• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Internasional

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 60-68)

Lingkungan Strategis Global

6. Hubungan Internasional

Dalam beberapa tahun terakhir, hubungan internasional menunjukkan format yang semakin kompleks. Hal tersebut terlihat antara lain pada hubungan Amerika Serikat dengan sekutu lamanya, yakni Pakistan yang diwarnai sejumlah ketegangan, terutama dalam menangani kelompok radikal yang masuk dalam jaringan Taliban – Afghanistan. Begitu pula menyangkut hubungan Amerika Serikat dengan Iran yang selama ini merupakan musuh terpentingnya di kawasan Timur Tengah. Amerika justru melonggarkan ketegangan kedua pihak melalui manuver yang dilakukan oleh Menteri Luar Negerinya, John Kerry, seiring dengan naiknya Presiden Rouhani.

Sementara itu, Amerika Serikat juga mempunyai hubungan rumit dengan China. Secara politik Amerika Serikat masih berhadapan dengan China yang dipandang banyak melakukan praktik pelanggaran HAM. Amerika Serikat terus tampil di depan dalam urusan HAM. Selain itu Amerika Serikat juga mendukung Taiwan serta Jepang dari kemungkinan mendapat serangan militer China. Meskipun demikian, Amerika Serikat dan China terlibat dalam hubungan ekonomi yang rumit, yang pada satu sisi saling berhadapan, namun di sisi lain saling membutuhkan. China merupakan pembeli terbesar obligasi Amerika Serikat yang berarti juga ‘pemberi pinjaman’ terbesar bagi negara adidaya tersebut. Dengan demikian, China tentu berharap perekonomian Amerika-selain bergantung pada China- juga dapat tumbuh sehingga mampu membayar pinjamannya. Di sisi lain, China juga mengharap para investor Amerika menanamkan modalnya untuk menguatkan usaha di China.

Hubungan rumit tersebut terlihat dalam hubungan antarnegara ‘elite’ dalam tatanan global, seperti lima negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB dan delapan negara yang biasa berkumpul menentukan agenda ekonomi dunia (G- 8). Dalam forum tersebut masing-masing negara cenderung berkeras mempertahankan kepentingan masing-masing dengan mengabaikan kepentingan bersama global. Lemahnya mekanisme dan skema kerja sama multilateral seperti PBB dan WTO, terbukti dengan tidak terselesaikannya banyak persoalan. Misalnya, persoalan ketegangan di Timur Tengah, masalah tindak lanjut untuk isu perubahan iklim, hingga kebuntuan negosiasi terkait perdagangan. Terbentuknya forum seperti G-20, APEC serta forum kerja sama ekonomi yang tumpang tindih di satu kawasan, menunjukkan bahwa relasi antarnegara berpotensi rumit.

Pada tingkat tertentu terdapat kesadaran bersama untuk

membangun tata kelola global (global governance) serta bangunan

bersama global (global architechture). Kesadaran tersebut

adalah untuk membangun norma global yang menginginkan penjagaan perdamaian dunia. Meskipun demikian, jalan untuk mewujudkan bangunan global yang damai tersebut tidak sederhana. Harapan besar untuk membangun dunia yang aman, damai, dan sejahtera itu acapkali berbenturan keperluan pendek untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Pada kondisi seperti itu, kemungkinan konflik antar kepentingan dari masing-masing negara dapat terjadi. Berdasarkan realitas konflik beberapa tahun terakhir, setidaknya terdapat potensi lima jenis

konflik dalam politik ekonomi global di masa mendatang yang perlu menjadi perhatian:

a. Konflik akibat perang proxy antar kekuatan elite dunia

Konflik berupa perang non-fisik ini terjadi antarnegara- negara elite yang merasa kepentingan nasionalnya terusik. Khususnya dalam hal perebutan pengaruh terhadap negara- negara lain. Mereka akan mencari kesempatan untuk menyerang lawan politik ekonominya melalui pertarungan di lahan orang. Lima negara anggota tetap PBB dan para pembentuk agenda global di G-8 akan selalu bertarung untuk mempertahankan pengaruhnya. Amerika Serikat dengan posisinya selama ini akan terus memainkan dominasinya untuk menekan yang lain dengan menggunakan berbagai isu terorisme, senjata pemusnah massal, kebebasan melalui wilayah perairan strategis, HAM, dan lainnya. Di sisi lain, Rusia punya kepentingan untuk membalas dengan menjaga wilayah pengaruhnya di Timur Tengah, Afrika dan Asia. Rusia mungkin menghindar dari kontak senjata langsung, tetapi akan terus mencari kesempatan mempermalukan Amerika Serikat.

