• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lingkungan Strategis Nasional

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 75-85)

Banyak perubahan yang akan terjadi pada Indonesia 2014-2019 ini. Perubahan paling nyata adalah dalam bidang politik, seiring dengan berlangsungnya Pemilihan Umum 2014 serta Pemilihan Presiden untuk masa jabatan lima tahun mendatang. Komposisi legislatif tidak banyak mengalami perubahan lantaran sekitar 90 persen dari anggota DPR dari periode sebelumnya mencalonkan diri kembali. Dengan pengalaman politik yang lebih teruji, mereka bukan hanya punya kemampuan untuk terpilih kembali melainkan juga untuk lebih mewarnai DPR hingga 2019 mendatang.

Ranah eksekutif akan mengalami perubahan mendasar bersama dengan terpilihnya Presiden baru setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pergantian presiden akan diikuti dengan pergantian kabinet pula yang bukan saja akan membawa perubahan kebijakan, melainkan juga sedikit banyak mengubah pelaku utama birokrasi di bawahnya. Diharapkan, pemerintahan Kabinet 2014-2019 akan lebih efektif dan responsif dalam menghadapi tantangan dan dinamika di masa yang akan datang.

Ranah eksekutif akan mengalami perubahan mendasar bersama dengan terpilihnya Presiden baru setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan batas maksimal kepemimpinan berdasar konstitusi, yakni dua kali masa jabatan. Pergantian presiden akan diikuti dengan pergantian kabinet pula yang bukan saja akan membawa perubahan kebijakan, melainkan juga sedikit banyak mengubah pelaku utama birokrasi di bawahnya. Secara umum, pemerintahan Kabinet 2014-2019 akan lebih cepat mengambil

keputusan dan bertindak baik karena faktor gaya kepemimpinan presiden baru yang ‘lebih berani’ serta tidak terlalu mementingkan kehati-hatian, karena tantangan keadaan semakin mendesak adanya solusi-solusi nyata secara cepat.

Tantangan terberat secara politik adalah menyangkut sistem dan pelaksanaan Otonomi Daerah yang dalam beberapa tahun belum menemukan format yang benar-benar mapan. Hal tersebut ditandai dengan masih banyaknya tarik ulur pemekaran wilayah yang umumnya lebih didasarkan oleh kepentingan sekelompok kecil pihak dengan menggunakan tekanan politik, juga praktik penyelenggaraan pemerintah daerah yang kadang masih merugikan kepentingan nasional seperti politisasi isu ‘putra daerah’. Masalah reformasi birokrasi juga merupakan tantangan yang harus dihadapi setelah selama ini, upaya tersebut dikritisi tak lebih dari sekadar perbaikan ‘remunerasi’ namun belum mengarah pada peningkatan integritas serta kompetensi yang diperlukan. Masalah eksistensi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga menjadi persoalan dalam lima tahun mendatang, menyusul indikasi pelemahan lembaga tersebut oleh kalangan politik sejalan dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana serta Hukum Acara Pidana pada awal 2014. Dalam beberapa tahun terakhir, komunitas politik merasa terugikan oleh keberadaan KPK, dan hal tersebut masih akan berimbas hingga beberapa tahun mendatang.

Sejalan dengan hal tersebut di atas, tuntutan untuk melakukan reformasi penegakan hukum juga masih akan mewarnai Indonesia tahun 2014-2019. Tuntutan tidak akan disuarakan secara massal melainkan sebatas terekspresikan dalam pandangan kritis kalangan

akademisi. Praktik ‘bisnis perkara’ yang melibatkan para penegak hukum seperti yang mencuat dalam beberapa kasus pada lima tahun terakhir, belum menunjukkan indikasi akan berhenti sama sekali, walaupun dilaksanakan program ‘remunerasi’ bagi aparat hukum. Implikasinya adalah pada perspektif negatif calon investor asing terhadap jaminan kepastian hukum untuk melakukan investasi sektor industri secara riil di Indonesia, yang bukan melalui Pasar Modal seperti selama ini.

