• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEINDONESIAAN KITASosial budaya

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 141-146)

“Marilah kita bangun bangsa ini dan kita tinggalkan pertikaian yang sering terjadi dalam sejarah. Inilah tugas kesejarahan kita yang tidak boleh kita lupakan sama sekali. Pertanyaan dasarnya adalah sanggupkah kita sebagai bangsa mengembangkan sikap, meninggikan kepentingan bersama…dan mengalahkan kepentingan pribadi pemimpin bangsa kita.”

Selain yang menyaksikan lewat layar kaca, puluhan ribu masyarakat gegap gempita menyambut mereka dengan menyesaki setiap stadion tempat pertandingan. Tak penting lagi perbedaan yang satu dengan yang lain. Semua adalah ‘putra Indonesia’, dan masyarakat selalu menunggu aksi mereka di lapangan hijau.

Mengindonesia dengan mengesampingkan perbedaan suku, agama, dan golongan apapun memang menjadi arus utama fenomena Indonesia saat ini. Fenomena yang selalu disebutkan oleh Prof. Azyumardi Azra dari Universitas Islam Negeri Jakarta di setiap forum diskusi kebangsaan yang dihadirinya. “Proses mengindonesia terus berjalan dan tidak dapat dihentikan,” tegasnya. Proses yang mengesampingkan perbedaan itu sudah lama dipraktikkan masyarakat, seperti di desa adat Bali yang membuat Pedanda dan pemuka Islam Bali Asli terlibat bersama dalam perayaan agama masing-masing. Juga oleh sejumlah desa adat di Maluku, tempat warga Nasrani membantu membangun masjid dan warga Muslim membantu membangun gereja, serta pada hampir semua suku di Papua tempat keluarga Muslim dan Nasrani biasa saling membantu dalam kegiatan bersama.

Sayangnya, potret indah kehidupan bermasyarakat atau sosial tersebut sering ternodai oleh tragedi kemanusiaan di berbagai tempat, yang kemudian tersiar ke seluruh Indonesia. Awal Reformasi sudah diwarnai dengan kerusuhan dan penjarahan di Jakarta. Lalu muncul

konflik berdarah yang memakan korban jiwa dalam jumlah besar di

Ambon dan Halmahera Utara, Poso, hingga Sambas dan Sampit. Belum lagi aksi bersenjata yang mengatasnamakan kemerdekaan untuk lepas dari Indonesia seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Begitu pula terorisme yang meledak di berbagai wilayah baik yang bersifat lokal maupun transnasional yang berafiliasi dengan jejaring teroris di negara-negara tetangga seperti Malaysia serta Filipina. Kekerasaan massa seperti peristiwa Bali Nuraga di Lampung, kerusuhan Sampang di Madura, perang antarkampung di Nusa Tenggara Timur dan Barat, serta wilayah di Sulawesi, Maluku dan Papua selayaknya tak ada lagi pada Abad 21 ini. Belum lagi pelanggaran keadaban umum atau perilaku, baik yang dimunculkan semena-mena di depan publik, baik berupa pelanggaran ketertiban lalu lintas, demonstasi buruh menuntut upah dengan menutup jalan

tol, pertengkaran artis yang diangkat oleh pemberitaan infotainment,

pornoaksi dan perekamannya yang dilakukan oleh siswa-siswa SMP, maupun perkelahian pelajar dan bahkan mahasiswa oleh sebab yang tidak penting. Kenyataan itu mengundang pertanyaan besar, apakah masyarakat sudah sedemikian jenuh dengan kehidupan sosial bangsa yang banyak diwarnai keruwetan? Ataukah Indonesia belum cukup kokoh dan matang sebagai bangsa untuk menghadapi perubahan dunia yang kompleks sehingga harus terjebak dalam keruwetan sosial yang menyebar?

Dunia jelas tengah berubah. Di tengah perubahan tersebut, Indonesia dituntut memperkuat posisinya di kancah global ketika sebagian masyarakat sendiri masih berpolemik dan berkonflik secara internal. Indonesia diharapkan menjadi bangsa dan negara yang kokoh saat sebagian masyarakat belum siap dan mapan secara sosial budaya. Apalagi ada kecenderungan melunturnya nilai- nilai luhur keberagaman atau kebhinekaan dalam pergaulan hidup antarkelompok bangsa. Dalam situasi seperti itu, apakah mungkin

merajut ke Indonesiaan dengan menghilangkan konektivitas geohistoris, baik kebanggaan sebuah bangsa ataupun ingatan kolektif membangun bangsa yang besar?

