• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESANTUNAN BERBAHASA SEBAGAI UPAYA MEMBANGUN

MASYARAKAT KAMPUS BERKARAKTER

Oleh Dr. Erna Iftanti, M.Pd.

S

eiring dengan pesatnya kemajuan teknologi, perubahan peradaban dunia juga semakin dasyat. Potensi saling memengaruhi dan mewarnai peradaban antar komunitas juga semakin kuat dan pesat. Melalui bantuan kemajuan teknologi, budaya di suatu daerah dengan mudah tersebar ke daerah-daerah lainnya sehingga muncullah di antaranya adopsi dan adaptasi antar budaya. Budaya baru yang diserap tanpa melalui tahapan filterisasi disebut sebagai adopsi, sedangkan penyerapan budaya asing dengan melalui tahapan filterisasi dan disesuaikan dengan budaya lokal disebut sebagai adaptasi. Selain itu juga muncul akulturisasi, yakni penyatuan antara satu budaya dengan budaya lain yang membentuk budaya baru. Ketiga proses perubahan peradaban dan budaya tersebut berpotensi kuat memunculkan bentuk budaya baru yang bisa jadi benar-benar berbeda dengan budaya lokal yang sudah mengakar. Melalui adaptasi dan akulturisasi, budaya baru yang muncul akan seiring dengan budaya lokal yang berkembang. Kondisi yang demikian tidak akan menimbulkan konflik ataupun friksi yang berarti. Sebaliknya, adopsi budaya asing yang bertentangan dengan nilai moral dan aturan serta konvensi yang berlaku akan sangat berpotensi merusak tatanan peradaban dan budaya yang berlaku. Efek jangka panjangnya adalah terjadinya degradasi moral suatu generasi tertentu.

Degradasi moral ditandai dengan beberapa hal, di antaranya adalah meningkatnya kekerasan pada remaja,

penggunaan bahasa (kata-kata) yang memburuk, kaburnya batas moral baik dan buruk, dan rendahnya rasa hormat terhadap orang tua maupun guru. Beberapa indikator tersebut saling terkait. Penggunaan bahasa (kata-kata) yang kurang baik sangat rentan menimbulkan pertentangan (batin), pertengkaran (lisan) dan perkelahian (fisik) diantara penggunanya baik secara pribadi ataupun kelompok yang dilakukan di dunia maya ataupun dunia nyata. Banyak ditemukan remaja termasuk anak-anak sekolah berkelahi, melakukan tindak bullying kepada temannya, dan tawuran yang terkadang dimulai dengan hal yang “sepele” yaitu saling berkata-kata.

Selain itu saat ini dengan pesatnya perkembangan teknologi komunikasi seperti mobile phone, bahasa juga berkembang dengan pesat. Muncul banyak istilah gaul di kalangan pengguna mobile phone, khususnya para remaja termasuk mahasiswa. Di antara istilah-istilah popular pada komunikasi online adalah misalnya otw, gbu, dan penulisan-penulisan kata yang jauh dari ejaan bahasa Indonesia yang benar seperti ea (iya), serta penggunaan/pilihan kata yang terkadang tidak tepat sasaran (“Apakah Anda sekarang ada di kantor?” sebuah pertanyaan yang diajukan siswa kepada gurunya. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan penyusunan kalimat tanya tersebut, namun sasaran pertanyaan akan terasa tidak tepat jika pertanyaan tersebut ditujukan kepada guru atau dosen. Pertanyaan tersebut cenderung memunculkan rasa “tidak nyaman”.

Kebiasaan penggunaan bahasa dalam komunikasi online tersebut juga tidak terbatas kepada siapa mereka berbicara. Hal ini disebabkan oleh kebiasaan yang sudah terbangun sehingga menjadi budaya. Fenomena penggunaan bahasa yang “kurang tepat” tersebut sering menimbulkan kesan kaburnya batas moral baik dan buruk dan rendahnya rasa hormat terhadap lawan bicara. Konteks komunikasi juga sering tidak lagi menjadi pertimbangan penting. Kondisi ini tidak dapat dipisahkan dari ragam pendidikan dan institusi pendidikan yang sedikit banyak bertanggungjawab atas perkembangan moral dan budaya masyarakat khususnya yang terkait dengan penggunaan bahasa..