Implikasi lain dari lemahnya kepastian hukum tersebut adalah pada rawannya konflik sosial dan keagamaan di akar rumput. Indonesia dalam lima tahun terakhir diwarnai dengan kekerasan di masyarakat seperti kasus Balinuraga di Lampung, hingga penyerangan terhadap kelompok Syiah yang menimbulkan korban jiwa di Sampang, Madura. Kerawanan sosial yang terkait dengan retaknya keindonesiaan akan gampang tersulut ketika kepercayaan publik terhadap hukum lemah. Kerawanan tersebut masih akan mewarnai kondisi sosial Indonesia lima tahun mendatang. Globalisasi ideologi, baik yang berupa beragam pemahaman keagamaan dari Timur Tengah maupun Barat, serta promosi dan advokasi gencar ideologi liberal dari Amerika Serikat akan memperkeruh kondisi sosial budaya bangsa yang memang rapuh dalam karakter dan jatidiri. Globalisasi juga memarakkan peredaran narkoba dan

bahkan perdagangan manusia (human trafficking).

Teknologi Informasi memiliki posisi penting dalam konteks sosial budaya Indonesia 2014-2019. Pada satu sisi, teknologi tersebut menjadi medium penyebaran ideologi asing, baik berupa pemahaman keberagamaan maupun nilai liberal tanpa melalui

‘Indonesianisasi’ sehingga melahirkan kerawanan sosial. Di sisi lain, Teknologi Informasi juga memberi peluang bagi Indonesia untuk melakukan lompatan pada seluruh aspek peradaban. Maka dalam lima tahun mendatang terdapat kebutuhan mendasar untuk mengoptimalkan Teknologi Informasi untuk memajukan Indonesia di seluruh aspek, termasuk sosial. Strategi optimalisasi teknologi tersebut, sebagaimana halnya strategi pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau Ipteks, menjadi keperluan Indonesia ke depan.

Kesejalanan strategi pengembangan Ipteks tersebut dengan pengembangan pendidikan merupakan tuntutan lainnya. Pada 2013 Indonesia menempati peringkat 64 dari 66 negara dalam penilaian kemampuan matematika, sains, dan membaca siswa versi PISA yang dilakukan oleh Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD). Ringkasnya, daya nalar siswa Indonesia sangat rendah, yang tentu juga berimplikasi rendahnya daya nalar lulusannya yang mengelola berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Pada saat yang sama, Indonesia juga mengalami ledakan jumlah angkatan muda yang sering diistilahkan secara positif sebagai ‘Bonus Demografi’. Kedua tantangan tersebut masih akan dihadapi Indonesia hingga beberapa tahun mendatang.

Sejauh ini, otoritas pendidikan Indonesia berusaha mengatasinya melalui pengembangan sistem manajemen sekolah, peningkatan akses pendidikan hingga perguruan tinggi secara besar-besaran, serta pengembangan Kurikulum 2013. Beberapa pengamat menilai program tersebut memang diperlukan Indonesia, namun belum menjawab masalah peningkatan kualitas. Dari kecenderungan

yang ada, tantangan dunia pendidikan di Indonesia hingga beberapa tahun mendatang masih akan sama. Aspek terpenting dalam pengembangan kualitas, yakni pengembangan guru serta pengembangan karakter melalui keteladanan, belum terindikasikan akan mendapat rumusan. Demikian pula pengembangan kesehatan secara menyeluruh. Sejauh ini, program yang tertangani berupa jaminan kesehatan yang berarti ‘asuransi pengobatan’ paling dasar, dan belum menjangkau pembangunan kesehatan secara besar. Ledakan jumlah penduduk yang menjadi tantangan dunia pendi- dikan dan kesehatan tersebut juga akan menjadi tantangan bidang ekonomi, terutama menyangkut penyediaan lapangan kerja bagi angkatan mudanya. Karena itu, para ekonom maupun kebijakan ekonomi untuk lima tahun mendatang hampir difokuskan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi serta mengendalikan stabilitas makro seperti selama ini. Tantangannya adalah nilai tukar rupiah yang labil dan rawan spekulasi, tingkat subsidi untuk penyediaan energi yang dapat menggerus devisa, industri yang belum berkembang, dan pertumbuhan nilai ekspor yang cenderung stagnan. Pemerintahan baru 2014-2019 harus berhadapan dengan realitas tersebut.

Kemampuan otoritas ekonomi Indonesia yang disokong dunia akademis cukup memadai untuk mengelola pertumbuhan ekonomi di atas lima persen hingga beberapa tahun mendatang. Juga untuk menjaga stabilitas makro dengan nilai tukar Rupiah yang relatif rendah seperti pada tahun-tahun terakhir. Di luar hal tersebut, dunia ekonomi dituntut untuk mampu pula meningkatkan pemerataan pada saat produk pertanian dan barang-barang impor makin membanjiri pasar dalam negeri seiring dengan diperlakukannya

sistem perdagangan bebas, serta tenaga kerja asing yang semakin banyak mengisi pasar tenaga kerja di Indonesia. Masa depan petani dan industri rumah tangga akan menjadi pertaruhannya.

