• Tidak ada hasil yang ditemukan

YANG DICAPA

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 128-140)

REPUBLIK INDONESIA 16 AGUSTUS

YANG DICAPA

Berbagai langkah kebijakan telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menangani berbagai persoalan sosial politik yang ada di masyarakat seperti masalah kerukunan beragama, eforia hidup berdemokrasi, dan konflik di beberapa daerah.

Dalam menjaga harmonisasi didalam masyarakat, secara umum kebijakan memberdayakan organisasi masyarakat, organisasi sosial keagamaan dan LSM menjadi bagian penting dari pembangunan sosial politik yang selama ini diterapkan. Begitupun dengan kebijakan pemantapan peran Pemerintah sebagai fasilitator dan mediator yang

adil terus pula dilaksanakan dalam menjaga dan memelihara kesatuan dan perdamaian, serta harmonsasi di dalam masyarakat.

Dalam penjabarannya, sebagai salah satu upaya menjaga harmonisasi, Pemerintah telah menyusun landasan normatif untuk memperkuat kelembagaan kesatuan bangsa dan politik yang dituangkan dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) No. 4 Tahun 2005 tentang Kelembagaan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi/Kabupaten/Kota. Di samping itu, untuk membina dan memelihara keamanan, ketentraman, dan perlindungan masyarakat dalam menghadapi kemungkinan terjadinya berbagai persoalan sosial politik masyarakat, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 12 Tahun 2006 tentang Kewaspadaan Dini Masyarakat di Daerah.

Berkenaan dengan upaya pencegahan kembalinya konflik yang berlatarbelakang agama, pada tanggal 21 Maret 2006 telah dikeluarkan kebijakan berkaitan dengan pemeliharaan kerukunan umat beragama melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Peraturan bersama ini merupakan penyempurnaan terhadap Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 01/BER/MDN-MAG/1969. Penyusunan Peraturan bersama ini antara lain melibatkan seluruh perwakilan dari Majelis-majelis Agama dan pemerintah daerah. Pada saat ini Pemerintah terus melakukan sosialisasi terhadap pelaksanaan peraturan bersama tersebut agar terdapat kesamaan persepsi bahwa menjaga kerukunan beragama merupakan tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah dan Pemerintah. Sosialisasi ini pun penting agar seluruh masyarakat dan Pemerintah memiliki kesamaan pemikiran bahwa forum dialog/komunikasi merupakan pilar penting untuk saling memahami dan menentukan kebijakan yang terbaik demi menjaga kerukunan beragama.

Khusus terkait dengan masalah Agama Khong Hu Cu, Pemerintah tidak ingin bersifat diskriminatif dan telah mengambil kebijakan memberikan pengakuan keberadaan Agama Khong Hu Cu

di Indonesia. Pengakuan tersebut merupakan penegasan kembali atas berlakunya UU No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, yang dalam Penjelasan Pasal 1 UU tersebut menyebutkan bahwa agama-agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Pengakuan tidak diskrimintaif tersebut telah dituangkan di dalam Surat Menteri Agama No. MA/12/2006 tanggal 24 Januari 2006 perihal Penjelasan mengenai Status Perkawinan Menurut Agama Khong Hu Cu dan Pendidikan Agama Khong Hu Cu, serta Surat Menteri Dalam Negeri No. 470/336/SJ tanggal 24 Febrauri 2006 tentang Pelayanan Administrasi Kependudukan Penganut Agama Khong Hu Cu.

Berkaitan dengan persoalan Aceh pasca MoU Helsinki, langkah-langkah kebijakan yang ditempuh adalah memfokuskan pada pelaksanaan MoU Helsinki yang telah disepakati dan ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2006 di Helsinki Finlandia. Presiden pada tanggal 14 Nopember 2005 telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 15 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Nota Kesepahaman Antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, yang pada intinya menginstruksikan seluruh jajaran Kabinet Indonesia Bersatu untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk mendukung terlaksananya MoU Helsinki dimaksud.

