• Tidak ada hasil yang ditemukan

Solidaritas sosial yang meluntur

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 162-167)

Dinamik a Ancaman

4. Solidaritas sosial yang meluntur

Ciri penting Indonesia adalah identitas kebangsaannya terus dibangun dengan menjaga ‘identitas keindonesiaan’, dengan sama sekali tidak berbasis kepada identitas dan tradisi etnis tertentu. Suku berpopulasi terbesar, Suku Jawa, tidak menghendaki dan memaksakan sama sekali pengaruh tradisi dan kulturnya, terutama bahasa, ke dalam identitas kebangsaan. Hal ini menjadi modal penting untuk membentuk kesadaran dan ikatan kebangsaan Indonesia yang multi-etnik. Artinya, solidaritas sosial atas nama ‘keindonesiaan’ dibangun di atas realitas dan tantangan kuat akan keragaman dan perbedaan di antara suku bangsa, bahasa, dan istiadat.

Model kebangsaan multikultur ini senantiasa berusaha melampui realitas perbedaan dan mampu mengatasi perbedaan etnis dan menjelmaan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. (NKRI). Kenyataannya, masyarakat sadar dan mengakui

keberagaman, lalu berproses “menjadi Indonesia” yang satu atau Bhinneka Tunggal Ika. Pilar-pilar kebangsaan lain, seperti Pancasila dan UUD 1945 yang mengakui perbedaan itu pun tetap dijaga dan dilestarikan dalam suatu pemahaman bersama membangun Indonesia, sebagaimana telah ditegaskan dalam Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II 1928.

Kesadaran demikian dibangun di atas landasan geo-historis yang kokoh. Yakni bangsa dan negara ini disatukan oleh ikatan geografis dan sejarah sekaligus. Dalam kesadaran tersebut, lautan merupakan pemisah namun justru pemersatu Indonesia. Ini berarti bahwa pulau besar di Indonesia bukan merupakan suatu kesatuan daerah secara geografis, melainkan satu kesatuan wilayah negara. Setidaknya ada lima pembagian daerah secara geografis dengan berbasis pada sudut pandang sejarah dari ikatan persaudaraan lama yang menjadi jalan setapak ide kebangsaan.

Pertama, daerah geo-historis pada kedua sisi Selat Malaka, tercakup daerah pantai timur Sumatra dan pantai barat

Semenanjung. Kedua, daerah geo-historis pada kedua sisi

Selat Sunda mencakup Lampung di bagian selatan Sumatera

dan Banten di bagian barat Pulau Jawa. Ketiga, daerah geo-

historis pada kedua sisi Laut Jawa. Keempat, daerah geo-

historis yang berada di Selat Makassar. Kelima, daerah

geo-historis wilayah di Laut Maluku berbatasan dengan Kepulauan Filipina dekat dengan Mindanao dan Sulu, mencakup pulau rempah-rempah: Papua, Banda, Ambon, Seram, Buru, Ternate, Tidore, dan Manado.

Luasnya bentangan geo-historis di atas, membuka beberapa ancaman terhadap ikatan kebangsaan bersamaan dengan tumbuhnya nasionalisme itu sendiri. Dahulu, khususnya di masa Indonesia klasik, perebutan wilayah kekuasaan antar kerajaan terjadi antara satu dan lainnya. Sementara pada zaman kolonial, adu domba dan politik belah bambu untuk penguasaan wilayah dan sumber produksi menjadi ancaman terbesar. Pasca kemerdekaan, beberapa ancaman bersifat internal dan eksternal dari negara bekas penjajah pun terus terjadi. Secara internal, pertikaian dari perbedaan idiologi antara partai, politik aliran dan organisasi etnik berlangsung sehingga mengabaikan solidaritas sosial kebangsaan. Saat itu banyak partai politik bersikeras mengutamakan kepentingan praktis jangka pendek dan jarang merumuskan kepentingan nasional berjangka panjang.

Banyak tragedi merupakan hasil pertentangan politik aliran itu seperti peristiwa Madiun 1948; Pemberontakan Darul Islam di Jawa Barat; Pemberontakan PRRI di Sumatera Barat dan Permesta di Sulawesi Utara serta Peristiwa Gerakan 30 September. Ancaman solidaritas sosial kebangsaan pasca kemerdekaan sampai Orde Lama, adalah lebih pada persoalan perbedaan kepentingan politik terutama persoalan pembagian jatah pembangunan.