Posisi ekonomi saat ini menempatkan Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah yang dipandang rawan pada jebakan

‘middle income trap’. Jebakan yang menghalangi negara-negara yang terkena seperti Indonesia dan Filipina untuk dapat menjadi negara maju. Untuk itu sektor ekonomi dituntut mampu melakukan terobosan untuk melewati ‘ambang stabilitas demokrasi’ dengan GNP 6.000 dolar AS per kapita, dengan tingkat pemerataan yang lebih baik dari selama ini. Persoalannya adalah bahwa para ekonom serta otoritas perekonomian Indonesia dewasa ini belum memiliki kapasitas memadai yang teruji untuk mengaitkan ekonomi dengan pengembangan industri dan Ipteks lantaran lebih terfokus semata pada aspek makro. Apalagi konsep dan paham ekonomi dewasa ini, sebagaimana dikemukakan para ekonom dunia dalam menanggapi Krisis Eropa tersebut di atas, dipandang sudah tidak memadai lagi untuk dipergunakan dalam pengelolaan ekonomi. Kalangan ekonomi dituntut untuk lebih rendah hati belajar dari praktik yang ada di setiap negara.

Maka, tekanan untuk mengaitkan pengembangan ekonomi men- datang dengan pengembangan industri dan pengelolaan lingkungan secara baik akan menguat. Apalagi masalah sumber daya alam, khususnya masakah energi, akan menjadi titik rawan bagi Indonesia masa depan. Energi saat ini menjadi salah satu penghambat kemajuan Indonesia secara menyeluruh. Akan terdapat tuntutan untuk merumuskan strategi ketahanan ekonomi dengan berbagai

bauran sumber mulai dari minyak bumi dan gas, bahan nabati, panas bumi, tenaga surya, tenaga angin, pembangkit listrik tenaga nuklir seperti yang dikembangkan Korea Selatan dan negara-negara maju lain, hingga sumber-sumber energi lain.

Tekanan untuk mengelola sumber daya alam lain seperti hutan kelautan juga akan menguat dalam kurun waktu lima tahun mendatang. Sebagai negara yang menjadi paru-paru dunia selain Brazil, pengelolaan hutan di Indonesia masih pada tingkat rendah baik untuk konservasi atau pelestarian maupun untuk ikut

pengembangan industri. Demikian pula pengelolaan perikanan dan kelautan yang selama ini lebih banyak dimanfaatkan oleh berbagai pihak. Keterbatasan kemampuan pengelolaan sumber daya alam tersebut tak lepas dari kualitas manajemen pemerintahan secara umum, yang juga terkait dengan mutu pendidikan seperti yang telah dikemukakan di depan. Hal tersebut akan menjadi tantangan bagi pemerintahan indonesia 2014-2019.

Menyangkut aspek ketahanan bangsa secara internal terdapat beberapa hal yang perlu dicermati. Salah satunya adalah konflik

“...sektor ekonomi dituntut mampu melakukan

terobosan untuk melewati ‘ambang stabilitas demokrasi’ dengan GNP 6.000 dolar AS per kapita, dengan tingkat pemerataan yang lebih baik dari selama ini. Persoalannya adalah bahwa para ekonom serta otoritas perekonomian Indonesia dewasa ini belum memiliki kapasitas memadai yang teruji untuk mengaitkan ekonomi dengan

pengembangan industri maupun Ipteks lantaran lebih terfokus semata pada aspek makro.”

horizontal yang terjadi karena berbagai faktor. Pertama, adanya tekanan ekonomi, sosial politik, dan kepadatan penduduk terhadap kehidupan masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Hal ini terjadi bersamaan dengan berkurangnya kemampuan negara dalam menyelenggarakan distribusi sumber ekonomi, politik dan sosial. Sebagai contoh, lebih dari separuh penduduk Indonesia mendiami Pulau Jawa yang mampu menopang kehidupan penduduknya dengan lebih baik dibandingkan dengan wilayah-

wilayah lainnya. Kedua, munculnya politik identitas dengan

manifestasi etnis dan penguatan kelompok-kelompok agama. Hal ini hanya akan terjadi ketika ketidakadilan distribusi sumber- sumber ekonomi dan politik dipersepsikan berimpitan dengan perbedaan identitas. Pada umumnya, masalah politik identitas- komunal ini bertahan lama dan bersifat sangat emosional. Konflik yang muncul dari politik identitaspun cenderung bertahan dalam jangka waktu yang panjang.