Sampai dengan saat ini, beberapa kebijakan MoU Helsinki yang telah berhasil dilaksanakan antara lain, pertama, melalui Keputusan Presiden (Keppres) No. 22 Tahun 2005 tentang Pemberian Amnesti Umum dan Abolisi kepada setiap orang yang terlibat dalam GAM, pada tanggal 31 Agustus 2005 sebanyak 1421 orang narapidana dan tahanan GAM telah memperoleh amnesti umum dan abolisi. Baru- baru ini sebanyak 30 orang mantan GAM telah memperoleh amnestinya, dan sisanya 28 orang masih belum terselesaikan prosesnya karena persoalan kriminal seperti antara lain terlibat dalam proses pembomam Bursa Efek Jakarta. Kedua, empat tahap perlucutan seluruh senjata GAM sebagaimana tertuang di dalam MoU telah selesai dilaksanakan dan ditandai dengan upacara yang menandai berakhirnya tugas perlucutan senjata dimaksud pada tanggal 21 Desember 2005 di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh. Sebanyak 840 senjata yang memenuhi syarat telah diterima oleh Aceh

Monitoring Mission (AMM) dan telah dimusnahkan. Ketiga, Pemerintah Indonesia telah melakukan realokasi jumlah TNI dan Polri, sehingga saat ini kekuatan yang ada di NAD adalah sebanyak 14.700 personil non organik TNI dan 9.100 non organik personil Polri. AMM menilai bahwa kekuatan maksimum yang ada di NAD tersebut telah sesuai dengan isi Nota Kesepahaman. Upacara yang menandakan akhir dari penarikan pasukan TNI dan Polri dilaksanakan masing- masing pada tanggal 29 dan 31 Desember 2005. Keempat, jaminan hidup (jadup) sebesar Rp 1.000.000 per orang telah diberikan kepada 3.000 orang mantan GAM untuk waktu 3 bulan. Kelima, pendataan dan pendaftaran pemilih yang dilakukan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) sampai pada bulan Juni 2006 mencapai 2.447.218 orang dari 2.608.245 orang calon pemilih. Sampai dengan akhir Juni 2006, KTP telah diterbitkan kepada 402.053 orang (21,11%) dari 2.608.245 wajib KTP. Keenam, telah dilakukan secara bertahap pelatihan khusus polisi organik Aceh dengan penekanan pada penghormatan HAM.

Terkait dengan MoU Helsinki, hal lain yang telah dilakukan oleh Pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah, AMM, pihak GAM dan kelompok masyarakat lainnya adalah melakukan sosialisasi Nota Kesepahaman. Sosialisasi ini penting bagi masyarakat Aceh secara keseluruhan untuk memahami berbagai kebijakan dan kegiatan yang akan dilakukan dalam perspektif membangun NAD bersama- sama. Terkait dengan sosialisasi ini, Pemerintah telah membentuk tim sosialisasi nota kesepahaman dimaksud dan tim ini telah mengadakan sosialisasi di 9 kabupaten/kota secara terus menerus. Berbagai tantangan dihadapi dalam melaksanakan sosialisasi tersebut terkait dengan pendekatan yang dilakukan. Tujuan sosialisasi adalah agar seluruh masyarakat memahami dan mampu mendorong pelaksanaan MoU Helsinki, yang pada akhirnya diharapkan dapat memberikan dampak terbangunnya fondasi dalam menciptakan perdamaian yang langgeng dan tentunya dapat mendorong kelancaran proses pembangunan di provinsi NAD.

