• Tidak ada hasil yang ditemukan

Revitalisasi Pertanian

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 72-87)

REPUBLIK INDONESIA 16 AGUSTUS

A GENDA M ENCIPTAKAN I NDONESIA YANG A DIL DAN D EMOKRATIS

18. Revitalisasi Pertanian

Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan. Dalam tahun 2005 revitalisasi pertanian diarahkan untuk mendorong pertumbuhan sektor pertanian, termasuk perikanan dan kehutanan; menciptakan lapangan kerja berkualitas di perdesaan, khususnya lapangan kerja nonpertanian, yang ditandai dengan berkurangnya angka pengangguran terbuka dan setengah pengangguran; serta meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan masyarakat perdesaan yang dicerminkan dari peningkatan pendapatan dan produktivitas pekerja di sektor pertanian.

Dalam tahun 2006, revitalisasi pertanian dalam arti luas akan ditingkatkan dengan empat fokus kebijakan, yaitu : (a) peningkatan ketahanan pangan yang mengarah ke swasembada beras dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor, (b) peningkatan kualitas petani dan produktivitas pertanian, perikanan dan kehutanan, (c) peningkatan akses petani, nelayan dan pembudidaya ikan terhadap sumberdaya produktif dan permodalan, dan (d) peningkatan kesejahteraan dan kualitas hidup petani, nelayan, pembudidaya ikan dan petani hutan.

Berbagai kebijakan dan langkah yang ditempuh untuk meningkatkan peranan sektor pertanian tersebut telah memberikan hasil yang baik. Dalam tahun 2005, sektor pertanian tumbuh sebesar 2,5 persen dengan menyumbang PDB sebesar Rp 365,6 triliun atau 13,4 persen dari total PDB. Meningkatnya sektor pertanian pada tahun 2005 tersebut didukung oleh pertumbuhan tanaman bahan makanan 2,6 persen, perkebunan 2,2 persen, peternakan 2,9 persen dan perikanan sebesar 4,3 persen. Selanjutnya ekspor ekspor dari komoditas pertanian dalam arti luas mencapai US$ 3,1 miliar. Dalam bulan Februari 2006, penyerapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 42,3 juta.

Dalam semester I/2006, sektor pertanian tumbuh 4,5 persen dibandingkan semester yang sama tahun 2005. Pertumbuhan yang lebih tinggi ini didorong oleh tanaman bahan makanan yang tumbuh

4,6 persen, perkebunan 5,8 persen, peternakan 4,6 persen, perikanan 5,0 persen, dan kehutanan -1,0 persen.

Ketersediaan pangan terus meningkat. Dalam tahun 2005, produksi padi mencapai 54,2 juta ton gabah atau 0,1 persen lebih tinggi dibanding tahun 2004. Pada tahun 2006 produksi padi diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar 54,7 juta ton gabah dan jagung akan meningkat menjadi sebesar 12,5 juta ton. Sementara itu, populasi ayam pedaging pada tahun 2005 meningkat sebesar 10,9 persen dan populasi sapi potong naik 1,4 persen. Dalam tahun 2006, produksi sub-sektor peternakan diharapkan akan semakin meningkat dengan semakin baiknya sistem pengendalian penyakit ternak yang akhir-akhir ini mengganggu kelangsungan usaha pertenakan.