Konflik vertikal terjadi antara negara dan masyarakat yang berupa separatisme senjata dan gerakan politik yang turut menjadi ancaman nasional. Indonesia telah lama menghadapi konflik vertikal yang terjadi di Aceh dan Papua dengan semua dimensi dan perubahan karakter konfliknya saat ini. Jika dilihat akarnya, kedua konflik tersebut merupakan perpaduan antara ketidakpuasan daerah terhadap ketimpangan distribusi ekonomi dan pelanggaran fisik berupa represi. Hal ini membentuk ketidakpercayaan dan kebencian terhadap pemerintah pusat. Sentimen-sentimen seperti ini menyediakan lahan subur bagi gerakan pemisahan diri secara bersenjata. Konflik vertikal menjadi lebih rumit ketika secara

politik dan emosional melibatkan aspek kekhasan budaya, etnis, dan sejarah. Terlebih lagi apabila pihak-pihak yang melakukan separatisme mencari dan mendapatkan dukungan internasional. Sementara itu, bencana alam juga merupakan ancaman yang tidak dapat dihindari oleh Indonesia. Sebab, negara ini berada

dalam cincin api (ring of fire) karena pertemuan antara lempeng

Eurasia dan lempeng Australia. Keadaan geografis ini menjadikan Indonesia sangat rawan terhadap bencana alam. Telah terjadi beberapa bencana alam yang menghasilkan korban jiwa dan kerugian material yang sangat besar. Sebagai contoh, tsunami di Aceh, gempa di Yogyakarta, serta tsunami di Pangandaran. Sejarah yang lebih jauh lagi juga telah mencatat bencana alam yang sangat besar, yakni letusan Gunung Tambora, Gunung Krakatau, Gunung Agung, gelombang di sekitar Mentawai, dan lain sebagainya.

Di tengah berbagai ancaman tersebut, Indonesia juga harus tetap aktif memperjuangkan kepentingan nasionalnya di kancah internasional. Kepentingan nasional secara sederhana diartikan sebagai tujuan dan ambisi suatu bangsa yang biasanya terkait

dengan power atau kemampuan untuk berpengaruh dalam kegiatan

pergaulan global. Pada tataran umum, posisi Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di dunia dari lingkungan negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim masih diperhitungkan dunia dengan keterlibatannya di berbagai lembaga, mulai dari ASEAN, APEC, hingga dan lain-lain. Meskipun demikian, Indonesia belum cukup efektif untuk memperjuangkan kepentingan nasionalnya, terutama dalam aspek ekonomi.

Dengan slogan ‘ribuan teman dan tanpa musuh’ serta ‘keseimbangan dinamis’, Indonesia cenderung mengedepankan harmoni dalam politik luar negerinya. Kebijakan tersebut dihormati oleh negara-negara lain, namun tidak efektif untuk memperjuangkan kepentingan Indonesia sendiri. Ketidakefektifan tersebut ditambah dengan aspek manajemen serta kapasitas pelaku diplomasi yang masih perlu ditingkatkan lagi untuk dapat berhadapan dengan kepentingan negara-negara lain. Padahal, di sisi lain, ranah hubungan internasional juga telah bergeser dengan melibatkan semakin banyak aktor-aktor non-negara. Pada 2014-2019, para aktor non-negara seperti bisnis trans-nasional, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan dan penelitian, serta media massa, akan makin aktif berperan dalam hubungan internasional.

Paparan lingkungan strategis baik di tingkat global, regional, maupun nasional yang akan dihadapi Indonesia untuk masa 2014- 2019 penuh tantangan. Hal tersebut terlihat pada semua aspek, baik politik, sosial budaya, ekonomi, sumber daya alam, pertahanan, maupun hubungan internasional. Memerlukan tekad, upaya tanpa henti, bahkan ketulusan dan kerendahan hati untuk terus belajar agar dapat menaklukkan tantangan-tantangan tersebut. Di balik kesulitan untuk menaklukkannya justru terhampar kesempatan besar bagi Indonesia untuk dapat melompat maju sebagaimana harapan bersama seluruh anak bangsa.*

MENUJU DEMOKRASI

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 75-85)