b. Konflik penentuan ‘aturan main’ dalam rezim internasional Konflik ini adalah dalam menentukan ‘aturan main’ di

luar kelembagaan internasional seperti PBB atau WTO. Lembaga-lembaga tersebut dipandang sebagai tameng perlindungan bagi semua negara dari kepentingan suatu negara yang memaksakan kehendaknya sendiri. Kenyataannya,

peranan lembaga-lembaga tersebut sangat terbatas untuk melindungi negara-negara lemah dari tekanan kepentingan negara adidaya. Tidak banyak negara yang mampu mengatasi tekanan-tekanan tersebut. China adalah salah satu negara yang pandai mencari kekosongan aturan main di PBB maupun WTO sehingga kepentingan nasionalnya tetap terpenuhi meskipun tetap terlihat dalam koridor patuh yang ada. Beberapa negara juga menyiasati aturan-aturan internasional. Dalam bidang perdagangan, misalnya, sejumlah negara menggunakan hambatan-hambatan nontarif untuk melindungi harga dan pasokan pangan di dalam negeri seperti menggunakan kuota, karantina, dan memperlama proses di pelabuhan. Permainan aturan main yang tidak adil membuat Dewan Keamanan PBB dan instansi PBB lain tidak efektif mencari solusi berbagai kasus, seperti kasus Suriah. Tidak ada instrumen yang memadai untuk mencari solusi damai ketika ada anggota Dewan Keamanan PBB yang melakukan veto. c. Konflik di wilayah perbatasan

Aturan internasional soal perbatasan bukan tanpa kelemahan. Hal tersebut terlihat pada semakin meningkatnya kejahatan transnasional seperti peredaran narkotika, perdagangan manusia, dan lain-lain. Lemahnya aturan soal perbatasan juga memberi ruang bagi banyak negara bertetangga untuk berkonflik soal wilayah dan untuk saling curiga. Hal ini berpotensi membahayakan relasi antarnegara, apalagi jika pemberitaan di media telanjur berisi pernyataan yang saling mengancam dan merendahkan.

Kasus konflik Laut China Selatan menunjukkan bahwa

aturan tata kelola kelautan internasional atau United Nations

Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tidak cukup dalam menjaga kedaulatan negara-negara yang punya batas maritim. Definisi ‘pulau’ dalam UNCLOS dapat diperdebatkan, bahkan karang pun bisa diklaim sebagai pulau terluar asalkan ada kegiatan administratif dan militer oleh negara yang mengakuinya. Solusi hanya bisa dicari dan ditegakkan oleh para pengklaim. Jika satu negara besar seperti China mengatakan tidak mau mengikuti kesepakatan, sengketa masih terus berlangsung. Karena itu, sengketa di wilayah perbatasan, seperti di Laut China Selatan, berpotensi menjadi medan konflik terbuka. Amerika Serikat pun sampai sekarang belum mau meratifikasi UNCLOS.

Mekanisme yang berlaku saat ini untuk mengatasi konflik wilayah perbatasan adalah kesadaran dari negara-negara yang bersengketa untuk duduk bersama dalam mekanisme bilateral atau regional. Mekanisme ini terbukti berhasil untuk sejumlah kasus, seperti Indonesia ketika menyelesaikan batas darat dengan Papua Nugini, walaupun harus memakan waktu yang tidak sebentar. Masalah perbatasan Indonesia dengan Papua Nugini diurus sejak 1966 sampai 2004 dengan melewati 3 macam jenis deklarasi. Konflik perbatasan perlu penanganan yang tekun dan memakan banyak perhatian dan dana.

d. Konflik karena perebutan sumber daya alam

Konflik ini tidak bersifat tidak terbuka, namun merepotkan pemerintah daerah serta penduduk yang terkena dampak

langsungnya. Selama 10 tahun belakangan, nampak bahwa negara-negara elite dunia berusaha memastikan bahwa pasokan pangan, energi dan bahan baku industri yang menjamin kebutuhan domestik dan lapangan kerja buat penduduknya terjaga. Negara-negara besar, diikuti oleh negara industri baru seperti India dan Brazil, melakukan eksplorasi dan akuisisi lahan serta proyek-proyek besar bidang pangan, energi dan bisnis sampai ke benua lain. Afrika dan wilayah-wilayah yang kurang diberi perhatian di Asia seperti Indonesia bagian Timur menjadi sasaran investasi tersebut. Karena wilayah yang dibidik adalah yang kurang berpengalaman dalam berurusan dengan pihak asing, maka kesepakatan yang dibangun dengan pemerintah lokal berpotensi meleset dari kepentingan nasional. Efek buruknya baru akan terasakan dalam dekade berikutnya.

