• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kekeliruan paradigma pengembangan Iptek

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 158-162)

Dinamik a Ancaman

3. Kekeliruan paradigma pengembangan Iptek

Kekeliruan paradigma pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) juga merupakan persoalan Indonesia di ranah sosial budaya. Kekeliruan itu, antara lain, dalam menerjemahkan green policy sebagai kebagai kebijakan. Indonesia dikenal memiliki kekayaan luar biasa pada sumber daya hayati dan sumber daya non-hayati, khususnya terkait barang-barang tambang (minyak bumi, mineral), gas bumi, panas bumi, dan lain-lain. Selain itu, Indonesia juga memiliki kekayaan non- hayati yang juga sangat kaya. Kekayaan tersebut semestinya menjadi modal terpenting dalam pengkajian dan pengembangan Iptek. Dalam khazanah bangsa di masa lalu, kedua sumberdaya tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal. Semestinya keduanya dikembangkan lagi untuk memperkuat posisi Indonesia ke depan melalui pengembangan Iptek.

Pengembangan Iptek di Indonesia dari masa ke masa senantiasa terkait dengan perkembangan global. Pada masa awal sejarah misalnya, pengembangaan Iptek tersebut terhubung dengan perkembangan peradaban India, dan kemudian Arab serta Cina. pada masa kolonial, pengembangan Iptek tersebut terputus akibat eksploitasi kekuasaan penjajah. Wilayah Nusantara ini menjadi sasaran eksploitasi bangsa-bangsa Eropa melalui penjajahan yang dilakukannya. Penjajahan memang bukan hanya bertujuan menguasai perdagangan dan sumber komoditas, melainkan juga melakukan produksi langsung komoditas itu dan mengekspornya ke segenap penjuru dunia, termasuk bioresources sebagai tujuan utama pelayaran samudera bangsa Eropa (Schiebinger 2004).

Kekuatan pendorong penjajahan itu pada dasarnya bioprospecting, atau eksploitasi kekayaan biologis daerah sasarannya. Colonial bioprospecting dan sekaligus menjadi titik perhatian (mainstream) perkembangan Iptek yang dilakukan Belanda di tanah jajahannya. Praktik colonialbioprospecting terutama dilakukan bangsa Eropa pada masa keemasan penjelajahannya, yaitu tahun 1500 hingga 1700 (Cook 2007; Parthesius 2010) dan diikuti pula Jepang pada abad ke-19 dan ke-20 yang terus berlanjut hingga tiap-tiap koloni akhirnya memerdekakan diri (Schiebinger 2004). Hingga sekarang, praktik seperti ini masih terjadi walaupun dilakukan dalam bentuk yang halus.

Pembajakan bio (biopiracy) sebagai bentuk yang lebih tersamar dari bioprospecting antara lain dilakukan melalui kerja sama penelitian antara lembaga asing dan lembaga-lembaga pemerintah. Seperti melalui kerja sama JICA (Japan International Cooperation Agency) dengan lembaga penelitian seperti LIPI dan Kementerian Pertanian. Hal tersebut terjadi karena pemerintah tidak memberikan prioritas secara khusus terhadap penelitian sumber daya hayati Indonesia yang serba melimpah, sehingga para peneliti bekerja sama dengan asing untuk memperoleh pendanaan.

Praktik biopiracy bukan hanya dilakukan oleh negara, melainkan juga perusahaan-perusahaan besar bekerja sama dengan masyarakat adat pemilik bioresources dan local knowledge-nya. Perusahaan multinasional di bidang farmasi dan makanan adalah kelompok non government yang paling banyak melakukan biopiracy. Jadi, bolehlah dikatakan bahwa biopiracy adalah salah

satu bentuk “penjajahan modern”. Pararel dengan bioprospecting dan biopiracy adalah geoprospecting dan geopiracy. Keduanya dipraktikkan oleh penguasaan suatu negara terhadap negara lain atau oleh perusahaan multinasional terhadap kemampuan sumber daya bumi dari wilayah masyarakat adat di negara berkembang. Walaupun perlu dicatat bahwa colonial geoprospecting tidak segencar fenomenanya pada colonial bioprospecting setidaknya hingga akhir abad ke-19 dan sepanjang abad ke-20 (Hutchinson 1996; van Bemmelen 1970; Hutchinson & Taylor 1978).

