• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 181-186)

Dampak ke Masa Depan

2. Ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)

Negara-negara maju adalah bangsa yang memiliki lokomotif inovasi yang mampu menarik gerbong kemajuan bangsanya berupa pengembangan teknologi sebagaimana Jepang dan Korea Selatan pada industri otomotif dan elektronika, Amerika Serikat pada industri militer dan Teknologi Informasi, dan Taiwan pada industri komputer. Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara terarah tersebut mendorong negara-negara itu mampu menguasai seluruh ikutannya, yang pada satu sisi membawa keuntungan ekonomis yang sangat besar serta di sisi lain juga mengangkat martabat bangsa. Potensi terbesar bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bagi Indonesia adalah dalam bidang hayati, kebumian, serta budaya yang sayangnya tidak cukup dikembangkan apalagi dijadikan sebagai prioritas unggulan pengembangan.

Selama ini, sumber-sumber Iptek yang menjadi bahan material penelitian dalam bidang fisik seperti hayati dan kebumian dalam posisi yang rawan. Dalam beberapa kasus, pencurian bahan material penelitian telah banyak terjadi, baik secara langsung maupun terselubung. Dinyatakan secara langsung, misalnya, bahan material dicuri langsung dari lokasi penelitian oleh peneliti luar negeri yang sering mengatasnamakan pari wisatawan ataupun aktivis lembaga-lembaga swadaya masyarakat. Tidak jarang para wisatawan mengambil sampel bebatuan, tumbuhan, dan biota laut untuk dibawa pulang ke negerinya, tetapi kemudian dikembangkan sebagai bahan material penelitian yang berguna bagi pengembangan Ipteknya.

Ada pula modus pencurian bahan material yang mengatas- namakan kurator seni yang melibatkan orang Indonesia, seperti pada kasus pencurian benda-benda pusaka pada Museum Gajah pada awal September 2013. Kasus pencurian tersebut tidak dapat langsung dikatakan sebagai sindikat pencuri yang membutuhkan uang dari logam mulia bahan material arkeologisnya, tetapi bisa diartikan sebagai pihak penghubung antara kepentingan ekonomi murni dan pihak pengembang Iptek yang membutuhkan bahan material penelitian. Hal seperti ini pun sebenarnya sering terjadi pada hilangnya arsip-arsip nasional, khususnya yang berhubungan dengan manuskrip lama (kitab, dokumen) dari Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional.

Pencurian tidak langsung, umumnya, terjadi atas nama kerja sama penelitian pengembangan dengan lembaga penelitian, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat dengan pihak luar negeri, baik atas nama negara, perusahaan maupun lembaga swadaya (lembaga donor) yang mengambil bahan material pengembangan Iptek berupa material biopiracy dan geopiracy, plus kekayaan budayanya, kemudian diakui sebagai temuannya sendiri. Pada kasus Tawon Garuda, misalnya, Rosichon Ubaidillah, Peneliti LIPI tidak diakui sebagai salah satu penemunya. Namanya disingkirkan oleh kedua peneliti lain saat pengajuan tulisan ke sebuah jurnal internasional. Demikian juga kasus penelitian bahasa yang dilakukan orang Indonesia di Halmahera Utara. Selain penelitian bahasa, ia ditugaskan pula dengan cara didampingi ahli lain, untuk melakukan kajian kekayaan sumber daya alam. Akhirnya, sebuah perusahaan

tambang emas asing yang cukup terkenal melakukan eksplorasi di Maluku Utara setelah penelitian bahasa itu. Demikian juga kerja sama yang dilakukan Norwegia dan Jerman kepada beberapa lembaga swadaya masyarakat di Sulawesi Tengah, selain aspek sosial kemanusiaan, bahan material penting dari wilayah Poso, Morowali, dan Tojo Una-una pun dibawa dan dianalisa bagi pengembangan Iptek di negaranya. Semua hal ini terjadi, karena sekali lagi, penegakan hukum dalam perlindungan sumber- sumber hayati dan kebumian beserta kekayaan sosial budaya tidak dilakukan secara tegas, integral dan holistik.

