidak segera diantisipasi dan diselesaikan secara sistematis dan tuntas, serta memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Setelah ditandatanganinya Memorandum of Understanding

(MoU) Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, kondisi aman dan damai di dalam masyarakat Aceh secara umum menunjukkan perkembangan yang cukup signifikan. Masyarakat Aceh termasuk di dalamnya mantan anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saat ini sedang bersama-sama membangun Aceh setelah dilanda bencana alam

terbesar Tsunami dan gempa bumi. Kondisi ini harus tetap dijaga secara terus menerus dan berkelanjutan agar fondasi ketahanan masyarakat di dalam menjaga harmonisasi, yang telah dibangun dapat terus dipelihara dan semakin ditingkatkan untuk mendukung proses pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Perkembangan terakhir di Nangroe Aceh Darussalam (NAD) terkait dengan mundurnya GAM pada tanggal 10 Juni 2006 dari organisasi Badan Reintegrasi Aceh (BRA) mencerminkan adanya perbedaan pendapat dan pemikiran yang terkait dengan BRA dan pelaksanaan MoU Helsinki. Langkah mundur GAM tersebut diikuti oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah tergabung di dalam struktur BRA satu hari kemudian. Walaupun terdapat berbagai perbedaan pendapat dan pemikiran, namun pada intinya di dalam BRA terdapat satu prinsip yang disepakati bahwa membangun NAD yang jauh lebih baik harus merupakan cerminan berjalannya proses demokratisasi di NAD. Walaupun GAM dan LSM berada di luar keorganisasian BRA, komunikasi antara GAM, LSM dan BRA masih berjalan dengan cukup intens dan baik di dalam membantu mendorong pelaksanaan butir-butir MoU Helsinki. Namun, perlu mendapatkan perhatian bahwa perbedaan pendapat dan pemikiran tanpa dibarengi dengan pengendalian diri yang kuat dapat saja menjadi salah satu sumber dorongan bagi peningkatan eskalasi ketidakpuasan di dalam masyarakat, yang tidak mustahil dapat berujung pada berulangnya konflik dan kekerasan. Oleh karena itu, berbagai kebijakan perlu diterapkan agar pengendalian diri dapat dijaga dan ditingkatkan agar tidak sampai terjadi penggunaan cara- cara kekerasan yang melawan hukum.

Perkembangan politik di NAD pasca ditetapkannya Undang Undang Pemerintahan Aceh (UU PA) pada Sidang Paripurna DPR tanggal 11 Juli 2006 ditandai dengan perbedaan pendapat mengenai substansi UU seperti antara lain masalah pembagian kewenangan, keterwakilan perempuan, pengadilan HAM, serta Pengelolaan Minyak dan Gas Bumi. Saat ini, semua pihak masih akan dalam tahap mempelajari dan mendiskusikan secara seksama butir-butir UU PA tersebut. Pihak GAM sejak awal telah mengambil sikap bahwa UU PA harus sesuai dengan MoU Helsinki. Apabila dianggap tidak sejalan, maka akan ditempuh jalur penyelesaian perselisihan

sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki poin 6 tentang Penyelesaian Perselisihan.

Terkait dengan kondisi sosial politik di Papua, secara umum dapat dikatakan cukup baik, namun lebih diperlukan kehati-hatian dalam menindaklanjuti berbagai kebijakan politik, khususnya setelah pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) di Provinsi Irian Jaya Barat (Irjabar) dan Papua pada bulan Maret 2006. Ketidakpuasan terhadap hasil perhitungan suara serta adanya dugaan pemberian keterangan palsu dan penggunaan surat pengganti ijazah palsu merupakan persoalan yang menghambat penetapan pimpinan politik pemerintahan Irjabar dan Papua.

Secara umum pelaksanaan Pilkada di Irjabar maupun Papua berjalan lancar dan terbuka. Pelantikan pasangan Gubernur Papua Barnabas Suebu-Alex Hasegem dan pasangan Gubernur Irian Jaya Barat Irian Jaya Barat Abraham O Atururi-Rahim Katjong telah dilakukan secara berurutan. Pasangan Gubernur Irjabar dilantik terlebih dahulu pada tanggal 24 Juli 2006, sementara untuk Pasangan Gubernur Papua dilakukan pada tanggal 25 Juli 2006 yang lalu.

Pelantikan Gubernur Provinsi Papua dan Irjabar dinilai berbagai pihak merupakan langkah maju untuk membangun masyarakat papua ke depan, namun hendaknya komitmen itu diawali dengan rekonsiliasi antara elit-elit politik di Papua maupun di Irjabar. Rekonsiliasi ini dapat dijadikan pesan moral dan komitmen politik untuk membangun dan membawa masyarakat Papua dan Irjabar menuju masyarakat yang lebih sejahtera, adil dan bermartabat.

