Berdasarkan kronologi dan amatan terhadap fenomena konflik SARA di Indonesia, maka ancaman yang akan dihadapi bangsa Indonesia pada periode 2014-2019, setidaknya ada tujuh jenis ancaman, yaitu:
Masih menguatnya politik identitas etnis dan politik aliran
agama mayoritas, ataupun implementasi keliru politik identitas kelompok minoritas karena keterbukaan akses ataupun karena jaminan dari dunia internasional (HAM). Konsepsi antara
diri (self, al-ana) dan yang lain (other, al-akhar) dipraktikkan
secara tegas dalam kehidupan bersama, dan akhirnya meledak menjadi konflik komunal SARA. Terlebih ketika politik identitas ditumpangi motif kekuasaan seperti yang tercermin pada Pemilukada. Adalah keniscayaan, intensitas ancaman konflik komunal atas nama agama dan suku di Indonesia pun akan semakin tinggi dan meluas cakupannya. Wilayah yang memiliki tingkat kerawanan pada ancaman ini adalah Sumatera Utara, Lampung, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi Tengah, Kalimantan dan NTT.
Kesenjangan ekonomi antara penduduk lokal dan warga pendatang, baik melalui kebijakan transmigrasi maupun migrasi alami dari berbagai komunitas masyarakat. Wilayah rawan dari sisi seperti ini adalah Lampung, Sumatera Utara, Kalimantan, plus Papua. Dalam konsepsi ini, program transmigrasi pun identik dengan kolonisasi, terlebih didukung sepenuhnya oleh pemerintah. Lalu apa yang salah? Ada beberapa aspek yang perlu diperhatikan secara jeli, yaitu; (a) aspek kepemilikan lahan untuk program transmigrasi; (b) pembentukan ruang kewilayahan permukiman penduduk. Banyak kasus penyerobotan tanah ulayat dari kelompok etnik yang berdomisili di tempat itu sejak awalnya, baik untuk permukiman yang umumnya masih dapat dimaklumi, maupun untuk perkebunan baru yang disiapkan bersamaan dengan datangnya para transmigran. Hal seperti ini terlihat jelas pada kasus kepemilikan tanah Anak Suku Dalam di Jambi, komunitas Dayak di Kalimantan pada program transmigrasi sejuta lahan bakau (Walhi 2002; AMAN 2001; dan YMP 2007), dan komunitas adat Tau Taa Vana di pedalaman Kabupaten Tojo Una- una Sulawesi Tengah (Humaedi 2012). Jika hal ini terus dibiarkan, maka konflik SARA dengan dasar konflik agraria akan cenderung meningkat.
Kebijakan Otonomi Khusus, baik yang diberikan kepada Papua
maupun Aceh. Pasa satu sisi, hal ini dipahami sebagai jalan tengah yang ditawarkan pemerintah untuk mengatasi ketegangan yang terus-menerus terjadi. Namun, di sisi lain, Otsus menjadi jalan terang dari menguatnya ikatan primordialisme SARA di wilayah-wilayah yang cenderung memiliki tingkat tinggi
intensitas konflik. Akibatnya, ancaman konflik SARA semakin terlihat jelas, khususnya ditujukan kepada anggota masyarakat yang dianggapnya bukan bagian utama dari kebijakan Otsus itu diberikan. Misalnya, Otsus diberikan untuk Provinsi Papua, hal ini dimengerti sebagai buah keberhasilan dari tuntutan kelompok adat Papua dalam memperjuangkan “kemerdekaan tanah Papua” dengan model lain, yaitu tetap terikat dalam NKRI, namun hati dan perasaannya melanglang buana mencari identitas diri. Karena hal ini adalah hasil perjuangan kelompok beridentitas Papua, maka identitas etnik lain tidak diperkenankan mencicipi dana Otsus tersebut. Akhirnya, penguasaan terhadap program- program kebijakan Otsus sepenuhnya berada pada kelompok etnik Papua.
Pemusatan enclave-enclave dari berbagai komunitas, baik
sebagai hasil kolonisasi (Yeoh 2011), transmigrasi, maupun bentukan alami dengan wilayah tradisional kaum pribumi yang didasarkan pada etnik dan agama. Pola permukiman
yang bersifat enclave dalam program transmigrasi, misalnya,
sangat membahayakan tata hubungan berbagai komunitas di kemudian hari. Bukan hanya sesama transmigran, melainkan juga terhadap komunitas adat penghuni ulayat awalnya. Dalam banyak kasus, permukiman transmigrasi dibuat berdasarkan asal kewilayahan kelompok-kelompok transmigran. Transmigran Bali dikumpulkan menjadi satu permukiman sendiri; orang Lombok dan NTT juga diperlakukan demikian; orang Jawa dan Sunda demikian pula diberikan tempat permukimannya. Namun pada perkembangannya, pola ini telah membentuk solidaritas primordial yang membahayakan hubungan antar etnik.