Sementara itu, produksi perikanan pada tahun 2005 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 3,9 persen yaitu menjadi sebesar 6,3 juta ton. Peningkatan terutama karena naiknya luas areal dan produktivitas usaha perikanan budidaya. Peningkatan usaha perikanan budidaya akan terus ditingkatkan akan mengimbangi semakin terbatasnya stok sumber daya perikanan laut. Selain itu, nilai ekspor pada tahun 2005 meningkat sebesar 7,3 persen dari tahun 2004. Peningkatan produksi dan nilai ekspor masih akan terus ditingkatkan dengan meningkatkan mutu dan nilai tambah serta mengembangkan komoditas perikanan dan sumber daya laut lainnya yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Pada tahun 2006 produksi perikanan nasional diperkirakan mampu mencapai angka 7,2 juta ton. Peningkatan diharapkan berasal dari pengembangan perikanan budidaya yang semakin meluas di masyarakat. Peningkatan produksi bahan pangan nabati dan hewani tersebut semakin memperkuat ketersediaan pangan nasional. Selanjutnya, di bidang kehutanan, untuk memenuhi kebutuhan kayu bulat sebesar 66,3 juta m3 per tahun akan ditingkatkan produksi dari hutan alam dari 5,7 juta m3 pada tahun 2005 menjadi 8,1 juta m3 pada tahun 2006, meredistribusi kayu HTI pulp ke kayu pertukangan, memanfaatkan kayu rakyat 0,9 juta m3, kayu peremajaan kebun 0,1 juta m3, dan dari izin sah lainnya 16,5 juta m3, serta kayu Perhutani 0,8 juta m3. Selain itu produksi hasil hutan nonkayu diharapkan dapat terus ditingkatkan untuk mengejar penurunan hasil hutan kayu.

Peningkatan produksi padi yang diiringi dengan pengaturan impor telah berhasil mempertahankan harga gabah di tingkat petani.

Pada bulan Juni 2006, harga rata-rata gabah kering giling (GKG) mencapai Rp2.331,5/kg, 6 persen lebih tinggi dari harga yang ditetapkan oleh Pemerintah (HPP) sebesar Rp2.250,-/kg. Harga gabah kering panen (GKP) bahkan mencapai Rp2.094,3/kg atau 23,7 persen lebih tinggi dibandingkan HPP sebesar Rp1.750,-/kg. Tingginya harga ini telah memberikan pendapatan yang lebih baik bagi petani dan mendorong petani untuk meningkatkan produksi padi guna mendukung ketahanan pangan.

Pembangunan pertanian dalam arti luas juga akan mengurangi kemiskinan, terutama penduduk miskin di perdesaan. Dengan 55 persen total penduduk miskin berada di sektor pertanian dan dari jumlah tersebut sekitar 75 persen berada pada tanaman bahan makanan, 7,4 persen pada perikanan laut, dan 4,6 persen pada peternakan, maka revitalisasi pertanian dalam arti luas akan mengurangi jumlah penduduk miskin.

Membaiknya sektor pertanian pada paruh pertama tahun 2006 telah mendorong pendapatan petani bagi peningkatan kesejahteraannya. Nilai tukar petani (NTP) yang tercermin dari indeks rasio harga yang diterima dengan harga yang dibayar oleh rumah tangga petani meningkat dari 98,7 pada akhir tahun 2005 menjadi 101,7 atau naik 3,0 persen pada bulan Mei 2006.

19. Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil dan

Menengah

Pemberdayaan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan koperasi merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dasar kehidupan perekonomian Indonesia. Pada tahun 2005, keberadaan UMKM yang tersebar luas di seluruh daerah berperan besar dalam penyediaan lapangan kerja dengan menyerap sebanyak 77,7 juta tenaga kerja dan menyumbang sekitar 54,2 persen dalam pembentukan PDB. Keberadaan tersebut menunjukkan potensi besar UMKM dan koperasi sebagai pelaku ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Pada tahun 2005, jumlah UMKM mencapai 44,7 juta unit usaha, atau sekitar 99,9 persen dari seluruh unit usaha nasional. Jumlah UMKM yang besar tersebut belum diikuti dengan kinerja usaha yang tinggi. Upaya memberdayakan UMKM diarahkan untuk

menangani beberapa permasalahan pokok, yaitu: (a) produktivitas usaha dan tenaga kerja yang belum menunjukkan kenaikan yang berarti, yaitu dengan produktivitas per tenaga kerja usaha mikro dan kecil sebesar Rp14,6 juta masih jauh tertinggal dengan produktivitas per tenaga kerja usaha besar yang telah mencapai Rp482,5 juta; (b) perkembangan iklim usaha yang belum mendukung karena belum tuntasnya penyempurnaan peraturan perundang-undangan, ketidakjelasan aspek legalitas formal dan panjangnya prosedur perizinan, serta masih berlangsungnya peraturan-peraturan daerah yang menghambat; (c) akses UMKM dan koperasi yang terbatas kepada pendanaan; (d) penguasaan teknologi, manajemen, informasi dan pasar yang jauh dari memadai; (e) keterbatasan sumberdaya finansial usaha mikro kepada pelayanan lembaga keuangan formal