Pada periode 2014-2019, kematangan masyarakat dalam bidang sosial budaya sungguh diperlukan. Periode ini menjadi fase penting dalam sejarah perjalanan Republik Indonesia. Bukan hanya karena Indonesia akan segera memasuki usia 75 tahun kemerdekaan dan pergantian kepemimpinan nasional, melainkan juga merupakan bagian awal dari fase ‘Bonus Demografi’. Pada 2014, jumlah penduduk Indonesia mencapai 249 juta jiwa dengan jumlah usia produktif sebesar 169 juta orang. Angka tersebut diperkirakan dapat meningkat menjadi 270 juta pada tahun 2019.

Pada saat itu jumlah penduduk Indonesia yang berada dalam rentang usia produktif sebesar 70 persen dari jumlah keseluruhan penduduk.

Hal ini memungkinkan nilai dependency ratio yang rendah. Artinya

kelompok usia produktif hanya menanggung sedikit orang yang berada pada usia non-produktif. Pada 2014, dari setiap 100 orang produktif menanggung 45 orang tidak produktif, sehingga masyarakat memiliki kesempatan lebih banyak untuk berkarya. Terlebih ketika kualitas SDM usia produktif tersebut benar-benar memiliki daya saing secara nasional ataupun global, dan didukung penyediaan lapangan kerja yang luas.

Jika kualitas SDM masih rendah sebagaimana Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tahun 2013, berada pada peringkat 121 dan kuantitas lapangan kerja masih sedikit seperti masih banyaknya penduduk Indonesia yang menjadi pembantu rumah tangga di negara lain,

Bonus Demografi pun tidak berbuah apa-apa bagi kesejahteraan masyarakat dan kebesaran bangsa. Jika kedua aspek utama ini, yaitu kualitas SDM yang baik dan kuantitas lapangan kerja yang banyak, terpenuhi, Bonus Demografi diprediksi juga akan melahirkan Bonus Ekonomi bagi kelompok menengah-atas karena pertumbuhan ekonomi, dan kelompok bawah secara alami akan terlibat dalam proses pertumbuhan itu. Oleh karena itu, Bonus Demografi dapat menjadi kesempatan emas bagi Indonesia, sebagaimana dinyatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada Konferensi Tingkat Tinggi Bisnis antara ASEAN dan Uni Eropa, Mei 2011, dan menjadi bencana jika tidak dimanfaatkan secara tepat.

Periode 2014-2019 menjadi penanda dari titik tolak peningkatan kesejahteraan bangsa. Peningkatan di bidang ekonomi yang didukung oleh dinamika politik nasional dan internasional yang aman, misalnya, akan berpengaruh kuat bagi peningkatan bidang sosial budaya, khususnya pendidikan, kesehatan, dan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni atau Ipteks, ikatan kebangsaan, dan demikian sebaliknya. Kemungkinan ke arah itu memang terbuka lebar, tergantung pada kapasitas masyarakat Indonesia beserta lingkar strategis yang mencakupnya. Oleh karena itu, jika berbagai hal seperti kualitas sumber daya manusia belum mampu ditingkatkan, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi masih terbatas, penegakan hukum masih lemah, solidaritas sosial antar anggota warga bangsa masih belum solid, serta benih-benih konflik SARA belum diselesaikan dan belum dikelola dengan baik, maka kesempatan yang langka itu akan menjadi sia-sia.

Banyak pengamat percaya bahwa Indonesia tak akan menjadi ‘negara gagal’ seperti yang disebutkan beberapa kalangan. Namun, kegagalan dalam mengelola Bonus Demografi akan membuat sulit keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Bonus Demografi berarti “usia produktif sedikit terbebani oleh usia non-produktif, berpotensi meningkatkan kesejahteraan”. Maka, sekali kesempatan itu tidak direngkuh, momen untuk bangkit sepertinya lama kembali. Bisa jadi, secara internal, negara akan kehilangan kepercayaan dari warga negara. Ketidakpercayaan itu membuahkan konflik politik dan sosial budaya yang terus hadir dalam jangka lama.

Kegagalan untuk memanfaatkan Bonus Demografi dan mengoptimalkan kekayaan sumber daya alam bagi kesejahteraan rakyat semesta juga membuat wibawa Indonesia menurun di kancah pergaulan dunia. Kegagalan itu hanya akan menunjukkan bahwa kemampuan Indonesia mengelola dirinya sendiri berada pada tingkat rendah. Rendahnya kepercayaan dunia juga akan berpengaruh pada tingkat rasa percaya diri masyarakat Indonesia sendiri. Karena itu, pembangunan sosial secara mendasar pada periode 2014-2019 penting untuk dilakukan, terutama terkait dengan kesempatan emas Bonus Demografi tersebut.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 141-146)