Proses interaksi dan akulturasi dua atau lebih dari karakter kebudayaan masing-masing etnik dan penganut keagamaan yang tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam suatu irama kehidupan bersama (Humaedi 2013). Kegagalan interaksi disebabkan perasaan primordialisme atau penilaian secara rigid sekat-sekat sosial ekonomi pada setiap komunitas. Elemen sosial paling bawah merasa risih “dibiarkan”, sementara elemen tingkat menengah ke atas lebih asyik memikirkan dirinya. Jika dihubungkan pada konteks kebudayaan etnik, ada sikap etnocentrisme yang membuat kelompoknya memisahkan diri dan lebih memilih membiarkan kelompok komunitas lain. Jika dihubungkan pada kelompok keagamaan, pembiaran tanpa komunikasi akan menumbuhkan praduga yang berbuah isu pemicu konflik.
Campur tangan pihak lain atas nama politik kekuasaan dan
politik aliran keagamaan. Campur tangan ini didasarkan pada primordialisme dan fanatisme paham politik dan paham keagamaan, baik lokal maupun trans nasional. Salah satu praktik yang terlihat adalah pembentukan sel-sel atau jaringan kelompok terorisme dan kelompok radikal lainnya berdasarkan jaringan trans-nasionalnya. Praktik terorisme yang menghantui hubungan antar-agama dan berimbas pada stabilitas sosial politik dan keamanan negara dibangun atas dasar campur tangan seperti ini. Suatu konsorsium yang berada di balik pembajakan kapal-kapal di Somalia sebagai salah satu praktik sumber pendanaan, berperan aktif dalam pembiayaan jaringan terorisme di dunia. Beberapa konsorsium lain pun secara aktif telah memberikan sokongan penuh kelompok keagamaan dalam negeri yang memicu konflik
dan tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas Syiah dan Ahmadiyah pada tahun-tahun terakhir ini.
Adanya akar persoalan konflik bersifat essensialisme dan melekat pada kelompok masyarakat di wilayah tertentu. Pendekatan essensialisme ini sengaja diajukan setelah memperhatikan kecenderungan berbagai konflik yang ada di Indonesia pada periode sebelumnya. Jika diamati secara seksama dalam peta rawan bencana BNPB 2011, bahwa wilayah rawan konflik, juga merupakan wilayah yang diprediksikan sebagai wilayah rawan bencana alam. Apa yang disebut Peta “Cincin Api di Jalur topografis Sulawesi”, misalnya juga wilayah rawan konflik sosial sebagaimana yang terjadi di Poso, Tentena, Morowali, dan Sigi Birimaru. Demikian juga apa yang disebut “Jalur api perbukitan Barisan dan Patahan Sumatera” juga diindikasikan sebagai wilayah yang memiliki ancaman bencana sosial yang sama kuatnya dengan ancaman bencana alamnya, misalnya kasus Warsidi pada 1980 an dan konflik Aceh (Humaedi 2013). Pada kasus Pulau Jawa, terlihat jelas, perbukitan Menoreh yang rawan longsor, kekeringan, dan kebakaran, juga menjadi tempat paling penting dalam sejarah konflik pedesaan, seperti pada cerita “Api di Bukit Menoreh” yang menggambarkan pertarungan terus- menerus antara para penguasa kerajaan Pajang dan Mataram; atau kerusuhan di Pekalongan Atas (Humaedi 2008) dan Kiai
Ahmad Rifai di Kendal (Jamil 2002). Dalam kacamata culture
materialisme sebagaimana yang dinyatakan Marvin Harris (1976), sepertinya ada satu pandangan linear, bahwa kerawanan wilayah dari sisi ekologi, juga memiliki pengaruh kuat bagi kerawanan
wilayah dari sisi psikologi, antropologi, dan sosiologis. Artinya, aspek-aspek lingkungan telah menciptakan satu kondisi tertentu beserta karakter masyarakat yang berpotensi pada meletupnya suatu konflik. Memang harus diakui bahwa cara berpikir seperti ini belum tentu dapat diterima oleh banyak orang karena seringkali dianggap artifisial, sebelum ada perbandingan antara peta rawan bencana dan peta ancaman konflik di seluruh wilayah Indonesia. Namun setidaknya dapat dijadikan rambu-rambu kewaspadaan bahwa ancaman konflik SARA berdasarkan prinsip esensialisme seperti ini selalu ada di wilayah mana pun dan kapan pun.