• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI BERANTAI IAIN SEBAGAI KAMPUS DAKWAH DAN PERADABAN

Oleh Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag.

I

AIN sebagai sebuah perguruan tinggi memiliki sejarah dan misi yang berbeda dengan institut-institut lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia, baik ITB, ITS, IPB, maupun IKIP. Dari segi sejarahnya, IAIN ini tumbuh dari bawah, yakni diprakarsai dan dirintis oleh tokoh-tokoh Islam di daerah, kemudian dalam perkembangannya ditangani pemerintah (bersifat bottom

up), sedangkan institut-institut lainnya tersebut tumbuh

dari atas, yakni diprakarsai dan dirintis oleh pemerintah (top

down). Kemudian dari segi misinya IAIN tersebut senantiasa

mengemban misi ganda (misi akademik dan misi dakwah). Menurut Azyumardi Azra, aspirasi umat Islam dalam membentuk perguruan tinggi Islam didorong oleh minimal tiga tujuan: pertama, untuk melaksanakan pengkajian dan pengembangan ilmu-ilmu Islam pada tingkat tinggi secara sistematis dan terarah; kedua, untuk melakukan pengembangan dan peningkatan dakwah Islam, sehingga Islam dipahami dan dilaksanakan dengan semakin baik oleh mahasiswa dan kaum Muslimin umumnya; dan ketiga, untuk melakukan reproduksi dan kaderisasi ulama dan fungsionalis keagamaan lainnya, baik pada birokrasi, seperti Kementerian Agama maupun lembaga-lembaga sosial, dakwah, dan pendidikan Islam swasta (Azra, 1999: 170).

M. Amin Abdullah melaporkan bahwa lazimnya masyarakat Indonesia berharap bahwa eksistensi IAIN dan PTAIS mampu memenuhi dua harapan sekaligus, yaitu sebagai lembaga keilmuan dan lembaga pendidikan ‘keagamaan’ Islam.

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

Lembaga keilmuan mengutamakan pendekatan kritis, analitis, historis, metodologis, rasional, dan empiris. Sedangkan lembaga keagamaan mengutamakan sikap memihak, idealitas, romantis, bahkan pembelaan yang bercorak apologis (Abdullah, 2002: 104-106), di samping doktrinal dan normatif.

Kedua macam ekpektasi itu dapat dimaklumi berdasarkan pertimbangan kesejarahan IAIN. Namun, pada dataran mekanismenya ternyata menimbulkan masalah yang cukup serius. Apakah dua macam ekpektasi itu akan direalisasikan secara sama, dan ini dalam prakteknya tidak mungkin karena acapkali berbenturan; atau apakah akan memprioritaskan salah satunya? Kalau prioritas ini menjadi pilihan, implikasinya ketika IAIN mengedepankan kapasitasnya sebagai lembaga keilmuan/ lembaga akademik maka kurang memperhatikan kapasitasnya sebagai lembaga keagamaan/lembaga dakwah. Sebaliknya, ketika IAIN mengutamakan kapasitasnya sebagai lembaga keagamaan/lembaga dakwah maka akan mengorbankan kapasitasnya sebagai lembaga keilmuan/lembaga akademik.

Dalam implementasinya, dua rumpun pendekatan dan/atau sikap itu seringkali berbeda bahkan bertabrakan, manakala keduanya dijalankan dalam waktu yang sama. Untuk menghindari tabrakan itu, mesti harus menempus salah satunya. Ketika dosen maupun mahasiswa menggunakan pendekatan kritis, implikasinya mereka harus menjauhkan diri dari sikap memihak; ketika mereka menggunakan pendekatan rasional, implikasinya mereka harus melepaskan upaya indoktrinasi (pendekatan doktrinal); dan ketika mereka menggunakan pendekatan analitis maka implikasinya mereka harus menjaga jarak dari pendekatan normatif. Sebaliknya, ketika mereka harus memihak maka kehilangan sikap kritis; ketika mereka melakukan indoktrinasi (menggunakan pendekatan doktrinal) maka meninggalkan pendekatan rasional; dan ketika mereka menggunakan pendekatan normatif, maka meninggalkan penggunaan pendekatan analitis.