(bank) karena karakteristik usaha mikro yang bermodal kecil dan tidak berbadan hukum dengan manajemen yang masih tradisional; serta (f) pemahaman yang belum meluas tentang koperasi sebagai badan usaha yang khas dan pengetahuan tentang praktik-praktik berkoperasi yang benar (best practices) mengakibatkan rendahnya kualitas kelembagaan koperasi.

Berdasarkan dinamika perubahan lingkungan internal dan eksternal, langkah-langkah kebijakan pemberdayaan koperasi dan UMKM dalam rangka penciptaan iklim usaha untuk membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya dan menjamin kepastian usaha, dilaksanakan dengan menyempurnakan peraturan perundang- undangan untuk membangun landasan legalitas usaha yang kuat bagi UMKM dan koperasi serta menyederhanakan birokrasi dan perizinan. Dalam kaitan itu telah disusun RUU tentang Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, RUU tentang Perkoperasian sebagai penyempurnaan dari UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; dan rancangan Perpres tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Keuangan Mikro Indonesia.

Dalam rangka pengembangan sistem pendukung usaha bagi UMKM untuk meningkatkan akses kepada sumber daya produktif, seperti modal/pembiayaan, teknologi, dan pasar, upaya-upaya yang ditempuh meliputi (a) perluasan sumber pembiayaan bagi koperasi dan UMKM, termasuk peningkatan kualitas dan kapasitas atau

jangkauan layanan koperasi simpan pinjam (KSP) dan unit simpan pinjam (USP) koperasi, penyaluran kredit usaha mikro dan kecil yang bersumber dari dana Surat Utang Pemerintah (SUP-005); serta penyediaan jaminan kredit; (b) pengembangan penyedia jasa pengembangan usaha BDS-P/LPB (business development service provider/lembaga pelayanan bisnis), termasuk yang dikelola oleh masyarakat dan dunia usaha; serta (c) peningkatan pasar bagi produk koperasi dan UMKM, melalui kegiatan promosi dalam dan luar negeri dan pengembangan jaringan pemasaran, termasuk melalui kemitraan usaha.

Selanjutnya dalam rangka pengembangan kewirausahaan dan keunggulan kompetitif UKM, langkah-langkah telah diupayakan untuk meningkatkan kualitas kewirausahaan, baik wirausaha yang ada maupun calon-calon wirausaha baru. Untuk itu, telah disusun program induk pengembangan kewirausahaan dan pelaksanaan pelatihan kewirausahaan serta pendidikan dan pelatihan teknis dan manajemen serta magang kepada 2.480 orang. Selain itu, dalam rangka meningkatkan nilai tambah berbagai produk dan pemberian peluang yang lebih luas bagi UKM dilaksanakan percontohan usaha dengan pola perguliran di sektor agribisnis yang dirintis di berbagai daerah.

Dalam rangka meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi khususnya usaha skala mikro di sektor informal ditempuh langkah-langkah penyediaan dana bergulir pola konvensional yang disalurkan melalui 154 KSP/USP- Koperasi; pelaksanaan program pengembangan KSP sektor agribisnis kepada 164 KSP; serta sertifikasi hak atas tanah untuk 11.316 pengusaha mikro dan kecil (PMK) dan 500 PMK untuk sertifikasi tanah perkebunan.