Moral, budaya, dan bahasa merupakan kesatuan yang saling tekait. Sebagaimana yang dikatakan oleh Sapir dan Worf

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

(dalam Wahab, 1995) bahwa bahasa menentukan perilaku budaya manusia. Gambaran di atas menunjukkan adanya kebenaran dari pendapat kedua ahli bahasa tersebut. Pilihan kata, ungkapan yang santun, struktur kalimat yang baik dalam berkomunikasi mengindikasikan bahwa kepribadian orang tersebut memang baik. Di sisi lain, pilihan kata, ungkapan atau ekspresi bahasa dan struktur kalimat yang tidak baik dan tidak santun menandakan bahwa penggunanya mempunyai kepribadian yang “kurang baik”. Oleh sebab itu kesantunan seseorang sebagai bagian dari indikasi baiknya moral seseorang dapat diperhatikan dari bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi. Moral seperti yang didefinisikan pada kamus Meriam-Webster online adalah yang terkait dengan prinsip-prinsip baik dan benar dalam berperilaku (moral of or relating

to principles of right and wrong in behavior).

Moral merupakan nilai keabsolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh dan penilaian terhadap moral dapat diukur dari kebudayaan masyarakat tersebut. Moral juga merupakan suatu perbuatan atau tingkah laku atau ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan orang lain. Jika segala perbuatan, tingkah laku, maupun ucapannya sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di kelompok masyarakatnya dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya, maka berarti perbuatan orang tersebut mempunyai nilai moral yang baik. Demikian juga sebaliknya, karena moral merupakan produk budaya dan agama, maka standard moral dalam setiap komunitas dapat bervariasi sesuai dengan sistem nilai yang berlaku dan telah terbangun sejak lama (membudaya).

Dengan memperhatikan fungsi pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat sebagai indikasi kesantuan dan moral serta peradaban seseorang dalam suatu masyarakat, maka tatkala ditemukan berbagai macam bentuk degradasi moral di kalangan remaja Indonesia khususnya para siswa/mahasiswa, maka sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa para pendidik baik guru maupun dosen mempunyai andil besar dalam membentuk masyarakat sekolah dan masyarakat kampus yang beradab, bermoral, dan berkarakter. Di lingkungan masyarakat Indonesia, masyarakat kampus dan sekolah sebagai bagian dari masyarakat terdidik mempunyai kekuatan pengaruh dan daya model yang cukup signifikan di dalam masyarakat. Oleh

sebab itu, degradasi moral yang ada dan ditemukan akhir akhir ini dapat secara perlahan-lahan diatasi dengan melalui modeling berbahasa santun di kalangan masyarakat terdidik itu sendiri khususnya dimulai dari para pendidik. Modelling dapat dilakukan dengan menggunakan bahasa yang santun baik ketika memulai berkomunikasi maupun ketika menjawab komunikasi yang bahkan jika komuniksi tersebut dianggap tidak sesuai dengan prinsip kesantunan dalam berkomunikasi.

