• Tidak ada hasil yang ditemukan

2007 2008 2009 2010 2011 2012Pengalaman IntegritasPotensi Integritas Indeks Integritas

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 116-125)

Membaca Masa Depan

2007 2008 2009 2010 2011 2012Pengalaman IntegritasPotensi Integritas Indeks Integritas

7.21 6.84 6.71 6.5 6.48 6.31 6.37 6.89 5.34 4.86 5.42 5.7 5.87 5.96 5.53 5.34 6.00 5.97

Selain menunjukkan stagnasi, grafik di atas juga menunjukkan masih rendahnya kualitas pelayanan publik di Indonesia (dalam konteks ini menunjukkan apakah birokrasi berfungsi dengan baik atau tidak). Negara lain seperti Korea Selatan, sebut KPK, memiliki nilai Indeks Integritas yang mencapai 9. Pada 2012, sebanyak 20,6 persen responden masih mengaku bahwa mereka mengeluarkan biaya tambahan di luar biaya resmi untuk mendapatkan pelayanan publik.

Secara umum, kita melihat bahwa pencapaian reformasi birokrasi di Indonesia masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Namun, ini dapat dipahami karena birokrasi adalah sesuatu yang terkait dengan politik dan budaya, sehingga perubahannya tidak bisa cepat. Karena itu, ada beberapa kecenderungan positif yang

harus diapresiasi, seperti mulai adanya pemanfaatan teknologi informasi untuk mempermudah layanan publik, misalnya dengan diluncurkannya http://satulayanan.net/. Seiring dengan penetrasi internet yang meningkat, kita mengharapkan, pelayanan publik yang memanfaatkan teknologi informasi itu dapat membuat birokrasi berfungsi lebih baik lagi.

Kecenderungan positif lainnya adalah pertumbuhan kelas menengah Indonesia.The Economist meramalkan, pada 2014 Indonesia akan memiliki sekitar 150 juta orang penduduk yang tergolong kelas menengah. Jumlah kelas menengah yang bertambah ini dapat memberikan pengaruh pada birokrasi karena mereka cenderung lebih berdaya untuk melakukan kritik pada pelayanan publik yang mereka rasakan.

Grafik 10. Pertumbuhan Kelas Menengah di Asia Tenggara20

Middle-class spread

Size of middle class*, m

Indonesia Thailand Vietnam Malaysia Philippines *$3,000 annual household disposable income *Forecast 2004 2009 2014

0 50 100 150

 Indikator 8: Budaya Politik Demokratis

Indikator penting berikutnya adalah adanya budaya politik demokratis. Di level masyarakat, hal ini dapat dilihat dari seberapa luas masyarakat yang mendukung diterapkannya demokrasi sebagai sistem politik di Indonesia.Sayangnya, saat ini penelitian yang mengukur tingkat dukungan terhadap demokrasi tersebut masih sangat terbatas. Salah satu survei yang pernah mengukur hal tersebut adalah survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada 2003-2006. Ditambah dengan beberapa survei sebelumnya, laporan survei tersebut memberikan potret perkembangan dukungan terhadap demokrasi dari tahun 1999 hingga 2006.

Grafik 11. Presentase Masyarakat yang Mendukung Bahwa Demokrasi adalah Sistem Terbaik

untuk Diterapkan di Indonesia21

80 70 60 50 40 30 20 68 70 70 69 75 72 74 1999 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Kecenderungan tersebut menunjukkan kecenderungan yang stabil, berkisar di antara 70 persen. Angka ini masih di bawah negara-negara demokrasi yang sudah mapan seperti Jerman

sebesar 93 persen, Amerika Serikat 88 persen, atau Jepang 88 persen. Presentase ini hampir sama dengan presentase dukungan terhadap demokrasi di Meksiko dan Filipina yang demokrasinya masih belum stabil. Kisaran angka ini ditemukan lagi pada penelitian yang lebih baru Pada 2010, survei IFES Indonesia menemukan, 72 persen responden yang tahu tentang demokrasi mengatakan

bahwa mereka menyukai sistem demokrasi.