Klasifikasi dan audit koperasi juga dilaksanakan dalam rangka peningkatan kualitas koperasi untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya sekaligus membangun efisiensi kolektif terutama bagi pengusaha mikro dan kecil. Klasifikasi dilaksanakan secara komprehensif untuk memperoleh gambaran keragaan dan kualifikasi Koperasi Indonesia. Hasil pelaksanaan klasifikasi koperasi mencapai sebanyak 23.208 koperasi, di antaranya sebanyak 3.325 koperasi termasuk klasifikasi A. Dalam rangka meningkatkan akuntabilitas koperasi, kegiatan yang telah dilaksanakan adalah pendidikan dan

pelatihan penerapan akuntabilitas koperasi bagi para aparat serta secara bertahap sosialisasi penerapan akuntabilitas koperasi di beberapa provinsi.

Pemberdayaan koperasi dan UMKM akan terus ditingkatkan khususnya untuk mendukung penanggulangan kemiskinan, peningkatan kesempatan kerja, investasi dan ekspor dengan: (a) menuntaskan penyelesaian penyempurnaan UU tentang Koperasi, dan UU tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, serta mengupayakan kedua RUU tersebut dimasukkan ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas); (b) memperluas akses kepada modal melalui pengembangan produk dan jasa pembiayaan bukan bank; peningkatan skim penjaminan kredit khususnya untuk mendukung kebutuhan modal investasi,; dan penyusunan kebijakan dan strategi nasional pengembangan lembaga keuangan mikro (LKM) yang menyeluruh, dan terpadu, termasuk penuntasan status dan pembinaan LKM informal dan tradisional yang berbentuk bukan bank dan bukan koperasi; (c) menyediakan sistem insentif dan pembinaan untuk memacu pengembangan UKM berbasis teknologi, termasuk pengembagan inkubator teknologi dan bisnis dan penumbuhan wirausaha baru; dan (d) mengembangkan jaringan produksi dan distribusi melalui pemanfaatan teknologi informasi, pengembangan usaha kelompok dan jaringan antar-UKM dalam wadah koperasi, serta jaringan antara UKM dan usaha besar melalui kemitraan usaha.

20. Peningkatan Pengelolaan BUMN

Pengelolaan BUMN terus ditingkatkan. Berbagai upaya untuk meningkatkan pengelolaan BUMN secara umum telah menunjukkan hasil yang menggembirakan dan akan terus dilanjutkan di tahun-tahun mendatang. Pada tahun 2005, jumlah keuntungan (laba) BUMN mencapai Rp46,6 triliun atau naik 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Meningkatnya kinerja BUMN juga memberi sumbangan bagi penerimaan negara dan pembiayaan pembangunan. Jumlah dividen yang disumbangkan kepada negara pada tahun 2005 mencapai Rp12,8 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya (Rp9,8 triliun) dan 6,7 persen tinggi dibandingkan target dividen. Peningkatan kinerja pengelolaan BUMN tidak terlepas dari pemantapan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) serta pemantapan pelaksanaan regulasi

dengan diterbitkannya 4 (empat) Peraturan Pelaksanaan UU No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Dalam tahun 2006 dan 2007 yang merupakan periode restrukturisasi dan pertumbuhan, kebijakan reformasi BUMN akan diteruskan antara lain: menyelesaikan proses restrukturisasi BUMN terutama untuk mendorong sinergi dan melakukan konsolidasi BUMN; identifikasi aliansi strategis dan pengembangan usaha BUMN khususnya pada BUMN yang berbasis sumber daya alam (SDA); melakukan penataan sistem pengelolaan PSO dan subsidi dengan instansi terkait; melanjutkan implementasi program GCG dan manajemen resiko; melanjutkan upaya pencegahan dan pemberantasan KKN; mendorong ekspansi BUMN melalui sinergi antar BUMN terutama di sektor Infrastruktur, Energi, Perumahan, dan Perkebunan; dan mendorong kerja sama yang harmonis dan saling menguntungkan antara BUMN dengan Pemerintah Daerah.

21. Peningkatan Kemampuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Pembangunan iptek dalam tahun 2005 dan 2006 diarahkan untuk meningkatkan sinergi kebijakan dan intermediasi iptek dengan sektor lainnya; mendorong pengembangan budaya iptek di kalangan masyarakat; meningkatkan peranan dan kemampuan sumber daya iptek dalam pembangunan. Lebih lanjut pembangunan iptek juga diarahkan pada penanganan bencana alam, peningkatan ketahanan pangan, penyediaan energi alternatif, serta penanganan penyakit menular.

