• Tidak ada hasil yang ditemukan

QURANIC FUNDAMENTAL VALUES SEBAGAI BASIS DAKWAH

DAN PERADABAN

Oleh Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.A.

G

eliat kampus IAIN sebagai pusat keunggulan kajian keislaman di wilayah Jawa Timur bagian selatan mulai dirasakan oleh masyarakat. Masyarakat tidak hanya mulai melirik dan mempertimbangkan eksistensi IAIN Tulungagung, namun juga telah mengambil manfaat dari pertumbuhan kampus yang semakin terasa. Geliatnya tidak hanya berupa konstruksi fisik kampus yang megah, namun juga sivitas akademik yang berproses untuk menjadi lebih baik setiap saat. Seluruh aktivitas yang ada selalu bermanfaat bagi semua pihak. Hal demikian menuntut dilakukan upaya-upaya pengembangan kualitas yang terus-menerus agar harapan masyarakat lebih dekat ke kenyataan.

Dengan jargon Kampus Dakwah dan Peradaban, IAIN Tulungagung mengemban tugas yang berat nan mulia. Kampus ini dituntut mewujudkan harapan, mimpi dan keinginan masyarakat untuk mampu melahirkan dan mewujudkan alumni yang sukses di masyarakat. Oleh karena itu, IAIN Tulungagung berupaya menjadikan seluruh sivitas akademika di dalamnya mampu menopang realisasi dari jargon yang sangat menantang itu. Upaya itu perlu didasarkan pada landasan etis yang kokoh sehingga arah menuju jargon itu berada di rel yang tepat. Apa landasan etis yang kokoh itu? Bagaimana ia diposisikan sebagai basis bagi seluruh upaya mewujudkan jargon itu?

Fazlur Rahman yang dianggap pemikir metodologis terbesar Muslim abad 20 dalam metode tafsir gerakan ganda

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

(double movement)-nya mengajukan basis asumsi yang

menjadi paradigma dalam penafsiran al-Qur’an. Basis asumsi itu bisa disebut sebagai fundamental values. Karena wataknya yang sangat Qur’ani, maka ini biasa disebut sebagai Quranic

Fundamental Values. Ia merupakan nilai, ajaran pokok Qur’an

yang tidak berubah dalam setiap zaman dan tempat. Sementara tafsir biasanya mengasumsikan perubahan karena perubahan konteks, nilai-nilai pokok ini tidak boleh dirubah dan mesti memayungi keseluruhan pola pikir dalam proses pemahaman al-Qur’an.

Nilai fundamental-universal itu, dalam konteks IAIN Tulungagung, bisa menjadi basis etis bagi semangat pengembangan kampus menuju kampus dakwah dan peradaban. Karenanya, nilai yang dikandungnya perlu dipahami oleh civitas akademika dan dijadikan spirit dalam seluruh proses pendayagunaan sumber daya yang ada di dalamnya.

Ada dua kata kunci yang menjadi titik tolak jargon kampus ini: Dakwah dan Peradaban. Dakwah mengasumsikan kemampuan menyebarkan pesan Tuhan dan ilmu pengetahuan serta teknologi ke pihak lain yang didahului oleh kemampuan seluruh sivitas akademika menginternalisasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada. Tidak ada eksternalisasi ilmu tanpa diawali oleh internalisasi sebelumnya. Keduanya harus ada secara simultan. Eksternalisasi tanpa internalisasi akan melahirkan insan yang rapuh dan kosong. Sementara internalisasi tanpa eksternalisasi, hanya akan melahirkan insan apatis, diam dan acuh-acuh terhadap problem yang muncul. Dari sini hanya akan lahir manusia dengan mental katak dalam tempurung, tidak mau dan mampu melihat realitas masyarakat. Untuk menggapai tujuan utama, kampus harus memiliki, menjadi dan berperan sebagai instrument penyebaran keilmuan agama dan umum dengan mempertimbangkan metode dan teknik yang kompatibel dengan perkembangan zaman.