Hal penting lain sebagai wujud komitmen untuk melaksanakan MoU Helsinki adalah pelaksanaan program reintegrasi GAM kedalam masyarakat Aceh. Pemerintah Provinsi NAD pada tanggal 1 Maret 2006 mengumumkan secara resmi pembentukan Badan Reintegrasi-

Damai Aceh (BRA) yang bertujuan antara lain menyusun dan melaksanakan program untuk mengintegrasikan mantan tentara GAM, mantan tapol GAM yang mendapat amnesti, serta korban konflik yang berasal dari GAM maupun masyarakat ke dalam masyarakat Aceh secara keseluruhan.

Saat ini Bapel BRA sedang melakukan konsolidasi kelembagaan dengan membentuk kelembagaan Bapel BRA pada tingkat kabupaten/kota. Sejalan dengan hal tersebut, Bapel BRA saat ini sedang merumuskan dan mempersiapkan pelaksanaan program reintegrasi mantan GAM kedalam masyarakat. BRA dalam pelaksanaan tugasnya melakukan koordinasi dengan kementerian pusat yang memiliki instansi/unit yang berada di daerah. Tujuannya adalah agar program Reintegrasi GAM kedalam masyarakat dapat terkonsolidasi dan terintegrasi dengan baik.

Salah satu prestasi yang dihasilkan terkait dengan MoU Helsinki adalah ditetapkannya UU PA pada tanggal 11 Juli 2006, setelah mengalami keterlambatan penyelesaian dari jadual nota kesepahaman. Keterlambatan ini harus dipahami sebagai proses demokratisasi yang tumbuh dan berkembang semakin matang di NAD terutama dalam menentukan yang terbaik untuk membangun NAD yang aman, adil dan sejahtera. Hasil penting UU PA antara lain disetujuinya pembentukan partai politik lokal dan calon independen (walaupun hanya dilakukan satu kali saja), penerapan Syariah Islam untuk pemeluk agama Islam, serta jaminan terhadap Hak Asasi Manusia di NAD. Terhadap UU PA tersebut pihak GAM pada tanggal 1 Agustus 2006 menyatakan tidak menolak Undang-undang tersebut secara keseluruhan, tetapi hanya menolak beberapa pasal yang dianggap tidak sesuai dengan Nota Kesepahaman RI dan GAM. Beberapa hal yang dianggap tidak sesuai dengan Nota Kesepahaman tersebut antara lain terkait dengan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), dan penggunaan auditor independen. Pihak GAM berpendapat bahwa penerapan Pengadilan HAM sesuai UU PA dilaksanakan sejak UU tersebut disahkan, padahal menurut MoU tidak ada pembatasan waktu tersebut. Terkait dengan auditor, UU PA mengamanatkan penggunaan auditor yang ditunjuk oleh Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), sedangkan sesuai MoU digunakan auditor luar dan tidak diharuskan melalui BPK. Perbedaan pendapat

sesuatu hal yang wajar terjadi di dalam negara demokrasi, namun yang tidak boleh terjadi adalah adanya konflik fisik yang mengarah pada tindakan anarkis dan kriminalitas. Berbagai persoalan dapat diselesaikan bersama-sama.

Terkait dengan persoalan Papua, kebijakan fasilitasi pembentukan MRP yang diberikan oleh Pemerintah telah menunjukkan keberhasilan yang cukup signifikan. Sebagai kelanjutan ditetapkannya PP No. 54 tahun 2004 tentang MRP, dalam kurun waktu beberapa bulan anggota MRP akhirnya dapat dilantik pada Oktober 2005. Dengan dibentuknya MRP dimaksud, saat ini sedang dipersiapkan program peningkatan kapasitas MRP agar lembaga tersebut dapat melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional. Salah satu yang sedang dipersiapkan saat ini adalah penyusunan Direktori MRP, dan diharapkan dengan adanya direktori tersebut dapat diketahui tugas dan wewenang MRP dengan jelas dan transparan.

Pada tanggal 10 Maret 2006 Pilkada Gubernur Papua dan Irjabar telah pula berhasil dilaksanakan dengan aman dan tertib, dan diharapkan kedua Gubernur yang terpilih dapat menjembatani berbagai permasalahan Papua.

