• Tidak ada hasil yang ditemukan

Posisi Politik Indonesia

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 90-99)

Tangga pertama adanya negara atau stateness telah terlampaui.

Kecuali anomali berskala kecil di Papua, negara masih memegang kedaulatan seluruh wilayah. Monopoli penggunaan kekerasan (senjata) juga masih dikuasai negara, meski terjadi juga penggunaan kekerasan oleh kelompok-kelompok negara. Meski demikian, harus

dicatat, negara ini bukan sesuatu yang given dan statis. Failed States

Index 2013 mencatat tentang pergeseran peringkat Indonesia dalam indeks yang mengukur kerentanan menuju “kegagalan negara.” Secara umum semua sepakat, Indonesia telah melampaui tangga ‘negara otoriter’ dengan diselenggarakannya pemilu rutin. Setelah Reformasi 1998, Indonesia melaksanakan Pemilu 1999, 2004, dan 2009. Mulai 2004, pemilihan presidenpun dilakukan secara langsung.Ini dapat dipahami mengingat penataan ulang sistem politik merupakan salah satu prioritas, seperti terlihat dalam produk hukum dan perundangan pada awal reformasi yang dirangkum dalam tabel berikut.

Tabel 1. Produk Hukum dan Perundangan Utama Awal Masa Reformasi

Hukum Isu

Amandemen Konstitusi Reorganisasi struktur kekuasaan

politik MPR, DPR dan Presiden

UU No. 33/1999 Pemilu dan partai politik

UU No. 22/1999 Desentralisasi fungsi-fungsi

pemerintahan

UU No. 25/1999 Desentralisasi keuangan

/transfer fiskal

Sumber: Anis Baswedan, 2013

Berdasarkan perundang-undangan yang lahir setelah Reformasi, Indonesia memulai penerapan sistem multipartai menggantikan sistem partai politik (parpol) terbatas (tiga parpol) yang dijalankan 32 tahun Orde Baru. Undang-undang mengenai parpol dan pemilu saat ini sangat progresif dibandingkan dengan praktik 32 tahun Orde Baru. Sampai pada dua ‘tangga’ yang paling dasar, demokratisasi tersebut tidak ada perbedaan pendapat. Perdebatan muncul di tangga ketiga, yaitu apakah pemilu benar-benar berjalan adil, kompetitif, dan inklusif?

Pengkaji politik dari Universitas Indonesia, Chusnul Mariyah misalnya, sepakat bahwa Pemilu 2009 memang telah bersifat bebas. Namun, berulangkali ia menyatakan, pelaksanaan pemilu tersebut masih dipenuhi kecurangan yang disebutnya sebagai ‘liberal Machiavellian election’, pemilu yang liberal namun

Tanpa menafikan adanya dugaan kecurangan dalam pelaksanaannya, dapat dikatakan, pemilu di Indonesia telah berlangsung dengan relatif adil, kompetitif dan inklusif. Hal ini terlihat dari hasil pemilu Indonesia yang berubah dengan dinamis. Pada tahun 1999, peraih suara terbanyak adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan 33,7 persen suara. Pada 2004, peraih suara terbanyak adalah Partai Golongan Karya (Golkar) dengan 21,6 persen suara. Pada tahun 2009, peraih suara terbanyak adalah Partai Demokrat dengan 20,8 persen suara. Tabel 6 di bawah ini mencatat tiga peraih suara terbanyak dalam Pemilu 1999, 2004 dan 2009.

Tabel 2. Tiga Besar Pemenang Pemilihan Umum Anggota Legislatif Tahun 1999, 2004 dan 2009

1999 2004 2009

Partai % Partai % Partai %

PDIP 33,74 Golkar 21,62 Demokrat 20,81

Golkar 22,44 PDIP 18,31 Golkar 14,45

PPP 10,71 PKB 10,61 PDIP 14,01

Sumber: KPU, 2009

Dengan demikian, setidaknya Indonesia telah masuk ke tangga “demokrasi formal.” Di tangga selanjutnya, perdebatannya menjadi lebih pelik: apakah Indonesia sudah menjamin dengan kuat hak-hak

sipil dan politik? Freedom House memberikan nilai 3 (1 adalah nilai

terbaik dan 7 adalah nilai terburuk) pada hak-hak sipil dan nilai 2 pada hak politik di Indonesia (1 adalah nilai terbaik dan 7 adalah nilai terburuk), sehingga rata-rata Indonesia menjadi 2,5 (rating

Nilai yang cukup positif ini barangkali dapat dipahami jika ukuran yang digunakan adalah perbandingan dengan berbagai negara lain di dunia. Namun, adanya berbagai peristiwa kekerasan, baik yang

dilakukan oleh aparatur negara (by commission) maupun melalui

pengabaian oleh negara (by ommission) yang terjadi di negeri ini

terhadap berbagai kelompok minoritas, membuat sulit untuk mengatakan bahwa negara telah melindungi hak sipil dan politik warga negara dengan kuat. Menurut laporan Setara Institute, pada 2012 saja terjadi 264 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/ berkeyakinan yang terjadi di 28 provinsi di Indonesia.