Inilah dilema yang dialami IAIN yang terpasung oleh misinya sendiri. Dilema ini juga terefleksikan pada kegiatan pembelajaran (perkuliahan) maupun kegiatan akademik lainnya. Abdullah menyatakan bahwa kinerja Islamic Studies (Dirasat Islamiyah) di IAIN dan PTAIS agaknya masih lebih banyak terbebani oleh misi keagamaan yang bersifat memihak,

romantis, apologis, sehingga kadar muatan analitis, kritis, metodologis, historis-empiris, terutama dalam menelaah teks-teks atau naskah-naskah keagamaan produk sejarah terdahulu kurang begitu ditonjolkan, kecuali dalam lingkungan para peneliti tertentu yang jumlahnya masih sangat terbatas (Abdullah, 2002: 104-105). Dilema ini masih berlanjut hingga sekarang dan belum ada upaya yang mampu memberikan pemecahan secara memuaskan hingga sekarang ini. Abdul Munir Mulkhan menegaskan bahwa problem metodologis pemikiran Islam dan khususnya pendidikan Islam, yaitu terletak antara pilihan ideologis dan ilmiah tersebut selama ini tidak pernah benar-benar terselesaikan dengan tuntas (Mulkhan, 1993: 203).

Dalam konteks IAIN Tulungagung yang telah dideklarasikan sepihak sebagai kampus dakwah dan peradaban tentu memiliki implikasi yang panjang sekali. Betapapun deklarasi kampus dakwah dan peradaban ini dimaksudkan sebagai harapan perwujudan keseimbangan antara dakwah dan akademik, tetapi penempatan kata dakwah mendahului kata peradaban tentu memiliki skala prioritas tertentu. Jelasnya kampus IAIN Tulungagung ini lebih mengedepankan kapasitasnya sebagai lembaga keagamaan/lembaga dakwah dengan ciri-ciri memihak, romantis, apologis, normatif dan doktrinal tersebut, daripada sebagai lembaga keilmuan/lembaga akademik. Dari sini bisa dipahami jika kampus ini hanya memiliki standar yang rendah dalam rekruitmen mahasiswa baru sehingga tidak ada seleksi yang sesungguhnya (seleksi hanya memenuhi formalitas), membebaskan mahasiswa Thailand dari ujian masuk dan pembiayaan kuliah, menggratiskan masyarakat Plosokandang yang mau kuliah ke IAIN, dan mengedepankan primordialisme dalam merekrut dosen luar biasa, dosen tetap non PNS, maupun tenaga kependidikan sehingga mengabaikan kualifikasi keilmuan bagi dosen dan kualifikasi ketrampilan bagi tenaga kependidikan.

Implikasi berikutnya adalah tumbuhnya proses pembodohan di kalangan dosen maupun mahasiswa. Di kalangan dosen tampak banyak orang yang dijadikan sebagai dosen sementara kualifikasinya sangat memprihatinkan, sementara di kalangan mahasiswa tampak banyak mahasiswa yang tidak mampu membaca al-Qur’an meskipun menjelang

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

kelulusan, apalagi memahami kandungan ajaran agama Islam. Kita bisa bayangkan bagaimana kesan masyarakat Thailand terhadap pendidikan Islam di Indonesia yang murahan dan

gampangan sehingga ketika kembali ke Thailand mahasiswa

tidak memiliki potensi sebagaimana harapan masyarakat patani. Kemudian implikasi yang lebih membahayakan bagi masa depan keilmuan adalah penanaman dan penyuburan idiologisasi yang sarat kepentingan-kepentingan aliran, madzhab, dan organisasi tertentu.

Ketika kondisinya sepeti ini, implikasi (efek domino) yang mesti terjadi adalah kampus kehilangan fungsi yang fundamental sebagai agen perubahan (agent of change), agen inovasi (agent

of innovation), agen modernisasi (agent of modernization), pusat

penelitian (center of research), maupun pusat pengembangan pengetahuan (center of science development). Sepanjang terkooptasi oleh upaya pengembangan ideologi, kampus ini jangan pernah diharapkan mampu melahirkan temuan-temuan penelitian yang berarti bagi kemanfaatan masyarakat. Selama kampus ini mengedepankan fungsinya sebagai lembaga keagamaan/lembaga dakwah, justru yang tumbuh subur adalah penguatan primordialisme, sektarianisme, aliranisasi, politisasi, sikap otoriter, sikap diktator, gila hormat, pengejaran kewibawaan/kharisma yang semu, dan pola-pola kehidupan feodalis. Implikasi ini sungguh mengancam masa depan IAIN sebagai perguruan tinggi, sebab kulitnya berupa kampus perguruan tinggi tetapi isinya didominasi oleh kepentingan politik yang berbusana intelektual dan agama.

