• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lemahnya penegakan hukum

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 152-158)

Dinamik a Ancaman

2. Lemahnya penegakan hukum

Tiga bulan terakhir pada tahun 2013, setidaknya empat polisi tewas mengenaskan di jalanan. Tiga di antaranya tewas di kota pinggiran Jakarta. Satu yang lain tewas di jalanan ibu kota. Polisi sebagai penegak hukum sepertinya tidak berdaya di depan para pelaku pelanggarnya. Belakangan kepolisian menyebut bahwa penembakan tersebut terkait dengan aksi para ‘teroris’, walaupun terdapat pula kematian polisi karena aksi pelaku kriminal. Apapun yang menjadi penyebabnya, rangkaian peristiwa tersebut juga menjadi indikasi merosotnya wibawa polisi sebagai penegak hukum.

Di sisi lain, seorang jenderal polisi terseret tuduhan korupsi besar hingga terungkap memiliki kekayaan ratusan milyar rupiah. Di peradilan tindak pidana korupsi, pihaknya masih saja berkilah seolah sebagian kekayaannya merupakan hasil jual keris. Sebuah fenomena menarik diperhatikan: Seorang yang semestinya penjunjung tinggi fakta-fakta material hukum memunculkan aspek berbau ‘klenik’. Jenderal polisi ini pula yang sebelumnya juga terkait masalah arogansi kepolisian hingga ‘menyerang’ Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam kasus ‘Cicak vs Buaya’. Dalam aspek kekayaan, terungkap pula seorang polisi berpangkat Aiptu yang disebut memiliki transaksi perbankan

melebihi angka Rp 1 Trilyun, hasil dari usaha yang diduga ilegal berupa jual beli BBM, hasil hutan, serta jasa perkapalan.

Bukan hanya dari jajaran kepolisian yang bermasalah secara hukum. Aparat kejaksaaan dan peradilan juga menghadapi masalah serupa. Di Bandung dan Semarang, jaksa dan hakim digiring KPK dengan tuduhan gratifikasi terhadap putusan perkara. Kasus ini menjadi pelanjut dari kasus jaksa Cyrus Sinaga dan beberapa hakim di Semarang dan Jakarta. Tidak jarang mereka berkompromi dengan para terpidana, untuk meminimalkan atau bahkan membebaskan dirinya dari hukuman yang akan ditetapkannya. Belum selesai kasus di pengadilan rendah itu, tiba-tiba mencuat kasus gratifikasi yang menimpa elemen penting di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dua lembaga penegakan hukum yang seharusnya berwibawa dan dipenuhi orang yang benar-benar menjaga integritas. Namun, dengan mudahnya para penegak hukum itu melanggar dan menenggelamkan kewibawaan penegakan hukumnya. Seperti yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi yang tertangkap tangan oleh KPK dengan tuduhan suap dan pasal pencucian uang. Media internasional pun mengangkat masalah ini.

Penegakan hukum di Indonesia sepertinya benar-benar jauh dari harapan. Padahal saat Reformasi, penegakan hukum merupakan elemen pertama dari enam Agenda Reformasi, yaitu: (1) Penegakan supremasi hukum; (2) Pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); (3) Pengadilan mantan presiden Soeharto dan para kroninya; (4) Amandemen UUD 1945; (5)

Penghapusan dwifungsi ABRI, serta (6) Pemberian otonomi daerah seluas- luasnya. Keenam agenda reformasi itu merupakan masalah hukum, sehingga tidak berlebihan jika perbaikan hukum disebut sebagai agenda utama reformasi. Hingga saat ini, upaya penegakan supremasi hukum tersebut tidak berjalan secara baik. Sering diungkapkan secara seloroh bahwa “penegakan hukum hanya tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas”. Masyarakat kecil dengan perkara yang kecil dihukum berat, sementara orang besar dengan perkara yang besar dihukum ringan. Polisi, jaksa, hakim dan panitera banyak terlibat dalam

mafia penradilan. Hal ini tidak terlepas

dari peran pengacara yang ‘mediator’ penegakan hukum dengan pihak terhukum. Sebagian kalangan legislatif ikut berperan dalam pelemahan penegakan hukum, seperti terjadi pada rekayasa beberapa ayat pada Rancangan Undang-Undang Tembakau.

Penegakan hukum sesungguhnya tidak terlepas dari kekokohan tiga pilar bangunan hukum, sebagaimana yang dinyatakan oleh Lawrence M. Friedman (1984: 4), yaitu: substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Ketiga aspek tersebut masih harus dibangun secara kuat. Meskipun demikian, persoalan yang lebih mendasar adalah menyangkut integritas “Polisi, jaksa, hakim

dan panitera banyak terlibat dalam mafia peradilan. Hal ini tidak terlepas dari peran pengacara yang ‘mediator’ penegakan hukum dengan pihak terhukum. Sebagian kalangan legislatif ikut berperan dalam pelemahan penegakan hukum, seperti terjadi pada rekayasa beberapa ayat pada Rancangan Undang-Undang Tembakau”.

para penegak hukumnya sendiri yang masih suka ‘dibeli’ atau ‘menjual diri’ pada pelanggar hukum.