Dengan membandingkan laporan kedua lembaga itu, posisi Indonesia dapat ditempatkan di antara ‘demokrasi formal’ karena ada pemilu yang adil dan kompetitif dan ‘demokrasi penuh’. Yakni, demokrasi yang dibangun dengan pemilu yang adil dan kompetitif serta perlindungan terhadap hak sipil dan politik yang kuat. ‘Demokrasi penuh’ itu belum tercapai sempurna karena negara belum mampu menjamin sepenuhnya hak sipil dan politik warga negara. Karena tangga “jaminan perlindungan yang kuat atas hak sipil dan politik” pun belum terpenuhi, maka tangga berikutnya, yaitu “partisipasi optimal dari warga negara” pun belum terpenuhi. Secara formal semua penduduk berhak terlibat dalam politik. Tapi kenyataannya, belum semua warga negara memiliki akses pada perumusan kebijakan publik yang mempengaruhi nasib mereka karena masih dominannya kekuasaan dari sebagian elite dalam masyarakat politik Indonesia. Banyak kebijakan publik dibuat tidak untuk kepentingan publik, namun untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Karena itu, untuk menghindari campur

tangan masyarakat, banyak proses pengambilan kebijakan publik dilakukan dengan tidak transparan. Dengan logika itu, kita dapat melihat, apakah sebuah negara sudah mencapai tahap ‘demokrasi maju’. Yaitu, tahapan demokrasi yang di dalamnya setiap warga negara dapat berpartisipasi optimal dalam kebijakan publik dengan melihat tingkat transparansi dan korupsi di negara tersebut?. Dalam konteks ini, kita harus mengakui, Indonesia memang belum masuk dalam kategori “demokrasi maju.”Persepsi terhadap tingginya angka korupsi dan juga realita dari mengguritanya korupsi di Indonesia tidak bisa kita sangkal. Angka-angka menunjukan hal itu. Sebagai contoh, peringkat Indonesia dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dikeluarkan Transparency International belum mengalami perbaikan yang signifikan dari tahun ke tahun. Dibandingkan dengan 178 negara, kita masih berada di peringkat di atas 100.

Grafik 1. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia

160 140 120 100 80 60 40 20 0 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 Rank 122 133 137 130 143 126 111 110 111

Peringkat Indonesia yang sedikit meningkat pada 2009 ke atas berkaitan dengan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dianggap relatif berhasil menyelesaikan berbagai kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara di berbagai tingkat dan sektor pemerintahan, mulai dari anggota DPR dan DPRD, kepala daerah, hingga duta besar. Dari 2004 sampai 2013, terdapat 72 orang anggota DPR dan DPRD, 8 orang hakim, 9 orang menteri dan kepala lembaga, 9 orang gubernur, 34 orang walikota/bupati/wakil, serta 114 orang

pejabat eselon I, II, dan III yang telah ditangkap oleh KPK.3

Selain memberikan kabar gembira bahwa kini para pejabat negara dapat dihukum karena korupsi, data tersebut juga memperlihatkan bahwa birokrasi adalah salah satu lokus di mana korupsi paling banyak terjadi. Bukan hanya jumlah nominal yang dikorupsi yang penting, melainkan juga birokrasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Sebab, demokratisasi digulirkan di Indonesia adalah untuk terciptanya kebijakan publik yang baik dan berorientasi pada pelayanan kepentingan masyarakat.

Perjalanan Indonesia dalam proses demokratisasi tersebut mengikuti

jalur transisi double-track yang juga dialami negara-negara demokrasi

baru. Transisi ganda melibatkan track pertama, yaitu tindakan

untuk membangun sistem politik kompetitif untuk menggantikan sistem politik tidak kompetitif yang dijalankan rezim pemerintahan

otoriter sebelumnya. Pada trackkedua, secara natural, negara-negara

demokrasi baru melakukan desentralisasi kekuasaan, yang tadinya terkonsentrasi pada sedikit tangan di pemerintah pusat kepada