Nilai kedua jargon kampus kita adalah peradaban. Peradaban dapat diartikan sebagai akumulasi budaya yang ada di masyarakat yang lahir dari hasil cipta, rasa dan karsa. Sumber budaya yang bisa menjadi material bagi peradaban manusia unggul harus lahir dari manusia dengan pikir dan tindak yang baik dan benar, baik di dalam perspektif ketuhanan maupun kemanusiaan. Karenanya, peradaban yang dikehendaki bisa

disebut dengan peradaban yang maju, sejahtera, damai, profetis dan humanis. Peradaban ini harus mengakomodir seluruh pemikiran, ilmu, kebudayaan yang bermanfaat bagi kemanusiaan baik lahir di masa lalu maupun yang sedang dikembangkan hari ini tanpa melakukan dikotomi yang rigid terhadap keilmuan agama dan non-agama. Untuk membentuknya dibutuhkan pondasi yang kuat berupa nilai fundamental yang lahir dari substansi pesan ketuhanan yang kemudian dijabarkan dalam seluruh bidang yang responsif terhadap realitas kemanusiaan.

Nilai fundamental yang absolut itu adalah tauhid atau monoteisme, keadilan, kesetaraan, kemerdekaan, dan persaudaraan. Nilai-nilai ini dikenal sebagai nilai paling tinggi dalam sejarah pemikiran manusia. Darinya, lahir nilai-nilai dan aturan turunan sesuai tuntutan perkembangan zaman. Para filosof dan para sarjana Muslim menjadikan nilai ini sebagai pokok dan dasar pikiran dan tindakan. Tidak mengherankan, bahwa kelompok Mu’tazilah, misalnya, memasukkan dua nilai pertama, tauhid dan keadilan, sebagai al-ushûl al-khamsah sekalipun dengan makna yang berbeda dari pemahaman mayoritas atau ahli sunnah.

Nilai Qur’ani paling fundamental adalah tauhid. Tauhid sebagai fondasi paling dasar menaungi tiang-tiang pancang lainnya hingga sanggup menegakkan bangunan kemanusiaan. Sedangkan nilai lainnya merupakan penjabaran dari superioritas nilai tauhid: keadilan, kesetaraan, kemerdekaan dan persaudaraan. Nilai-nilai terakhir ini akan kokoh jika didasarkan pada tauhid yang hanya mengesakan dan menomorsatukan Tuhan dan implikasinya, menomorduakan lainnya.

Kampus yang kokoh akan selalu menjadikan ikrar monoteisme sebagai jargon kehidupan; yaitu pengakuan bahwa yang mesti menjadi tempat bergantung, beribadah, berkarya dan berdarma hanyalah Allah. Setiap civitas akademika kampus selalu menjadikan sifat kemahatahuan, kemahahebatan dan kemahakreatifan Tuhan dan sifat kesempurnaan Tuhan lainnya sebagai dasar bagi seluruh tindakan yang dilakukannya. Seluruh tindakan didasarkan pada semangat penghambaan kepada Tuhan yang berimplikasi pada dataran kemanusiaan.

Nilai fundamental berikutnya adalah keadilan. Keadilan bisa dimaknai dengan menegakkan hak dan kewajiban secara proposional dan objektif. Prinsip ini lahir dari kesadaran bahwa

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

setiap manusia ingin dihargai dan diperlakukan dengan penuh hormat dalam harkat dan martabat sebagai makhluk yang mulia. Setiap orang adalah sama di hadapan Tuhan dan manusia. Seorang akademisi bisa dikatakan adil ketika ia melaksanakan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi pendidikan dengan segala bentuknya berdasarkan nilai objektifitas yang lahir dari peserta didik berupa kualitas dan kuantitas objektif tanpa mengedepankan dan menomorsatukan nilai subyektifitas keakuan, keorganisasian, kesukuan, kedaerahan dan kekeluargaan sebagai pertimbangan utama dalam melaksanakan tugas utama, di satu sisi; dan berhak mendapatkan reward atas apa yang telah dilakukan, di sisi lain. Dia selalu diingatkan oleh dan dalam kesadaran bahwa pertanggungjawaban dan kewajiban menegakkan keadilan mesti dijadikan motto sebagai insan akademik.