Melihat perkembangan dari 1999 hingga 2010 dari berbagai survei, kita melihat bahwa dukungan terhadap demokrasi relatif stabil pada kisaran 70 persen. Meskipun demikian, kita juga melihat ada kecenderungan kemunduran yang harus diawasi. Memang belum ada penelitian yang mengonfirmasi bahwa ada kemunduran pandangan terhadap demokrasi, namun gejala- gejala yang terlihat di masyarakat membuat kita harus waspada

Misalnya, sekarang banyak sticker yang memasang pesan

kerinduan pada sistem pemerintahan sebelum reformasi 1998

yang berbunyi “Piye Kabare?Enak Jamanku tho Le?”(“Bagaimana

Kabarmu, Enak Zaman Saya Kan?”).

Kecenderungan lain yang harus disikapi dengan baik adalah perkembangan teknologi yang membuat paparan pada berbagai ideologi yang menolak demokrasi menjadi lebih mudah. Di

Sekarang banyak sticker yang memasang pesan kerinduan pada sistem pemerintahan sebelum reformasi 1998

yang berbunyi “Piye

Kabare? Enak Jamanku tho Le?” (“Bagaimana Kabarmu, Enak Zaman Saya Kan?”)

berbagai segmen masyarakat, masih ada kelompok-kelompok yang menolak demokrasi. Tentu saja, penyikapan terhadap kelompok-kelompok tersebut harus dilakukan dengan bijaksana, sehingga mereka dapat “terserap” ke dalam sistem demokrasi. Lebih jauh lagi mengenai hal ini akan dibahas pada bagian demokrasi dan ideologi.

 Indikator 9 & 10: Penegakan hukum yang adil dan penegak hukum yang terpercaya

Bagian ini sebenarnya membahas dua indikator, yaitu penegakan hukum (law enforcement) dan penegak hukum (law enforcer). Namun, kedua indikator tersebut dapat dilihat sebagai satu kesatuan. Mengapa pada bagian metodologi tidak ditulis menjadi satu indikator saja? Hal ini supaya kita dapat melihat kepada dua hal yang terpisah, yaitu proses penegakan hukum dan lembaga penegak hukumnya.

Pada 2013, Indonesian Legal Roundtable menerbitkan laporan yang melihat pandangan masyarakat tentang penegakan hukum di Indonesia. Laporan tersebut menunjukkan, penegakan hukum di Indonesia masih memerlukan banyak pembenahan. Ada lima elemen rule of law yang dimasukkan ke dalam indikator indeks persepsi negara hukum tersebut, yaitu: (1) pemerintahan berdasarkan hukum; (2) independensi kekuasaan kehakiman; (3) penghormatan, pengakuan dan perlindungan HAM; (4) akses terhadap keadilan; dan (5) peraturan yang terbuka dan jelas. Dalam penelitian ini, elemen 4 dan 5 dapat kita masukkan untuk melihat indikator

kesembilan (penegakan hukum yang adil) dan elemen 1 dan 2 dapat kita gunakan untuk melihat indikator kesepuluh (penegak hukum yang terpercaya).

Indeks tersebut menunjukkan hal yang sering dibicarakan oleh publik, yaitu bahwa penegakan hukum kita masih lemah. Dalam hal akses terhadap peradilan dan peraturan yang terbuka dan jelas, masing-masing elemen tersebut mendapatkan nilai 4,27 dan 3,13 (dari nilai maksimal 10). Dalam hal pemerintahan berdasarkan hukum dan independensi kekuasaan kehakiman, indeks tersebut memberi nilai 4,77 dan 4,72.

Jika kita telisik lebih mendalam lagi, kita akan mendapati bahwa pandangan masyarakat terhadap penegak hukum masih sangat rendah. Penelitian ILR tersebut memperlihatkan bahwa 60 persen sangat tidak setuju dan tidak setuju jika dikatakan bahwa hakim di Indonesia bebas dari suap.

Grafik 12. Pandangan tentang Hakim dan Suap

2% 17% 11% 21% 49% Sangat setuju Setuju Tidak setuju Sangat setuju

Tidak tahu/tidak jawab Sumber: Indonesian Legal, Roundtable. 2013

Hakim di negara kita bersih dari praktik suap?

Berdasarkan pembahasan di atas, kita melihat bahwa penegakan hukum dan lembaga penegak hukum di Indonesia masih dipersepsikan buruk oleh masyarakat. Tentu saja, meskipun tidak seratus persen menggambarkan apa yang terjadi, persepsi ini menunjukkan, kedua hal tersebut masih harus diperbaiki. Meskipun ukuran dalam dua indikator ini menunjukkan prestasi yang buruk, sebenarnya ada beberapa kecenderungan positif yang akan semakin menguat.