Persoalan lain di Papua adalah terkait dengan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang merupakan lembaga representasi kultural bagi orang asli Papua yang anggotanya terdiri dari kalangan adat, perempuan dan agama. Keberadaan dan eksistensi sekaligus kinerja MRP menjadi harapan, antara lain, untuk membantu pelaksanaan UU Otonomi Khusus (Otsus) di Papua dan mempercepat pembangunan di tanah Papua, sekaligus pada tataran pragmatis menjadi wadah penting dalam memberikan kontribusi dalam penciptaan harmonisasi tidak saja di dalam masyarakat, tetapi hubungannya dengan elit politik lokal dan pusat. Bila mencermati proses perkembangan pembentukan MRP, setelah ditetapkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 54 Tahun 2004

tentang Majelis Rakyat Papua, upaya-upaya pembentukan MRP mengalami perjuangan yang cukup berat dan memerlukan waktu hampir 3 tahun sejak UU No. 21 Tahun 2001 tentang Provinsi Papua ditetapkan, sampai pada akhirnya anggota MRP dilantik pada bulan Oktober 2005. Dalam proses-proses konsultasi, dialog dan komunikasi yang dilakukan telah muncul isu yang mengkhawatirkan bahwa MRP akan menjadi lembaga superbody yang dapat menghambat fungsi, tugas dan kedudukan lembaga eksekutif dan legislatif di Papua.

Majelis Rakyat Papua dalam melaksanakan tugas dan fungsi yang pertama telah memberikan rekomendasi menolak berdirinya Provinsi Irjabar. Hal ini menimbulkan dampak terhadap tidak diterimanya alokasi anggaran dana Otsus Tahun 2006 bagi kabupaten/kota yang berada di wilayah Provinsi Irjabar. Konsekuensinya adalah dampak bagi ketidaklancaran pelaksanaan pelayanan pemerintahan umum dan pembangunan di Provinsi Irjabar. Dalam perspektif hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan bahwa Inpres No. 1 Tahun 2003 dinyatakan tidak berlaku lagi, namun MK mengakui bahwa berdasarkan realitas politik Provinsi Irjabar adalah sah mengingat keberadaan perangkat pemerintahan, baik kelembagaan eksekutif maupun legislatif, di tingkat daerah dan wakil Irjabar di DPR dan DPD RI, serta adanya dukungan publik yang luas terhadap berdirinya Provinsi Irjabar. Bahkan, Pilkada Irjabar telah dilaksanakan pada tanggal 11 Maret 2006 yang tentunya menunjukkan adanya perangkat pemerintahan dan dukungan masyarakat yang luas. Hingga saat ini permasalahan mengenai kontroversi kebijakan pemekaran Provinsi Irjabar belum tuntas diselesaikan.

Permasalahan lain di Papua adalah lambatnya penyusunan Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi). Dalam perjalanannya, realisasi perangkat UU Otsus yang berhasil diselesaikan adalah ditetapkannya satu peraturan perundangan yaitu PP No. 54 Tahun 2004 tentang Pembentukan MRP. Sesungguhnya, perangkat peraturan pendukung UU No. 21 Tahun 2001 yang perlu ditetapkan adalah 13 (tiga belas) Perdasus, 17 (tujuh belas) Perdasi, 2 (dua) Keppres, 4 (empat) PP termasuk PP No. 54 Tahun 2004 tentang Pembentukan MRP, serta satu (1) Keputusan Gubernur. Belum dilaksanakannya secara konsisten UU mengenai

Otsus tersebut berpotensi menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Otsus itu sendiri dan tentunya kepada pemerintah pusat dan lokal. Pada tanggal 12 Agustus 2005 Dewan Adat Papua (DAP) mengembalikan UU Otsus kepada pemerintah pusat melalui aksi massa yang didukung oleh ribuan orang. DAP menilai UU Otsus telah gagal mengangkat kesejahteraan rakyat Papua di dalam menyelesaikan persoalan pelanggaran hak asasi manusia dan mengikutsertakan rakyat Papua dalam pengambilan kebijakan daerah.

Situasi ketidakharmonisasian di dalam masyarakat Papua ditandai pula dengan terjadinya tragedi di Universitas Cendrawasih (UNCEN) pada tanggal 16 Maret 2006. Tragedi tersebut dipicu oleh adanya tuntutan kelompok masyarakat untuk menutup kegiatan operasional PT Freeport Indonesia. Nampaknya PT Freeport kurang dapat memberikan perhatian terhadap pembangunan di bidang pendidikan khususnya di lingkungan UNCEN.

Persoalan konflik di Poso sampai saat ini belum dapat dituntaskan yang antara lain ditandai oleh berfluktuasinya stabilitas politik lokal Poso. Persoalan lama Poso yang belum dapat dituntaskan tersebut mengimplikasikan masih adanya kasus residual seperti masih adanya dendam dan saling curiga di dalam masyarakat, bahkan saat ini telah tumbuh masalah baru seperti pengungsi dan korupsi bantuan untuk pengungsi, pengangguran dan kemiskinan yang keseluruhannya merupakan ekses dan dampak akibat belum tuntasnya penyelesaian kasus Poso. Persoalan dampak konflik Poso juga telah memberikan pengaruh destruktif terhadap perkembangan psikologis masyarakat Poso. Dalam kurun waktu akhir Tahun 2005 sampai dengan semester pertama Tahun 2006, Poso-Sulawesi Tengah diwarnai oleh temuan senjata, temuan bom seperti di tempat septi tank di Kelurahan Sanyo, di depan gerbang SDN 3 Kelurahan Kayamanya, di halaman belakang SMUN I Poso di Kecamatan Poso Kota, tindakan kriminal penembakan dua mahasiswi pada November 2005, sejumlah kasus kekerasan misalnya mutilasi Oktober 2005, dan berbagai ledakan bom seperti yang terjadi di Pura Jagat Natha Desa Toini pagi hari pada tanggal 10 Maret 2006.