Untuk mempercepat pelaksanaan pembangunan di Papua, telah ditetapkan kebijakan New Deal Policy for Papua dengan memprioritaskan pada pemantapan ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat, peningkatan akses masyarakat pada pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, kebijakan perlakukan khusus (affirmative action) bagi putra-putri asli Papua, serta peningkatan infrastruktur dasar untuk pengembangan wilayah- wilayah potensial. Untuk melaksanakan kebijakan tersebut, saat ini sedang dipersiapkan Inpres tentang Percepatan Pembangunan di Papua. Langkah lain yang ditempuh adalah melakukan revitalisasi terhadap Desk Papua Kantor Menko Polhukam agar dapat lebih berperan dalam mendukung suksesnya pelaksanaan kebijakan tersebut.

Disamping itu, Pemerintah senantiasa melakukan dialog dan mengajak pimpinan dan anggota MRP, DPRP, Pemerintah Daerah Provinsi Papua dan Irjabar serta tokoh agama dan tokoh masyarakat untuk segera menyatukan sikap, pola pikir dan tindakan agar lebih

memfokuskan percepatan pembangunan daerah untuk mengejar ketertinggalannya dan secara nyata mensejahterakan rakyat.

Terkait dengan kasus UNCEN, Polda Papua sedang memprosesnya secara hukum dengan menahan 17 orang tersangka dan 12 orang lagi telah masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), serta telah menyita barang bukti berupa kendaraan roda 4 yang diduga dipakai sebagai sarana mengangkut logistik.

Berkenaan dengan kasus Maluku dan Maluku Utara, Implementasi Inpres No. 6 Tahun 2003 tentang Percepatan Pemulihan Pembangunan Provinsi Maluku dan Maluku Utara Pasca Konflik tetap menjadi prioritas yang saat ini sedang dilaksanakan untuk mendukung pelaksanaan pembangunan yang diharapkan membawa konsekuensi pada terciptanya keamanan dan kedamaian di kedua wilayah tersebut. Beberapa upaya yang dilakukan adalah upaya peningkatan kapasitas dan kapabilitas pemerintahan di daerah, peningkatan rasa saling percaya dan harmonisasi antarkelompok masyarakat, rehabilitasi, penanganan pengungsi, pengembalian hak keperdataan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Upaya lain adalah meningkatkan secara terus menerus upaya dialog dan komunikasi efektif serta pendampingan terhadap masyarakat, dan diharapkan akumulasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat meningkatkan kepercayaan di dalam masyarakat.

Dalam penanganan masalah konflik Poso, sebagai implementasi Inpres No. 14 tahun 2005 tentang Langkah-langkah Komprehensif Penanganan Masalah Poso, telah dibentuk Komando Operasi Keamanan (Koopskam) Sulawesi Tengah. Komando Operasi tersebut dibentuk melalui Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Kep-35/Menko/Polhukam/6/2006. Koopskam Sulteng telah berhasil mewujudkan situasi dan kondisi keamanan yang kondusif dan berhasil mengungkapkan kasus teror, menangkap para pelaku tindak kekerasan dan kriminal, serta mengungkapkan kasus korupsi di Sulteng. Pada tanggal 4 Juli 2006, secara resmi Pemerintah mengakhiri masa tugas Koopslihkam Sintuwu Maroso mengingat situasi kondusif yang telah dicapai. Disamping itu, Pemerintah terus berupaya menumbuhkan kesadaran dengan menggalang seluruh potensi bangsa untuk memperkukuh integrasi nasional, upaya penegakan hukum, serta kesadaran hukum masyarakat. Berbagai