Kecenderungan positif yang pertama adalah adanya KPK dan keberhasilan institusi tersebut mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, setidaknya dalam kaitannya dengan pemberantasan korupsi. Namun, kita melihat masih adanya benturan antara KPK dan lembaga negara yang lain dalam upaya pemberantasan korupsi. Kecenderungan positif yang lain adalah kecenderungan positif yang sama dengan yang mempengaruhi indikator- indikator sebelumnya, yaitu tumbuhnya kelas menengah dan meningkatnya penggunaan internet, yang dapat membuat pengawasan terhadap penegakan hukum dan lembaga penegak hukum menjadi lebih kuat.

Dari berbagai indikator tersebut di atas dapat diketahui kemungkinan kemajuan atau kemunduran masa depan demokrasi Indonesia. Untuk memudahkan analisa lebih lanjut, kecenderungan perkembangan sepuluh indikator tersebut dirangkum dalam tabel berikut ini:

Tabel 6. Mengukur Kemungkinan Skenario

Unsur Indikator Kunci Meningkat Menurun Titik Kritis

Ekonomi

Tingkat

Kesejahteraan Meningkat, dengan

catatan. Krisis Ekonomi Pertumbuhan

ekonomi Tingkat

Pemerataan Menurun Krisis EkonomiDesentralisasi Pelembagaan

Economic society Stagnan Pemberantasan korupsi

Politik dan Pemerintahan

Masyarakat sipil yang hidup dan bebas Meningkat, dengan catatan Kelas Menengah Teknologi Informasi Masyarakat politik yang otonom Bercampur (positif: desentralisasi) Bercampur (negatif: partai melemah) Desentralisasi, Penguatan Partai (terutama setelah 2014) Birokrasi negara yang berfungsi baik

Stagnan Perang melawan korupsi Kelas Menengah Teknologi Informasi Budaya politik

demokratis Stabil/Stagnan, dengan kemungkinan kemunduran

Ideologi non- Demokrasi Kepercayaan pada Negara Penegakan Hukum Penegakan hukum yang adil (law enforcement) Stagnan Perang melawan korupsi Kelas Menengah Teknologi Informasi Institusi hukum yang terpercaya (law enforcer)

Pada tabel di atas terdapat tiga indikator yang menunjukkan kecenderungan meningkat, yakni tingkat kesejahteraan, pertumbuhan ekonomi, dan masyarakat sipil yang hidup dan bebas. Satu indikator, tingkat pemerataan, cenderung menurun. Satu indikator lainnya memiliki kecenderungan bercampur, yaitu indikator masyarakat politik yang otonom, sedangkan lima

indikator dalam posisi stagnan. Kelimanya adalah pelembagaan economic society; birokrasi yang berfungsi dengan baik; budaya politik demokratis; penegakan hukum yang adil; serta lembaga penegak hukum yang terpercaya.

Meskipun penelitian ini tidak dilakukan dengan melakukan kuantifikasi terhadap indikator-indikator tersebut, setidaknya kita dapat menebak bahwa perkembangan konsolidasi di Indonesia akan cenderung stagnan, meskipun ada sedikit kemajuan dan kemunduran dalam beberapa aspek. Dengan demikian, skenario yang paling mungkin terwujud pada tahun 2020 adalah bahwa Indonesia tidak akan bergeser banyak dari posisinya yang

sekarang di garis skenario, yaitu di antara “formal democracy” dan

full democracy.”

Secara umum, kemungkinan Indonesia untuk mengalami

democratic reversal menjadi negara otoriter atau negara gagal tidak cukup besar, kecuali jika ada kejadian besar, seperti krisis ekonomi yang parah atau hilangnya kepercayaan terhadap negara dalam derajat yang besar sebagai akibat dari gagalnya perang melawan korupsi dan pelembagaan partai politik. Di sisi lain, Indonesia juga agaknya mengalami kesulitan untuk maju menjadi negara ‘demokrasi penuh’ atau ‘demokrasi maju’, kecuali jika Indonesia dapat memanfaatkan semua titik kritis untuk menuju ke arah yang positif, seperti perang melawan korupsi, desentralisasi yang baik, penguatan kelas menengah, dan pemanfaatan teknologi informasi untuk mengawal demokratisasi.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 116-125)