Konflik terkait sumber daya alam ini juga tercermin dalam syarat-syarat yang diajukan dalam kerja sama perdagangan global masa kini, antara lain di APEC dan melalui kerja sama antarkawasan. Contohnya terkait standar ramah lingkungan yang diterapkan oleh Uni Eropa, serta Amerika Serikat. Isu tersebut juga terus didengung-dengungkan terus oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat dari negara- negara yang berkepentingan tersebut.

e. Konflik akibat perang cyber

Indikasi potensi perang cyber atau perang Teknologi Informasi

untuk melemahkan kemampuan pertahanan suatu negara sudah terjadi sejak tahun 2000-an. Hal tersebut dilakukan

pemerintahan suatu negara menyabotase, meretas, serta melakukan spionase terhadap sistem komputer, militer dan pertahanan dari negara lain. Atau untuk mengambil data-data rahasia dari pemerintah negara lain. Kegiatan ini dilakukan

secara terencana, termasuk dengan memanfaatkan worm atau

program yang dapat merusak peralatan komputer dan satelit serta sistem pertahanan negara lain. Selain sistem pertahanan, sistem pengelolaan listrik, air, bahan bakar, transportasi dan komunikasi juga rentan terhadap serangan macam ini.

Salah satu contoh dari perang ini adalah worm yang

diciptakan AS dan Israel, yang diberi nama Stuxnet. Sejak masa pemerintahan Presiden George Bush Jr, program itu telah digunakan untuk menciptakan kekacauan dalam sistem pengayaan uranium milik Iran, yakni dengan kode operasi Olympic Games (NYT, 1/6/12). Kegiatan ini didukung pula oleh Presiden Barack Obama sejak hari pertama pemerintahannya. Kegiatan ini lebih canggih daripada upaya sebelumnya dari AS untuk merusak jaringan komputer anggota Al-Qaeda atau mendukung serangan udara NATO di Libya tahun 2011.

Di sisi lain, Amerika Serikat juga mendeteksi adanya upaya China untuk menyerang jaringan komputer dan pertahanan AS, antara lain seperti yang dilaporkan oleh Bryan Krekel (2009) dan Desmond Ball (2011). Diperkirakan militer China

menggunakan doktrin ‘Local War Under Informationized

Conditions” yang didasarkan pada arsitektur yang berjejaring lengkap untuk mengoordinasikan operasi di darat, udara, laut

dan luar angkasa melalui spektrum elektromagnetik. Doktrin ini juga punya tujuan untuk mengendalikan jalur informasi musuh agar kekuatan China tetap dominan pada saat perang. Caranya adalah dengan mengembangkan ‘eksploitasi jaringan

komputer komprehensif ’ agar terjadi blind spots di jaringan

sistem informasi lawan yang dapat dieksploitasi oleh China.

Cara ini akan dikerahkan oleh China sebagai pre-emptive

action atau aksi antisipasi. Laporan itu menyebutkan bahwa cara ini sudah dipakai China untuk menyadap informasi dari Taiwan, Jepang dan AS. Presiden Obama dan Presiden Xi Jinping menyempatkan bertemu untuk mencari penyelesaian atas konflik tersebut. Amerika Serikat mengklaim bahwa berdasarkan laporan dua orang terpercaya Presiden Obama, yakni Direktur Intelijen Dennis Blair dan Duta Besar AS untuk China Jon Huntsman Jr, peretasan oleh China telah merugikan perekonomian hingga lebih dari 300 milyar dolar AS per tahun. Sekitar 70 persen dari pencurian hak properti intelektual dan data perdagangan itu dilakukan oleh China (NYT 25/5/13).

Perang cyber juga menjadi duri dalam relasi antara Brazil

dan Kanada. Presiden Brazil menuding Kanada melakukan hacking untuk mencuri informasi rahasia pemerintah Brazil

seputar data pertambangan dan energi (The Globe and Mail

7/10/13). Skandal penyadapan telepon para pemimpin Eropa oleh Amerika Serikat, seperti yang diungkap Snowden, juga menjadi bukti nyata terjadi perang Teknologi Informasi. Begitu pula kasus penyadapan telepon Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono oleh Australia, yang sempat sedikit memanaskan hubungan kedua negara di akhir 2013.

Kelima jenis konflik di atas perlu mendapat perhatian khusus dalam hubungan internasional. Efek yang mungkin terjadi bagi Indonesia bukan hanya dalam hubungannya dengan negara lain, melainkan juga keutuhan sikap di dalam negeri. Para pelaku bisnis atau pemerintah daerah berpotensi terpecah belah atau sekadar menari di atas genderang negara lain. Hal ini perlu menjadi perhatian semua pihak.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 60-68)