pemerintah daerah. Kedua track ini tidak bisa dipisahkan, yang satu

Desentralisasi diharapkan dapat memperkuat demokrasi. Sebab, desentralisasi menyediakan kesempatan bagi pemerintah daerah/lokal untuk menciptakan lingkup yang kondusif bagi demokrasi melalui beragam cara, di antaranya, memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui program-program pembangunan lokal, meningkatkan akuntabilitas, meningkatkan daya respons terhadap kepentingan masyarakat lokal, serta memperbaiki derajat keterwakilan karena

jarak yang memerintah dan diperintah semakin pendek.4

Perkembangan demokrasi yang terkait dengan desentralisasi dapat dikaji, antara lain, dengan melihat Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) 2009 yang dirumuskan tim dan didukung penuh oleh Bappenas. IDI 2009 relevan dikemukakan di sini mengingat pengukuran dilakukan sedemikian rupa sehingga bisa menangkap variasi pada setiap provinsi di Indonesia. Setidaknya ada tiga aspek demokrasi yang terpenting, yaitu kebebasan sipil

(civil liberties), hak-hak politik (political rights), dan keberadaan

lembaga-lembaga demokrasi (institution of democracy) terangkum

dalam data tersebut. Kajian tersebut dapat ditelaah lebih lanjut, namun setidaknya hal ini dapat membantu melihat variasi tingkat pelaksanaan demokrasi di seluruh provinsi.

Grafik itu memperlihatkan perbedaan kualitas demokrasi dari satu daerah ke daerah lainnya. Provinsi yang memiliki indeks demokrasi terbaik adalah Kalimantan Tengah, bukan sebuah provinsi di Jawa yang selama masa Orde Baru umumnya relatif menikmati kemajuan lebih baik dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di luar Jawa. Grafik yang sama juga memperlihatkan, provinsi-provinsi “be- sar” yang selama ini seringkali dijadikan referensi, seperti Jawa

Timur, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara, justru ditemukan memiliki indeks demokrasi yang rendah, dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain. Artinya, desentralisasi memungkinkan kita melihat bahwa masyarakat kita yang tersebar di berbagai provinsi memiliki kualitas yang berbeda-beda dalam menjalankan demokrasi. Pandangan kita yang selama ini Jakarta- sentris, dan juga sampai titik tertentu “Jawa-sentris” dalam menilai segala sesuatu, termasuk menilai “kemampuan” berdemokrasi masyarakat Indonesia, sejatinya harus diubah.

Grafik 2. Indeks Demokrasi Indonesia (5 Provinsi Teratas dan Terbawah)5

90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 Kalteng Riau DK I

Kepri Jatim Sulsel Sumbar Sumut NTB Gorontalo

Lalu, apa pentingnya kalau kita tahu bahwa satu daerah lebih demokratis dibandingkan dengan yang lain? Salah satunya adalah untuk melihat kaitan antara demokrasi dan kesejahteraan masyarakat Sebab, reformasi politik yang kita gulirkan pada saat reformasi, yaitu demokratisasi, bertujuan mewujudkan masyarakat yang lebih

adil dan makmur. Salah satu cara mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat adalah dengan menggunakan Indeks Pembangunan

Manusia/Human Development Index (IPM ). Maka, menarik untuk

menengok IPM kesepuluh provinsi di atas, paling tidak pada 2009. Grafik berikut memperlihatkan sebuah pola yang penting diperhati- kan. Lima provinsi dengan Indeks Demoraksi tertinggi (kecuali Provinsi Gorontalo) ternyata juga memiliki Indeks Pembangunan Manusia lebih tinggi dibandingkan dengan lima provinsi yang memiliki Indeks Demokrasi terendah. Paling tidak, hal ini memberi indikasi awal bagi kita bahwa terdapat hubungan yang asosiatif antara demokrasi dan tingkat kesejahteraan masyarakat, dengan ukuran Indeks Pembangunan Manusia, di kesepuluh provinsi tersebut.

Grafik 3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) 2009 di 10 Provinsi dengan IDI Terendah/Tertinggi

80 75 70 65 60 55 Kalteng Riau DK I

Kepri Jatim Sulsel Sumbar Sumut NTB Gorontalo

74.36

64.66

Sumber: Biro Pusat Statistik

Temuan di level daerah ini mengonfirmasi rumusan tentang sepuluh indikator kunci (terutama indikator “tingkat kesejahteraan”)

yang digunakan untuk menebak kecenderungan perkembangan konsolidasi demokrasi di Indonesia dalam penelitian ini. Desentralisasi sendiri akan dibahas lebih lanjut sebagai salah satu “driving forces” yang akan menentukan masa depan politik Indonesia.

Dalam dokumen MENYONGSONG 2014 2019 MEMPERKUAT INDONES (Halaman 90-99)