Trauma politik pada masa awal kemerdekaan dan Orde Lama telah membuat pemerintah Orde Baru memilih sikap represif. Tidak jarang negara menggunakan tindakan keras bagi elemen pengganggu atau golongan politik yang berusaha mengkritisi dan mempersoalkan dasar negara dan kebangsaan. Pembicaraan

dan persoalan tentang suku, agama dan ras sangat dilarang dan tabu demi menjaga stabilitas politik, ketertiban dan keamanan. Negara menciptakan tafsir tunggal atas Pancasila dan kebangsaan. Kenyataan sebagai bangsa yang pluralis dan multikulturalisme direduksi menjadi perbedaan yang bisa disatukan dalam satu wajah keindonesiaan.

Seperti tidak belajar dari sejarah sebelumnya, pada era Reformasi, masyarakat terlalu euporia sehingga terjebak kembali pada perilaku yang mengancam kebangsaan. Politik aliran dikedepankan dalam menunjukkan identitas diri dan golongan. Kebijakan pemerintah yang berorientasi kuat pada ekonomi pasar dan desentralisasi, terutama menyangkut investasi bidang pertambangan dan perkebunan, menimbulkan konflik sosial di masyarakat seperti konflik agraria antara kelompok bisnis, pemerintah daerah, dan masyarakat adat. Persoalan kolonial model baru seperti yang disebutkan pada sub perkembangan Iptek pun muncul dalam persoalan ancaman non-senjata terhadap solidaritas kebangsaan. Hal ini semakin dirunyamkan oleh persoalan otonomi daerah yang sebagian besar wilayah belum siap menjalankan tata kelola pemerintahan.

Oleh karena itu, pada periode 2014-2019, selain ancaman “klasik” yang disebutkan di atas, maka ancaman terbesar bangsa Indonesia dalam persoalan solidaritas kebangsaan setidaknya

ada empat. Pertama, menguatnya politik aliran yang dikemas

dalam politik identitas atas nama golongan, suku, dan agama. Pembedaan antara pribumi dan asing, antara identitas diri dan

yang diusung dalam kebijakan dan praktik otonomi daerah. Tanda-tanda seperti itu telah terlihat nyata pada lima tahun terakhir ini, seperti pada kasus masyarakat dan pemerintahan Banten (Serang, Lebak, dan Pandeglang), Jawa Barat, Sulawesi Selatan, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur, dan sebagainya.

Kedua, pemanfaatan isu kemiskinan dan kesenjangan sosial dalam praktik politik, terlebih ketika bangsa Indonesia tidak bisa meraih kesempatan Bonus Demografi yang akan hadir pada 2014-2019. Tantangan berat ini secara teoritis meliputi sikap kritis dari publik bahwa kebangsaan, juga Sumpah Pemuda dan Pancasila, mengalami stagnasi penafsiran. Pemahaman kebangsaan menjadi sekadar ritual dalam bentuk upacara dan peringatan dan bahkan dianggap cita-cita utopia, terlalu ideal dan sulit diwujudkan. Solidaritas sosial kebangsaan kehilangan makna dan fungsi jika tidak ditafsirkan dan dikembangkan secara filosofis sesuai dengan perkembangan zaman. Terlebih, ketika masyarakat tidak mencapai kesejahteraan sebagaimana diamanatkan dalam cita-cita bersama kehidupan berbangsa. Tidak mustahil ada pandangan, apa artinya berbangsa Indonesia bila mereka tetap saja berada pada garis kemiskinan dan jurang kesenjangan sosial yang terlalu lebar antara yang mapan dan yang biasa.

Ketiga, menguatnya budaya populer, baik dalam wujud sosial media maupun praktik budaya populer, pada ruang publik

da lam mengapresiasi kebebasan individu, khususnya yang

an berbangsa. Keberadaan situs sosial media yang menafikan atau

merendahkan martabat bangsa, dan kehadiran kelompok Punk,

Indies, dan gank motor secara liar tidak dapat dianggap sepele, karena jika dibiarkan terus akan membentuk makna lain dalam mengartikan kebersamaan dan solidaritas sosial kebangsaan yang mengutamakan penghargaan antara satu dan lainnya.

Keempat, ledakan arus informasi termasuk kebebasan pers dan media yang memberitakan paham yang bertolak belakang dengan ide dasar kebangsaan. Saat ini pemerintah mempraktikkan mazhab ekonomi pasar secara penuh bagi media, --mungkin karena tuntutan demokrasi ala Barat--, bahkan sejumlah persoalan politik dan agama dengan sensivitas tinggi cenderung diserahkan kepada publik. Realitas ini memberi ruang luas bagi media massa dan golongan fanatik agama untuk tampil ke depan menjadi aktor penting penentu kebijakan. Akhirnya, tidak mengejutkan jika masalah moral, perbedaan aliran keagamaan, dan toleransi beragama menjadi ajang keributan dan cenderung dipentaskan secara publik yang dapat memicu konflik sosial dan mengurangi keadaban publik.

5. Konflik SARA dan reduksi kewarganegaraan kelompok

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 162-167)