Dalam tahun 2005 dan 2006 telah dikembangkan energi alternatif biodiesel dan biofuel; teknologi peroketan, mini satelit, kapal penumpang, obat-obatan herbal anti kanker, serta pangan alternatif. Selain itu telah dilaksanakan pemasangan dan uji-coba teknologi pemantau dini bencana alam tsunami (Tsunamy Early

Warning System, TEWS) yang merupakan kolaborasi berbagai

instansi pemerintah; penyebaran program-program aplikatif yang antara lain melalui Iptekda; prakarsa penggunaan software legal

berbasis Open Source; serta penyebaran warung informasi dan teknologi (Warintek).

Selanjutnya pranata pengelolaan juga telah dilengkapi dengan PP No. 20 Tahun 2005 Tentang Alih Teknologi; lembaga pengawasan

untuk kegiatan riset dan penerapan teknologi berisiko tinggi termasuk nuklir dan bioteknologi; Riset Unggulan Strategis Nasional (Rusnas) dan Start-Up Capital Program (SUCP). Dalam rangka pengembangan sarana fisik laboratorium telah dilanjutkan pengembangan Laboratorium Biologi Molekuler Eijkman ke arah peningkatan kemampuan di bidang bio-forensik dan penanganan penyakit menular; perkuatan fasilitas-fasilitas berbagai pusat-pusat iptek dan unit pelayanan teknis.

Dalam rangka lebih meningkatkan kemampuan iptek akan dilakukan perluasan pusat-pusat iptek dan wahana intermediasi; pengembangan dukungan pranata regulasi dan kebijakan serta jejaring kerja; peningkatan apresiasi iptek di masyarakat dan dunia usaha; pengembangan sistem diteksi dini untuk multi hazard termasuk rencana percepatan pembangunan infrastruktur TEWS; dan pengembangan dan penyempurnaan instrumen analisis pencapaian teknologi dalam bentuk statistik dan indikator iptek.

22. Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan

Tingginya tingkat pengangguran terbuka, rendahnya produktivitas pekerja, dan lambatnya pertumbuhan lapangan kerja formal merupakan tantangan besar yang dihadapi oleh Pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah menetapkan upaya penciptaan kesempatan kerja sebagai salah satu prioritas pembangunan pada tahun 2006.

Jumlah angkatan kerja pada bulan Februari 2006 adalah sebesar 106,3 juta orang atau naik sekitar 480 ribu orang dibandingkan dengan jumlah angkatan kerja pada bulan Februari 2005 yang berjumlah 105,8 juta orang. Jumlah penduduk yang bekerja pada bulan Februari 2006 adalah sebesar 95,2 juta orang atau meningkat 230 ribu orang dibandingkan dengan jumlah penduduk yang bekerja pada bulan Februari 2005. Pertumbuhan ekonomi selama 2005-2006 hanya mampu menciptakan sekitar 230 ribu lapangan pekerjaan. Dengan perkembangan ini, jumlah penganggur terbuka pada bulan Februari 2006 mencapai 11,1 juta orang atau 10,4 persen dari jumlah angkatan kerja. Tingkat pengangguran terbuka ini lebih besar jika dibandingkan dengan tingkat pengangguran terbuka pada bulan Februari tahun 2005 yang hanya sebesar 10,3 persen atau 10,9 juta orang. Namun

dibandingkan bulan November tahun 2005, tingkat pengangguran terbuka sudah menurun dari 11,2 persen pada bulan November tahun 2005 menjadi 10,4 persen pada bulan Februari 2006.

Dari jumlah penganggur terbuka tahun 2006, 61,8 persen merupakan penganggur usia muda (15–24 tahun). Tingkat pendidikan penganggur terbuka relatif rendah dengan yang berpendidikan SMP ke bawah mencapai 57,5 persen atau 6,4 juta orang. Lebih dari 50,0 persen jumlah penganggur terbuka berada di perkotaan, dan jumlah setengah pengangguran terpaksa mencapai 14,2 juta orang pada tahun 2006.