Persoalan penting yang perlu diperhatikan adalah pengaruh sosial budaya dalam supremasi hukum. Bangsa ini dengan mudah mendengungkan gagasan supremasi hukum. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, kehidupan masyarakat bangsa telah menempatkan ‘supremasi sosial-ekonomi’ lebih utama daripada penegakan hukum. Hal ini terlihat misalnya pada praktik penyelesaian kasus kecelakaan lalu lintas yang dilakukan melalui mekanisme ‘damai’. Banyak perkara hukum lain yang juga diselesaikan tanpa menjaga integritas penegakan hukum. Pengaruh sosial budaya yang menyulitkan penegakan hukum antara lain adalah nilai-nilai tenggang rasa dan paternalistik yang mentradisi dalam kehidupan masyarakat kita (Muhammad 2013).

Permasalahan itu juga akan tetap menjadi ancaman bagi penegakan hukum pada periode 2014-2019, walaupun akan ada perbedaan dan perkembangan yang cukup signifikan

dalam persoalan hukum baru, seperti cybercrime, pencucian

uang, kejahatan politik, dan sebagainya. Ada prediksi beberapa ancaman penegakan hukum pada periode 2014-2019 apalagi jika dihubungkan dengan Bonus Demografi dan kontestasi politik Indonesia, yaitu:

Pertama, ancaman yang berhubungan dengan substansi hukum. Ada beberapa hal yang perlu diwaspadai, yaitu; (a) pembuatan peraturan dan perundangan-undangan diwarnai oleh politik hukum yang didasarkan pada kepentingan politik kekuasaan

(seperti otonomi/pemekaran daerah, politik identitas) dan kepentingan ekonomi seperti pada kasus RUU Tembakau; (b) penabrakan aturan baru terhadap aturan lama yang menimbulkan kesulitan implementasinya; (c) adanya persoalan baru yang belum atau tidak maksimal diatur dalam perundang-undangan, misalnya kejahatan pencucian uang dan cybercrime yang belum begitu terlihat jelas dalam KUHP.

Kedua, ancaman yang berhubungan dengan struktur hukum. Hal ini dapat dilihat dari dua sisi; (a) apakah struktur hukum yang ada sebelum reformasi memang bermasalah sehingga perlu dibenahi atau perlu ditopang dengan “struktur hukum” yang baru; (b) apakah struktur hukum yang dibentuk setelah reformasi memang betul-betul diperlukan untuk menyelesaikan masalah, dan apakah keberadaan struktur hukum tersebut memang cukup efektif untuk menyelesaikan masalah.

Adanya lembaga baru akibat perubahan UUD 1945 dapat membuat tugas dan peran lembaga hukum bertumpang tindih. Misalnya menyangkut peran dalam pemberantasan korupsi. Pada satu sisi, lembaga baru seperti KPK memiliki mandat yang jelas dalam pemberantasan korupsi tersebut. Di sisi lain, lembaga lama seperti kejaksaan juga memiliki kewenangan untuk menangani kasus demikian. Kebutuhan terhadap lembaga-lembaga baru memang terasa karena lembaga-lembaga penegakan hukum yang lama umumnya belum cukup tereformasi.

Kepolisian, misalnya, masih rawan untuk menjadi ‘pusat korupsi’ karena menjadi pintu pertama bagi para pelaku kejahatan untuk

berkompromi. Hal tersebut juga terindikasikan pada tingkat kesejahteraan serta gaya hidup banyak polisi yang jauh di atas kebanyakan orang dari profesi lainnya. Kejaksaan dan peradilan juga memiliki kecenderungan koruptif melalui ‘senjatanya’ untuk meninggikan atau merendahkan hukuman. Mahkamah Agung juga masih disorot sebagai ‘pelindung koruptor’.

Ketiga, budaya hukum yang masih dihantui oleh ‘mafia hukum’ atau ‘mafia peradilan’. Hal tersebut tak lepas dari ketertutupan lembaga penegak hukum dalam pengawasan publik. Persoalan hukum paling serius di Indonesia masa kini adalah korupsi. Lembaga-lembaga hukum yang lama secara umum masih belum sepenuhnya ‘legowo’ untuk berada dalam pengawasan lembaga- lembaga baru yang dibentuk untuk mendukung Reformasi.

Keempat, ancaman di luar sistem dan struktur lembaga penegakan hukum, adalah banyaknya pihak lain yang memanfaatkan situasi lemahnya penegakan hukum untuk kepentingan pemerasan.

Kelima, pemberitaan media massa yang terlalu berlebihandalam kasus hukum seorang telah memberi pengaruh besar terhadap netralitas dan prinsip penegakan hukum di Indonesia, yaitu

prinsip “praduga tidak bersalah”. Keenam, aspek otonomi atau

pemekaran daerah terlebih yang masuk ke dalam kebijakan otonomi khusus, seperti Papua dan Aceh juga ikut menghambat penegakan hukum. Upaya tebang pilih dalam penyelesaian kasus hukum berdasarkan kepentingan politik seperti ini menjadi indikasi atau preseden buruk penegakan hukum di Indonesia pada periode 2014-2019.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 152-158)