kegiatan harmonisasi sosial dilakukan seperti pengawasan terhadap rehabilitasi pada 5 buah masjid, 5 buah gereja dan 1 buah pura, serta monitoring realisasi bantuan World Food Program (WFP) untuk pembangunan 5 masjid, 5 gereja dan 1 rumah sakit di Tentena dengan nilai proyek Rp 8.414.740.000. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi di wilayah Sulawesi Tengah khususnya Kabupaten Poso telah dilaksanakan dan jadub/bedub telah disalurkan dengan total nilai Rp 9.057.5000.000 untuk 3.822 KK; Sisa dana yang belum tersalurkan sebesar Rp 1.652.500.000 karena data-data yang ada masih belum lengkap. Beberapa program pembangunan lain yang saat ini sedang dilaksanakan adalah pembangunan kembali sarana infrastruktur dasar dan pemberian modal kerja/perangkat kerja. Khusus terkait dengan masalah kepemilikan tanah dan tempat tinggal yang ditinggalkan pemiliknya karena mengungsi, telah dibentuk tim terpadu antarinstansi Pemerintah untuk menyelesaikannya secara perdata.

Terkait dengan persoalan Mamasa, Pemerintah telah menerbitkan Permendagri No. 15 Tahun 2005 tentang Batas Wilayah Kabupaten Mamasa dengan Kabupaten Mamuju, Kabupaten Majene dengan Kabupaten Poliwalimamasa, Sehingga situasi keamanan di Mamasa semakin kondusif. Disamping itu, kebijakan lain yang terus dilaksanakan adalah tetap menjaga situasi yang aman dan kondusif dalam mendukung aktivitas hidup masyarakat Mamasa. Hasilnya dapat dilihat bahwa situasi kondusif yang aman dan damai sampai saat ini masih tetap terjaga.

Berkenaan dengan internasionalisasi masalah Papua, Pemerintah telah melaksanakan multi-track diplomacy yang melibatkan tidak hanya unsur Pemerintah, tetapi juga masyarakat luas untuk memberikan citra yang baik terhadap Indonesia, terutama dalam menangani persoalan Papua, serta menegaskan posisi politik Indonesia terkait dengan Papua. Kebijakan ini berhasil yang antara lain ditandai dengan mendapatkan ketegasan dunia internasional bahwa Papua merupakan bagian integral dari NKRI. Pemerintah Australia telah memberikan penegasannya bahwa Papua merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari NKRI.

Kebijakan lain yang dilakukan Pemerintah untuk menjaga harmonisasi di beberapa daerah adalah dengan membentuk media center seperti misalnya di Poso, Banda Aceh dan Papua. Pelayanan

media center ini antara lain untuk menyeimbangkan penyebaran informasi yang dilakukan oleh lembaga-lembaga internasional dan media asing yang cenderung merugikan Indonesia. Disamping itu, secara umum Pemerintah melaksanakan kebijakan untuk memperkuat mekanisme dialog dan pertemuan tatap muka, iklan layanan masyarakat, penerbitan buku, brosur dan leaflet dalam rangka penyebaran informasi yang bersifat kontigensi, serta menyediakan dan menyebarkan informasi publik melalui media cetak dan on line yang dikemas dalam bentuk tabloid (Tabloid Komunikasi) dan menyewa kolom di surat kabar. Khusus untuk daerah tertinggal/perbatasan seperti P. Miangas, P. Maroe dan Marampit di Sulut, P. Batek dan P. Dana di NTT, P. Sekatung, P. Nipa di Kepulauan Riau, P. Rondo di NAD dan P. Fani, Fanildo dan Brass di Papua, Pemerintah menyediakan genset, TV, radio tape dan parabola untuk memberikan peluang dan akses memperoleh informasi publik bagi masyarakat setempat tersebut. Diharapkan dengan upaya penyebaran informasi dan adanya akses terhadap informasi dapat membantu masyarakat lebih memahami proses pembangunan yang sedang dilakukan, dan diharapkan dalam jangka panjang dampak penyebaran informasi tersebut dapat memberikan kontribusi terhadap penciptaan rasa aman dan damai.