Lapangan kerja formal yang tersedia pada bulan Februari tahun 2006 sebesar 28,8 juta atau 30,2 persen dari jumlah penduduk yang bekerja. Jumlah ini meningkat sekitar 200 ribu orang dibandingkan dengan lapangan kerja formal bulan Februari tahun 2005 yang besarnya 28,6 juta. Sementara itu pekerja informal meningkat sekitar 100 ribu orang. Dari penambahan 100 ribu pekerja informal ini, pekerja informal di perdesaan bertambah sekitar 200 ribu orang, sedangkan di perkotaan turun 100 ribu orang. Selanjutnya, pada bulan Februari tahun 2006 lapangan kerja yang tersedia di daerah perdesaan, mencapai 57,3 juta atau sekitar 60,2 persen. Selain itu terdapat 60,3 persen atau 57,4 juta dari 95,2 juta penduduk yang bekerja, berada di Pulau Jawa. Kegiatan ekonomi yang paling banyak menyerap tenaga kerja adalah kegiatan pertanian. Pada bulan Februari tahun 2006, sebanyak 44,5 persen tenaga kerja diserap oleh sektor pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan. Pekerja di sektor pertanian pada bulan Februari tahun 2006 meningkat sebesar 500 ribu orang jika dibandingkan dengan bulan Februari tahun 2005, sedangkan di sektor industri dan perdagangan/jasa menurun berturut-turut sekitar 74 ribu orang dan sekitar 340 ribu orang.

Dengan tantangan tersebut, pemerintah terus berupaya mendorong terciptanya lapangan kerja ke arah industri padat pekerja, industri menengah dan kecil, serta industri yang berorientasi ekspor. Untuk itu perbaikan iklim ketenagakerjaan melalui penerapan kebijakan pasar kerja yang luwes terus dilanjutkan. Kebijakan pasar kerja yang luwes akan mendorong kesempatan kerja pada industri- industri padat pekerja dengan tetap mempertimbangkan perlindungan bagi tenaga kerja. Berkaitan dengan itu telah dilakukan upaya untuk

memperkuat hubungan antara pemberi kerja dan pekerja dalam rangka menciptakan hubungan industrial yang harmonis, menyempurnakan penyelenggaraan pelatihan kerja serta meningkatkan kompetensi melalui sertifikasi tenaga kerja, menyempurnakan mekanisme penempatan dan perlindungan TKI ke luar negeri, serta menyempurnakan berbagai upaya penciptaan kesempatan kerja yang dilakukan oleh pemerintah.

Perluasan lapangan kerja juga akan didorong dengan memperbaiki iklim investasi dan berusaha; melanjutkan kebijakan untuk mengurangi biaya transaksi dan praktik ekonomi biaya tinggi; meningkatkan ekspor nonmigas dengan memperluas negara tujuan dan keragaman produk ekspor; meningkatkan kegiatan pariwisata; meningkatkan produktivitas dan akses UKM kepada sumberdaya produktif; mempercepat pelaksanaan reformasi birokrasi; melanjutkan kebijakan untuk meningkatkan kepastian berusaha dan kepastian hukum bagi dunia usaha, termasuk UKM dan mempercepat pembangunan infrastruktur termasuk infrastruktur di perdesaan.

23. Pemantapan Stabilitas Ekonomi Makro

Dalam tahun 2005 stabilitas ekonomi dalam negeri mengalami tekanan yang cukup berat dengan tingginya harga minyak dunia dan berlanjutnya siklus pengetatan moneter di negara-negara maju. Harga minyak dunia yang tinggi dan kenaikan suku bunga di AS telah meningkatkan kekuatiran mengenai keberlanjutan fiskal dan ketersediaan cadangan devisa, yang pada gilirannya telah mendorong sentimen negatif pasar dan pelemahan nilai tukar rupiah. Menjelang akhir Agustus 2005, dalam perdagangan harian, nilai tukar rupiah hampir menembus Rp12.000,- per dolar AS. Meningkatnya ketidakstabilan ekonomi juga memberi tekanan yang berat pada APBN khususnya subsidi BBM.