Mengiringi nilai keadilan, nilai kesetaraan menempati posisi yang sangat penting dalam struktur nilai fundamental ini. Kata “setara” secara dasariyah berarti keadaan menganggap orang lain sebagai sejajar, berdiri sama tinggi, duduk sama rendah dan sederajat. Kata ini juga biasa digunakan untuk menunjukkan kesejajaran antara laki-laki dan perempuan. Kampus IAIN, dalam konteks ini, harus mendorong terwujudnya kesempatan dan perlakuan yang sejajar antar seluruh civitas akademika dalam mengembangkan potensi diri, mendapatkan hak, pengakuan dan dukungan untuk maju, menjadi pemimpin, ketua, kepala berdasarkan syarat dan ketentuan objektif. Karenanya, perlakuan diskriminatif atas dasar ras, daerah, jenis kelamin dan objek diskriminsi lain harus direduksi terus-menerus dan dihilangkan dari pola pikir dan kesadaran semua warga kampus.

Nilai fundamental berikutnya adalah kemerdekaan. Nilai ini muncul dari fitrah yang dianugerahkan Tuhan bagi manusia. Dalam konteks akademik, kemerdekaan bisa dimaknai kebebasan secara bertanggung jawab untuk berpendapat, berkumpul, berorganisasi, mengemukakan pikiran dan gagasan baik akademik maupun non-akademik, dan berkreasi demi kemajuan dan terwujudnya visi-misi, cita-cita dan tujuan kampus. Kemerdekaan juga bermakna kebebasan dari rasa takut, ancaman, gangguan, hambatan khususnya berkaitan dengan upaya pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi

dan diseminasi hasil penelitian baik teoritis maupun aplikatif. Kemerdekaan juga berarti kebebasan memilih di antara sekian alternatif metode, proses dan pilihan gagasan akademik maupun non akademik yang dianggap lebih sesuai dengan kekinian dan kedisinian ilmu pengetahuan dan teknologi.

Prinsip persaudaraan menempati posisi yang juga sangat urgen dalam struktur fundamental nilai al-Qur’an. Prinsip ini muncul dari kesadaran bahwa manusia lahir dan berkembang bersama dengan lingkungan di sekitarnya dengan sifat saling berketergantungan. Tidak ada yang bisa otonom dalam menjalani kehidupan. Ada hubungan interkoneksi antara manusia yang memungkinkan setiap individu saling menolong, membutuhkan, mengambil dan menerima dalam batasan hak dan kewajiban yang disepakati dalam masyarakat. Dalam konteks ini IAIN Tulungagung mesti menjadi satu kesatuan keluarga yang seluruh anggotanya bisa nyaman di dalam rumah dan bahtera besar, bisa berkembang di dalam dan di luar rumah dan merasa memiliki rumah yang pantas untuk dijaga, dipelihara dan dimanfaatkan dengan baik dan benar. Sense of belonging,

sense of love dan sense of responsibility harus ditanamkan dan

digaungkan dalam nafas harian seluruh civitas akademika demi perjalanan bahtera ke tujuan besar yang dicanangkan.

Pada akhirnya, dengan nilai fundamental Qur’ani yang dicanangkan sebagai paradigma dalam pengembangan kampus ke depan, diharapkan lahir derivasi nilai-nilai yang terwujud dalam serangkaian peraturan dan ketentuan yang kokoh guna mewujudkan kampus yang adaptif terhadap perkembangan jaman dan solutif bagi problem kemanusiaan ke depan. Kampus dengan seluruh civitas akademikanya tidak hanya akan maju secara fisik-material, namun juga tangguh secara mental-spiritual dengan semangat berkemajuan dan berperadaban. Dengan upaya yang terus menerus dan tak berkesudahan, perjalanan bahtera besar bisa diharapkan segera mendekati tujuan utama yang diimpikan.

*Dr. Ahmad Zainal Abidin, M.A., adalah Wakil

Dekan 1 Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah (FUAD) IAIN Tulungagung. Menyelesaikan S-1 di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S-2 di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan S-3 di UIN Sunan Kalijaga. Penulis bisa dihubungi di ahmadzainal74@yahoo.com.sg.

9

MODERASI ISLAM SEBAGAI