Dampak dari peta ancaman pengembangan Iptek, khususnya dalam colonial bio dan geopiracies sensu lato, termasuk cultural production pada era globalisasi tidak bisa dipandang ringan, karena hal ini bersangkut paut dengan kedaulatan negara, kemandirian bangsa, dan integritas atau jati diri sebuah bangsa yang besar. Sementara itu, bangsa juga kesulitan untuk dapat maju secara pesat mengejar ketertinggalan dari bangsa-bangsa yang telah maju karena tidak ada keserempakan langkah berdasar ilmu pengetahuan dan teknologi. Contoh paling nyata adalah tidak adanya prioritas pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kebumian, yang dalam hal ini terkait batubara. Para pemegang konsesi batu bara hingga pemerintah daerah pun cenderung menjual mentah secara murah dibanding mengolahnya untuk dapat memberi nilai tambah. Pihak Indonesia hanya sedikit mendapat uang, sedangkan nilai tambahnya dinikmati oleh industri China, India, bahkan Vetnam. Dalam industri sawit, Indonesia juga harus menjadi pengekor dan pemimpin atas

Malaysia. Padahal tidak ada bangsa pengekor dan berorientasi keuntungan yang cepat dan gampang yang dapat menjadi bangsa besar.

3. Hukum

Hukum merupakan salah satu wajah terpenting suatu negara karena menjadi pembeda langsung antara kumpulan manusia primitif yang diatur oleh kemampuannya beradu kuat dan sebuah negara yang memiliki tatanan baik di semua aspeknya. Hukum ikut berperan dalam kehilangan dan kerusakan kekayaan potensial Indonesia berupa kekayaan hayati dan kebumian seperti tersebut di atas, juga berperan besar dalam keretakan sosial da pembangunan, baik bidang politik, ekonomi, maupun budaya. Sebagaimana disebutkan pada peta ancaman, aspek penegakan hukum merupakan aspek paling kentara dan terkena ancaman dari periode krusial 2014-2019. Ancaman itu dapat melekat pada tiga pilar utama penegakan hukum, yaitu substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum. Juga ada ancaman lain dalam bidang penegakan hukum, yaitu pengaruh dari kekuasaan dan pemilik modal terhadap politik hukum dalam proses penyusunan perundang-undangan. Prediksi seperti ini tidak mustahil terjadi. Pada periode krusial seperti itu, banyak pihak baik bersifat pribadi, kelompok, masyarakat hukum adat, maupun pihak lain yang mengatasnamakan warga negara, akan berusaha mempengaruhi politik hukum dari suatu keputusan pemerintah dan ketetapan legislatif. Kasus Bloomberg yang terjadi pada 2012-2013 tentang RUU Tembakau juga mungkin terulang pada periode mendatang.

Kuatnya kepentingan uang dalam penegakan hukum menjadi persoalan sehingga negara tidak dapat menjamin pemenuhan hak- hak warga negara untuk berdiri sama tinggi di hadapan hukum. Hukum lebih menguntungkan warga negara kaya dan kelompok elite kekuasaan, sementara warga negara miskin akan diperlakukan tidak adil. Penegakan hukum ibaratnya hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Jika fenomena ini terus

merebak sampai periode 2014-2019, disertai jurang perbedaan yang antara yang miskin dan kaya semakin lebar, serta media hanya mempertontonkan kisruh politik, baik politik kekuasaan, politik aliran maupun politik identitas, maka masyarakat akan kehilangan kepercayaan terhadap negara yang dapat berbuntut panjang seperti anarkisme, terorisme, bahkan tindakan subversif. Kepentingan uang bukan hanya membuat sangat banyak penegak hukum yang terlibat dalam jual beli perkara, baik dari jajaran polisi, kejaksaan, maupun kehakiman, melainkan juga melahirkan kolusi dengan kalangan politik dan pengusaha. Seiring dengan transisi kekuasaan, hak tersebut akan mendorong praktik politik dagang sapi yang melahirkan kasus-kasus korupsi tingkat tinggi seperti Century, Hambalang, Alat Kesehatan, dan lainnya yang belum terselesaikan. Selain itu, juga akan menguatkan benturan

“Hukum lebih menguntungkan warga negara kaya dan kelompok elite kekuasaan, sementara warga negara miskin akan diperlakukan tidak adil. Penegakan hukum ibaratnya hanya tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas.”

antara lembaga penegakan hukum seperti KPK dengan polisi, KPK dengan Kejaksaan, KPK dengan Peradilan Tindak Pidana Korupsi, Polisi dengan Kejaksaan, Kejaksaan dengan Pengadilan, KPK dengan Mahkamah Agung, dan lembaga advokat yang satu dengan lembaga advokat lainnya.

Pelemahan hukum secara luas akan terjadi dan semakin besar karena peran media, khususnya televisi, yang mencampurkan hukum dengan opini. Kelemahan itu juga ditentukan oleh kualitas pendidikan yang baru mampu melahirkan lulusan dengan tingkat penalaran dan karakter yang rendah, sehingga etika serta integritas bangsa yang menjadi landasan bagi tegaknya hukum juga rendah.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 181-186)