Menghadapi tekanan eksternal dan internal ini diambil langkah- langkah strategis untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah antara lain melalui kenaikan BI rate secara bertahap. Kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah kemudian diperkuat pada bulan Juli dan Agustus 2005 serta langkah-langkah koordinasi antara Pemerintah dengan Bank Indonesia. Pada bulan Juli 2005 ditempuh kebijakan moneter untuk meningkatkan intensitas penyerapan likuiditas dan efektivitas

pengelolaan likuiditas di pasar uang. Selanjutnya pada bulan Agustus ditempuh langkah-langkah lebih lanjut untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah antara lain penyediaan fasilitas swap, intervensi valuta asing, pengaturan transaksi margin trading, serta pengawasan atas transaksi valas. Ketahanan fiskal ditingkatkan dengan mengurangi subsidi BBM serta mempertajam efektivitas belanja negara. Dengan langkah-langkah kebijakan tersebut, stabilitas ekonomi membaik tercermin dari menguat dan stabilnya nilai tukar rupiah, menurunnya laju inflasi, dan meningkatnya cadangan devisa. Defisit APBN tahun 2005 dapat dijaga pada tingkat 0,5 persen PDB.

Meningkatnya ketidakstabilan ekonomi pada tahun 2005 berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2005, perekonomian tumbuh 5,6 persen dengan kecenderungan triwulanan melambat.

Dalam semester I/2006, tekanan eksternal masih terus berlanjut. Dengan koordinasi yang makin baik antara Pemerintah dan Bank Indonesia, stabilitas ekonomi makro tetap terjaga, tercermin dari menguat dan stabilnya nilai tukar rupiah, menurunnya laju inflasi, dan meningkatnya cadangan devisa. Pada akhir bulan Juli 2006, nilai tukar rupiah mencapai Rp9.070,- per dolar AS dan laju inflasi dalam tahun kalender (Januari – Juli 2006) terkendali sebesar 3,3 persen. Menurunnya laju inflasi memberikan ruang yang lebih luas bagi penurunan lebih lanjut suku bunga. Pada bulan Mei dan Juli 2006, BI

rate diturunkan berturut-turut sebesar 25 basis poin. Dalam bulan Agustus 2006, BI rate diturunkan lagi 50 basis poin, sehingga menjadi 11,75 persen. Meningkatnya stabilitas ekonomi dan menurunnya suku bunga diperkirakan lebih mendorong ekonomi.

Dalam triwulan II/2006, perekonomian tumbuh 5,2 persen (y-o- y), lebih tinggi dibandingkan triwulan I/2006. Dengan perkembangan ini, dalam semester I/2006, perekonomian tumbuh 5,0 persen (y-o-y).

Pada tahun 2006, peranan APBN dalam mendorong perekonomian ditingkatkan dengan tetap menjaga defisit anggaran pada batas yang aman. Selanjutnya berbagai penyempurnaan sistem penganggaran yang telah dimulai sejak tahun 2005 terus dilanjutkan antara lain melalui penyatuan anggaran belanja negara (unified

penyusunan sistem penganggaran berbasis akrual serta penerapan

Treasury Single Account (TSA) dalam pengelolaan keuangan negara. Secara keseluruhan, defisit anggaran diupayakan terjaga sebesar 1,2 persen PDB pada tahun 2006.

Dalam pada itu, ketahanan sektor keuangan tetap terjaga. Kepercayaan terhadap perbankan tetap tinggi tercermin dari meningkatnya dana masyarakat yang dihimpun oleh perbankan serta kecukupan modal perbankan yang meningkat. Pada bulan Juni 2006, dana masyarakat yang dihimpun perbankan meningkat menjadi Rp 1.179,5 triliun atau meningkat 16,4 persen (y-o-y) dan CAR perbankan meningkat menjadi 20,5 persen, lebih tinggi dari bulan Juni

Dalam dokumen Lampiran Pidato Kenegaraan Presiden RI (Halaman 72-87)