Disamping itu, untuk lebih mempertajam analisis pengambilan kebijakan publik khususnya di bidang sosial politik, berbagai kegiatan dilakukan untuk memperoleh masukan dan info secara lebih lengkap dan lebih akurat. Adapun kegiatan tersebut adalah (i) kegiatan monitoring dan jajak pendapat mengenai berbagai isu krusial yang berkembang di dalam masyarakat seperti dampak kenaikan harga BBM, aksi kekerasan dan lain sebagainya; (ii) bedah isu politik melalui isu siaran langsung di RRI setiap hari Jumat yang merupakan sarana dialog interaktif dengan masyarakat mengenai berbagai kebijakan Pemerintah dengan menghadirkan para nara sumber yang kompeten di bidangnya; (iii) pembentukan data base depkominfo sebagai bank data informasi resmi Pemerintah Indonesia.

Berbagai hasil analisis tersebut dimuat di dalam bulletin Kominfo Monitoring Room dan melalui media on line. Pembangunan Kominfo Monitoring Room bertujuan untuk menyerap umpan balik terhadap kebijakan Pemerintah dan negara serta pelaksanaannya untuk

digunakan sebagai referensi bagi penyediaan dan penyebaran informasi publik, serta perumusan kebijakan Pemerintah.

Dalam merespon penyaluran aspirasi yang dapat mengarah kepada tindakan-tindakan anarkis yang dapat merusak sarana dan prasarana publik, Pemerintah harus senantiasa menyediakan forum- forum komunikasi/dialog yang dijadikan ruang bagi publik, tidak saja bagi Pemerintah, tetapi juga seluruh stakeholder bangsa yang berkepentingan untuk dapat memahami persoalan yang sesungguhnya dan tentunya mencari jalan penyelesaian terbaik. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pemikiran Pemerintah tidak semuanya dapat dipahami oleh masyarakat, misalnya terkait dengan rencana revisi undang-undang ketenagakerjaan. Ketika persoalan tidak dipahami sekaligus belum dilengkapi oleh kedewasaan dan kematangan politik, potensi anarkis sangat besar peluangnya terjadi di dalam kehidupan politik masyarakat Indonesia. Dapat diidentifikasi bahwa persoalan komunikasi politik menjadi salah satu kendala utama yang dihadapi para birokrasi pemerintahan dalam menyampaikan berbagai latar belakang permasalahan kepada masyarakat. Inilah yang harus diperbaiki ke depan.

III. TINDAKLANJUT YANG DIPERLUKAN

Secara umum, berbagai tindaklanjut yang diperlukan untuk menjaga harmonisasi di dalam masyarakat secara berkelanjutan, khususnya di daerah konflik/pasca konflik dan potensi konflik pada semester dua Tahun 2006 dan semester awal Tahun 2007 adalah (i) meningkatkan koordinasi dan komunikasi politik dengan berbagai pihak dalam penyelesaian konflik; (ii) tetap menciptakan kapasitas dan profesionalisme instansi-instansi Pemerintah dan lembaga masyarakat dalam menjaga harmonisasi di dalam masyarakat dan menyelesaikan konflik sosial politik secara tuntas; (iii) memperkuat wacana dialog/forum komunikasi di dalam masyarakat; (iv) menegakkan hukum; (v) melaksanakan sosialiasi nilai-nilai demokrasi dan kebangsaan, serta menciptakan semangat kebersamaan di dalam setiap kehidupan masyarakat; (vi) menyepakati dan memaknai kembali konsensus bangsa, yaitu Pancasila, UUD 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai alat pemersatu Indonesia dalam konstelasi

kehidupan kebangsaan yang dinamis dan menciptakan harmonisasi sosial kemasyarakatan; (vii) mengembangkan identitas dan karakter bangsa; (viii) mendukung terciptanya sistem budaya politik demokratis yang sesuai nilai-nilai lokal melalui kegiatan pendidikan politik; (ix) mendorong pelembagaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi; (x) mengembangkan penanganan konflik yang melibatkan peran pranata lokal/adat; (xi) memantapkan pelayanan informasi publik dan meningkatkan penyediaan akses masyarakat terhadap informasi publik; (xii) fasilitasi pengembangan media komunitas; (xiii) penguatan media center di daerah konflik dan rawan konflik.