Sebagai contoh, ketika mahasiswa membuat janji untuk bertemu karena suatu alasan penting tertentu (seperti konsultasi belajar) pada waktu tertentu (Senin jam 7.30 misalnya) di tempat tertentu (di kantor contohnya) dan ketika sudah tiba saatnya jam 7.30, mahasiswa mengirimkan pesan kepada dosennya, “Apakah anda sudah di kantor, pak?”. Pertanyaan tersebut kurang patut disampaikan baik dari sisi isi, cara menyampaikan, maupun waktu penyampaikan. Dari sisi isi pesan tersebut, mahasiswa tidak sepatutnya menanyakan perihal tersebut karena sudah melakukan janji sebelumnya bahwa aka ada pertemuan antara dirinya dan dosen. Dari sisi cara menyampaikan juga kurang “beradab”. Istilah “anda” lebih popular digunakan dalam bahasa jurnalistik daripada di dunia pendidikan. Masih ada batas kesantunan dalam penggunaan kata “anda” di kalangan dunia pendidikan yang mana guru ataupun dosen adalah merupakan sosok pengganti orang tua di lingkungan kampus atau sekolah. Di dalam masyarakat Indonesia khususnya budaya Jawa, kata “anda” tidak santun jika ditujukan kepada Ibu/Bapak yang terkesan menimbulkan “jarak” dan “rasa tidak nyaman”. Selain itu penulisan kata “bu” yang disampaikan langsung dan ditulis dengan menggunakan huruf kecil juga menimbulkan kesan tidak “beradab” atau merendahkan. Jika dilihat dari sisi waktu penyampaikan (jam 7.30), sedangkan mahasiswa tersebut punya janji untuk bertemu pada jam tersebut, maka pertanyaan” apakah anda sudah di kantor?” merupakan pertanyaan yang tidak santun.

Hal ini sepertinya sepele namun efek dari kebiasaan penggunaan bahasa tersebut sangat besar untuk kehidupannya di masa yang akan datang. Sebagai pendidik, hal itu perlu diperhatikan dengan seksama, karena hal itu dapat menimbulkan beberapa kebisaan buruk. Yang pertama, siswa didik tersebut akan terbiasa mengingkari janji atau memiliki sifat

IAIN Tulungagung Membangun Kampus Dakwah dan Peradaban

yang ragu-ragu terhadap ucapannya sendiri. Yang kedua, siswa didik tersebut akan terbiasa tidak menghargai diri sendiri dan orang lain. Berikutnya, anak didik tersebut secara tidak sadar akan membangun lingkungannya untuk tidak mempercayai ucapannya. Ketiga efek tersebut akan menggiring dirinya ke dalam suatu kondisi yang tidak baik untuk kehidupan masa depannya. Oleh sebab itu, para pendidik (dosen) wajib memberi contoh berkomunikasi yang baik, benar, dan beradab.

Terkait dengan kasus di atas, dosen dapat menjawab pesan mahasiswa tersebut “Assalamualaikum, jika sudah membuat janji bertemu jam 7, maka saya akan menepatinya”. Jawaban yang santun akan memberikan efek yang positif yaitu berupa pembelajaran kesantunan penggunaan bahasa, selain efek penyadaran. Jika ditilik dari sisi usia, mahasiswa terhitung sebagai pembejar dewasa yang memunyai kedewasaan yang sudah mulai tumbuh matang. Dengan demikian dia mestinya mempunya sense terhadap diri dan lingkungannya yang baik. Jika menggunakan kata santun belum sanggup memberi pelajaran, maka suatu saat jika bertemu, menunjukkan kekeliruan dan mengajak berdiskusi mengenai tutur kata dan tindakan yang santun merupakan cara yang positif. Penanaman kesantunan yang merupakan indikasi karakter yang baik merupakan tugas mulia para pendidik/dosen yang tidak sekedar diberikan secara teoritis di dalam kelas melainkan memberi model. Dengan demikian jika setiap individu dari masyarakat kampus sudah mulai menanamkan kesantuan berbahasa, maka lambat laun akan tercipta masyarakat kampus yang berkarakter dan beradab. Semoga!

Dr. Erna Iftanti, M.Pd., lulusan S-3 Universitas Negeri

Malang. Sekarang mengajar di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan (FTIK) IAIN Tulungagung jurusan Tadris Bahasa Inggris. Bisa dihubungi via email: ernataufic72@gmail.com.

15

MEMBUMIKAN BUDAYA TA’LIM