Memang kita tidak bisa meninggalkan fungsi dakwah. Ketika meninggalkan fungsi dakwah berarti memotong mata rantai akar sejarah pendirian kampus IAIN sendiri, sehingga dibutuhkan solusi yang bijaksana. Penulis menawarkan tiga macam pilihan untuk memecahkan masalah tersebut: pertama, IAIN harus selalu memantapkan misi akademik (keilmuan) dan tetap membonceng misi dakwah (keagamaan). Maksudnya, IAIN harus melaju secepat mungkin dalam mengembangkan penelitian, ilmu pengetahuan, perubahan dan pembaruan, sambil menjalankan dakwah kepada masyarakat; kedua, IAIN harus melakukan pengembangan penelitian, ilmu pengetahuan, perubahan dan pembaruan melalui semangat akademik, sedangkan dalam mengamalkan ilmu pengetahuan yang telah

dihasilkan melalui kerja ilmiah itu sebaiknya melalui semangat dakwah. Semangat akademik diekpresikan dalam kegiatan-kegiatan membaca, menulis, menelaah, melakukan ekperimen, meneliti, menemukan, mengembangkan, merumuskan konsep, merumuskan teori, dan sebagainya. Sedangkan semangat dakwah dimulai dengan mengamalkan sabda Nabi, ballighu

‘anni walau ayah (sampaikanlah dariku walaupun satu ayat),

dengan mengkomunikasikan hasil-hasil kerja ilmu itu kepada masyarakat dalam rangka memerintahkan kebajikan dan mencegah kemungkaran (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an

al-munkar); dan ketiga, IAIN harus berusaha mengembangkan

dakwah (keagamaan) dengan menggunakan pola-pola keilmuan. Hal ini bisa direalisasikan dengan cara mengembangkan manajemen dakwah, kepemimpinan dakwah, metode dakwah, pendekatan dakwah, strategi dakwah dengan lisan (da’wah

bi lisan), strategi dakwah dengan perbuatan (da’wah bi al-hal), strategi dakwah dengan tulisan (da’wah bi al-kitabah),

dan strategi dakwah dengan hiburan (da’wah bi al-tasliyah). Bahkan ayat al-Qur’an dan hadits Nabi sebagai materi dakwah sebaiknya ditelaah, digali dan dibahas secara multiperspektif dan interdisipliner keilmuan baik dari sisi ekonomi, politik, sosiologi, psikologi, sejarah, hukum, pendidikan, antropologi, astronomi, kesehatan, kedokteran, dan sebagainya (Qomar, 2013: 78).

Tiga pilihan tersebut dirasa cukup relevan bagi IAIN karena memilih solusi yang mana saja diantara tiga pilihan itu, akan tetap mengedepankan pengembangan ilmu sebagai karakter perguruan tinggi dan memproteksi dakwah (Qomar, 2013: 79). Bagi IAIN, misi dan beban akademis (keilmuan) ini menjadi sesuatu yang niscaya karena merupakan jiwa atau ruh bagi suatu perguruan tinggi (Qomar, 2013: 79). Lembaga akademik dituntut senantiasa mengembangkan ilmu pengetahuan dan tidak boleh mandek pada suatu pemahaman atau pemikiran, apalagi jika keduanya disakralkan. Implikasinya, lembaga ini harus mengembangkan pemikiran, pemahaman, gagasan, ide, konsep, wawasan, teori dan strategi sehingga selalu mengalami perubahan dan pembaruan progresif yang bersifat positif-konstruktif, yang mengandung muatan nilai-nilai yang makin efektif-efisien. Karena itu, lembaga akademik (keilmuan) sangat menghargai inisiatif, pemikiran kritis, analitis, kreativitas dan

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

produktivitas, lantaran ini semua yang mampu mengawal kemajuan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari peradaban (Qomar, 2013: 80).

Berdasarkan argumentasi ini, kalau harus menggunakan kata dakwah dan peradaban seharusnya posisinya dibalik menjadi IAIN Tulungagung sebagai Kampus Peradaban dan

Dakwah. Peradaban menjadi orientasi kegiatan akademik baik

yang dilaksanakan di kampus maupun di masyarakat. Melalui kegiatan-kegiatan akademik yang diimplementasikan secara intensif, diharapkan mampu melahirkan konstruksi model peradaban yang unggul, humanis, dan ramah lingkungan sebagai refleksi dari pesan kesejahteraan universal, yakni

rahmatan li al-‘alamin.

RUJUKAN

Abdul Munir Mulkhan, Paradigma Intelektual Muslim Pengantar

Filsafat Pendidikan Islam dan Dakwah, Yogyakarta: SIPRES,

1993.

Azyumardi Azra, Pendidikan Islam Tradisi dan Modernisasi

Menuju Milenium Baru, Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu,

1999.

M. Amin Abdullah, Studi Normativitas atau Historisitas?, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Mujamil Qomar, Strategi Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2013.

*Prof. Dr. Mujamil Qomar, M.Ag., Guru Besar Pemikiran

Modern dalam Islam di IAIN Tulungagung. Menulis banyak buku, di antaranya: Pemikiran Islam Metodologis, NU “Liberal”: Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam, Islam Indonesia Memimpin Dunia, dan banyak buku yang lainnya.

25

MENYONGSONG KAMPUS