Khusus terkait dengan persoalan Aceh, tindaklanjut yang diperlukan adalah (i) melaksanakan sosialisasi UU PA secara luas, intensif dan konstruktif dengan melibatkan berbagai pihak; (ii) mendukung terlaksananya UU PA secara konsekuen dan konsisten. Dalam waktu dekat harus segera disusun Qanun perihal Pilkada, harus segera dilakukan persiapan teknis Pilkada (mulai dari sosialisasi pilkada, persiapan daftar pemilih sampai dengan aspek teknis hari pencoblosan), serta perlu persiapan dan pengaturan pemantauan pilkada terutama yang berasal dari komunitas internasional. Hal ini penting dilakukan agar pelaksanaan Pilkada dapat berjalan dengan jujur, transparan, adil, serta tertib-aman-damai. Dukungan pemerintah pusat, pemerintah daerah, organisasi kemasyarakatan, partai politik dan masyarakat internasional merupakan kunci keberhasilan Pilkada; (iii) membangun hubungan kerja yang konstruktif dan sinergis antara pemerintah pusat dan BRA NAD, dan antara BRA NAD dengan BRA kabupaten/kota; (iv) mendukung program reintegrasi GAM kedalam masyarakat;

Berkenaan dengan masalah Papua, tindaklanjut yang perlu dilakukan adalah (i) mendorong dituntaskannya proses penyidikan kasus UNCEN dan pengrusakan Hotel Sheraton Mimika pada tanggal 14 Maret 2006, serta perlu didorongnya pengembangan bantuan pendidikan kepada pihak UNCEN oleh PT Freeport; (ii) penyelesaian masalah pilkada Irjabar; (iii) perlu menggalang pemahaman yang sama dari berbagai pihak, khususnya terkait dengan keberadaan provinsi Irjabar dalam kerangka UU Otsus; (iv) mendorong pelaksanaan UU No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Provinsi Papua,

antara lain fasilitasi untuk mendorong disusunnya perdasus dan perdasi termasuk harmonisasinya dengan peraturan perundangan yang ada; (iv) konsensus dan pelaksanaan kebijakan New Deal Policy for Papua; (v) meningkatkan kapasitas lembaga MRP, DPRP dan DPRD yang sudah terbentuk agar dapat menjalankan tugas dan wewenangnya secara profesional, sebagaimana dimandatkan di dalam peraturan perundangan yang ada; (vi) perlunya sinkronisasi kewenangan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota.

Tindaklanjut penanganan masalah pasca konflik Maluku/Ambon adalah (i) meningkatkan koordinasi antara aparat penegak hukum; (ii) menuntaskan kasus-kasus teror/kejahatan kekerasan maupun korupsi dana pengungsi dengan mengembangkan hasil pemeriksaan para saksi-saksi dan alat-alat bukti; (iii) mengoptimalkan peran pemda untuk melakukan pendataan para penduduk dan pendataan hak keperdataan; (iv) mendukung pelaksanaan Inpres No. 6 tahun 2003.

Dalam penanganan kasus Poso, hal-hal yang perlu ditindaklanjuti adalah (i) melanjutkan proses penegakan hukum dengan menuntaskan kasus-kasus teror maupun kasus korupsi yang terjadi di Provinsi Sulawesi Tengah; (ii) melanjutkan program harmonisasi sosial dan rehabilitasi terhadap pembangunan sarana- prasarana sosial, rumah-rumah penduduk korban konflik dan tempat- tempat ibadah yang harus dilaksanakan di Kab Poso; serta (iii)

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 128-140)