Kekayaan hayati dan nonhayati Indonesia punya potensi luar biasa besar untuk menyejahterakan masyarakat. Pertanyaannya, apakah Indonesia mampu mengolah dua kekuatan itu sebagai basis pengembangan Ipteknya yang memiliki dampak bagi kesejahteraan? Di sisi lain perlu dicermati bahwa pemanfaatan kedua kekuatan itu juga mempunyai dampak negatif yang perlu diwaspadai, yakni berupa pengaruhnya pada gangguan stabilitas nasional dan pelemahan daya tawar Indonesia. Hal ini adalah dampak sampingan dari campur tangannya entitas, baik politik maupun ekonomi internasional dan domestik terhadap perkembangan Iptek berbasiskan pada biopiracy dan geopiracy. Asing tentu tak menginginkan Indonesia mampu mengelola kekayaan pengetahuan lokal (localknowledge) dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) sendiri.

Upaya untuk mengatasi masalah tersebut bukan tak ada. Cetak biru pengembangan Iptek Indonesia, antara lain, pernah disusun Bappenas pada 2003. Namun, cetak biru itu belum mampu melahirkan hal yang mendasar bagi perkembangan

Iptek yang memajukan bangsa. Ada beberapa persoalan di dalamnya; (a) masih terfokus pada keanekaragaman hayati dan strategi konservasinya; (b) belum menyentuh pemanfaatan biodiversity itu untuk tujuan ekonomis (bioprospecting) nyata bagi peningkatan kesejahteraan; (c) tidak dibekali pendekatan futuristic terhadap bidang Iptek apa saja yang sebaiknya dikembangkan dalam kaitan dengan pemanfaatan biodiversity. (d) kekurang-jelasan dalam mengulas bahaya nyata yang mengancam yaitu biopiracy dan geopiracy pada era globalisasi (colonial bio-geopiracies sensu lato) yang tidak hanya melibatkan negara asing, tetapi juga perusahaan multinasional berkekuatan ekonomi besar, baik internasional maupun domestik.

Dengan kata lain, cetak biru itu belum menyentuh akar permasalahan sebenarnya dari kegagalan Iptek di Indonesia, yaitu lemahnya penguasaan ilmu dasar penunjang bio- geoprospecting sehingga tetap membuka peluang seluas-luasnya bagi praktik biopiracy dan geopiracy pihak lain untuk merongrong sumber daya alam yang seharusnya diteliti dan dikelola bangsa Indonesia sendiri. Kalaupun bermitra dengan negara lain atau swasta, maka ilmuan Indonesia lebih berperan aktif mengambil kebijakan, memantau, dan mengambil manfaat sebesar- besarnya bagi kepentingan bangsa. Belum pula, misalnya, ia menyinggung pula seputar bioterrorism yang dapat muncul kapan pun pada era globalisasi seperti ini.

Beberapa lembaga pemerintah, seperti LIPI, Ristek, BPPT, dan Lapan. LIPI, sebagai otoritas penelitian di Indonesia, dalam lima tahun tearkhir mulai kembali mengarahkan kembali secara

bertahap perkembangan Iptek dengan berbasis pada sumber daya alam. Langkah awalnya dimulai dengan pendataan ulang dan status terkini dari sumber daya itu (Widjaja 2011). Hal ini dianggap sebagai awal yang baik untuk kembali meletakkan bioprospecting sebagai paradigma Iptek bangsa. Tentu saja bukan dengan pola bioprospecting kolonial, namun lebih pada pemenuhan tujuan didirikannya NKRI ini, yaitu memajukan kesejahteraan umum. Namun, langkah awal dan program lanjutannya seperti pengembangan ilmu dasar pendukungnya sekali lagi tak didukung dengan alokasi pembiayaan yang memadai.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 158-162)