Dengan berbagai ekses dan dampak negatif yang ditimbulkan akibat situasi yang tidak tenteram di Poso, baik Pemerintah maupun masyarakat Poso sendiri sebagaimana diwakili oleh berbagai

organisasi kemasyarakatan di Poso, bertekad kuat mengungkapkan sejumlah kasus kekerasan yang melibatkan warga sipil, polisi dan militer sesuai dengan hukum yang berlaku serta segera mencari solusi terhadap akar-akar sosial masalahnya secara tuntas.

Kondisi konflik di Mamasa dalam kurun waktu setahun terakhir menunjukkan situasi yang semakin menggembirakan. Persoalan konflik di Mamasa timbul karena adanya tindakan anarkis yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang menolak dan setuju terhadap pemekaran Kabupaten Mamasa dan Kota Palopo pada Oktober 2004. Berkat kerja sama berbagai pihak, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta bantuan, dukungan dan dorongan masyarakat Mamasa, kondisi di Mamasa dapat dikatakan sangatlah baik. Situasi yang telah relatif stabil ini harus terus dijaga, sehingga diharapkan konflik serupa tidak terulang lagi.

Terkait dengan persoalan konflik di Maluku dan Maluku Utara, situasi yang telah relatif stabil di kedua wilayah tersebut tergambarkan cukup signifikan. Pada masa mendatang, keharmonisasian dan suasana saling percaya yang relatif sudah pulih harus semakin dijaga dan ditingkatkan. Dalam kerangka itulah, maka proses rehabilitasi pasca konflik merupakan prioritas yang telah dilakukan dalam tiga tahun terakhir ini.

Pada sisi masyarakat, secara umum, berbagai demonstrasi massa dewasa ini walaupun pada intinya bermaksud menyuarakan aspirasi rakyat, tidak jarang berakhir dengan tindakan-tindakan yang merusak fasilitas umum, sebagaimana terjadi pada undang-undang ketenagakerjaan, undang-undang antipronografi dan antipornoaksi serta perda bernuansa syariah. Namun, hal ini sesungguhnya masih dapat dilihat dalam kerangka menunaikan hak melaksanakan komitmen bangsa untuk berdemokrasi. Oleh karena itulah, fenomena ini tidak boleh dilihat sebagai gejala kemunduran, bahkan sebaliknya harus dilihat sebagai modal menuju kemajuan yang diharapkan ke depan, berupa pelajaran bagi semua pihak untuk lebih mengartikulasikan kepentingan masyarakat melalui proses artikulasi suara publik secara lebih sehat dan terorganisasi. Disamping itu, persoalan perpolitikan Indonesia yang muncul ke permukaan saat ini adalah tindakan kekerasan dan tindakan ancaman suatu kelompok tertentu terhadap individu atau kelompok lain. Tindakan-tindakan

seperti ini merupakan tindak pidana yang harus diproses secara hukum. Demokrasi memerlukan aturan main hukum yang harus dipahami apabila prosesnya menuju konsolidasi demokrasi ingin tercapai secara terstruktur dan sistematis.

Secara ringkas dari gambaran kondisi sosial politik sebagaimana diuraikan tersebut di atas, maka permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat adalah (i) belum dituntaskannya akar persoalan konflik yang berada di dalam masyarakat; (ii) lunturnya rasa kebangsaan; (iii) masih rendahnya penerapan nilai budaya politik demokratis; (iv) masih rendahnya pelaksanaan penegakan hukum; (v) masih rendahnya profesionalitas, kredibilitas Pemerintah dalam penanganan konflik/pasca konflik, dan pengggalangan solidaritas. Bahkan dalam beberapa beberapa kasus, ketidakprofesionalan tersebut telah mengakibatkan munculnya isu baru di daerah konflik/pasca konflik; (vi) masih belum cukup optimalnya peran masyarakat sipil dalam menyelesaikan persoalan di lingkungannya, (vii), komunikasi dan dialog didalam masyarakat belum terlembaga, (viii) belum dilaksanakannya peraturan perundangan Otsus secara konsisten dan konsekuen, khususnya di Papua, seperti belum disusunnya perdasus dan perdasi sebagai penjabaran UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua; (ix) masih rendahnya komunikasi politik Pemerintah.

II. LANGKAH-LANGKAH KEBIJAKAN DAN HASIL-HASIL

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 121-128)